MAKSUD DIBALIK PERKATAAN
Park Sanggung memeriksa pakaian yang dibawa oleh Yeo Sanbok, Sanggung (kepala dayang) yang bertugas di bagian pakaian, bordir dan tatarias. Dia pun membantu Yoon Bo-kyung mengenakan pakaian yang dibawa itu. Yeo Sanbok bertugas merias wajah Yoon Bo-kyung sehingga dia tidak terlihat pucat lagi. Yoon Bo-kyung menatap cermin setelah selesai berpakaian dan dirias. Dia tersenyum puas melihat hasil kerja para dayang di Istana kediamannya itu.
Yoon Bo-kyung menyaksikan sendiri bagaimana para dayang itu bekerja keras dalam waktu yang singkat. Setelah Mirae memberi kabar kalau orang tua dari Yoon Bo-kyung hendak menemui putrinya, Istana Gyeotaejeon menjadi sibuk. Beberapa dayang dibawah pengawasan Han Sanjeong segera merapikan kamar tidur Yoon Bo-kyung. Mereka membakar bibit wangi di di seluruh kediaman Ratu mereka untuk menghilangkan aroma obat-obatan yang dikonsumsi oleh Yoon Bo-kyung. Yeo Sanbok segera mempersiapkan pakaian untuk Yoon Bo-kyung. Han Sansik pun segera membuat beberapa peganan.
"Park Sanggung," Yoon Bo-kyung memanggil dayang utamnya itu.
"Iya, Junjeong Mama," Park Sanggung segera mendekati Ratu-nya itu.
"Persilahkan orang tuaku masuk ke Gyeotaejeon,"
"Baik, Jungjeon Mama,"
"Apakah Jusang Jeonha sudah tahu kalau orang tuaku datang ke Istana?"
"Saya sudah mengutus seorang dayang untuk menemui Kasim Go. Semoga dia berhasil menyampaikan pesan itu," Park Sanggung menjawab dengan sedikit pesimis. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya. Dia tahu kalau suaminya pasti sibuk menghadiri pertemuan Dewan Istana. Sekarang dia harus menghadapi semuanya sendirian.
Yoon Bo-kyung pun keluar dari kamarnya. Dia berjalan menuju ruang utama Istana Gyeotaejeon. Ruangan itu dikhususkan untuk menemui tamu dari luar Istana Gyeotaejeon. Tidak banyak ornamen di ruangan itu karena Yoon Bo-kyung jarang menerima tamu. Aturan Istana yang ketat hanya memperbolehkan segelintir orang saja masuk ke Istana Gyeotaejeon.
Yoon Bo-kyung pun duduk di balik mejanya. Dia meletakkan sebuah buku di atas meja itu. Beberapa kali Yoon Bo-kyung menghela nafas. Dia berusaha menenangkan dirinya sebelum bertemu dengan kedua orang tuanya itu.
Yoon Bo-kyung tidak lama menunggu, kedua orang tuanya tiba dengan cepat. Saat ibunya masuk ke dalam ruang utama itu, Yoon Bo-kyung meremas ujung meja dengan erat. Dia berusaha menahan dirinya untuk tidak berlari untuk memeluk ibu yang amat dia sayangi itu. Dia ingat kesedihan yang dia alami sesaat sebelum meminum cawan berisi racun di acara pengangkatan selir Kim. Saat itu dia berpikir kalau dia tidak akan bertemu dengan ibunya itu lagi.
"Semoga Jungjeon Mama diberikan umur yang panjang," Jang Hee Soo langsung memberi salam kepada putri kadungnya itu. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
"Selamat datang, Eomoni," Yoon Bo-kyung menjawab dengan setenang mungkin. Jang Hee Soo segera mendekati putrinya itu. Memegang kedua tangannya dengan erat. Wajahnya menunjukkan rasa cemas.
"Bagaimana keadaan Anda sekarang, Jungjeon Mama? Aku sangat cemas saat mendengar kalau Anda jatuh sakit. Hatiku sedih karena tidak diizinkan menemui Anda," Jang Hee Soo bertanya dengan suara bergetar. Yoon Bo-kyung mati-matian menyembunyikan perasaan rindu yang mendera hatinya. Dia sangat ingin memeluk ibunya itu untuk melepas semua kesedihan dan ketakutannya. Namun, dia tidak bisa melakukan hal itu. Dia tidak mau membuat ibunya cemas dan sedih.
