HATI YANG BIMBANG
Lee Hwon menggendong tubuh Yoon Bo-kyung yang jatuh tidak sadarkan diri dengan kedua tangannya. Dia membawa istrinya itu ke dalam ruang tidurnya. Para dayang menjadi panik. Sayup Lee Hwon bisa mendengar Park Sanggung berteriak menyuruh seseorang memanggil Tabib.
“Silahkan, Jusang Jeonha,” ucap seorang Nain setelah memasang Futon di ruanh tidur Yoon Bo-kyung. Lee Hwon dengan hati-hati membaringkan istrinya itu di atas Futon itu. Dirabanya dahi Yoon Bo-kyung.
“Panas sekali,” keluh Lee Hwon.
“Permisi, Jusang Jeonha. Saya harus mengompres Jungjeon Mama,” ucap Nain yang lain. Nain itu dengan terburu-buru membawa mangkuk porselin besar yang berisi air dengan potongan es . Tanpa menunggu persetujuan Lee Hwon, Nain itu segera memasukkan kain tipis ke dalam mangkuk itu, memerasnya lalu meletakkannya di atas dahi Yoon Bo-kyung. Nain yang lain datang langsung melepas kaus kaki Yoon Bo-kyung dan menyekanya juga dengan air es. Lee Hwon mundur dan berdiri di salah satu sudut ruangan supaya para nain bebas bergerak.
“Jungjeon Mama, bertahanlah! Tabib akan segera datang,” ucap Park Sanggung yang datang belakangan. Langsung saja dayang senior itu memegang tangan Yoon Bo-kyung dengan panik.
“Park Sanggung, Tabib akan segera datang,” ucap Nain. Lee Hwon memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan sedikit rasa takjub. Semua orang terlihat begitu mencemaskan keadaan Yoon Bo-kyung. Tidak ada yang mempedulikan kehadirannya si tempat itu. Fokus mereka hanya kepada Yoon Bo-kyung saja.
“Park Sanggung, saya datang,” ucap seorang Nain dengan pakaian nain perawat. Tiba-tiba masuk ke ruang tidur Yoon Bo-kyung.
“Syukurlah, Nari-ya!” ucap Park Sanggung dan nain yang datang itu langsung mendekati Yoon Bo-kyung dan memeriksa urat nadinya. Sama seperti yang lain, nain perawat itu tidak mempedulikan kehadiran Lee Hwon. Perhatiannya terpusat kepada Yoon Bo-kyung. Sampai-sampai dia tidak memberi salam kepada Lee Hwon.
“Kepala Tabib dimana?” tanya Park Sanggung dan Nain bernama Nari itu menggelengkan kepalanya.
“Kepala Tabib Min langsung langsung membuat ramuan obat setelah mendengar Jungjeon Mama tidak sadarkan diri lagi. Dia menyuruhku langsung memeriksa keadaan Jungjeon Mama dan melakukan tindakan pertama,” ucap Nari sambil melepas pakaian Yoon Bo-kyung. Lee Hwon merasa tidak nyaman dan pura-pura batuk. Namun, dayang itu tidak peduli dan terus berusaha melepas pakaian Yoon Bo-kyung.
“Hwan Nari,” tegur Park Sanggung sambil memegang tangan Hwan Nari yang sedang melepas pakaian luar Yoon Bo-kyung. Nain perawat itu menatap Park Sanggung dengan raut tidak mengerti. Park Sanggung memutar sedikit kepalanya, memberi kode. Perlahan Hwan Nari melihat ke arah yang ditunjuk Park Sanggung. Seketika wajahnya memucat karena menyadari Lee Hwon berada di ruangan itu. Sedang berdiri di salah satu sudut ruangan.
“Maafkan kelancangan saya, Jusang Jeonha. Saya tidak menyadari kehadiran Anda,” ucap Hwan Nari dan seketika sujud memberi hormat kepada Lee Hwon.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Lee Hwon dengan suara setenang mungkin. Memutuskan dalam hati untuk tidak memperpanjang masalah ketidak sopanan dayang perawat itu. Saat ini kondisi Yoon Bo-kyung jadi prioritas utama.
