Cinta yang Menjadi Harapan

Lee Hwon menatap Yoon Bo-kyung yang sedang tidur dengan berbantalkan pahanya. Mereka berdua masih berada di ruang utama istana  Ratu. Lee Hwon tidak ingin istrinya yang tertidur setelah lelah menangis itu terbangun sehingga dia bertahan dalam posisi duduknya yang tidak nyaman. Dia juga memerintahkan supaya tidak ada seorang dayang pun berlalu lalang di dekat ruangan itu.

Perlahan Lee Hwon menyelimuti Yoon Bo-kyung dengan selimut  yang baru diantar oleh seorang dayang atas perintahnya. Lee Hwon memperhatikan wajah Yoon Bo-kyung. Wajah istrinya itu terlihat sembab. Tadi istrinya itu  cukup lama menangis dalam pelukan Lee Hwon.

Lee Hwon  ingat bagaimana tubuh istrinya gemetar saat menangis di dalam pelukannya. Seakan dia sedang berusaha  menahan diri untuk tidak  meraung. Lee Hwon hanya bisa menepuk punggung istrinya itu perlahan untuk menenangkannya.

Lee Hwon tidak menyangka kalau  istrinya itu menjadi sangat rapuh  setelah  bertemu dengan ayahnya. Dia bisa melihat kalau istrinya itu merasa sedih, kehilangan  dan ketakutan dalam waktu yang bersamaan setelah pertemuan itu. Dia tidak pernah melihat Yoon Bo-kyung serapuh itu.

“Kondisimu yang rapuh ini membuatku tidak mengerti mengapa kamu mengambil keputusan untuk melawan laki-laki kejam itu lalu memilih untuk berada di pihakku. Apakah perasaan cinta yang kamu utarakan kepadaku itu yang membuatmu nekad?” Lee Hwon berkata dengan suara lirih sambil membelai rambut istrinya itu perlahan.

Lee Hwon menghela nafas. Dia merasa segala sesuatunya menjadi sangat rumit. Pada waktu istrinya itu sekarat, Lee Hwon merasa cemas dan takut kalau istrinya itu akan meninggal. Kejadian itu membuat Lee Hwon sadar kalau posisi Yoon Bo-kyung di hatinya bukan lagi seorang musuh atau orang yang sedang dia manfaatkan saja.

Hari ini dia menyadari kalau dirinya pun tidak merasa senang melihat istrinya itu berada dalam kondisi rapuh seperti saat ini. Hal itu membuat Lee Hwon sadar kalau dia juga tidak bisa menganggap Yoon Bo-kyung sebagai seorang rekan saja. Perempuan itu telah menghancurkan banyak batasan yang dibuat Lee Hwon di dalam hatinya. Membuatnya merasa tidak nyaman.

Kamu bukan lagi seorang musuh, bukan orang yang seenaknya bisa kumanfaatkan dan juga bukan seseorang yang bisa kuanggap sebagai rekan biasa,” Lee Hwon berkata di dalam hatinya.

“Bagaimana aku memandang dirimu kedepannya membuatku bingung, Bo-kyung,” Lee Hwon berkata dengan suara lirih.

Akan tetapi, bayangan Heo Yeon Woo terlintas di benaknya. Bayangan sahabatnya, Yeom dan juga guru yang disayanginya, Tuan Heo pun muncul di benaknya. Keduanya tersenyum, tetapi senyuman mereka membuat dada  Lee Hwon terasa sakit. Tangan Lee Hwon akhirnya gemetaran. Dia menarik tangannya yang menyentuh rambut Yoon Bo-kyung itu lalu mengepalkannya dengan erat. Kesedihan dan kemarahan muncul lagi di benaknya.

Lee Hwon tidak bisa melupakan masa lalu. Sampai detik ini, dia tetap yakin kalau istrinya ini terlibat dalam peristiwa boneka yang menghancurkan keluarga Heo. Sekalipun dia telah banyak menolongnya, Lee Hwon tidak bisa menghilangkan kecurigaan yang timbul di hatinya sejak lama itu. Kecurigaan yang memunculkan kebencian yang menyakiti hatinya juga.

