KEINGINAN UNTUK MENGUNGKAPKAN PERASAAN
"Salam hormat kepada Jungjeon Mama, semoga Yang Maha Kuasa memberikan umur yang panjang kepada Anda!" ucap Yoon Seung Jae yang datang bersama seorang perempuan. Yoon Bo-kyung tersenyum melihat kedua tamunya yang sedang memberikan hormat itu. Setelah tujuh bulan lebih bersandiwara, akhirnya kakak laki-lakinya itu bisa menikahi perempuan yang dibawanya berkunjung ke Istana itu. Dua minggu yang lalu tepatnya, Yoon Seung Jae telah menikahi perempuan yang dicintainya itu.
"Terimakasih. Silahkan duduk dan nikmati sajian yang kupersiapkan untuk kalian," ucap Yoon Bo-kyung dan kedua tamunya itu menurut. Yoon Seung Jae membantu istrinya yang gugup itu duduk. Saking gugupnya, istrinya nyaris terjatuh setelah memberi hormat. Para Nain dengan diawasi Park Sanggung mulai menyajikan teh dan aneka makanan kecil.
"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Oh Bok-ja," ucap Yoon Bo-kyung menyebut nama perempuan yang berada di hadapannya itu setelah para Nain keluar dari ruangan tempatnya menyambut tamu itu. Perempuan yang telah menikah itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
"Semua berkat Anda, Jungjeon Mama. Saya bisa menikah dengan Tuan Muda Yoon karena bantuan Jungjeon Mama," balas Oh Bok-ja dengan air mata yang mengalir di pipinya.
"Astaga! Perempuan yang baru menikah seharusnya tidak menangis seperti ini. Ini kunjungan pertama kalian ke Istana setelah menikah. Seharusnya kamu tersenyum," ucap Yoon Bo-kyung dan menyodorkan sapu tangannya. Yoon Seung Jae langsung berinisiatif mengambil sapu tangan yang disodorkan itu dan menyeka air mata istrinya dengan lembut. Yoon Bo-kyung tersenyum melihat keakraban kakak laki-lakinya dengan istrinya itu.
"Akhirnya saya bisa bertemu dengan Anda, Jungjeon Mama. Pertemuan ini jauh lebih membahagiakan dibanding pernikahanku dengan Tuan Yoon," ucap Oh Bok-ja membuat Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
"Aku juga senang karena akhirnya bisa bertemu denganmu seperti ini. Sebelumnya, untuk menghindari timbulnya kecurigaan dari pihak Abeoji-ku, aku sengaja tidak menemuimu. Sedangkan saat kalian menikah, aku tidak bisa leluasa berbicara denganmu," ucap Yoon Bo-kyung. Masih jelas diingatannya pristiwa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu. Saat itu, perempuan yang bernama Oh Bok-ja itu masih bernama Jan Shil. Seorang perempuan biasa yang diselamatkannya saat akan dijual ke Gibang. Perempuan itu kini menjadi kakak iparnya.
"Saya sampai sekarang merasa tidak layak menikah dengan Tuan Yoon. Status saya yang," ucap Oh Bok-ja, tetapi dipotong dengan cepat oleh Yoon Bo-kyung.
"Nyonya Oh. Oh Bok-ja. Kamu adalah putri seorang Bangsawan yang pernah memiliki jabatan penting di Istana ini. Kamu pantas menjadi kakak iparku. Apalagi yang kamu lakukan selama ini membuatku sangat berterimakasih. Jika kamu tidak ada, Orabeoni-ku akan tenggelam dalam kecanduan terhadap minuman keras," ucap Yoon Bo-kyung dengan tegas mengingatkan status baru perempuan di hadapannya itu. Dia pun menatap kakak laki-lakinya yang menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan teguran Yoon Bo-kyung.
Yoon Bo-kyung ingat cerita yang disampaikan Yoon Seung Jae setelah mereka bertemu lagi. Yoon Seung Jae pergi ke perbatasan Joseon karena rasa kecewa dan sesal yang menderanya karena kehancuran Klan Heo. Setelah kejadian itu, Yoon Seung Jae terjerumus kedalam minuman keras sebagai cara melarikan diri dari kenyataan. Jan Shil yang disuruh Yoon Bo-kyung menyusul Yoon Seung Jae, dengan segenap hati menolong kakak laki-lakinya itu keluar dari kecanduan minuman keras.
