Bagian 4
SEHARUSNYA semuanya berjalan dengan lancar.
Saat Adipati tahu Bawang Putih mendapat kristal, pemuda itu yakin, siapa pun yang memberikan kristal itu, dia juga akan melakukan hal yang sama pada Bawang Merah.
Kristal yang berada pada Bawang Putih jelas bukan kristal mustika Sang Hyang. Benda itu hanya menarik manusia yang memiliki niat-niat buruk, dan orang yang paling cocok dengan kategori itu hanya Bawang Merah---gadis paling menyebalkan yang pernah ia temui.
Adipati tahu siasat si pemberi kristal---kalau tidak salah sosok itu berwujud seorang nenek, menurut penjelasan Bawang Merah tadi. Ia sengaja menghadiahi Bawang Putih benda yang akan menarik perhatian saudara tirinya itu, dan sekarang Bawang Merah jelas-jelas telah termakan pancingan tersebut.
Oleh karena itulah tadi ia terpaksa mengikuti gadis tak tahu aturan itu dan melakukan semua perintah-perintahnya. Adipati bersumpah ini akan menjadi aib yang akan ia kubur dalam-dalam. Tidak ada yang boleh tahu kalau seorang gadis manusia kurang ajar telah membuatnya membawa bakul penuh berisi pakaian wanita. Dia bahkan tidak bisa melupakan tatapan geli malu-malu para gadis lain di tepi sungai padanya, sebelum Bawang Merah mengusir mereka semua dengan brutal.
Tidak hanya sampai di situ, Adipati tidak percaya kalau ia baru saja berdebat dengan Bawang Merah mengenai cara mencuci pakaian yang benar, karena gadis itu bahkan tidak bisa melakukannya! Bawang Merah yang kesal, sengaja menghanyutkan semua pakaian dalam bakul dengan tawa tidak bertanggung jawab, lalu dengan seenaknya menyuruh Adipati mencari pakaian-pakaian itu.
Kalau Bawang Merah bukan seorang wanita sekaligus kunci yang akan membawanya pada kristal mustika, mungkin Adipati sudah menenggelamkannya ke dalam sungai.
Ini pertama kalinya ada gadis yang tidak terpesona dan berbicara padanya dengan suara lantang, dan baru kali ini juga Adipati nyaris kehabisan kesabaran pada makhluk berjenis wanita.
Adipati memaksa Bawang Merah ikut mencari pakaian-pakaian yang ia lempar ke sungai. Ia harus menemukan si nenek misterius, dan hanya dengan bersama Bawang Merah lah yang dapat menuntunnya ke tujuan.
Saat itulah Adipati melakukan kesalahan. Ketika ia turun ke sungai untuk mengambil salah satu pakaian yang tersangkut di antara bebatuan, lalu merangkak kembali ke pinggir sungai, tiba-tiba Bawang Merah menghilang.
"Sial!" umpat Adipati sambil menghentakkan selendang merah bening penyebab masalah itu ke udara, hingga beberapa tetes air dari kain tersebut menciprati tanah. Ia sudah berkeliling hutan selama hampir satu jam, dan belum juga menemukan sosok Bawang Merah atau pun jejak sandal kayunya.
Padahal, sedikit lagi ia bisa mendapatkan kristal mustika, sekaligus mencegah benda itu digunakan dengan tidak benar oleh Bawang Merah.
Frustrasi, Adipati menggantungkan selendang basah itu ke lengannya, lalu mengeluarkan gulungan peta di balik jubah, berharap kalau gambar-gambar di dalam peta itu memberinya petunjuk mengenai lokasi kristal mustika. Atau si nenek. Atau makhluk misterius apa pun di tengah hutan.
Tapi peta itu tidak menunjukkan apa pun selain titik hitam yang menandakan tempat dirinya berada, dengan pendaran putih di sekitar titik itu, yang berarti kristal mustika sedang berada di dekatnya.
Adipati mendesah, lalu kembali menyimpan peta itu. Dia tahu kalau kristal tersebut sangat dekat di sini. Ia sedang menimbang-nimbang untuk pergi ke rumah Bawang Putih dan berjaga-jaga, sampai sebuah suara nyaring familier dari arah belakang menusuk gendang telinganya.
"Kembalikan selendangku, dasar penipu!"
Akhirnya.
Ia menoleh, dan mendapati gadis bergaun merah yang memerintahnya sepanjang pagi tadi. Kedua tangan gadis itu memeluk bakul pakaian, dan tanpa harus mengintip ke dalam, Adipati tahu kalau kristal mustika berada di dalam bakul tersebut dari kilauan samar yang memancar melalui celah-celah anyaman bambu.
Bawang Merah sudah mendapatkannya.
"Maksudmu ini?" Adipati memutar selendang itu di atas kepalanya sambil tersenyum miring, agak kecewa karena tidak ada tetes air yang tersisa dari kain itu lagi yang bisa mengenai wajah Bawang Merah. "Berikan dulu kristal itu."
Bawang Merah memeluk bakulnya dengan sikap posesif. "Kalau begitu selendang itu untukmu saja," katanya, lalu berbalik.
"Tunggu!" seru Adipati, kemudian berlari cepat ke depannya. "Kau tidak tahu apa kekuatan kristal mustika. Benda itu terlalu berbahaya untukmu."
