JANJI YANG TELAH TERUCAP
Yoon Bo-kyung berjalan diiringi oleh Nain yang melayaninya menuju Istana Gyeotaejeon. Hari sudah cukup larut ketika mereka berjalan menuju Istana Ratu. Wajah Yoon Bo-kyung terlihat pucat. Keringat dingin keluar dari dahinya lalu mengalir di pipinya. Tubuhnya pun sedikit gemetar.
"Jungjeon Mama, apakah Anda sanggup untuk berjalan ke Gyeotaejeon?" Park Sanggung berbicara dengan suara yang lirih kepada Yoon Bo-kyung. Wajahnya pucat dan suaranya sedikit gemetar karena panik.
"Tidak apa-apa. Sanggung. Aku sanggup," Yoon Bo-kyung menjawabnya dengan suara yang lirih.
"Saya sudah meminta Mirae memanggil Hwan Na-ri untuk memeriksa Anda. Saya yakin kalau dia sudah menunggu di Gyeotaejeon,"
"Terimakasih, Sanggung. Kamu jangan khawatir. Aku yakin kalau terjadi sesuatu maka Hwan Na-ri bisa menolongku," Yoon Bo-kyung berhenti berjalan dan berbalik lalu menatap wajah Sanggung yang setia melayaninya itu. Dia terlihat memaksakan diri untuk tersenyum.
"Apakah sebaiknya saya memberi tahu Jusang Jeonha tentang kondisi Anda ini?" Park Sanggung bertanya dengan sungguh-sungguh.
"Jangan. Hari ini adalah hari pengangkatan Sanggung Istimewa. Dia pasti akan bermalam di Istana Selir. Kita tidak boleh mengganggunya," Yoon Bo-kyung bicara dengan sungguh-sungguh.
"Tetapi kondisi Anda saat ini,"
"Jika kamu mengatakan hal ini kepada Jusang Jeonha, orang-orang akan mengetahui kondisiku dan hal itu akan membuat keadaan menjadi buruk. Apa yang aku hindari malah akan terjadi," tegur Yoon Bo-kyung dan Park Sanggung menundukkan kepalanya sejenak.
"Baik, Jungjeon Mama," Park Sanggung menjawab Ratu-nya itu dengan terpaksa. Dia mengigit bibirnya sendiri karena rasa cemasnya. Dia melihat sendiri bagaimana Yoon Bo-kyung terus menahan rasa sakit. Ratu-nya itu tersenyum kepada semua orang selama perjamuan berlangsung, tetapi tubuhnya sedikit gemetar. Beberapa kali Park Sanggung melihat Yoon Bo-kyung menggigit bibirnya sendiri karena rasa sakit yang dideritanya.
"Jungjeon Mama, mengapa Anda harus menderita seperti ini? Mengapa Langit terus memberikan ujian kepada Anda," ucap Park Sanggung di dalam hati. Dia menatap punggung Ratu-nya. Hatinya sangat sedih dan cemas sekaligus. Diikutinya langkah kaki Yoon Bo-kyung. Kali ini dia merasa kalau jarak Gyeotaejeon itu sangat jauh. Sehingga saat mereka tiba di sana, dirinya merasa sangat lega seperti orang yang baru tiba dari perjalanan yang sangat jauh. Hatinya menjadi lebih tenang lagi karena dia melihat Hwan Na-ri telah menunggu di Gyeotaejeon. Nain yang bertugas sebagai perawat itu segera berlari mendekati Yoon Bo-kyung. Wajahnya juga terlihat cemas.
"Jungjeon Mama, akhirnya Anda tiba," ucap Hwan Na-ri kepada Yoon Bo-kyung.
"Syukurlah kamu sudah disini, Na-ri," ucap Yoon Bo-kyung dengan suara yang lirih lalu jatuh tidak sadarkan diri. Untung saja, Hwan Na-ri yang berada di hadapannya dengan sigap menangkap tubuh Yoon Bo-kyung yang jatuh tidak sadarkan diri.
"Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung dengan setengah berteriak. Dalam waktu yang singkat, keadaan Istana Gyeotaejeon yang semula tenang menjadi gaduh.
***
"Bagaimana keadaan Jungjeon Mama, Na-ri?" Park Sanggung bertanya dengan hati yang penuh harap dan cemas. Hwan Na-ri baru saja memeriksa nadi Yoon Bo-kyung. Wajahnya menunjukkan keragu-raguannya dan kecemasannya. Saat dia memeriksa nadi Yoon Bo-kyung, beberapa kali dia menggelengkan kepalanya sendiri. Hwan Na-ri menghela nafas lalu menoleh kepada Park Sanggung.
"Kondisi Jungjeon Mama tidak baik, Sanggung. Seandainya masih ada racun yang tersisa, aku bisa memeriksa kandungan racun itu lalu membuat penawarnya. Namun, saat ini kita tidak memilikinya. Bahkan berdasarkan perhitunganku, empat jam sudah berlalu sejak Jungjeon Mama meminum the beracun itu. Racun itu mungkin sudah mulai menyebar," Hwan Na-ri memberi penjelasan. Park Sanggung menjadi semakin cemas. Dia mendekati tubuh Yoon Bo-kyung dan duduk di sampingnya. Dia mengambil tangan Ratu-nya itu dan menggenggamnya dengan erat.
"Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung dengan suara yang lirih. Dia pun menatap Hwan Na-ri.
"Jadi apa yang harus kita lakukan saat ini?" Park Sanggung bicara dengan nada panik. Hwan Na-ri menundukkan kepalanya sejenak. Dia pun menghela nafas.
"Kita harus memanggil Tabib Jang untuk ikut memberikan diagnosis, tetapi aku takut kalau hal itu akan membuat Istana menjadi ribut. Bukankah, Jungjeon Mama berpesan kalau kita harus menutupi keadaannya? Aku tidak berani melanggarnya," ucap Hwan Na-ri dengan suara yang lirih. Mereka berdua pun saling bertatapan.
"Apakah sebaiknya aku menemui Tabib Jang diam-diam?" Hwan Na-ri bertanya dengan hati penuh harap. Berharap kalau dayang senior itu akan menyetujui usulannya untuk menemui tabib Istana yang mendidiknya itu.
"Kamu benar, Na-ri. Pergilah dan jumpai Tabib Jang," Park Sanggung menyetujui tanpa berpikir lama. Hwan Na-ri pun segera mundur dari ruangan itu dan keluar dari Istana Gyeotaejeon.
"Mirae," Park Sanggung memanggil Nain muda yang didiknya. Nain muda itu mendekat.
"Iya, Sanggung,"
"Apakah kamu sudah menyuruh salah satu Nain untuk memakai pakaian Ratu dan berpura-pura sibuk di kamar depan?"
"Saya sudah melakukan apa yang Anda suruh, Sanggung,"
"Kamu harus memastikan bayangan Jungjeon Mama terlihat dari luar ruangan itu. Aku yakin Bunwongun Daegam (Ayah Ratu) akan menyuruh orang untuk mengamati keadaan Istana Gyeotaejeon," Park Sanggung bicara dengan berat hati.
"Kita harus berusaha untuk melaksanakan perintah Jungjeon Mama sebaik mungkin. Dia tidak mau kondisinya diketahui oleh orang di luar Istana Gyeotaejeon," Park Sanggung bicara dengan tegas. Dia ingat perkataan Yoon Bo-kyung di sela-sela jamuan tadi siang. Yoon Bo-kyung memintanya untuk menyembunyikan fakta kalau dia terkena racun.
'Aku juga sudah menyiapkan wasiat jika terjadi sesuatu yang buruk, Park Sanggung. Jika aku tidak bisa melewati hari ini dengan baik maka kamu harus menyerahkan surat itu kepada Jusang Jeonha,' Yoon Bo-kyung memberi perintah saat tidak ada orang yang memperhatikan mereka pada saat jamuan tadi siang.