"Jungjeon Mama, itu adalah kewajiban saya. Saya telah diselamatkan oleh Anda," ucap Oh Bok-ja dan Yoon Bo-kyung menggelengkan kepalanya.
"Kamu adalah kakak perempuanku sekarang. Masa lalu sebaiknya kita lupakan saja. Jangan lagi mengungkit masalah balas budi," ucap Yoon Bo-kyung dan Oh Bok-ja menganggukkan kepalanya dengan pelan.
"Buin, apa yang dikatakan Jungjeon Mama benar. Kamu adalah istriku sekarang. Apa yang telah berlalu biarlah berlalu," lanjut Yoon Seung Jae sambil memegang tangan kanan istrinya itu.
"Baiklah, Songbangnim," ucap Oh Bok-ja lirih.
"Aku berharap kalian akan segera memberikan keponakan untukku," ucap Yoon Bo-kyung untuk mencairkan suasana.
"Sebaliknya, saya juga berharap bisa memiliki keponakan lebih dulu daripada anak sendiri," ucap Yoon Seung Jae, membalas perkataan adik perempuannya itu. Yoon Bo-kyung menatap kakak laki-lakinya. Dia terkejut dan tercenung sesaat sebelum akhirnya tertawa.
"Jangan terlalu mengharapkan hal itu terjadi, Orabeoni," ucap Yoon Bo-kyung dan Yoon Seung Jae menunjukkan wajah sedih.
"Jungjeon Mama, apakah Jusang Jeonha belum bisa menerima Anda sepenuhnya?" tanya Oh Bok-ja dengan suara lirih dan Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya perlahan.
"Jangan khawatir, setidaknya saat ini hubungan kami tidak seburuk di masa awal pernikahan kami. Setidaknya, dia menganggapku temannya saat ini. Itu sudah cukup bagiku," ucap Yoon Bo-kyung, tetapi hatinya berkata lain. Dia mengharapkan hubungannya dengan Lee Hwon lebih dari seorang teman.
"Mungkin, Jungjeon Mama perlu menegaskan perasaan Anda yang sebenarnya. Saya khawatir kalau Jusang Jeonha salah memahami Anda," ucap Yoon Seung Jae dengan suara yang tenang. Yoon Bo-kyung menatap kakak laki-lakinya itu sejenak lalu terdiam.
"Aku takut jika Jusang Jeonha malah semakin salah paham setelah aku mengatakan perasaanku," ucap Yoon Bo-kyung dan Oh Bok-ja menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tidak, Jungjeon Mama. Anda perempuan yang istimewa. Saya yakin Jusang Jeonha justru akan senang. Songbanim telah menceritakan kepada saya kalau Jungjeon Mama telah banyak berkorban. Ketulusan Anda yang saya rasakan selama ini seharusnya dirasakan juga oleh Jusang Jeonha," ucap Oh Bok-ja dengan suara yang cepat. Seakan berharap suaranya yang cepat bisa membuat Yoon Bo-kyung termotivasi.
"Jungjeon Mama, apa yang dikatakan oleh istriku ini benar. Anda jangan takut. Ketulusan Anda selama ini akan membuahkan hasil yang manis," lanjut Yoon Seung Jae. Yoon Bo-kyung menundukkan kepalanya sejenak lalu menatap kakak laki-lakinya itu lagi.
"Aku akan mempertimbangkannya, Orabeoni," ucap Yoon Bo-kyung dan wajah Yoon Seung Jae pun terlihat lega.
🌷🌷🌷
Yoon Bo-kyung berjalan di atas jembatan kayu yang menyatukan dua sisi kolam di bawahnya. Tempat itu adalah tempat favorit Yoon Bo-kyung untuk merenung. Langit malam tidak semendung malam sebelumnya. Bulan sabit mulai muncul, memamerkan keindahannya. Yoon Bo-kyung tersenyum. Sudah setahun ini dia tidak lagi merasa terancam ketika menyaksikan bulan. Sejak dia mengakui kesalahannya di hadapan Yang Maha Kuasa, hatinya lebih tenang kini.
"Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung dan dayang senior yang mengikutinya dari belakang pun mendekat.
"Ya, Jungjeon Mama,"
"Menurutmu hadiah apa yang paling cocok untuk diberikan kepada orang yang kamu sayangi?" tanya Yoon Bo-kyung dan Park Sanggung tersenyum mendengarnya.
"Apakah Jungjeon Mama ingin memberikan hadiah untuk Jusang Jeonha?" tanya Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
"Apakah itu memalukan? Atau tidak sopan?" tanya Yoon Bo-kyung dan suara tawa yang lirih terdengar. Yoon Bo-kyung menurunkan tangannya dan melihat Park Sanggung menahan tawa.
"Jungjeon Mama, Anda seperti seorang anak perempuan yang baru jatuh cinta," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung merasakan pipinya memanas.
"Jungjeon Mama bebas memberikan apa pun kepada Jusang Jeonha. Ketulusan Anda pasti akan sampai kepadanya," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung tersenyum.
"Tadi siang, Orabeoniku berkata kalau aku harus mengatakan perasaanku yang sebenarnya," ucap Yoon Bo-kyung lalu menghela nafas panjang lalu menatap Park Sanggung yang tersenyum.
"Aku akan mencobanya, Park Sanggung. Aku akan mencoba mengungkapkan isi hatiku kepada Jusang Jeonha," lanjut Yoon Bo-kyung dan hatinya terasa makin tenang dan bersemangat sekarang.
🌷🌷🌷
Di waktu yang sama Istana kediaman Ibu Suri, Istana Jagyeongjeon terlihat sepi. Seorang laki-laki yang mengenakan pakaian tabib memasukinya. Ditemani Nain yang bertugas sebagai perawat. Sanggung yang berada di Istana itu mendekat dan menemani laki-laki tadi menuju sebuah ruangan dimana Ibu Suri Song-hye sudah menunggu.
"Hormat kepada Daebi Mama. Semoga Yang Maha Kuasa memberikan Anda umur yang panjang, Daebi Mama," ucap tabib itu dan Ibu Suri Song-hye menganggukkan kepalanya. Dia pun duduk dan Nain yang dibawa Tabib mendekat.
"Mohon maaf, Daebi Mama. Saya memohon izin untuk memeriksa nadi Anda," ucap Nain itu dan Ibu Suri Song-hye menganggukkan kepalanya. Nain yang dibawa itu segera menarik tangan Song-hye. Dengan seksama memeriksa nadi sang Ibu Suri. Setelah selesai memeriksa, dia mendekati Tabib yang membawanya ke Istana Jagyeongjeon. Dia pun berbicara dengan suara lirih kepada Tabib itu.
"Jadi apa hasilnya, Tabib Kim?" tanya Ibu Suri Song-hye dan Tabib Kim terlihat ragu untuk bicara.
"Jangan ragu untuk mengatakannya, Tabib. Aku sudah merasakan denyut jantungku tidak normal dan sesak nafas akhir-akhir ini. Apakah penyakitku berbahaya?" tanya Ibu Suri Song-hye dan Tabib Kim menghela nafas sebelum bicara.
"Saya menduga kalau jantung Anda mengalami masalah, Daebi Mama," ucap Tabib Kim dan Ibu Suri Song-hye menganggukkan kepalanya.
"Ternyata benar. Apakah penyakit ini bisa disembuhkan?" tanya Ibu Suri Song-hye lagi.
"Maafkan saya, Daebi Mama. Saya tidak berani menjawabnya. Namun, alangkah lebih baiknya jika Jusang Jeonha dan Wang Daebi Mama diberi tahu kalau Anda sakit. Kemampuan saya sangatlah kurang, Daebi Mama. Jusang Jeonha bisa memanggil Tabib yang lebih baik bahkan jika harus memintanya kepada Kerajaan Qing," ucap Tabib Kim dan Ibu Suri Song-hye menggelengkan kepalanya.
"Wang Daebi Mama belakangan ini kesehatannya menurun. Aku tidak bisa memberi tahu kabar yang membuatnya cemas. Apalagi saat ini, Wang Daebi Mama memaksakan diri mengunjungi Kuil dan tinggal sementara di sana untuk mendoakan keamanan negeri. Jika dia ikut jatuh sakit karena kabar penyakitku, maka Jusang Jeonha akan sendirian. Sedangkan lawannya, Perdana Menteri Yoon adalah rubah yang sangat licik," ucap Ibu Suri Song-hye.