“Demam Jungjeon Mama lebih tinggi dari tadi pagi. Saya harus membuka seluruh pakaiannya untuk mendinginkan tubuhnya. Jika demamnya tidak turun juga, organ dalamnya bisa rusak,” ucap Hwan Nari dengan suara yang menyiratkan kecemasan. Lee Hwon menganggukkan kepalanya. Ditatapnya lagi wajah Yoon Bo-kyung.
“Uruslah Jungjeon dengan baik,” ucap Lee Hwon dan Hwan Nari menganggukkan kepalanya. Hwan Nari kembali melepas pakaian Yoon Bo-kyung. Lee Hwon merasa tidak nyaman. Satu sisi dia cemas, tetapi di sisi lain dia merasa tidak nyaman melihat Hwan Nari melepas pakaian istrinya. Dia pun menyerah dan keluar dari ruang tidur tanpa kata-kata setelah Hwan Nari melepas sok-got istrinya itu.
“Bagaimana ini? Aku ingat saudariku meninggal karena demam tinggi,” ucap seseorang di luar ruang tidur Yoon Bo-kyung. Lee Hwon yang tidak sengaja mendengar menjadi cemas. Dia ingat dengan saudari perempuannya yang meninggal bertahun-tahun yang lalu karena demam tinggi.
“Akh, mengapa aku secemas ini? Sejak aku tahu dia sakit, aku khawatir. Bukankah seharusnya aku tidak sekhawatir ini setelah mendengar cerita Yeon Woo?” keluh Lee Hwon di dalam hati. Dia ingat Yeon Woo menceritakan pristiwa boneka sihir yang membuat dia dan keluarganya menderita. Yeon Woo dengan yakin mengatakan kalau Yoon Bo-kyung pasti terlibat dalam pristiwa itu. Setelah mendengarnya, Lee Hwon langsung marah. Kebenciannya kepada Yoon Bo-kyung kembali membara.
“Seharusnya aku merasa biasa saja melihatnya dalam kondisi seperti ini,” keluh Lee Hwon lagi di dalam hati. Bingung dengan perasaannya yang seketika berubah.
“Seharusnya kita memaksa Jungjeon Mama kembali ke Gyeotaejeon tadi malam,” keluh Nain yang lain.
“Kita memaksa pun, tidak akan ada gunanya. Jungjeon Mama bersikeras menunggu Jusang Jeonha. Sekalipun salju menerpanya. Dia tidak peduli,” balas nain yang lain. Percakapan itu membuat hati Lee Hwon sakit.
Istrinya itu ternyata menunggunya semalaman di atas jembatan kolam Istana. Menahan udara angin dingin yang menerpanya. Terus berdiri disana. Yakin kalau suaminya akan datang menemuinya sesuai janji.
“Mengapa kamu menungguku sampai seperti ini?” tanya Lee Hwon di dalam hati sambil menatap pintu ruang tidur Yoon Bo-kyung yang tertutup. Sekarang dia tahu penyebab Yoon Bo-kyung sakit. Semua karena dirinya. Rasa sesal muncul di hatinya. Seharusnya dia memberi kabar kepada Yoon Bo-kyung kalau dia tidak jadi datang. Seharusnya dia mengirim pesan supaya Yoon Bo-kyung kembali ke Istana Gyeotaejeon saja.
“Salam kepada Jusang Jeonha,” ucap sebuah suara dan Lee Hwon menoleh ke arah suara itu. Kepala Tabih Min telah datang. Dua orang dayang mengikutinya. Masing-masing membawa nanmpan dengan cawan di atasnya. Lee Hwon menganggukkan kepalanya.
“Kalian berdua masuklah. Berikan obat ini kepada Hwan Nari,” ucap Kepala Tabib Min kepada kedua dayang perawat yang berdiri di belakangnya. Keduanya mengangguk dan masuk ke dalam ruang tidur Yoon Bo-kyung. Tidak lama kemudian, dua dayang perawat itu keluar dari ruang tidur dengan nampan berisi cawan kosong. Hwan Nari pun keluar dari ruang tidur itu. Membungkukkan badannya kepada Lee Hwon dan Kepala Tabib Min.