"Saya sudah melakukan semuanya sesuai yang Sanggung perintahkan," Mirae menjawab dengan tegas.
"Sanggung, bagaimana keadaan Jungjeon Mama saat ini? Bukankah seharusnya kita mengatakan hal ini kepada Jusang Jeonha?" Mirae bertanya dengan hati penuh harap, tetapi Park Sanggung menggelengkan kepalanya.
"Jika Jusang Jeonha langsung kesini, akan banyak kecurigaan yang muncul," Park Sanggung menghela nafas.
"Aku tidak sanggup melihat Jungjeon Mama dalam keadaan seperti ini. Mengapa dia harus menderita seperti saat ini? Mengapa Jusang Jeonha tidak bisa melihat ketulusan Jungjeon Mama? Saat ini, Jusang Jeonha sedang bersenang-senang dengan perempuan itu sedangkan Jungjeon Mama berada dalam situasi antara hidup dan mati," Mirae mengatakan seluruh isi hatinya. Wajahnya merah dan air mata mengalir dari kedua matanya.
"Mirae, kamu tidak boleh menghina Jusang Jeonha,"
"Aku tidak menghinanya, Sanggung. Aku mengatakan hal yang sebenarnya," Mirae berucap dengan suara yang lirih. Park Sanggung menghela nafas. Dari tadi dia berusaha menguasai emosinya. Hatinya yang sakit membuatnya ingin menangis. Namun, saat ini Istana Gyetaejeon dalam kondisi yang genting. Jika dia terlihat panik di hadapan para Nain yang lebih muda darinya itu, maka para Nain itu pun akan ikut panik.
"Mirae, kamu tidak boleh berkata seperti itu. Saat ini, Jusang Jeonha memang masih menutup hatinya. Namun, kamu jangan lupa kalau manusia itu bukan batu. Jika batu saja bisa hancur oleh tetesan air yang menimpanya setetes demi setetes. Apalagi hati manusia. Kita harus menyemangati Jungjeon Mama untuk bertahan," Park Sanggung menatap wajah Yoon Bo-kyung yang pucat. Keringat dingin terus keluar dari dahinya.
"Suhu tubuh Jungjeon Mama sepertinya meningkat," Park Sanggung mengatakan apa yang dirasakannya dari genggaman tangannya. Dia segera memegang dahi Yoon Bo-kyung.
"Saya akan mengambil air dingin untuk mengompresnya," Mirae segera mundur dari ruangan dimana Yoon Bo-kyung berbaring. Park Sanggung menghela nafas. Dia hanya bisa menunggu dan berharap Na-ri segera datang dan memberi solusi untuk masalah yang sedang mereka hadapi.
***
"Apakah kali ini aku bisa pergi?" Yoon Bo-kyung bertanya kepada anak kecil yang sering menemuinya di dunia bawah sadarnya.
"Kamu tentu tahu jawabannya, bukan?" anak kecil itu bertanya balik kepadanya. Yoon Bo-kyung menghela nafas. Air mata mengalir dari kedua matanya. Dia memegang dadanya yang terasa sangat sakit.
"Aku tidak bisa bertahan lagi. Tidak ada satu pun yang menginginkanku? Ayahku sendiri tidak menyayangkan nyawaku. Suamiku pun pasti begitu. Aku mungkin hanyalah batu yang menghambatnya di dalam perjalanannya. Jika aku menghilang, itu akan membantunya, bukan?" Yoon Bo-kyung bicara dengan getir.
"Lalu pada akhirnya dia akan melupakan diriku," Yoon Bo-kyung melanjutkan perkataannya.
"Semua orang mungkin tidak menginginkanmu, tetapi Langit memperhatikanmu, kesedihanmu dan perjuanganmu," anak kecil itu bicara dengan pelan tetapi penuh keyakinan yang memberikan kehangatan di hati Yoon Bo-kyung.
"Namun, apakah sebenarnya yang sangat kamu inginkan saat ini? Benarkah kamu ingin menyerah?" anak kecil itu bertanya kepada Yoon Bo-kyung.