"Daebi Mama tidak perlu khawatir. Bukankah belakangan ini Jusang Jeonha semakin kuat? Berkali-kali dia bisa melawan Buwonggun Mama?" ucap Tabib Kim menyebut gelar Perdana Menteri karena dia adalah ayah dari Ratu.
"Aku sendiri terkejut dengan perubahannya itu. Kamu benar Tabib Kim, aku harus optimis kalau Jusang Jeonha akan menjadi Raja yang baik. Namun, untuk saat ini aku belum siap menceritakan kondisiku kepadanya. Dia akan cemas," ucap Ibu Suri Song-hye dengan wajah murung.
"Sekalipun posisi Jusang Jeonha sekarang makin kuat sejak Bangsawan Hwan masuk ke dalam Dewan Istana, aku tetap mencemaskannya. Bagaimana jika aku cepat meninggalkannya di dunia ini?"
"Daebi Mama, tolong jangan bicara seperti itu. Anda pasti diberi umur yang panjang," ucap Tabib Kim, tetapi Ibu Suri Song-hye menggelengkan kepalanya dengan sedih.
"Tidak, Tabib Kim. Kita harus memikirkan kemungkinan yang terburuk," ucap Ibu Suri Song-hye dengan tajam.
"Selama ini aku menyuruh Klan Kim menahan diri karena aku takut kalian akan dihempaskam oleh Perdana Menteri jika terlihat terlalu memihak kepada Jusang Jeonha. Sekarang, keadaan tampaknya sudah berubah. Sudah saatnya Klan Kim bersuara sekeras pendukung Jusang Jeonha yang lainnya," lanjut Ibu Suri Song-hye dengan mata yang berapi-api.
"Saya akan menyampaikannya kepada Klan Kim, Daebi Mama," ucap Tabib Kim dan Ibu Suri Song-hye menganggukkan kepalanya.
"Namun, Klan Kim khawatir karena Jusang Jeonha sepertinya semakin dekat dengan Jungjeon Mama," ucap Tabib Kim dan Ibu Suri Song-hye menghela nafas.
"Aku tahu kalian cemas dengan kedekatan mereka. Aku juga mencemaskan hal yang sama. Bagaiamana pun, Jungjeon adalah putri Perdana Menteri Yoon sehingga bisa saja akan memberi pengaruh buruk kepada Jusang Jeonha," balas Ibu Song-hye. Lalu dia menatap bulan sabit yang terlihat dari jendela ruangan yang terbuka lebar.
"Aku rasa sudah saatnya bulan yang sebenarnya memunculkan dirinya. Bulan semu yang sekarang bertahta sudah saatnya turun. Sudah terlalu lama dia berada disana," ucap Ibu Suri Song-hye dengan suara lirih.
"Anda yakin dengan keputusan Anda, Daebi Mama?"
"Iya. Aku sudah memikirkannya beberapa bulan ini. Aku tahu hati Jusang Jeonha masih dipenuhi oleh dia. Lagipula, sudah saatnya memberi keadilan kepada Klan Heo," ucap Ibu Suri Song-hye.
"Kita memang belum bisa membuktikan kalau Klan Heo tidak bersalah. Namun, kita juga tidak bisa membiarkan sang bulan terus di luar Istana. Sekalipun dia harus memasuki Istana dengan menyamar, itu jauh lebih baik daripada terus bersembunyi di luar Istana. Istana ini, sekalipun mengerikan adalah tempat paling aman di negeri ini," lanjut Ibu Suri Song-hye lagi. Pandangan matanya terlihat sayu. Kabar penyakitnya yang diterimanya dari Tabib Kim bukan hal buruk menurutnya. Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi dirinya karena kematian akan menyatukan dirinya dengan almarhum suami dan almarhum putrinya yang sangat dicintainya itu. Namun, dia takut Lee Hwon tidak sanggup menahan pengaruh Perdana Menteri Yoon yang sangat berkuasa sejak kematian Tuan Heo.
