Bagian 5
GADIS itu memposisikan kedua kakinya dengan anggun, membuat kursi rotan sederhana yang ia duduki terlihat beberapa kali lipat jauh lebih elegan. Sebelah tangannya menggenggam kristal berbentuk aneh, santai sekaligus waspada, seolah benda tersebut adalah bagian dari nyawanya. Sebuah senyuman tipis yang dingin terukir di bibirnya.
Ia memandang wanita tua yang tersungkur di bawahnya dengan jijik. Sebagian dari dirinya ingin menendang wajah iblis yang selama ini menghantuinya itu, tapi pikiran lain di kepalanya menyuruh agar tidak mengotori sepatu dan gaun putih barunya---salah satu dari sekian keajaiban yang ia dapat dari kristal ajaib.
"Jangan lakukan apa pun pada Bawang Merah," desis wanita tua itu yang lebih terdengar seperti lirihan. Pipinya menggesek lantai, kelelahan, sementara ia mengeliat untuk mencoba melepaskan diri dari ikatan tak terlihat.
Bawang Putih mendengus pelan, tidak lagi menyembunyikan kebenciannya yang amat sangat pada ibu tirinya. Bawang Putih menggunakan kristal ajaib di tangannya untuk mendorongnya menjauh, hingga punggung wanita tua itu menghantam dinding kayu dengan suara keras.
Sudah lama sekali ia ingin melakukan ini. Hanya saja semuanya belum lengkap jika Bawang Merah belum mendapat jatah balas budinya.
Bawang Putih menunduk, membelai permukaan halus kristal itu dengan sayang tanpa menghiraukan suara batuk disertai umpatan kasar dari ibu tirinya. Walaupun Bawang Merah dan ibu tirinya merupakan sumber semua penderitaan Bawang Putih, mungkin ia harus sedikit berterima kasih pada mereka---terutama Bawang Merah---karena jika salah satu pakaian mereka tidak terhanyut, ia tidak akan menemukan kristal menakjubkan ini.
Saat itu, Bawang Putih menyusuri sepanjang pinggir sungai dengan panik, berharap selendang ibu tirinya terdampar secara ajaib di depannya. Ia sudah hampir putus asa mencari, ketika menemukan sebuah rumah sederhana misterius yang terletak tidak jauh dari pinggir sungai. Bawang Putih tidak pernah melihat rumah itu sebelumnya, dan ia cukup hati-hati untuk tidak menghampiri tempat asing yang tidak ia kenal, seandainya saja gadis itu tidak melihat selendang jingga terang yang dijemur di tiang bambu di samping rumah itu.
Memeluk bakul pakaian dengan ragu, Bawang Putih melangkah menuju ke rumah misterius tersebut, kemudian mengetuk dengan sopan. Ia berharap selendang itu adalah pakaian yang ia cari-cari, atau kalau pun tidak, ia akan memintanya sebagai pengganti selendang yang hilang karena coraknya begitu mirip.
"Permisi," panggil Bawang Putih seraya berdiri gelisah. Kedua telapak kakinya mulai sakit dan lecet akibat berjalan di atas bebatuan dan tergores batang pohon yang kering di atas tanah. Hari itu, Bawang Merah sengaja menghukum Bawang Putih dengan tidak memperbolehkannya memakai alas kaki, hanya karena Bawang Putih tidak sengaja menginjak kaki Bawang Merah.
Pintu dibuka, lalu seorang wanita paruh baya berambut putih menyapa Bawang Putih dengan ramah, seolah kedatangannya memang diharapkan.
Setelah Bawang Putih mengutarakan maksudnya dengan halus, nenek itu membalas dengan senyuman, "Kau boleh memiliki selendang itu, Nak. Aku memang menemukannya terhanyut di sungai tadi. Tapi sebelum itu, bisakah kau membantu Nenek membereskan rumah? Nenek sudah tua dan kesulitan melakukannya sendiri."
Tentu saja Bawang Putih tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakannya. Demi selendang jelek itu, ditambah lagi, ia adalah Bawang Putih yang terkenal baik hati dan senang menolong sesama.
Semua orang menyukai gadis manis yang baik hati, dan hanya dengan cara itulah ia bisa mendapat kasih sayang dari semua penduduk desa selain Bawang Merah dan ibu tirinya sendiri.
Bawang Putih pikir semuanya akan berlangsung sederhana. Ia hanya perlu menyapu rumah si Nenek, kemudian mendapatkan selendang, dan pulang dengan selamat.