Yoon Bo-kyung terdiam. Dia menatap ke salah satu sisi jembatan dimana dia berdiri.
***
Hwan Na-ri memeriksa nadi Yoon Bo-kyung dengan seksama. Jantungnya berdegup sangat kencang. Hatinya semakin cemas bahkan rasa takut mulai menyerangnya. Kondisi Yoon Bo-kyung semakin memburuk. Dia pergi dari Gyeotejeon sebentar saja untuk menemui mentornya. Namun, begitu kembali, kondisi tubuh Yoon Bo-kyung menjadi lebih buruk dari pada kondisi sebelum dia pergi menemui Tabib Jang.
"Obat yang aku rebus," Hwan Na-ri bergumam sambil mengambil cawan yang berisi cairan obat yang direbusnya tadi. Dia meminumkannya perlahan kepada Yoon Bo-kyung.
"Hwan Na-ri, tubuh Jungjeon Mama menjadi dingin. Tadi badannya demam tinggi lalu sekarang suhu tubuhnya turun," Park Sanggung memberi tahu kondisi Yoon Bo-kyung sebelumnya. Hwan Na-ri mengerutkan dahinya.
"Jika suhu tubuhnya turun menuju suhu tubuh normal maka kita tidak perlu cemas. Yang aku takutkan adalah jika tubuh Jungjeon Mama turun drastis dan berada di bawah suhu tubuh normal," Hwan Na-ri memberi penjelasan.
"Apa yang harus kita lakukan untuk mencegah hal itu terjadi?"
"Tabib Jang tadi mengatakan kalau unsur Yin akan stabil jika bertemu unsur Yang. Dia juga berpesan jika tubuh Jungjeon Mama menurun dengan drastis maka kita harus meminta Jusang Jeonha yang berunsur Yang untuk menyeimbangkannya," Hwan Na-ri memberi penjelasan yang membuat Park Sanggung mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu saat Yoon Bo-kyung jatuh sakit. Pelukan Lee Hwon membantu kesembuhan Yoon Bo-kyung.
Akan tetapi, Park Sanggung ragu untuk menemui Raja-nya itu. Saat ini, banyak orang yang berada di Istana Selir. Dia yakin kalau ada penyusup Bunwongun Daegam diantara Nain yang bekerja di Istana Selir. Jika dia mendadak pergi kesana atau menemui Kasim Go, tentu akan muncul banyak kecurigaan yang dia hindari.
"Kita tidak mungkin mengatakan kondisi Jungjeon Mama kepada Jusang Jeonha saat ini. Mereka yang telah mengamati dan menunggu untuk menerkam akan segera bereaksi jika kita melakukannya. Orang-orangnya Bunwongun Daegam mungkin akan membuat kehebohan sehingga semua orang mengetahui kondisi Jungjeon Mama saat ini. Mereka masih diam karena Istana Gyetaejeon masih dalam keadaan tenang saat ini," Park Sanggung menjelaskan sebab akibat yang akan mereka hadapi. Hwan Na-ri menganggukkan kepalanya dengan berat hati. Perkataaan kepala dayang itu menurutnya masuk akal. Namun, kondisi Yoon Bo-kyung saat ini pun dalam kondisi yang sangat kritis.
"Aku tidak pernah menyangka kalau seorang ayah akan tega melakukan hal kotor semacam ini kepada putrinya sendiri," Mirae mengungkapkan rasa kesalnya.
"Kita sedikit beruntung karena Jungjeon Mama memiliki ramuan khusus penawar beragam racun. Dia bisa bertahan karena bubuk ramuan itu menghambat laju racun itu. Seharusnya, setelah meminum ramuan yang baru saja aku berikan maka keadaan Jungjeon Mama akan membaik secara perlahan. NAmun, tanpa unsur Yang maka usaha kita bisa menjadi sia-sia juga," keluh Hwan Na-ri.
