Epilog

Adipati berjalan melewati pilar-pilar emas istana dengan langkah ringan karena sudah menunaikan tugasnya. Kristal mustika tersimpan aman di dalam saku, memberi beban yang menambah kebanggaan diri atas keberhasilannya. Pria itu melirik ke sekitar, merasa heran karena dayang-dayang yang biasanya paling semangat menyapanya kini tidak terlihat di mana pun.

"Yang Mulia." Adipati membungkuk untuk memberi hormat saat memasuki singgasana Sang Hyang. Aneh rasanya melihatnya duduk sendiri di istana, tanpa dayang-dayang dan penjaga yang selalu siaga di kiri dan kanan. Apa terjadi sesuatu?

Tidak berani bertanya sebelum Sang Hyang membuka suara, Adipati mengeluarkan kristal dari jubahnya dan menyerahkan pada penguasa cahaya itu dengan hormat. "Lapor, Yang Mulia," katanya, "kristal mustika dari Riau berhasil saya amankan sebelum kekacauan besar timbul."

Sang Hyang menerima benda tersebut, kemudian mendekatkannya ke ujung tongkat sepanjang satu meter yang ia munculkan dari udara. Kristal dari Adipati menyatu dengan pecahan lainnya dan memancarkan cahaya kebiruan sebelum benar-benar melebur, meninggalkan permukaan mengkilap yang indah. Tinggal satu potongan yang lagi, dan kristal mustika akan berbentuk sempurna.

"Bagus sekali, Adipati," kata Sang Hyang sambil tersenyum. "Apa ada yang ingin kau katakan?"

Adipati berpikir sejenak, sebenarnya ia justru ingin bertanya soal suasana istana sekarang, tapi kedengarannya tidak sopan. Kemudian ia teringat dengan bayangan hitam yang mengintainya di Bumi. "Kristal Mustika itu diberikan oleh seorang nenek pada gadis dan mempengaruhinya untuk berbuat jahat," jelas Adipati. Ia memandang wajah keriput Sang Hyang untuk menilai ekspresinya, tapi tidak berhasil. Tidak ada yang tahu apa yang ada di balik pikiran penguasa Bawanapraba itu jika beliau tidak mengutarakannya. "Kemudian ada bayangan hitam yang mengintai saat saya berusaha merebut kristal dari gadis itu. Saya curiga kalau nenek yang memberi kristal dan bayangan hitam adalah orang yang sama, Yang Mulia."

"Permulaan sudah terlihat," gumam Sang Hyang pelan, terlihat berbicara pada dirinya sendiri.

"Maaf, Yang Mulia?"

"Jika tidak ada lagi, Adipati, aku ada urusan sebentar."

Pria itu mengangguk patuh, mengubur rasa penasarannya dalam-dalam. "Baik, Yang Mulia." Ia membungkuk hormat lagi sebelum keluar.

Setelah menuruni tangga teras, Adipati memutuskan duduk di taman saat melihat dua pengurus istana yang berbincang di sana. Sengaja mengambil posisi yang tidak terjangkau mata mereka, Adipati menguping percakapan bernada tegang kedua pria itu. Tidak banyak yang bisa ia dengar karena selain mereka berbicara dengan bisikan, salah satu pria tersebut menyadari kehadiran Adipati Utara dan memberi salam dengan sopan sebelum pergi. Satu-satunya kalimat yang ia tangkap hanyalah "kebangkitan raja iblis".

Adipati terduduk lama sekali di taman, menghirup udara segar sambil merenungkan kejadian yang sepertinya Sang Hyang tahu tapi sengaja ia sembunyikan. Berbagai pikiran buruk menyelimuti kepalanya, sampai tiba-tiba ia melihat seseorang yang ia kenal berjalan keluar dari istana. Adipati pun segera berlari ke arahnya, dan semua rasa penasaran terhadap Sang Hyang lenyap seketika.

"Kukira kau gagal dalam tugas," seru Adipati.

Pemuda di depannya berbalik sambil berdecak. "Dasar Hantu Comberan. Aku malah mengira kau sudah tewas dalam misi."

"Bukankah itu lebih terhormat ketimbang tertidur dua puluh tahun?" Adipati tertawa terbahak, membuat sahabatnya cemberut sebelum tiba-tiba menyeringai.

"Setidaknya aku membantu seorang gadis daripada seseorang yang aku dengar menghunuskan pedang di hadapan perempuan."

Tawa Adipati terhenti. Darimana anak itu tahu? Gosip di Bawanapraba menyebar lebih cepat dari kecepatan cahaya. "Kau tidak tahu bagaimana sifat Bawang Merah saat itu!" belanya. Selain menyebalkan, Bawang Merah adalah manusia paling aneh yang pernah ia temui.

Kali ini giliran Arga yang tertawa, jauh lebih keras. "Yah, setidaknya kau berhasil dan kembali dengan anggota tubuh lengkap. Kukira aku akan menemukanmu menyeret tubuh di sepanjang lantai istana tanpa membawa apa pun."

Adipati memukul kepala Arga, yang membuat sobatnya membalas dengan pitingan di leher pemuda itu. Mereka berdua tertawa.

"Apa kau tahu di mana Sang Prabu?" tanya Arga.

Wajah sulit ditebak Sang Hyang kembali muncul di kepalanya. "Entahlah," jawab Adipati sambil mengangkat bahu, "Setelah melapor dan menyerahkan kristal, aku hanya duduk di taman."

"Dan mengganggu dayang-dayang," timpal Arga.

Adipati hendak memukul kepala Arga lagi, tapi berhasil ditangkisnya dengan gesit. "Kau sendiri mau ke mana?"

"Ke Bale Nedeng Tebeh."

"Rupanya ada seseorang yang belum bisa melupakan ceweknya," goda Adipati.

Arga membantah dan beralasan kalau ia hanya ingin bertanggungjawab dengan tugasnya, dan blablabla, yang tidak didengar Adipati, karena seekor rajawali terbang menghampirinya. Burung itu berputar di atas kepala Adipati sambil berkoak sebelum pergi. Dia menyampaikan pesan yang membuat otot Adipati menegang dan mencengkram senjatanya dengan siap. Adipati memberi isyarat pada sahabatnya kalau ia harus kembali ke kerajaan utara segera.

Ada serangan.

------------

POKOKNYA THE END DAN UTANGKU LUNAS SETELAH SETAHUN HEHEHEHEHEH

(Inspirasi Epilog dari PhiliaFate , yang menulis kisah Arga. Aku nggak percaya kalau sampai sekarang kalian belum baca ceritanya.)

Thank you yang masih aja buka dan baca cerita ini dan sorry udah tunda begitu lama heheheheheheh.

TAMAT HHEHEHEHEHEEHHEHEHEHH

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top