Dia merasa sekelilingnya menjadi gelap. Aura dingin menyeruak. Membuatnya merasa kedinginan. Namun, suara Park Sanggung dari luar ruangan itu membuyarkan pikirannya yang gelap.

“Jusang Jeonha, maaf jika saya mengganggu Anda. Ada hal yang ingin saya tanyakan,” Park Sanggung berkata dari luar.

“Katakan saja!”

“Apakah Anda akan tidur di ruang utama bersama Jungjeon Mama?” Park Sanggung bertanya. Lee Hwon diam sejenak. Dia yakin kalau hari sudah sangat larut saat ini. Dia juga melihat istrinya yang masih tertidur. Istrinya yang belum lama sadar dari koma itu tentu merasa sangat lelah sekarang. Membuatnya tidak tega untuk membangunkannya.

“Biarkan Jungjeon tidur disini. Jangan mengganggunya!” Lee Hwon memberi jawaban dan perintah sekaligus.

“Bagaiamana dengan Anda, Jusang Jeonha?” Park Sanggung mengulang pertanyaan terakhirnya. Lee Hwon menatap wajah Yoon Bo-kyung. Hatinya yang sakit oleh amarah tadi berubah menjadi rasa iba.

Sebenarnya, Lee Hwon merasa enggan untuk tetap tinggal disitu, tetapi ada rasa tidak tega untuk meninggalkan Yoon Bo-kyung di ruangan itu sendirian. Bagaimana pun istrinya itu telah banyak menolongnya dan hari ini perempuan itu sangatlah rapuh. Jika dia meninggalkan Yoon Bo-kyung sendirian, lalu dia terbangun di tengah malam dan mendapati kalau dirinya sendirian, pastilah dia merasa sangat sedih.

“Aku akan tidur disini bersama Jungjeon,” Lee Hwon memberi tahu keputusannya dengan suara yang berat.

“Jika demikian, saya akan mempersiapkan futon untuk Anda,” Park Sanggung menjawab. Tidak lama menunggu, beberapa dayang masuk membawa perlengkapan tidur. Setelah mereka menggelar dua buah kasur, mereka langsung keluar.

Lee Hwon perlahan mengangkat tubuh istrinya lalu membaringkannya di atas kasur. Perlahan dia melepas perhiasan rambut  istrinya supaya perempuan itu merasa nyaman. Namun, dia tidak melepas pakaian luar Yoon Bo-kyung.

Setelah melepas pakaian luarnya sendiri, Lee Hwon berbaring di sebelah Yoon Bo-kyung. Ia menatap wajah istrinya yang lelap itu dengan tatapan yang lembut. Istrinya itu tidur dengan sangat lelap.

“Pada saat ini, kamu seperti seorang anak kecil yang terlelap setelah lelah menangis,” Lee Hwon bergumam. Sejenak dia tersenyum melihat istrinya. Namun, senyuman itu langsung lenyap karena perkataan Yeon Woo melintas dibenaknya.

Aku yakin dia terlibat dalam peristiwa boneka sihir itu. Bagaimana bisa setelah dia berkunjung ke kediamanku, boneka itu di temukan di kamarku keesokan paginya,’

Lee Hwon berbaring menghadap ke atas. Menatap atap ruangan yang rendah itu dengan perasaan yang campur aduk.

Sekalipun kamu sudah berbuat banyak untukku, masa lalu tidak bisa dihapuskan. Jika kelak aku tahu kalau kamu terlibat dalam pristiwa boneka sihir yang telah menghancurkan Klan Heo itu, maka aku harus menindakmu dengan adil,’ Lee Hwon berkata di dalam hati. Setelah itu dia  berbalik menghadap ke dinding, menutup matanya dan tidur dengan memunggungi istrinya.

***

“Akhirnya kita sampai pada titik ini,” anak kecil yang sering muncul dalam mimpi Yoon Bo-kyung berkata dengan suara yang berat. Mereka berada di atas jembatan panjang yang tidak memiliki ujung di kedua sisinya. Kabut putih tipis memenuhi tempat itu. Anak kecil itu sedang duduk di atas pagar jembatan merah itu berhadapan dengan Yoon Bo-kyung yang berdiri dihadapannya.