"Baiklah, Daebi Mama. Saya akan menyampaikan hal ini juga kepada pendukung Anda supaya mereka bersiap," ucap Tabib Kim tegas dan Ibu Suri Song-hye menganggukkan kepalanya.
🌷🌷🌷
Salju perlahan turun dari langit. Yoon Bo-kyung tersenyum dan berjalan keluar dari ruangannya di Istana Gyeotaejeon. Dia mengulurkan tangannya keluar dari atap yang menutupi teras untuk menampung es yang jatuh di atas telapak tangannya. Rasa dingin langsung terasa saat telapak tangannya dijatuhi butiran es itu. Butirannya yang dingin itu pun mencair di atas telapak tangannya yang hangat. Membasuh rasa pedih di tangannya akibat luka tisikan jarum. Yoon Bo-kyung menarik tangannya dan memperhatikan bekas tusukan jarum di tangannya. Memang tidak kentara, tetapi berarti baginya. Luka di tangannya itu adalah tanda cintanya yang didapat karena berusaha menjahit sepasang Kaos Kaki untuk orang yang dicintainya.
"Jungjeon Mama, tidak baik Anda keluar tanpa memakai mantel sekalipun hanya di pelataran," ucap Park Sanggung sambil melampirkan kain ke pundak Yoon Bo-kyung.
"Setahun yang lalu, aku dan Jusang Jeonha pergi menghadiri festival Musim Dingin. Merasakan sesaat menjadi rakyat biasa. Saat itu adalah waktu yang sangat menyenangkan untukku," ucap Yoon Bo-kyung lalu memegang jarinya yang mengenakan cincin giok. Cincin itu adalah pemberian Lee Hwon untuknya tahun lalu dan tidak pernah dilepasnya sejak itu. Namun, Lee Hwon tampaknya tidak menyadari kalau Yoon Bo-kyung terus mengenakannya.
"Jungjeon Mama, saya tahu betapa sulitnya bertahan di Istana ini. Apalagi Anda tidak memilih diam, tetapi ikut berjuang bersama Jusang Jeonha," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung tersenyum.
"Semua berkat dirimu juga, Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung dan dia berbalik melihat kotak kayu kecil yang diletakkan di atas meja di ruangannya. Kotak kayu yang dilapisi kain berwarna merah itu berisi hadiah yang dipersiapkannya untuk Lee Hwon.
Yoon Bo-kyung masuk ke dalam ruangan dan mengambil kotak kayu itu. Membukanya untuk memastikan kotak itu tidak kosong. Sepasang kaos kaki berwarna putih yang dijahit olehnya terlihat. Butuh perjuangan membuat sepasang kaos kaki apalagi Yoon Bo-kng tidak berbakat dalam menjahit dan menyulam. Selama sebulan ini, berulang kali dia harus mengulang jahitannya karena tisikan yang tidak rapi bisa membuat kaos kaki itu mengkerut. Akhirnya setelah menghabiskan banyak kain sutra dan benang, dia bisa membuat sepasang kaos kaki yang rapi.
Bukan tanpa alasan Yoon Bo-kyung memilih membuat dan memberikan kaos kaki itu untuk Lee Hwon. Kaos kaki memiliki makna penghargaan dan diberikan kepada orang yang sangat berarti. Lee Hwon adalah orang yang berarti bagi dirinya. Yoon Bo-kyung mencintainya dan berharap hubungan mereka akan menjadi hubungan yang seharusnya terjalin di antara suami-istri.
"Park Sanggung, kamu sudah mengirimkan pesan kepada Jusang Jeonha, bukan?" tanya Yoon Bo-kyung dan Park Sanggung mendekati Ratu-nya itu.
"Sudah, Jungjeon Mama. Saya juga sudah mendapat kabar dari Kasim Go kalau Jusang Jeonha menyanggupinya. Beliau akan menemui Jungjeon Mama di jembatan kolam Istana menjelang malam nanti," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya lalu tersenyum sebagai tanda hatinya senang.
"Terimakasih Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung lagi.