Seandainya saja si Nenek tidak menyuruhnya duduk dan tinggal sebentar, kemudian mengucapkan hal yang membongkar seluruh perasaan dari lubuk hati Bawang Putih yang paling dalam...
"Aku bisa melihat penderitaan yang besar pada dirimu, Nak." Nenek itu masuk dari pintu samping dengan selendang jingga terlipat di lengannya. Ia menatap Bawang Putih prihatin. "Kau tampak begitu takut kehilangan selendang ibumu, dan orang yang membuat dirimu berkorban untuknya bahkan tidak memberimu alas kaki yang layak."
Bawang Putih menunduk di atas kursi bambu agak reyot, memandang ujung-ujung jari kakinya yang menghitam. Ia sudah banyak mendengar kalimat semacam itu dari penduduk desa yang kadang ia temui di tengah jalan, dan balasan yang bisa ia berikan selama ini hanyalah kepala yang tertekuk sedih.
"Apa kau tidak membenci mereka?" tanya si Nenek sambil meletakkan selendang yang mulai kering itu di meja di depannya.
Pertanyaan itu membuat Bawang Putih tersentak. Seumur hidup, tidak pernah ada yang menanyakan ini padanya. Seorang Bawang Putih tidak pernah menaruh kebencian pada siapa pun.
Tapi ia kembali merenungkan hal itu. Bagaimana ia bisa tidak menaruh dendam pada wanita yang sudah membuat ibu kandungnya meninggal, kemudian membunuh ayahnya? Bagaimana mungkin ia tidak membenci ibu tirinya yang jahat serta Bawang Merah yang selalu mencari segala cara untuk menyiksanya?
Bagaimana mungkin Bawang Putih menerima semua itu begitu saja?
"Aku mengerti, Nak." Suara si Nenek kembali mengejutkannya. Tiba-tiba saja wanita itu sudah duduk di samping Bawang Putih, lalu mengangkat kaki gadis itu hingga tiba-tiba Bawang Putih merasakan angin dingin yang menenangkan menyentuh telapak kakinya. "Aku mengetahui semuanya," katanya pelan. "Masa kecilmu yang indah direnggut. Kehilangan kasih sayang orangtuamu yang seharusnya kau dapatkan. Apakah adil jika membiarkan iblis-iblis itu berkuasa dan mendapat apa yang mereka mau? Adilkah bagimu? Bagi kedua orangtuamu?"
Tidak. Ayah dan Ibunya jelas tidak akan puas jika Bawang Putih harus melayani pembunuh mereka seumur hidup.
Gadis itu hanya terdiam, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, karena ia terlalu terkejut ketika mendapati telapak kakinya tiba-tiba sembuh, tanpa bekas luka.
"Apa yang terjadi?" tanya Bawang Putih, terkesiap menatap kakinya sendiri, lalu bongkahan kristal yang digenggam si Nenek secara bergantian.
"Berkat dari kristal," kata nenek itu dengan suara rendah. Lalu ia menepuk pundak Bawang Putih ringan. "Kau adalah gadis yang baik, Nak, dan aku akan menawarkan hadiah ini padamu."
"Apa ini?" Bawang Putih menatap kristal yang diberikan si nenek tidak percaya. Ia jelas tahu apa benda itu, tapi kekagetannya membuat ia mencetuskan pertanyaan bodoh tersebut dengan spontan.
Nenek itu hanya menanggapi Bawang Putih dengan senyum tipis. "Keadilan," ucapnya.
Keadilan. Bawang Putih terus memikirkan perkataan nenek tadi selama perjalanan pulang. Kristal ajaib sudah ia sembunyikan di dalam bakul. Lalu, tiba-tiba ia melihat seorang pria dengan pakaian bagus dari kejauhan. Ucapan si Nenek kembali terngiang lebih kuat di kepalanya, hingga tanpa sadar ia sudah menggenggam selendang jingga tadi, dan menatap ke arah sungai dengan senyuman miring.
Semua orang harus tahu bagaimana sebenarnya Bawang Putih dan Bawang Merah.
Dan Bawang Putih akan memulai dari pria tampan yang asyik melempar-lempar sesuatu di depan sana, yang tidak akan ia biarkan saudari tirinya rebut, seperti yang selalu dilakukannya selama ini.
-------
Aha. Ruined your childhood.
👿
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top