“Berarti semuanya akan menjadi semakin sulit sekarang,” Yoon Bo-kyung berkata dengan lirih. Anak laki-laki itu tersenyum.

“Jangan cemas, Langit memperhatikanmu. Kamu tidak sendirian,” anak kecil itu berkata dengan suara yang ceria.

“Aku dan ayahku. Kami benar-benar musuh sekarang,” Yoon Bo-kyung berkata lirih dan air matanya mengalir di pipinya yang putih pucat itu.

“Musuh?” anak kecil itu menaikkan salah satu alisnya.

“Mungkin bagi ayahmu saat ini, kamu adalah musuhnya. Namun, untukmu?” anak kecil itu melanjutkan perkataannya lalu menyentuh kedua pipi Yoon Bo-kyung dengan lembut.

“Kamu sebenarnya tidak memusuhinya, bukan? Aku tahu kalau kamu melakukan semua ini juga untuk dirinya. Kamu berharap kalau kamu bisa membawa ayahmu keluar dari kegelapan yang telah dipilihnya saat ini,” anak kecil itu berkata lirih sambil menghapus air mata yang mengaliri wajah Yoon Bo-kyung.

“Kamu sangat menyayanginya karena itu kamu tidak tahan melihatnya bersikeras membenarkan kesalahannya yang fatal itu,” anak kecil itu berkata dengan suara yang sedikit gemetar sambil melepas tangannya yang menyentuh pipi Yoon Bo-kyung. Yoon Bo-kyung tahu kalau anak kecil itu sedang menahan amarahnya sehingga suaranya gemetar.

“Apakah masih ada harapan untuknya berubah? Apakah Langit akan mengampuninya?” Yoon Bo-kyung berkata dengan hati yang sedih.

“Langit membuka pintu kesempatan, tetapi pilihan tetap ada padanya. Sama seperti dirimu, tidak ada yang memaksamu melalui pintu itu, bukan? Kamu memilih untuk melalui pintu kesempatan yang kecil dan menyesakkan itu,” anak kecil itu menjawab dengan suara yang tenang.

“Meskipun kamu tahu kalau pilihanmu itu akan membuatmu kesulitan, kamu memilih untuk berbalik dari dunia yang gelap. Berjalan melalui pintu yang dibuka Langit, pergi menuju cahaya. Itu memang tidak mudah, banyak tantangan dan kesedihan yang harus kamu hadapi. Namun, kamu tetap bertahan dengan pilihanmu itu. Karena kamu tahu, sekalipun cahaya itu membuatmu matamu perih, itu lebih baik berada dalam kegelapan pekat dan menakutkan yang menyiksa batinmu itu,” anak kecil itu berkata sambil memegang kedua bahu Yoon Bo-kyung.

“Sekarang semua tergantung kepada keputusan ayahmu sendiri. Apakah dia akan tetap bertahan dengan pilihannya saat ini atau berbalik,” anak kecil itu berkata lirih sambil menatap ke arah langit. Sesaat pandangan matanya kosong. Yoon Bo-kyung diam sejenak melihat ekspresi muram anak laki-laki itu. Setelah anak itu menatapnya lagi, barulah dia membalas perkataan anak laki-laki itu.

“Aku tahu kalau ayahku kejam dan melakukan banyak kejahatan.  Dia juga tidak menyayangiku, tetapi dia adalah ayahku. Aku tidak sanggup melihatnya terus menerus melakukan kesalahan yang memancing murka Langit. Aku tidak ingin melihatnya terus menerus dalam kegelapan yang akan menyiksanya kelak,” Yoon Bo-kyung membalas perkataan anak kecil itu. Hatinya terasa pedih.

Jauh didalam lubuk hatinya yang dalam, dia tetap mendambakan kasih sayang ayahnya. Sama besarnya dengan keinginannya mendapatkan kasih sayang dari suaminya. Dia tidak ingin orang-orang yang disayanginya itu menderita kelak. Entah menderita karena orang lain atau menderita karena kesalahannya sendiri.
 