"Kita harus menunggu sampai pagi hari. Saat Jusang Jeonha keluar dari Istana Selir maka kita bisa memberi tahu kondisi Jungjeon Mama kepadanya," Park Sanggung memberi keputusan. Mirae dan Na-ri saling bertatapan. Mereka berdua menganggap perkataan Park Sanggung adalah hal yang paling masuk akal untuk saat ini.
Akan tetapi, apakah Ratu mereka bisa bertahan sampai pagi? Seisi ruangan itu menjadi sangat cemas.
***
"Saya bersyukur kepada Langit karena memberiku kesempatan untuk bersama dengan Anda lagi, Jusang Jeonha," ucap Yeon Woo dengan suara yang terdengar riang. Dia duduk saling berhadapan dengan Lee Hwon. Meminum teh yang diracik oleh Yeon Woo sendiri.
"Aku juga," Lee Hwon tersenyum. Dia mengambil cawan dan meminum isinya perlahan. Dia menatap keluar melalui pintu yang terbuka, melihat bulan yang terlihat cerah di langit malam. Terlihat sangat indah. Dia menatap wajah Yeon Woo yang merupakan bulan di dalam hidupnya.
"Malam ini juga terasa sangat tenang dan membawa kedamaian," ucap Yeon Woo dan Lee Hwon menganggukkan kepalanya.
"Malam ini memang sangat tenang. Aku jarang merasakan ketenangan seperti saat ini," Lee Hwon bicara dengan lirih. Entah mengapa dia merasa tidak nyaman dalam suasana yang tenang ini. Apakah dia sudah terbiasa dengan hari penuh perdebatan sehingga tidak nyaman ketika dia berada dalam suasana tenang seperti saat ini.
"Tentu Anda merasa berat karena melewati banyak masalah belakangan ini. Terutama karena urusan pengangkatan Selir. Saya tidak menyangka kalau perempuan itu dengan cepat menyetujui pengangkatan Selir dan melaksanakan perjamuan untuk pengangkatanku," Yeon Woo bicara dengan suara yang pelan. Lee Hwon menatap bulan di luar lagi.
"Aku juga tidak menyangka kalau dia akan segera memberi persetujuan. Bagaimana sikapnya tadi? Apakah dia terlihat tenang?"
"Aku tidak yakin. Dia sering tersenyum ketika bertemu dan berbicara dengan orang-orang sejak pagi hari. Setelah aku memberikan minuman sebafai tanda hormat kepadanya, sikapnya sedikit berubah. Dia memang tetap tersenyum, tetapi terlihat sedikit terpaksa," Yeon Woo menghela nafas lalu menuang teh lagi ke dalam cawan Lee Hwon dan cawannya sendiri.
"Menurutku hal itu wajar saja. Anda mengatakan kalau perempuan itu mengungkapkan perasaan cintanya kepada Anda, bukan? Melihat laki-laki yang dia cintai akan memiliki perempuan lain disisinya, tentu sangat berat baginya," Yeon Woo bicara lambat. Wajahnya terlihat sedih.
"Hal itulah yang aku alami saat tahu kalau Anda telah menikah dengannya. Saat Anda harus bertemu dengannya, hatiku juga terasa sangat sakit," Yeon Woo meneteskan air matanya. Lee Hwon segera menggenggam tangan Yeon Woo untuk menenangkan perempuan yang dia cintai itu.
"Bersabarlah, semua orang akan kembali ke posisinya masing-masing. Apa yang berada di Langit akan tetap berada di Langit. Apa yang berada di Bumi akan tetap berada di Bumi," Lee Hwon mencoba menenangkan Yeon Woo dan perempuan itu pun menganggukkan kepalanya.
"Apakah Anda sama sekali tidak memiliki perasaan untuknya, Jeonha?" Yeon Woo bertanya dengan lambat dan Lee Hwon menggelengkan kepalanya sebagai jawabannya.
"Aku memilikimu di hatiku, aku tidak memiliki perasaan apapun untuknya," Lee Hwon bicara dengan datar.