“Bagaimana kondisi Jungjeon Mama?” tanya Kepala Tabib Min. Hwan Nari menganggukkan kepalanya sebelum menjawab.
“Panasnya lebih tinggi dari tadi pagi, Kepala Tabib. Saya langsung melepas seluruh pakaian Jungjeon Mama. Saya juga menyuruh nain di dalam untuk menyeka tubuh Jungjeon Mama dengan air dingin. Prioritas pertama adalah menurunkan suhu tubuhnya,” ucap Hwan Nari.
“Ganti air dingin dengan air biasa, Hwan Nari. Jangan sampai suhu tubuh Jungjeon Mama turun drastis. Hal itu sama berbahayanya,” ucap Kepala Tabib Min dan Hwan Nari menganggukkan kepalanya.
“Baik, Kepala Tabib Min,” ucap Hwan Nari dan kembali masuk ke dalam ruang tidur Yoon Bo-kyung. Kepala Tabib pun mendekati Lee Hwon.
“Apa dia dalam bahaya?” tanya Lee Hwon dan Kepala Tabib Min terlihat enggan menjawab.
“Banyak orang menyepelekan demam, Jusang Jeonha. Akan tetapi demam tinggi bisa memberi dampak yang serius. Kebutaan, bisu, kelumpuhan bahkan kematian bisa terjadi jika penanganannya tidak tepat,” ucap Kepala Tabib Min setelah diam beberapa saat. Penjelasannya itu membuat Lee Hwon semakin cemas.
“Seperti Minhwa Gongju? Saudari perempuanku?” tanya Lee Hwon yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Kepala Tabib Min.
“Namun, Anda jangan khawatir, Jusang Jeonha. Kami akan hati-hati merawat Jungjeon Mama,” ucap Kepala Tabib Min.
“Bagaimana aku tidak khawatir? Kamu bilang kematian bisa terjadi,” ucap Lee Hwon tanpa bisa menahan rasa kesal dan cemas yang bercampur aduk di dalam hatinya.
“Kami akan berusaha sebaik-baiknya, Jusang Jeonha,” ucap Kepala Tabib sambil membungkukkan badannya. Pintu ruang tidur Yoon Bo-kyung terbuka. Park Sanggung keluar dan langsung menutup pintu itu kembali. Park Sanggung langsung membungkukkan tubuhnya di hadapan Lee Hwon.
“Jusang Jeonha, maafkan saya!” ucap Park Sanggung setelah membungkukkan badannya.
“Anda tentu sangat lelah. Saya dan seisi Gyeotaejeon akan menjaga Jungjeon Mama. Anda jangan sampai sakit,” ucap Park Sanggung. Lee Hwon tahu dari perkataannya, dayang senior itu memintanya pergi secara halus.
“Park Sanggung, aku rasa aku akan menunggunya sampai sadar,” ucap Lee Hwon.
“Jika Anda jatuh sakit, Daebi Mama dan Wang Daebi Mama akan menyalahkan Jungjeon Mama,” ucap Park Sanggung. Lee Hwon mengernyitkan hidungnya. Merasa tidak nyaman dengan sikap dayang senior di hadapannya. Jelas sekali, Park Sanggung memintanya pergi.
“Baiklah! Kalian harus memastikan kondisinya membaik. Jika tidak, aku akan menghukum seisi Gyeotaejeon ini,” ucap Lee Hwon dan segera berjalan menuju pintu keluar Istana Gyeotaejeon. Kasim Go yang berdiri di salah satu lorong Istana segera mengikuti Lee Hwon dari belakang.
“Saya dengar dari nain di Gyeotaejeon kalau Jungjeon Mama menunggu Anda tadi malam sampai lewat tengah malam,” ucap Kasim Go dari belakang ketika mereka sudah keluar dari Istana Gyeotaejeon.