“Kamu sangat menyayangi harimau tua itu rupanya,” anak kecil itu menimpali lalu tersenyum lembut kepada Yoon Bo-kyung. Senyumannya begitu simpatik seakan dia ingin memberitahu kalau dia peduli perasaan Yoon Bo-kyung. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya pelan.

“Apakah kamu masih mengharapkan cinta dari suamimu?” anak kecil itu melemparkan topik yang berbeda. Seakan menyiratkan kalau dia ingin mengakhiri pembicaraan mengenai ayah Yoon Bo-kyung.

“Bohong jika aku berkata kalau aku tidak mengharapkannya,” Yoon Bo-kyung menjawab dengan muram.

“Bagaimana jika dia tidak membalas perasaanmu?” anak laki-laki itu bertanya lagi.

“Jika dia tidak bisa membalas perasaanku, aku bisa memahaminya. Bahkan, kadang aku pikir lebih baik seperti ini. Jika suatu saat nanti dia tahu kenyataan yang sebenarnya, kalau aku terlibat dalam kejahatan ayahku di masa lalu, dia tidak akan terlalu sedih. Karena aku bukan orang yang dia cintai,” Yoon Bo-kyung tersenyum, tetapi dadanya terasa sakit. Anak laki-laki itu diam sejenak lalu tersenyum.

“Aku tahu, mungkin sulit bagimu mempercayai perkataanku selanjutnya. Langit lebih tahu yang terbaik untukmu. Mungkin saja kamu akan menerima cinta yang lebih besar dari yang bisa kamu bayangkan di masa yang akan datang,” anak kecil itu berkata dengan tenang.

“Cinta yang lebih besar?” Yoon Bo-kyung mengernyitkan dahinya karena tidak mengerti.

“Iya. Cinta yang sangat besar,” anak kecil itu berkata sambil merentangkan kedua tangannya lalu tersenyum lebar.

***

Yoon Bo-kyung membuka matanya perlahan. Dia bermimpi aneh lagi. Bertemu dengan anak kecil yang sama berulang kali. Anehnya, dia tidak bisa dia ingat  wajah anak kecil itu dengan jelas setelah dia bangun.

Yoon Bo-kyung duduk perlahan dan melihat sekelilingnya. Dia terbangun di ruang utama Istana Gyeotaejeon dan ada sebuah futon kosong disampingnya.

‘Apakah Jusang Jeonha tidur disini bersamaku tadi malam?’ Yoon Bo-kyung bertanya di dalam hati. Ucapan anak kecil di dalam mimpinya pun terngiang. Ucapan kalau dia akan mendapat cinta yang besar.

Yoon Bo-kyung tersenyum. Dia yakin kalau Lee Hwon tidur di Istana Gyeotaejeon. Namun, dia merasa sedikit kecewa karena pada saat dia bangun, Lee Hwon sudah pergi.

“Jungjeon Mama, saya meminta izin Anda untuk masuk dan menghidangkan sarapan untuk Anda,” suara Park Sanggung terdengar dari luar.

“Masuklah!” Yoon Bo-kyung memberi perintah. Pintu ruang utama itu pun terbuka. Park Sanggung ditemani Han Sansik masuk bersamaan diikuti oleh beberapa dayang muda yang membawa sarapan.

Yoon Bo-kyung segera menyantap makanan yang dihidangkan untuk sarapannya itu. Menu sarapannya masih sederhana seperti kemarin. Bubur lembut dan sup juga sayuran. Yoon Bo-kyung memakannya dengan lahap karena lapar.

“Apakah Jusang Jeonha bermalam disini?” Yoon Bo-kyung bertanya setelah menghabiskan sarapannya.

“Benar, Jungjeon Mama. Namun, beliau pergi dari Istana Gyeotaejeon sebelum matahari terbit dan memerintahkan kami untuk tidak membangunkan Anda,” Park Sanggung menjawab dan tersenyum. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.