"Apakah kamu meragukan aku, Suk-won?" Lee Hwon balik bertanya. Yeon Woo tersenyum dan menggelengkan kepalanya perlahan.
"Anda telah bersama dengannya selama bertahun-tahun. Apalagi Anda berkata kalau dia bekerja sama dengan Anda untuk melawan Bunwongun Mama. Seorang anak perempuan melawan ayahnya demi suaminya, bukankah hal itu sangat berat?" Yeon Woo mengungkapkan pemikirannya. Lee Hwon terdiam sejenak. Apakah dia pernah memikirkan hal itu?
"Jika dia melakukannya hanya demi tahta, saya tidak merasa takut. Saya yakin Anda tidak akan terpengaruh karena Anda membenci karakter seperti itu. Namun, dia sekarang mengatakan kalau dia melakukannya karena mencintai Anda. Apakah Anda tidak terpengaruh?" Yeon Woo melanjutkan pertanyaannya.
"Aku meragukan perasaan cintanya. Dia melakukannya hanya untuk membuatku bersimpati kepadanya," Lee Hwon memberi jawabannya.
"Syukurlah jika Anda berpikir seperti itu," Yeon Woo berkata dengan suara yang terdengar ragu. Lee Hwon menghela nafas.
"Kamu tentu sangat lelah karena perjamuan tadi, Suk-won. Kamu tidurlah lebih dulu! Aku ingin berjalan-jalan sebentar di luar," ucap Lee Hwon sambil berdiri, tetapi Yeon Woo menarik tangannya.
"Sebaiknya, saya menemani Anda,"
"Tidak, Suk-won. Kamu tidurlah lebih dulu. Sebentar lagi, aku akan kembali ke sini," Lee Hwon melepas tangan Yeon Woo dan tersenyum kepada perempuan cantik itu. Yeon Woo dengan berat hati melepas tangan Lee Hwon.
Lee Hwon segera keluar dari Istana Selir. Awalnya dia hanya berjalan di pelataran Istana Selir. Setelah merasakan angin malam yang sejuk, hatinya mulai tenang. Dia hendak masuk ke dalam Istana Selir, tetapi seekor kupu-kupu putih terbang mendekatinya. Kupu-kupu itu terbang dan mengelilingnya. Terlihat berusaha menarik perhatiannya.
Kupu-kupu itu akhirnya hinggap di pundak Lee Hwon.
"Aku melihat kupu-kupu putih dan aku ingin meraihnya," ucapan Yoon Bo-kyung terngiang.
Lee Hwon ingat hari dimana dia melihat perempuan yang menjadi istrinya itu berdiri di atas pagar jembatan. Perempuan itu jatuh ke dalam kolam dan dia terpaksa terjun ke dalam kolam untuk menolongnya. Dia saat itu memarahinya dan menganggap kalau Yoon Bo-kyung sedang berusaha menarik perhatiannya. Yoon Bo-kyung berkata kalau dia melihat kupu-kupu putih sebagai alasan dia jatuh.
"Ini pertama kalinya melihat kupu-kupu putih sepertimu. Aku pikir perempuan itu berbohong kalau dia melihat kupu-kupu putih karena menurutku kupu-kupu putih sepertimu itu tidak ada," ucap Lee Hwon sambil menjepit sayap kupu-kupu itu perlahan dan mengangkatnya dari atas pundaknya. Dia melihat kupu-kupu itu dan merasa konyol sendiri karena berbicara dengan seekor serangga.
Lalu angin berhembus dengan kencang, membuat Lee Hwon melepas pegangannya karena melindungi matanya sebentar. Angin kencang itu hanya lewat sekali. Lee Hwon membuka matanya dan melihat kupu-kupu putih itu terbang perlahan. Lee Hwon awalnya ingin membiarkannya saja, tetapi kupu-kupu itu kembali mendekatinya seakan menggodanya untuk menangkapnya.
