Bagian 3

BAWANG Merah berjalan mondar-mandir penuh gaya di depan pemuda yang ia 'bangunkan' tersebut seolah baru saja menangkap seorang penjahat. Ia sudah curiga dengan Bawang Putih saat saudari tirinya itu pulang ke rumah semalam dengan bawaan lengkap, dan segera saja menyadari wajah berseri Bawang Putih yang berusaha ia sembunyikan---jika kau menyaksikan sekaligus menikmati wajah saudarimu yang penuh penderitaan setiap detik, kau pasti juga akan menyadari raut bahagia setitik pun yang tersembunyi di balik garis wajah datarnya.

Sebagai kakak tukang penyiksa, Bawang Merah jelas tidak menyukai perbedaan ekspresi yang positif tersebut. Ia memaksa menggeledah bakul yang dibawa Bawang Putih, dan benar saja, selain selendang jingga menggelikan milik Ibu yang ternyata berhasil ia dapat, ada benda lain di dalam tumpukan pakaian basah yang langsung menarik perhatian mereka karena kilau indahnya.

Bawang Putih membawa pulang kristal. Dan biarpun bentuknya aneh, kristal tetap saja kristal. Mereka bisa membeli seluruh rumah di desa ini dengan kristal sebesar dua kali kepalan tangan pria tersebut.

Setelah memaksanya untuk membuka suara---disertai ancaman-ancaman---akhirnya Bawang Putih memberitahu Bawang Merah kalau ia mendapat kristal tersebut dari seorang nenek di tengah hutan yang membantunya mencari selendang.

Jadi, sesuai permintaan ibunya serta didasari dorongan dari dirinya sendiri, Bawang Merah melarang Bawang Putih keluar rumah hari ini, dan sekarang gilirannya untuk melakukan pekerjaan paling membosankan yang melibatkan bakul penuh pakaian bau, demi menemukan si nenek dermawan.

Tapi Bawang Merah sama sekali tidak menyangka kalau Bawang Putih berbohong mengenai identitas si pemberi kristal. Pemuda berpakaian mewah yang tertidur di bawah pohon ini adalah makhluk yang paling mencurigakan. Jika ada yang membantu gadis cantik---ia akui dengan berat hati, Bawang Putih memang cantik---dan memberi kristal indah secara tiba-tiba, pangeran tersesat ini lebih cocok menjadi tersangka utama dibanding nenek-nenek kesepian di tengah hutan.

Pria itu masih mengerjap, menatap Bawang Merah seolah gadis itu memancarkan cahaya yang menyilaukan. Raut kekesalan di wajahnya berubah bingung. "Hadiah apa?" tanyanya.

Bawang Merah mendecak. "Tidak usah pura-pura," tukasnya. "Kau yang semalam membantu si anak bawang itu bukan?"

"Jika maksudmu gadis cantik lemah lembut yang kehilangan kain ibunya yang jelek dengan warna membahayakan mata," kata pria itu, "ya, aku memang menolongnya."

Sialan. Bawang Merah menghembuskan napas tidak senang, kesal karena pria itu menyebut Bawang Putih cantik secara terang-terangan, dan mengatakan selendang ibunya jelek---walaupun hal itu ada benarnya juga---sekaligus marah karena Bawang Putih telah menipu mereka. 

Jadi ternyata bukan nenek ajaib, melainkan si pangeran kaya.

Setelah ini ia akan mencukur habis rambut Bawang Putih yang selalu dibangga-banggakannya.

"Aku memerintahkanmu untuk menyerahkan padaku apa yang telah kau berikan pada si anak bawang kemarin," tuntut Bawang Merah sambil mengulurkan sebelah tangannya tidak sabar.

Pria itu bangkit, kedua matanya tertuju pada Bawang Merah dengan marah. Bahunya naik turun seolah sedang menahan emosi. "Pertama," katanya dingin, "kau tidak punya kuasa untuk memberiku perintah. Kedua, aku tidak pernah memberikan hadiah---atau apa lah yang kau sebut---pada Bawang Putih. Dan ketiga, sungguh menggelikan ada yang menyebut Bawang Putih 'si anak bawang', sementara dirinya juga berjenis serupa---hanya saja jauh lebih buruk." Ia melipat kedua lengannya dan mendengus sinis. "Bawang Merah?"

Bawang Merah tertegun. Pria itu mengetahui namanya. 

"Dengar," lanjut pria itu, "aku sudah menahan diri untuk tidak meninjumu tepat di hidung, mengingat kau itu wanita---walaupun kau adalah wanita pertama yang paling tidak tahu sopan santun yang pernah kutemui."

Bagus. Bawang Merah telah membuatnya marah. Ia bisa merasakan suara teriakan Ibu yang memakinya di dalam kepala.

"Dasar bodoh! Bukan begitu caranya memikat orang! Hanyutkan salah satu pakaian Bawang Putih dan berpura-puralah memintanya untuk membantumu!"

Aduh, pikir Bawang Merah, terserah deh.

"Terserah kau bilang?" Pria itu menatap Bawang Merah tak percaya. "Setelah semua ceramah panjang yang kuberikan, dan kau hanya membalas 'terserah'?"