"Seharusnya aku tahu kalau kau sengaja menipuku, karena kau juga mengincar kristal ini, bukan?" tukas Bawang Merah dingin. "Tapi untunglah aku berhasil menemukan si nenek dermawan lebih dulu." Ia memberi tatapan tajam pada Adipati. "Apa yang menjadi milikku, tetap akan menjadi milikku."
"Keserakahan," kata Adipati dengan suara sedingin es. "Kecemburuan, dan kedengkian. Semua itu ada di dalam dirimu. Kau pikir apa yang akan terjadi jika kristal mustika berada di tangan orang sepertimu? Bencana besar. Kau, dan dunia di sekitarmu, akan hancur."
"Apa yang kau bicarakan?" teriak Bawang Merah murka. "Aku hanya ingin menggunakan kristal ini untuk menghidupi diriku sendiri, tanpa Bawang Putih dan bayang-bayangnya. Pergi dari sini, menjauh dari orang-orang yang menganggapku iblis! 'Orang sepertiku' kau bilang? Benar, orang sepertiku hanya penghancur, perusak, dan penindas. Jadi enyahlah!"
Adipati tertegun selama beberapa saat, tidak menduga kalau gadis yang hobi memerintah di depannya itu mulai berkaca-kaca. Lalu ia buru-buru menampar pikirannya agar tidak terpengaruh. Biasanya ini adalah siasat para orang-orang licik.
"Berikan kristal itu, Bawang Merah," ucap Adipati datar. "Sebelum terlambat."
"Tidak akan." Bawang Merah menendang salah satu lutut Adipati, cukup keras dan mendadak hingga pria itu terjatuh, kemudian berlari cepat menjauhinya.
"Hei!" Adipati berteriak mengejar Bawang Merah. Dalam sekejap, ia sudah berada di depan gadis itu lagi.
"Siapa kau?" tanya Bawang Merah, terkejut.
Sebentuk seringaian muncul di bibir Adipati. "Adipati Utara, salah satu utusan Sang Penguasa Bawanapraba, pencari pecahan kristal mustika. Serahkan padaku kristal itu sebelum aku bermain kasar," ancamnya.
"Lakukan saja," tantang Bawang Merah. "Kasar adalah nama tengahku."
Berusaha mengenyahkan keraguan di benaknya, Adipati mengeluarkan pedang di balik jubahnya, lalu menatap Bawang Merah tajam. Ia setengah berharap Bawang Merah segera meletakkan kristal mustika di depannya dan menyerahkan diri. Tapi gadis itu balas memandang Adipati sambil mencengkram erat bakul, ekspresi keras terlukis di wajahnya.
Serakah. Pendengki. Keras kepala. Adipati tidak bisa membayangkan kekacauan sebesar apa yang akan Bawang Merah ciptakan dengan kekuatan kristal itu.
Bawang Merah memutar tubuhnya tepat ketika Adipati mengibaskan pedangnya, menyebabkan beberapa helai rambut panjangnya terpotong oleh sisi tajam pedang. Adipati melambaikan pedang lagi, berusaha membuat luka sabetan yang akan melumpuhkan Bawang Merah. Tapi siapa sangka Bawang Merah menghindar cukup cepat untuk ukuran gadis yang memeluk bakul penuh pakaian basah. Bawang Merah berusaha menendang tulang kering Adipati, tapi pria itu tidak memberinya kesempatan dan mulai mengincari kakinya, membuat gadis itu melompat lincah.
Jika yang berada di hadapannya sekarang bukan musuh, Adipati akan memuji refleks Bawang Merah.
Adipati menghunuskan pedangnya lagi, kali ini lebih berani dan menembus ke dalam bakul hingga gadis itu tersentak kaget. Bawang Merah melempar bakul itu ke arah Adipati beserta pakaian-pakaian basah di dalamnya, lalu kabur sambil memeluk kristal.
"Berhenti!" seru Adipati. Ia mencengkram pundak Bawang Merah, lalu memelintir kedua lengannya ke belakang punggung. Kristal tersebut jatuh ke tanah. Bawang Merah mengulurkan sebelah kaki untuk meraihnya, tapi kristal asimetris itu sudah berhasil ditahan Adipati.
"Sialan! Lepaskan aku!" Bawang Merah mengumpat keras, meronta untuk melepaskan diri. Darah mengalir dari salah satu lengannya yang terdapat luka sayatan pendek. Tapi Adipati masih menahannya dengan sebelah tangan ketika pria itu membungkuk untuk mengambil kristal tersebut.
Adipati melepaskan Bawang Merah ketika kristal itu sudah berada di genggamannya. Ia menggunakan pedangnya untuk mengancam Bawang Merah agar tidak mendekat, sementara sebelah tangannya menimbang-nimbang kristal dengan alis berkerut.
Kristal itu tidak memancarkan kekuatan atau energi apa pun.
"Ini kristal palsu," gumam Adipati kaku. Rasanya seperti ada petir yang menyambar dirinya hingga hangus saat itu---atau mungkin ia memang berharap begitu.
"Apa?" Bawang Merah terlihat jauh lebih terkejut, mulai melupakan semua kekesalan dan kemarahannya pada Adipati.
"Yang berarti," lanjut Adipati tanpa menghiraukan Bawang Merah, masih bergumul pada pikirannya sendiri. "Kristal mustika yang asli ada pada Bawang Putih."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top