Yoon Bo-kyung yakin kalau ibunya tidak tahu kejadian yang sebenarnya telah menimpa putrinya ini.
"Kondisiku sudah membaik, Eomoni. Flu yang menimpa memang parah dan mudah menular. Beberapa nain di Istanaku juga terjangkit flu itu. Oleh karena itu, aku menolak kunjungan Eomoni," Yoon Bo-kyung menjawab dengan kalimat yang sudah dia hapal saat berpakaian tadi. Yoon Bo-kyung pun tersenyum lalu memegang tangan ibunya dengan lembut.
"Eomoni jangan khawatir. Ada banyak orang disini yang akan menjaga dan merawatku dengan baik,"
"Jungjeon Mama terlalu polos sehingga Anda tidak mengerti kalau Istana ini adalah tempat yang paling berbahaya di Kerajaan ini. Istan ini lebih berbahaya dari hutan rimba," Jang Hee Soo berkata dengan suara yang lirih. Yoon Bo-kyung terkejut mendengar ucapan ibunya itu. Biasanya ibunya itu tidak akan mengucapkan kalimat pesimis untuknya.
"Mengapa Eomoni berkata seperti itu?"
"Jungjeon Mama, sadarlah! Saat ini sudah ada wanita lain di Istana ini. Setelah menikah dengan Anda, Jusang Jeonha hanya memiliki Anda. Namun, perempuan itu tiba-tiba muncul dan menarik perhatiannya,"
"Itu adalah hal yang wajar, Eomoni. Selama ini dayang yang berada di Istana ini tidak terlalu menarik. Aku akui kalau Kim Suk Won adalah dayang yang sangat cantik dan memiliki sikap yang baik. Wajar Jusang Jeonha tertarik kepadanya,"
"Seharusnya Anda tidak mengangkatnya menjadi Selir dalam waktu yang singkat, Jungjeon Mama. Banyak yang menganggap kalau Jusang Jeonha menekan Anda untuk melakukan itu. Banyak juga yang menganggap kalau Kim Suk Won memiliki relasi yang sangat kuat dan memiliki rencana besar,"
"Rencana besar?"
"Dia pasti tertarik dengan tahta Anda. Anda harus berhati-hati. Saya yakin kalau dia adalah perempuan yang berbahaya,"
"Eomoni tidak boleh berkata seperti itu. Tidak boleh menuduh orang sembarangan. Apalagi dia juga adalah istri dari Jusang Jeonha,"
"Saya tidak asal bicara. Setelah acara pengangkatan Selir, Anda tiba-tiba jatuh sakit. Mungkin dia meracuni Anda atau menaruh guna-guna dalam minuman Anda. Saya sungguh menyesal karena tidak memaksakan diri saya yang sakit saat itu untuk menghadiri acara pengangkatan Selir. Jika saya hadir, saya akan memaksa dayang untuk mencicipi minuman yang dia berikan kepada Anda," Jang Hee Soo bicara banyak dan perkataannya itu membuat Yoon Bo-kyung semakin terkejut. Dia tidak mengerti mengapa ibunya bisa memiliki dugaan seperti itu.
'Apakah Eomoni terlibat dalam insiden itu? Apakah Eomoni tahu kalau minuman itu berisi racun?' Yoon Bo-kyung bertanya di dalam hati. Rasa takut dan sedih segera menderanya. Dia takut kalau dugaannya benar. Dia takut kalau orang yang sangat disayanginya ini terlibat dalam rencana ayahnya.
"Mengapa Eomoni berpikir seperti itu?" Yoon Bo-kyung bertanya dengan suara yang lirih dan suaranya bergetar.
"Saya yang memberi tahu kemungkinan itu kepada Ibunda Anda, Junjeong Mama," terdengar suara dari ambang pintu. Yoon Bo-kyung melihat sosok yang berbicara itu. Ayahnya, Yoon Dae-hyung berdiri di ambang pintu.
Ketika laki-laki itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan, aura dingin segera menyeruak. Suasana menjadi suram. Jantung Yoon Bo-kyung berdegup dengan sangat kencang. Entah mengapa, dia merasa pandangan mata ayahnya itu begitu tajam bagaikan mata harimau yang mengintai mangsannya. Yoon Bo-kyung merasa sesak seakan jantungnya dicengkram erat.