“Anda tidak usah cemas, Jungjeon Mama akan baik-baik saja,” lanjut Kasim Go membuat Lee Hwon menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Kasim Go.
“Apakah aku terlihat cemas?” tanya Lee Hwon dan Kasim Go menganggukkan kepalanya. Membuat Lee Hwon terkejut.
“Apakah aku terlihat cemas?” ulang Lee Hwon yang dijawab Kasim Go dengan menganggukkan kepalanya lagi. Lee Hwon menarik nafas dalam-dalam.
“Seharusnya aku tidak secemas ini. Namun, perasaan itu muncul begitu saja,” ucap Lee Hwon dengan jujur mengungkapkan kebingungannya.
“Mungkin karena Jusang Jeonha sudah memberi tempat di hati Anda untuk Jungjeon Mama,” ucap Kasim Go lirih dan ucapannya itu membuat Lee Hwon terkejut.
“Itu tidak mungkin,” ucap Lee Hwon dan berbalik. Mendengar ucapan Kasim Go, hatinya menjadi kesal. Dipercepatnya langkah kakinya karena kesal.
“Memiliki tempat di hatiku? Yang benar saja! Tidak akan pernah. Aku tidak akan pernah membuka hatiku untuk perempuan itu. Hatiku hanya punya tempat untuk Heo Yeon Woo saja,” keluh Lee Hwon di dalam hati.
“Kemana kita pergi, Jusang Jeonha? Apakah kita kembali ke Gangnyeongjeon?” tanya Kasim Go dengan suara terputus-putus karena mengejar Lee Hwon. Lee Hwon berhenti sejenak.
“Kamu ikuti aku saja!” keluh Lee Hwon. Dia pun melangkahkan kakinya menuju kediaman Selir. Ingin membuktikan kalau ucapan Kasim Go itu salah. Namun, ketika dia sudah berada di dekat tempat yang ditujunya, perasaannya kembali bimbang. Wajah Yoon Bo-kyung yang menangis terngiang di benaknya.
“Bahkan Anda tidak menganggapku sebagai rekan,” ucapan Yoon Bo-kyung ikut terngiang.
Lee Hwon menghentikan langkah kakinya. Menatap langit yang kelam. Butiran salju turun perlahan. Menyentuh wajahnya. Memberi sensasi dingin.
“Jusang Jeonha, salju turun. Sebaiknya kita bergegas,” ucap Kasim Go, tetapi Lee Hwon tidak juga melangkahkan kakinya. Percakapan Nain di Gyeotaejeon kembali terngiang.
“Jungjeon Mama sampai tengah malam menunggu Jusang Jeonha..,”
Udara dingin semakin terasa. Menembus pakaian yang dikenakan Lee Hwon. Membuat Lee Hwon sedikit menggigil.
“Dia menungguku dalam situasi seperti ini. Menahan dingin untuk menungguku,” ucap Lee Hwon lirih. Hatinya sakit sesaat. Seakan ada jarum yang baru saja menusuk hatinya dengan cepat.
Lee Hwon menghela nafas. Berbalik menatap Kasim Go yang berada di belakangnya. Kasim itu terlihat bingung.
“Kita kembali ke Gyeotaejeon,” ucap Lee Hwon membuat Kasim Go mengernyitkan dahinya.
“Aku tidak menyukainya. Namun, dia adalah rekanku. Jika aku pergi ke kediaman Selir maka orang-orang di pihaknya akan menganggapku tidak berperasaan dan bisa saja berbalik melawanku,” ucap Lee Hwon dengan suara nyaris berbisik kepada Kasim Go.
“Saya mengerti Jusang Jeonha,” ucap Kasim Go dan tersenyum.
Lee Hwon menatap kediaman Selir sejenak sebelum melangkahkan kakinya kembali ke kediaman istrinya. Dia melangkahkan kakinya dengan berat. Jalannya lambat dan perasaannya campur aduk.
Park Sanggung yang sedang berdiri di depan Istana Gyeotaejeon, menunjukkan raut wajah terkejut ketika melihat Lee Hwon kembali ke Istana Gyeotaejeon. Dengan terburu-buru perempuan itu menyambutnya dan kembali memberi salam dengan membungkukkan separuh tubuhnya.