🌷🌷🌷
Lee Hwon memeriksa semua catatan yang diletakkan oleh Kasim Go di atas meja kerjanya. Lehernya sudah terasa tegang, tetapi dia tetap memaksakan diri untuk menyelesaikan pemeriksaannya. Setelah menyelesaikan sebuah buku, dia menatap keluar jendela. Diperhatikannya langit mulai berwarna keemasan tanda matahari sedang terbenam. Lee Hwon pun berdiri dan melakukan olah raga ringan untuk merenggangkan otot-ototnya yang kaku.
"Aku ingat kalau aku aku harus menemui Jungjeon. Kasim Go, apa kamu sudah mempersiapkan lentera? Aku tidak mengerti mengapa dia memintaku menemuinya di jembatan kolam Istana," ucap Lee Hwon dengan ekspresi wajah yang terkesan enggan. Namun, didalam hatinya dia tidak kesal kepada istrinya yang mendadak memintanya bertemu di tempat yang tidak biasa. Dia malah penasaran dengan istrinya itu.
Entah sejak kapan, Lee Hwon malah merasa senang jika Yoon Bo-kyung melakukan hal yang tidak biasa. Karena selalu ada sisi lain dari istrinya itu bisa disaksikannya. Sama seperti tahun lalu di dalam Festival Musim Dingin. Dia bisa melihat sisi baik Yoon Bo-kyung. Saat itu istrinya tidak ragu menolong anak kecil yang tidak dikenalnya. Bahkan menolong kedua orang tua anak kecil yang ditemuinya.
"Saya sudah menyiapkannya, Jusang Jeonha. Namun, Daebi Mama mengirim Kasim Jeon untuk menemui Anda," ucap Kasim Go dan Lee Hwon menghela nafas. Dia paling tidak suka jika Kasim utusan ibunya itu datang. Kasim Jeon selalu datang bersama dayang muda dan berharap Lee Hwon akan memilih satu diantaranya.
"Baiklah. Suruh dia masuk," ucap Lee Hwon dan Kasim Jeon masuk dengan wajah yang cerah.
"Ada apa?" tanya Lee Hwon dingin.
"Hamba memohon maaf, Jusang Jeonha," ucap Kasim Jeon dengan menggunakan kalimat yang merendahkan diri.
"Katakan saja!" ucap Lee Hwon dan mulai merasa kesal sekarang.
"Hamba memohon Jusang Jeonha mengikuti hamba yang bodoh ini ke suatu tempat. Daebi Mama yang meminta hamba melakukannya. Kita kesana berdua saja," ucap Kasim Jeon.
"Kalau begitu nanti saja. Aku harus menemui Jungjeon, setelah itu aku akan menemuimu," ucap Lee Hwon datar namun Kasim Jeon dengan berani mendekat dan menyodorkan sebuah tusuk konde.
"Pemiliknya ada di tempat itu," ucap Kasim Jeon dan Lee Hwon menerima tusuk konde itu. Tidak lama dia mengamatinya dan langsung mengenalinya. Tusuk konde itu adalah tusuk konde yang diberikan olehnya kepada Heo Yeon Woo. Lee Hwon menatap Kasim Jeon dengan wajah terkejut. Dadanya berdebar dengan kencang.
"Kamu tidak berbohong? Daebi Mama menemukannya?" tanya Lee Hwon dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Kasim Jeon.
"Tunjukan tempatnya!" ucap Lee Hwon dan Kasim Jeon menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tanpa diikuti oleh siapapun berjalan menuju areal Istana yang sepi. Areal itu adalah tempat tinggal selir yang telah lama kosong sejak Raja sebelumnya memutuskan tidak mengambil Selir. Salah satu ruangan terlihat terang sehingga Lee Hwon segera memasukinya.
"Jusang Jeonha, semoga Anda panjang umur," ucap seorang perempuan dalam posisi memberi hormat. Suaranya yang lembut membuat Lee Hwon nyaris merasa apa yang dihadapannya adalah ilusi. Namun, dengan segenap keberanian dia mendekati perempuan itu dan membantunya berdiri. Dilihatnya wajah perempuan yang dirindukannya selama bertahun-tahun ini. Hampir sepuluh tahun mereka tidak bertemu, tetapi Lee Hwon masih bisa mengenalinya.
"Yeon Woo," ucap Lee Hwon dan merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Air matanya jatuh, demikian juga perempuan yang berada dalam pelukannya itu. Perempuan itu menangis dengan suara yang terisak.