"Semoga Jungjeon Mama diberi umur panjang," Yoon Dae-hyung memberi salam dengan suara yang datar. Yoon Bo-kyung merasa sedikit kedinginan. Sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan ayahnya itu. Segala hal buruk yang terjadi diantara mereka segera terngiang dibenaknya. Apalagi dia tahu kalau ayahnya sendiri yang secara sengaja telah menaruh racun di dalam cawan untuk dirinya.
"Terimakasih, Abeoji," Yoon Bo-kyung menjawab lalu tersenyum. Yoon Dae-hyung pun duduk di sebelah istrinya. Yoon Bo-kyung melihat raut wajah ayahnya yang terlihat tenang itu. Namun, pandangan matanya jelas memancarkan aura seorang pemburu. Ayahnya sedang menilai situasi yang berada di hadapannya.
"Saya tidak menyangka kalau Anda terkena flu berat sampai tidak mengizinkan orang-orang menemui Anda," Yoon Dae-hyung memulai percakapan. Namun, di telinga Yoon Bo-kyung, ayahnya itu seakan berkata 'Bukankah, seharusnya kamu sekarat karena racun?'
"Aku juga tidak menyangka kalau aku bisa terkena flu berat. Padahal saya menjaga kesehatan saya dengan baik selama ini sesuai dengan saran Abeoji," Yoon Bo-kyung berusaha menjawab dengan tenang. Jawabannya itu juga menyindir ayahnya. Maksud dari perkataannya itu sebenarnya adalah 'aku telah mengikuti saran Abeoji dengan menjadi Ratu, tetapi Abeoji sendiri yang berusaha membuangku'
"Abeoji jangan cemas. Aku percaya kalau Kim Suk Won adalah perempuan yang baik. Dia tidak akan mencelakakan aku karena hal itu akan membahayakan dirinya juga," lanjut Yoon Bo-kyung. Dia yakin perkataannya ini akan menyadarkan ayahnya kalau dia tahu kalau ayahnya berusaha mencelakan putrinya sendiri untuk menjatuhkan Selir Kim.
"Maafkan kelancangan saya, Jungjeon Mama. Saya terlalu mengkhawatirkan keadaan Anda di Istana yang dingin ini. Anggaplah perkataan saya tadi adalah wujud kecemasan seorang Ayah kepada putrinya,"
"Terimakasih karena Abeoji telah mengkhawatirkan keadaan saya,"
"Abeoji dan Eomoni, saya telah menyuruh Han Sansik membuat beberapa peganan. Semoga kalian suka,"
"Tentu saja kami akan menyukainya," Jang Hee Soo menjawab dengan antusias. Yoon Bo-kyung tersenyum.
Hati Yoon Bo-kyung sedikit lega karena sekarang dia yakin kalau ibunya tidak terlibat dalam upaya meracuninya itu. Yoon Bo-kyung menatap wajah ibunya yang sudah kembali cerah. Namun, dia tetap merasa sedih dan cemas karena memikirkan ibunya itu. Bukan Yoon Bo-kyung yang terlalu polos. Sebenarnya, ibunya yang terlalu polos dan mudah sekali percaya kepada ayahnya.
"Park Sanggung, suruh Han Sansik segera menyajikan makanannya," Yoon Bo-kyung memberi perintah. Park Sanggung masuk ke ruangan bersama Han Sansik dan beberap dayang dari bagian dapur Gyeotaejeon. Mereka menyajikan makanan dengan hati-hati lalu keluar dari ruangan itu.
"Semua makanan ini terlihat enak. Entah mengapa, ibu jadi mengingat sepupumu. Yoon Ja-yeon sangat menyukai semua makanan ini. Setiap dia mengunjungi rumah kita, dia selalu meminta semua makanan ini," Jang Hee Soo menjawab dengan santai. Yoon Bo-kyung tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Benar, Eomoni. Yoon Ja-yeon sangat menyukai semua makanan ini. Apakah dia masih sering berkunjung ke rumah kita?" Yoon Bo-kyung bertanya dengan santai, tetapi tatapan matanya mengarah kepada Yoon Dae-hyun yang sedang minum. Tiba-tiba saja, ayahnya itu tersedak lalu batuk-batuk.