“Anda akan bermalam disini, Jusang Jeonha?” tanya Park Sanggung dengan suara yang menunjukkan keraguan.
“Iya, Sanggung,” ucap Lee Hwon tetapi Park Sanggung tidak senang.
“Daebi Mama dan Wang Daebi Mama akan marah kalau Anda sampai tertular penyakit Jungjeon Mama,” ucap Park Sanggung.
“ Mereka tidak akan marah kalau aku tidak tertular, bukan? Tenang saja! Aku jarang sakir.t. Lagipula Jungjeon sakit karena menungguku semalaman tadi malam,” ucap Lee Hwon dan Park Sanggung menganggukkan kepalanya dengan ragu.
“Anda tahu kalau Jungjeon Mama menunggu Anda semalaman, Jusang Jeonha?” tanya Park Sanggung dengan suara lirih. Lee Hwon menganggukkan kepalanya.
“Dia sakit karena menungguku jadi tidak salah jika aku menemaninya malam ini,” ucap Lee Hwon sambil menatap Park Sanggung tajam. Dayang senior itu menganggukkan kepalanya.
“Saya akan mempersiapkan segala sesuatunya,” ucap Park Sanggung dan dengan pelan mundur dari hadapan Lee Hwon. Lee Hwon melangkahkan kakinya masuk ke dalam Istana Gyeotaejeon. Sayupndidengarnya suara Park Sanggung menyuruh para dayang mempersiapkan air mandi untuknya dan pakaian yang baru.
Lee Hwon berjalan menuju ruang tidur Yoon Bo-kyung. Hatinya sesaat kembali ragu saat menyentuh pintu ruang tidur itu. Ditariknya nafasnya dalam-dalam. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau tindakannya kali ini hanya untuk meyakinkan Yoon Bo-kyung kalau tidak ada yang akan mengambil posisi Ratu darinya. Juga untuk membuat Yoon Bo-kyung yakin kalau mereka ada di pihak yang sama.
Lee Hwon membuka ruang tidur itu. Melihat Hwan Nari masih disana menjaga Yoon Bo-kyung yang masih belum sadarkan diri. Hwan Nari segera memberi hormat kepada Lee Hwon. Lee Hwon pun duduk di samping Yoon Bo-kyung. Meletakkan telapak tangannya di atas kening istrinya itu. Meraba untuk mengetahui demam istrinya sudah hilang atau belum.
“Demam Jungjeon Mama sudah mulai turun, Jusang Jeonha. Obat yang diberikan Kepala Tabib Min sudah menunjukkan efek yang baik untuk tubuh Jungjeon Mama,” ucap Hwan Nari dan Lee Hwon menganggukkan kepalanya.
“Jusang Jeonha, maafkan saya. Para nain telah mempersiapkan air dan pakaian untuk Anda,” ucap Park Sanggung tiba-tiba dari balik pintu. Lee Hwon menganggukkan kepalanya, berdiri kemudian mengikuti Park Sanggung menuju ruangan dimana dayang itu mempersiapkan segala sesuatunya.
***
“Apakah aku sudah bisa pergi kesana dan bertemu dengan Seu-ri?” tanya Yoon Bo-kyung kepada anak kecil yang berdiri di sebelahnya. Mereka sedang berdiri di atas jembatan. Sebuah kolam luas berada di bawah mereka. Yoon Bo-kyung bertanya sambil menunjuk ujung jembatan yang bercahaya.
“Belum,” jawab anak kecil itu dengan singkat. Yoon Bo-kyung menoleh kepada anak kecil di sebelahnya. Anak kecil itu juga menoleh dan menatapnya.
“Aku sudah lelah,” ucap Yoon Bo-kyung dengan air mata yang menetes dari kedua matanya.
“Aku tahu,” ucap anak kecil itu.
“Mengapa cinta itu sesakit ini? Bukankah cinta adalah sesuatu yang menyenangkan?” protes Yoon Bo-kyung.