🌷🌷🌷
Yoon Bo-kyung berdiri di atas jembatan sambil menggosokkan kedua tangannya yang dingin. Cuaca semakin dingin saja, tetapi Lee Hwon belum juga tiba. Suaminya itu biasanya tidak pernah terlambat. Laki-laki itu sangat disiplin sehingga dia pun akan marah kalau orang lain tidak disiplin.
"Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung yang tadinya menunggu di tepi jembatan, tiba-tiba mendekatinya dengan terburu-buru.
"Mengapa kamu panik?"
"Maafkan saya sebelumnya karena saya mengirim Nain ke Istana Gangnyeonjeon untuk melihat situasi karena Jusang Jeonha belum tiba juga. Akhirnya dia bertemu Kasim Go yang berkata kalau Kasim Jeon diutus oleh Daebi Mama untuk menemui Jusang Jeonha. Daebi Mama ingin bertemu dengannya dan Jusang Jeonha langsung menuruti Kasim Jeon," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung seketika merasa kecewa.
"Terimakasih untuk informasinya, Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung lirih. Ditatapnya kotak kayu kecil yang dipegang seorang Nain. Dia tahu siapa Kasim Jeon. Kasim Jeon adalah kepercayaan Ibu Suri Song-hye yang selalu berusaha mendekatkan Lee Hwon dengan perempuan lain. Sebersit rasa curiga muncul di hati Yoon Bo-kyung. Apakah mertuanya itu menyuruh Lee Hwon menemuinya karena mertuanya itu hendak mendekatkan Lee Hwon dengan perempuan lain? Namun, rasa curiga itu segera dienyahkan oleh Yoon Bo-kyung dari hatinya.
"Apakah sebaiknya kita kembali ke Istana Anda, Jungjeon Mama?" tanya Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menggelengkan kepalanya.
"Biarlah para Nain kembali ke Gyeotaejeon. Aku masih mau sendiri disini," ucap Yoon Bo-kyung dan suaranya bergetar. Park Sanggung menggelengkan kepalanya.
"Namun, udara di luar terlalu dingin, Jungjein Mama. Bagaimana jika Anda sakit karena memaksakan diri menunggu disini?" tanya Park Sanggung dengan suara yang terdengar khawatir.
"Tolong, Park Sanggung. Suruh mereka pulang. Aku yakin Jusang Jeonha akan datang. Jika dia tidak bisa datang, dia akan menyuruh seseorang menyampaikan pesan itu kepadaku. Kasim Go tidak disuruh olehnya untuk menyampaikan pesan. Artinya Jusang Jeonha akan datang menemuiku," ucap Yoon Bo-kyung bersikeras. Dia pun berjalan mendekati pinggir jembatan dan menatap kolamdi bawahnya. Tangannya memegang erat kayu yang menjadi pegangan jembatan. Dia percaya Lee Hwon akan datang. Dia ingin mempercayainya.
Sumatera Utara, 25 Mei 2018
Pembaca yang kusayang,
Terimakasih untuk dukungan kalian selama ini. Seperti yang aku katakan sebelumnya kalau part sebelumnya adalah pemanasan untuk part ini. Jadi jawaban untuk pertanyaan apakah Nona Heo masih hidup maka part ini sudah menjawabnya. Dengan jujur aku katakan kalau aku pendukung Yoon Bo-kyung. Meskipun ujian hidupnya tidak sedikit, tetapi pada akhirnya dia akan bahagia.
Mengapa Yoon Bo-kyung ingin memberikan kaos kaki? Teman-teman bisa mengklik kolom komentar karena aku akan menyertakan link sehingga bisa langsung diakses. Biasanya sih bisa begitu. Namun, kalau tidak bisa maka silahkan teman2x mengklik alamat link yang saya tempelkan di papan percakapan/pengumumanku. Biar mudah. Hehehe....
Untuk teman-teman yang melompati part sebelumnya, aku meminta tolong setelah membaca part ini kembali lagi ke part sebelumnya dan membacanya meskipun sekilas. Aku tidak menuntut teman-teman untuk memberikan vote atau komentar, tetapi jumlah viewer (pembaca) yang berimbang antara semua part sangat meningkatkan semangatku menulis.
Mohon dukungan kalian. Terimakasih banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top