"Songbanim, Anda jangan terburu-buru saat minum," Jang Hee Soo dengan cemas menepuk punggung suaminya itu. Dia terlihat tidak menyadari ketegangan yang muncul di antara suami dan putrinya itu.
"Tidak apa-apa, Buin,"
"Yoon Ja-yeon pasti tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik sekarang. Aku ingat gadis polos itu sangat menyayangi keluarga kita dan suka mendengarkan perkataan Abeoji," Yoon Bo-kyung berkata dengan suara yang tenang. Namun, hatinya merasa sangat sedih.
Yoon Bo-kyung ingat kalau ayahnya yang sering menghindari pertemuan secara pribadi dengan Yoon Bo-kyung. Yoon Dae-hyung tidak pernah berkata ramah kepadanya bahkan bersikap sangat kejam kepadanya. Sekalipun, Yoon Bo-kyung berusaha mengakraban diri kepada ayahnya itu, Yoon Dae-hyung tetap bersikap dingin kepadanya. Sebaliknya, kepada sepupu Yoon Bo-kyung yang berusia lima tahun lebih muda lima darinya itu, Yoon Dae-hyung akan bersikap sangat baik dan akrab. Seakan-akan Yoon Ja-yeon adalah putri kandungnya.
"Ja-yeon sering ke rumah kita. Saya bahkan berpikir untuk mengajaknya tinggal bersama kita di Ibu Kota. Ayahnya yang sakit-sakitan telah meninggal dua tahun yang lalu. Ibunya juga baru saja meninggal. Ibu mencemaskan keadaannya," Jang Hee Soo berkata dengan polos. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana menurut Abeoji?"
"Abeoji Anda sendiri yang lebih dulu mengusulkan hal itu. Saya sangat senang mendengar usul itu," Jang Hee Soo tersenyum memandang wajah suaminya dengan tatapan memuja.
Yoon Bo-kyung menundukkan wajahnya sejenak. Dia meremas chimanya di balik meja agar tidak terlihat. Hatinya sangat sakit. Sekarang rencana ayahnya sudah sangat jelas baginya. Ayahnya ini tidak saja berusaha menyingkirkannya, tetapi juga telah menyiapkan penggantinya.
Yoon Bo-kyung sengaja menyediakan semua peganan kesukaan sepupunya itu untuk menguji ayahnya. Jelas sekali ekspresi ayahnya menunjukkan semua dugaannya itu benar. Dengan ini juga, Yoon Bo-kyung menyatakan kalau dia tahu rencana ayahnya itu.
"Saya memang mencemaskan gadis polos dan penurut itu," Yoon Dae-hyung berkata dengan suara yang pelan.
"Dia tidak menyembunyikan apapun dari saya dan hal itu membuat saya merasa nyaman jika berbicara dengannya," Yoon Dae-hyung melanjutkan perkataannya.
Mendengar perkataan ayahnya itu, Yoon Bo-kyung seakan melihat jurang yang lebar membentang diantara dirinya dan ayahnya. Mereka kini telah saling mengetahui kalau mereka sudah tidak berada di sisi yang sama. Namun, Yoon Bo-kyung tidak bisa menebak sejauh mana ayahnya tahu tentang 'pengkhianatannya' itu.
Yoon Bo-kyung merasa sangat sedih.
"Jusang Jeonha tiba!" terdengar suara yang keras dari luar. Yoon Bo-kyung segera berdiri. Dia tidak menyangka kalau suaminya akan datang.
"Semoga Jusang Jeonha diberi umur yang panjang," Yoon Bo-kyung, Yoon Dae-hyung dan Jang Hee Soo segera memberi salam. Lee Hwon duduk di posisi Yoon Bo-kyung, sedangkan Yoon Bo-kyung duduk di sebelah kanannya.
"Bukankah Anda masih ada pertemuan, Jusang Jeonha?" Yoon Bo-kyung bertanya dengan cemas. Dia senang Lee Hwon datang, tetapi dia juga cemas kalau tindakan suaminya itu akan memberi kesan buruk bagi Dewan Istana.