Lee Hwon tersenyum. Untuk pertama kalinya dia melihat prilaku serangga seperti saat ini. Dia mencoba menangkapnya dan seperti dugaannya kupu-kupu itu terbang menjauh. Lee Hwon menghela nafas.
"Baiklah, aku butuh sedikit olah raga. Tidak ada salahnya menangkap serangga di malam hari," Lee Hwon tersenyum dan berpura-pura mencoba menangkap kupu-kupu itu.
Kupu-kupu itu menjauh dan mendekatinya berulang kali. Seperti benang yang menerbangkan layang-layangan. Benang itu ditarik dan diulur berulang kali agar laying-layangan terbang tinggi. Lee Hwon merasa seperti layang-layangan itu. Ditarik dan diulur oleh kupu-kupu putih itu.
Lee Hwon tidak sadar kalau dia berjalan mendekati Istana Gyeotaejeon. Tidak ada orang yang bertemu dengannya dalam perjalanan itu. Kupu-kupu itu seakan mengarahkannya berjalan melalui jalan-jalan yang tidak biasa dimana orang jarang melewatinya. Lee Hwon berhasil menangkap kupu-kupu itu ketika dia memasuki gerbang Istana Gyeotaejeon. Seorang dayang yang melihatnya masuk segera berlari masuk ke dalam bangunan Istana sambil berteriak.
"Jusang Jeonha tiba!" teriakan dayang itu membuat Lee Hwon tersentak dan kupu-kupu itu pun lepas dari tangannya. Terbang menuju langit. Lee Hwon terkejut karena dia sudah berada di halaman Istana Gyeotaejeon. Park Sanggung berlari dengan kencang menghadapnya. Dayang senior itu melupakan tata karma dan tidak memberi hormat. Dia menarik tangan Lee Hwon tanpa ragu.
"Syukurlah Anda datang, Jungjeon Mama membutuhkan Anda," ucap Park Sanggung. Lee Hwon yang terkejut karena sikap yang tidak biasa dari Park Sanggung, menurut begitu saja.
"Membutuhkan? Maksudmu?" Lee Hwon bertanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Park Sanggung tidak menjawab, tetapi membuka pintu di hadapan mereka. Saat pintu terbuka, Lee Hwon melihat Yoon Bo-kyung. Perempuan itu berbaring di atas sebuah futon. Wajahnya sangat pucat. Bibirnya sedikit biru. Seperti orang yang jatuh kedalam air es.
Lee Hwon mendekati tubuh Yoon Bo-kyung dengan cepat. Dipegangnya tangan Yoon Bo-kyung. Tangan istrinya itu sangat dingin.
"Apa yang terjadi?" Lee Hwon bertanya dengan panik. Dia merasa sesak nafas.
"Bunwongun Mama meracuni Jungjeon Mama dengan racun dingin," Park Sanggung bicara dengan terbata-bata. Setelah menahan emosinya berjam-jam, akhirnya dia menangis.
Lee Hwon tersentak mendengar jawaban itu. Dadanya terasa sangat sesak. Diangkatnya tubuh Yoon Bo-kyung dan memangkunya. Berharap panas tubuhnya dapat menghangatkan tubuh perempuan yang perlahan menjadi dingin itu. Dia mendekati wajahnya kepada wajah Yoon Bo-kyung dengan cemas. Takut kalau tidak ada lagi nafas yang berhembus. Hatinya sedikit tenang setelah merasakan hembusan nafas Yoon Bo-kyung.
"Jungjeon Mama melarang kami mengatakan hal ini kepada Anda, Jusang Jeonha, karena dia takut kalau Kim Suk-won akan dituduh sebagai pemberi racun oleh Bunwongun Mama," Park Sanggung memberi penjelasan sambil menyeka air matanya sendiri.
"Saya ingin Anda bahagia, apapun akan saya lakukan untuk kebahagiaan Anda," ucapan Yoon Bo-kyung terngiang di telinga Lee Hwon, membuatnya semakin mendekap tubuh istrinya itu.
"Keadaan Jungjeon Mama kritis, Jusang Jeonha," Hwan Na-ri bicara dengan terbata-bata.