"Bukan dirimu," kata Bawang Merah, tidak menyangka kalau ia tidak sengaja telah menyuarakan pikirannya cukup keras. Gadis itu berbalik dan mengangkat bakul berisi pakaian yang ia letakkan tadi, lalu memandang pria di depannya. "Siapa namamu?"

Sesaat pria tersebut hanya memandang Bawang Putih datar, sebelum menjawab dengan nada malas. "Adipati."

Jadi dia seorang adipati. Tidak heran ia memakai pakaian mewah dan membagi-bagi kristal.

"Aku tanya namamu," ucap Bawang Merah, berusaha menyembunyikan kekagumannya pada pria itu.

"Adipati," katanya sambil menghela napas lelah. "Itu namaku."

Gadis itu mengerutkan dahi. "Adipati Adipati? Nama yang aneh."

"Adipati Utara."

Itu jauh lebih wajar.

"Nah, Adipati," kata Bawang Merah dengan nada memerintah yang biasa. "Sekarang aku ingin mencuci pakaian, dan kau harus membantuku."

Adipati memelototinya seolah gadis itu tiba-tiba berubah menjadi naga. "Lancang sekali menyuruhku mencuci baju."

"Bukan." Gadis itu mengibaskan sebelah tangannya tak acuh. "Kau hanya perlu mengambil pakaian yang terhanyut nanti, lalu menghadiahiku kristal. Seperti yang kau lakukan pada Bawang Putih kemarin, mengerti?"

"Kau!" teriak Adipati marah ketika Bawang Merah menyerahkan bakul pakaian pada pria itu dan langsung berjalan jauh di depan. Lalu mendadak Adipati membeku. Ia berlari mengejar Bawang Merah. "Tunggu. Tadi kau bilang kristal? Ada yang memberi Bawang Putih kristal? Siapa?"

Bawang Merah berhenti, lalu berkacak pinggang dengan sebelah tangan sambil memandang Adipati dengan mata menyipit. "Oh, kira-kira siapa ya?"

"Sudah kubilang aku tidak memberinya apa pun," balas Adipati di sela-sela giginya yang terkatup rapat.

"Aku tidak peduli, Adipati," kata Bawang Merah, kembali melangkah. "Aku tidak akan melepaskanmu sebelum mendapat apa yang kumau." Kemudian ia melirik Adipati dengan seringaian mengancam. "Atau kau tidak akan pernah bertemu dengan Bawang Putih lagi selamanya."

Adipati tampak tidak mengubris perkataan Bawang Merah. Ia menekuri pakaian dalam bakul yang dipeluknya itu sambil bergumam serius. "Tidak mungkin kristal itu berada padanya. Bawang Putih orang yang baik."

Bawang Merah mendengar gumaman tersebut, dan diam-diam mengertakkan gigi. Ia benci setiap kali Bawang Putih disebut gadis berhati baik dan lemah lembut, sementara Bawang Merah sendiri dikenal gadis yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari saudara tirinya itu.

Walaupun pernyataan tersebut benar, tetap saja Bawang Merah tidak suka dibanding-bandingkan. Ia muak dengan segala kesempurnaan yang ditunjukkan Bawang Putih. Terlebih lagi, ketika semua orang desa diam-diam menjuluki Bawang Putih dan Bawang Merah sebagai malaikat dan iblis.

Bawang Merah membungkuk dan mengambil salah satu batu yang cukup besar, kemudian membantingnya ke dalam bakul pakaian dengan kesal hingga Adipati terkejut.

"Apa?" protes Adipati tidak senang.

"Kau menatap pakaian dalamku," balas Bawang Merah asal tanpa menoleh.

"Maaf?" kata Adipati, melirik ke dalam bakul tidak yakin. "Ada yang ingin kutanyakan. Apa Bawang Putih berkata kalau aku yang memberi kristal itu? Di mana dia sekarang?"

"Dia berusaha menyamarkanmu sebagai nenek-nenek yang tinggal di tengah hutan, tapi untungnya aku tidak bodoh," dengus Bawang Merah. Lalu ia mendelik kesal pada Adipati. "Dan kau tidak perlu menanyakan Bawang Putih. Ia sedang berada di tempat yang tidak akan pernah bisa kau jangkau," katanya sok misterius.

Pria itu tertawa mengejek. "Jangan meremehkanku," ucapnya. "Kau tidak tahu aku siapa."

"Tahu," balas Bawang Merah tak acuh. "Adipati Utara."

Adipati tampak tidak begitu puas.

"Pangeran tersesat," tambah Bawang Merah lagi.

Mendadak Adipati berhenti, kedua alisnya bertautan seolah sedang menimbang sesuatu. Bawang Merah menoleh tidak sabar padanya dan berteriak. "Hei, terserah kau mau menyebut dirimu dengan apa. Tapi yang penting, kau tetap harus mengikutiku!"

Tiba-tiba Adipati menatap Bawang Merah cukup lama, membuat gadis itu entah kenapa merasa gugup. 

"Kau benar," kata Adipati dengan suara rendah, bibirnya membentuk segaris senyum tipis. "Seharusnya aku mengikutimu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top