"Pertemuan telah selesai, Jungjeon. Saat aku mendengar alasan Perdana Menteri Yoon absen dari pertemuan adalah untuk menemuimu, aku segera mempercepat diskusi kami. Aku juga ingin bertemu dengan Perdana Menteri Yoon sebagai seorang menantu kepada mertuanya. Bukankah sudah lama sekali kita tidak duduk seperti sebuah keluarga seperti saat ini," Lee Hwon berkata dengan santai. Seakan-akan tidak ada masalah yang terjadi.
Yoon Bo-kyung menundukkan wajahnya. Dia masih belum bisa menguasai perasaan sedih yang melandanya. Tiba-tiba saja, Lee Hwon menggenggam tangannya dengan erat. Yoon Bo-kyung terkejut lalu mengadahkan kepalanya lalu melihat wajah suaminya itu. Lee Hwon tersenyum kepadanya dengan senyuman yang lembut dan tulus. Tidak ada paksaan. Senyuman itu seakan berkata kalau dia memahami perasaan Yoon Bo-kyung.
"Jungjeon terlalu lelah saat mempersiapkan Chinjamrye. Hal itu yang membuatnya mudah terserang flu," Lee Hwon berkata lagi.
"Anda benar, Jusang Jeonha. Fisik Jungjeon Mama memang tidak terlalu kuat sejak kecil. Dia mudah sekali sakit," Yoon Dae-hyung membalas perkataan Lee Hwon.
"Saya akan menjaga Jungjeon dengan baik. Perdana Menteri Yoon tidak usah cemas. Sekarang Jungjeon adalah tanggung jawab saya," Lee Hwon berkata dengan sungguh-sungguh. Yoon Bo-kyung tahu kalau makna perkataan Lee Hwon yang sebenarnya adalah menunjukkan kalau Lee Hwon adalah sekutunya saat ini.
Yoon Bo-kyung menatap wajah Lee Hwon. Dia melihat wajah suaminya itu menunjukkan kesungguhan. Hatinya menjadi hangat.
'Meskipun ini akan berlangsung sementara saja, terimakasih karena kamu berdiri disisiku di saat genting seperti ini, Jusang Jeonha,' Yoon Bo-kyung berkata di dalam hati.
"Terimakasih, Jusang Jeonha," Yoon Dae-hyung membalas perkataan Lee Hwon. Yoon Bo-kyung bisa melihat raut tidak senang di wajah Yoon Dae-hyung. Ayahnya kini telah tahu kalau Lee Hwon dan Yoon Bo-kyung adalah sekutu yang kuat.
***
Yoon Bo-kyung menghela nafas. Badai baru saja berlalu dari kediamannya. Baru saja, ayah dan ibunya pergi dari Istana Gyeotaejeon.
"Jungjeon," Lee Hwon memanggilnya. Yoon Bo-kyung melihat wajah suaminya itu lalu tersenyum.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Baik, Jusang Jeonha. Anda jangan cemas,"
"Kamu baru sadar tadi malam, tetapi hari ini harus menghadapi ayahmu. Aku bisa melihat kalau kamu berusaha supaya terlihat kuat dihadapan Perdana Menteri Yoon,"
"Terimakasih karena Jusang Jeonha telah memperhatikan keadaan saya," Yoon Bo-kyung berkata dengan tulus.
"Jika Anda tidak datang, saya tidak yakin kalau saya bisa menghadapi situasi tadi," Yoon Bo-kyung berkata lagi. Mengatakan isi hatinya.
"Kita adalah rekan yang harus saling mendukung," Lee Hwon membalas. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya. Perkataan 'rekan' yang dilontarkan oleh suaminya itu seakan memberi jarak. Namun, Yoon Bo-kyung memakluminya.
"Aku tidak menyangka kalau pertemuan tadi lebih melelahkan dibandingkan pertemuan Dewan Istana. Aku harus membuat topik pembicaraan yang menarik dan tidak terkait dengan politik Istana dalam waktu yang singkat. Ternyata hal itu sangat melelahkan," Lee Hwon mengeluh.
"Dua jam saja pertemuan tadi sudah setara dengan dua puluh hari pertemuan Dewan Istana," Lee Hwon melanjutkan perkataannya dengan santai.
"Apalagi yang dikatakan oleh serigala tua itu kepadamu? Saat aku memberikan hadiah kecil untuk ibumu di depan gerbang Gyeotaejeon, aku melihat ayahmu berkata sesuatu," Lee Hwon bertanya.