"Tidak. Kamu tidak boleh pergi dengan cara seperti ini. Aku tidak bisa menerima keputusan bodohmu ini," ucap Lee Hwon di dalam hati.
"Dia harus mendapatkan unsur Yang. Anda harus memeluknya hingga pagi sehingga Jungjeon Mama memiliki kekuatan untuk melawan racun di dalam tubuhnya," Hwan Na-ri bicara dengan terburu-buru.
"Namun, sepertinya saat ini semua sudah terlambat," Hwan Na-ri berkata lirih. Lee Hwon menatapnya dengan tajam. Dia tidak bisa menerima perkataan Hwan Na-ri.
"Tidak. Aku tidak bisa menerima perkataanmu. Panggil Tabib Istana!"
"Jungjeon Mama berpesan kalau tidak boleh ada seorang pun yang tahu keadaannya karena Bunwongun Daegam menunggu saat itu terjadi lalu menghancurkan semua usaha kalian," Park Sanggung berkata dengan lirih.
"Kalian keluar!" Lee Hwon berkata dengan suara yang dalam dan membuat seisi ruangan itu terkejut. Namun, tidak ada yang beranjak dari ruangan itu.
"Keluar!" Lee Hwon mengulang perkataannya itu.
"Jusang Jeonha, keadaan Jungjeon Mama saat ini," Hwan Na-ri mencoba memberi penjelasan.
"Kamu bilang, Jungjeon membutuhkan unsur Yang, bukan?"
"Namun, saat ini semua sudah terlambat," Hwan Na-ri menyanggah. Air matanya juga mengalir.
"Kamu seorang tabib yang dipercayai oleh Jungjeon. Seorang tabib tidak boleh menyerah. Dia juga harus berjuang sampai akhir. Aku juga tidak akan menyerah. Dia harus bertahan," Lee Hwon berkata dengan tegas. Hwan Na-ri terkejut mendengar perkataan Raja-nya. Dia seakan tersentak.
"Anda benar, saya seorang Tabib. Tidak boleh menyerah," gumam Hwan Na-ri.
"Saya akan membuat ramuan berbeda," Hwan Na-ri segera keluar dari ruangan dimana Yoon Bo-kyung berbaring.
Lee Hwon terus memeluk tubuh Yoon Bo-kyung. Tidak lama mereka menunggu, Hwan Na-ri masuk dengan ramuan yang berbeda. Ramuan itu disendokkan ke dalam mulut Yoon Bo-kyung sedikit demi sedikit. Setelah ramuan itu habis, semua orang yang berada di ruangan itu pergi.
Lee Hwon membaringkan tubuh Yoon Bo-kyung di atas futon lalu melepas pakaian luarnya sehingga tertinggal sok-got, demikian juga dirinya sendiri. Dia berbaring di sebelah Yoon Bo-kyung dan memeluknya dengan erat di balik selimut yang tebal.
"Yoon Bo-kyung, aku tidak akan memaafkanmu jika kamu meninggal dengan cara seperti ini. Kamu berjanji untuk mengalahkan ayahmu, bukan? Kamu berjanji kalau kamu ingin aku bahagia, bukan? Jika kamu tidak berusaha untuk hidup, aku tidak mempercayai semua janjimu itu," ucap Lee Hwon dengan suara lirih di dekat telinga Yoon Bo-kyung lalu memperat pelukannya.
***
Dear teman-temanku yang aku sayang,
Aku berterimakasih untuk dukungan yang diberikan oleh teman-teman. Aku meminta maaf untuk keterlambatan ini. Banyak masalah yang saya alami, termasuk rusaknya gadget yang aku miliki, yang biasa aku gunakan untuk membuat karya tulis. Kabar buruknya, benda tersebut tidak bisa digunakan lagi. Kabar baiknya, kekacauan itu membuatku bisa menemukan ide yang lebih baik untuk part ini dan lebih baik dari rencanaku sebelumnya untuk part ini.
Medan, 30 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top