Dia ingat bagaimana Lee Hwon berusaha menenangkannya saat dia menangis. Suaminya itu mengizinkan Yoon Bo-kyung untuk memeluknya. Dia juga menepuk punggung Yoon Bo-kyung perlahan.

Hatinya juga semakin senang karena Lee Hwon menghabiskan malamnya di Istana Gyeotaejeon. Tindakan suaminya itu mau tidak mau menimbulkan keinginan lain di hati Yoon Bo-kyung.

‘Apakah aku boleh berharap kalau kelak Jusang Jeonha bisa menerima perasaan cintaku? Aku tidak berharap kalau perasaanku itu akan menerima balasan perasaan yang sama. Setidaknya, dia bisa menerimaku sepenuhnya sebagai istrinya,’ Yoon Bo-kyung berkata di dalam hati. Dia memegang dadanya yang berdegup dengan kencang.

‘Namun, jika mimpi itu benar. Jika aku akan mendapatkan cintanya. Itu akan sangat menyenangkan,’ Yoon Bo-kyung berkata lagi didalam hatinya. Harapan dan ketidakyakinan bercampur didalam batinnya.

Yoon Bo-kyung menghela nafas. Dia melihat para dayang di ruangannya. Mereka sedang memperhatikan Yoon Bo-kyung dengan wajah khawatir. Mereka sepertinya cemas kalau Yoon Bo-kyung merasa sedih karena Raja mereka pergi sebelum Ratu mereka bangun.

Yoon Bo-kyung tersenyum canggung setelah melihat ekspresi para dayang itu. Senang karena mereka tulus memperhatikannya. Namun, dia juga merasa kasihan kepada mereka. Dia tidak bisa membayangkan kecemasan para dayang itu saat dia tidak sadarkan diri selama berhari-hari. Mereka sudah mengalami masa yang sangat sulit.

“Park Sanggung, bantu aku bersiap-siap untuk pergi ke Istana Jagyeonjeon! Aku ingin memberi salam kepada Wang Daebi Mama dan Daebi Mama. Sejak aku sadar dari sakitku, aku belum bertemu dan memberi salam kepada mereka,” Yoon Bo-kyung memberi perintah dengan penuh semangat. Pikirnya, dengan berjalan keluar Istana Gyeotaejeon, para dayang di Istananya akan merasa yakin kalau Ratu mereka sudah benar-benar sembuh. Namun, Park Sanggung menggelengkan kepalanya pelan. Menolak perintahnya.

“Jungjeon Mama, Anda tidak perlu pergi ke Istana Jagyeonjeon. Saya mendapat pesan dari Wang Daebi Mama dan Daebi Mama kalau mereka akan datang untuk menjenguk Anda,” Park Sanggung memberi penjelasan. Yoon Bo-kyung terdiam sesaat mendengar ucapan Park Sanggung.

“Seharusnya aku yang mengunjungi mereka. Mendengar ceritamu tentang mereka yang mengunjungiku saat aku masih sakit, aku merasa bersalah karena telah merepotkan mereka,” Yoon Bo-kyung bergumam. Dia merasa bersalah karena telah membuat dua tetua Istana itu repot mengunjunginya.

“Jungjeon Mama, Anda jangan merasa bersalah. Wang Daebi Mama dan Daebi Mama sangat senang ketika saya memberi kabar kalau Anda telah sadarkan diri. Sebenarnya mereka ingin menemui Jungjeon Mama kemarin. Namun, mereka mengurungkan niat mereka karena tahu Buwongun Daegam (Ayahanda Ratu) datang mengunjungi Anda. Mereka takut mengganggu pertemuan kalian,” Park Sanggung berkata dengan tenang.

Yoon Bo-kyung menghela nafas panjang. Dia ingat dengan pertemuan melelahkan yang membuatnya sangat sedih itu. Dia dengan berani telah memancing seekor harimau tua yang kelaparan. Harimau itu telah mengasah cakarnya dan menunggu waktu yang tepat untuk menerkam. Dia harus lebih waspada daripada sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top