Yoon Bo-kyung terdiam sejenak.
Dia ingat saat mengantar ayahnya ke depan gerbang Gyeotaejeon, ayahnya berbicara dengan suara lirih kepadanya.
'Aku pikir kamu adalah perempuan bodoh. Ternyata kamu adalah perempuan licik yang mengkhianatiku lalu memihak Raja bodoh itu,' Yoon Dae-hyung berkata tajam.
'Maafkan aku, Abeoji. Aku telah memilih untuk berada di sisinya. Segalanya harus kembali ke posisinya yang sebenarnya,' Yoon Bo-kyung membalas perkataan ayahnya itu. Dia mengingatkan ayahnya kalau ayahnya itu telah melewati batasannya sebagai seorang Perdana Menteri.
'Apa kamu tidak takut? Suatu saat nanti dia akan tahu kalau kamu terlibat dalam pristiwa boneka itu lalu dia akan membencimu dan menghukummu dengan berat,'
'Aku pantas mendapatkannya. Namun, sebelum itu terjadi, aku akan berusaha memperkokoh tahtanya,'
'Perempuan bodoh! Apa yang kamu harapkan dari dia? Kamu hanya akan rugi jika bertekad melawanku,'
'Aku tahu, Abeoji. Namun, aku akan tetap memilih jalan yang sukar ini. Aku memilihnya,'
'Kamu mencintai Raja bodoh itu?' Yoon Dae-hyung bertanya dengan kening berkerut. Lalu dia tertawa kecil karena Yoon Bo-kyung tidak menjawab.
'Kamu mencintainya. Perempuan bodoh!' Yoon Dae-hyung berkata lagi lalu menghela nafas.
'Sekarang kita adalah musuh,' Laki-laki itu mengucapkan kalimat yang menyakiti hati Yoon Bo-kyung dengan parah lalu berjalan meninggalkannya. Dia mendekati Jang Hee Soo lalu memberi salam kepada Lee Hwon. Yoon Bo-kyung hanya bisa menatap ayahnya itu dengan pedih.
"Jungjeon? Mengapa kamu diam?" Lee Hwon menegur Yoon Bo-kyung. Yoon Bo-kyung tersenyum setelah sadar dari lamunannya.
"Apa yang dikatakan ayahmu kepadamu?"
"Dia tahu kalau saya memihak Anda, Jusang Jeonha,"
"Peperangan ini akan menjadi sangat seru dan semakin menegangkan," Lee Hwon berkata lalu menghela nafas. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
Perkataan Yoon Dae-hyung yang dingin tadi masih terngiang di benak Yoon Bo-kyung. Bukan itu saja, dia juga kembali mengingat semua kekajaman Yoon Dae-hyung kepadanya. Dia ingat kepada Seung ri yang mati karenanya. Yoon Bo-kyung merasa remuk dan tidak berdaya.
"Jungjeon?" Lee Hwon kembali menegur Yoon Bo-kyung. Yoon Bo-kyung yang semula menundukkan kepalanya, menegakkan kepalanya. Dia melihat wajah Lee Hwon. Dia ingat bagaimana Lee Hwon memangkunya supaya bisa menyuapinya. Perasaan tidak berdaya yang dialami Yoon Bo-kyung membuat perempuan itu menjadi nekat. Dia memeluk Lee Hwon erat.
"Jungjeon!" Lee Hwon berkata. Yoon Bo-kyung tahu dari suaranya, Lee Hwon terkejut dengan tindakan Yoon Bo-kyung yang tiba-tiba itu.
"Maaf! Jusang Jeonha. Sebentar saja. Aku mohon!" Yoon Bo-kyung berkata lirih. Lee Hwon tidak membalas perkataannya. Dia membalas dengan memeluk Yoon Bo-kyung. Yoon Bo-kyung yang merasa telah mendapatkan izin itu langsung membenamkan mukanya di dada suaminya lalu menangis.
Lee Hwon tidak berkata apa-apa. Dia hanya menepuk-nepuk punggung Yoon Bo-kyung secara perlahan seakan dia sedang menenangkan anak kecil yang sedang menangis.
***
Dear Pembaca,
Terimakasih untuk dukungannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top