“Menurutmu cinta itu apa?” tanya anak kecil itu. Yoon Bo-kyung terdiam. Pertanyaan anak kecil itu membuatnya terkejut.
“Jawabannya adalah jembatan ini,” ucap anak kecil itu lagi. Yoon Bo-kyung tidak mengerti.
***
“Jusang Jeonha, Anda yakin untuk beristirahat disini?” tanya Park Sanggung lagi kepada Lee Hwon yang sedang duduk di ruang tidur Yoon Bo-kyung.
Lee Hwon menatap dayang senior di Istana istrinya tinggal itu dengan kesal. Entah berapa kali dia mendapat pertanyaan yang sama sejak dia melangkah kakinya kembali ke Istana Gyeotaejeon. Setelah membersihkan diri dan setelah makan malam, pertanyaan itu diucapkan Park Sanggung kepadanya.
Bukan saja Park Sanggung yang berulang kali bertanya. Kasim Go pun melakukan hal yang sama. Membuatnya merasa kesal, tetapi dia enggan untuk memarahi dua orang yang selalu terlihat cemas itu.
“Park Sanggung. Aku akan disini bersama Jungjeon,” ucap Lee Hwon tegas.
“Saya dan para nain ada di depan pintu,” ucap Park Sanggung dan Lee Hwon menganggukkan kepalanya. Park Sanggung pun keluar dari ruang tidur itu.
Perlahan Lee Hwon melepas pakaian luarnya. Kini dia hanya mengenakan Sok-got berbahan katun yang tebal. Dia kembali duduk di sebelah Yoon Bo-kyung. Memperhatikan wajah istrinya yang pucat. Istrinya itu telah mengenakan Sok-got dan ditutupi selimut sampai menutupi dada. Setelah demamnya turun, Hwan Nari segera memakaikan Sok-got kepada Yoon Bo-kyung.
Perlahan Lee Hwon meletakkan punggung tangannya di atas dahi Yoon Bo-kyung. Panas tubuh istrinya tidak seperti tadi lagi. Masih ada demam, tetapi tidak setinggi sebelumnya. Wajahnya yang pucat pun berangsur menghilang. Nafasnya pun teratur.
“Apakah aku sudah bisa pergi kesana dan bertemu dengan Seu-ri?” ucap Yoon Bo-kyung dengan mata yang masih tertutup. Lee Hwon terkejut dan mendekati istrinya. Istrinya itu meneteskan air mata.
“Jungjeon,” ucap Lee Hwon lirih. Berharap Yoon Bo-kyung akan merespon dengan membuka matanya. Namun, yang dia harapkan tidak terjadi. Membuat Lee Hwon sadar kalau istrinya itu sedang mengigau.
“Aku sudah lelah,” ucap Yoon Bo-kyung lagi. Mendengar kalmat itu, hati Lee Hwon bingung.
“Mengapa kamu berkata kamu sudah lelah? Siapa Seu-ri?” tanya Lee Hwon, tetapi istrinya itu tidak menjawab lagi. Tubuh Yoon Bo-kyung menggigil. Otomatis Lee Hwon membaringkan tubuhnya di sebelah Yoon Bo-kyung. Menutupi tubuh mereka berdua dengan selimut yang sama kemudian memeluknya.
Perlahan tubuh Yoon Bo-kyung tidak lagi menggigil. Nafasnya kembali teratur. Lee Hwon menjadi tenang. Rasa kantuk pun menyapanya. Setelah berulang kali menahan kantuk akhirnya Lee Hwon menutup matanya. Tidur dengan tetap memeluk istrinya itu.
Medan, 11 Juli 2018
Pembaca yang kusayang,
Terimakasih untuk dukungannya. Untuk saat ini aku tidak bisa berjanji untuk publish cepat-cepat. Ada banyak masalah yang harus aku selesaikan bulan ini.
Terimakasih karena sudah menjawab pertanyaanku sebelumnya. Sama seperti kalian, aku juga kesal dengan sikap Lee Hwon. Semoga dia tidak terus plin plan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top