Chap 4.
Matahari semakin meninggi namun, sampai saat ini pun aku belum menemukan jejak kain itu. Hampir putus asa, saat ikan mengatakan dia juga tidak menemukan kain itu. Aku sudah berjalan lumayan jauh menyusuri sungai. Aku yakin jika kain ibu pasti hanyut terbawa arus yang sudah mulai deras tadi pagi. Kain itu mungkin sudah hanyut terlalu jauh.
"Putih, di ujung sana ada dua aliran sungai, yang satu mengarah ke dalam hutan larangan, yang satu mengarah ke perbatasan desa. Aku sudah mencari sampai perbatasan desa namun aku sama sekali tidak menemukannya."
Tubuhku semakin melemas, apa yang harus aku lakukan sekarang, tidak mungkin aku pulang. Ibu pasti akan membunuhku, bagaimana ini?
"Bawang putih, pulanglah dulu, katakan yang sejujurnya pada ibumu."
Aku menundukkan kepalaku, tubuhku lemas. Itu bukan ide yang baik, jika aku pulang dan mengatakan hal ini.
"Tidak, aku tidak ingin pulang sebelum aku menemukan kain itu." Tekadku kuat, aku tak akan pulang sebelum aku menemukan kain itu. Jika pun aku tak menemukannya, aku akan terus mencari. Lagipula, percuma saja aku pulang, toh ibu pasti akan mengusirku atau membawaku kepada raksasa itu. Lebih baik aku mengembara untuk mencari kain milik ibu.
Aku berdiri, dan melangkah ke sebuah gubuk dekat sungai. Di gubuk itu aku pernah meletakan sebuah kain dan pisau beberapa hari yang lalu setelah aku mencuci. Aku membuat kain itu seperti jubah dan memakainya, pisau aku sisipkan di bajuku.
"Kau mau ke mana Bawang Putih?" tanya ikan setelah aku kembali ke sungai. Dia mungkin merasa heran, dengan tingkahku.
"Aku tak ingin dimakan raksasa, dan aku juga tak ingin dibunuh ibu, lebih baik aku pergi mencari kain itu."
"Aku ikut, aku ingin menemanimu."
"Tak usah, aku tak ingin membawamu, pasti akan merepotkan."
"Aku tak akan merepotkanmu, cukup masukan aku ke dalam botol air itu, tubuhku juga tak begitu besar. Lagipula aku masih menyimpan tiga permintaanmu yang tak kunjung kau sebutkan, mungkin saja kau membutuhkannya nanti. Ku mohon ajak aku," ucapnya sembari berlinang air mata.
"Berisik sekali kau ini! Aku akan membawamu tenang saja, sangat berguna jika lapar, kau dapat aku makan nantinya." Menyambar ikan itu, dan memasukkannya ke dalam botol.
Percuma saja jika aku hanya diam dan menangis karena takut kepada ibu. Lebih baik aku pergi dan mencari kain itu, menemukannya atau tidak itu urusan nanti. Yang intinya, aku kabur dari rumah.
Aku melangkah menyusuri sungai hingga sampai di perbatasan desa dan hutan larangan. Tak lama aku berjalan, aku melihat seorang penggembala sapi tengah memandikan sapinya di sungai.
"Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, makin sedikit makin asyik. Itulah kata para penggembala gila." Samar-samar namun jelas aku mendengar penggembala itu melantunkan sebuah kata. Aku mendekatinya, mungkin saja dia melihat kain itu.
"Maaf Tuan, boleh saya bertanya?" Penggembala itu menoleh ke arahku, sedikit memicingkan matanya, mungkin untuk memperjelas penglihatannya.
"Mendekatlah sedikit lagi, aku tak dapat melihatmu dengan jelas," ucapnya sembari tersenyum ramah.
Aku melangkah maju, tepat di pinggir sungai. Wajahnya yang sudah mulai keriput dan rambutnya yang sudah mulai memutih melukiskan sebuah kebahagiaan di senyumnya yang lepas itu.
"Apa yang ingin kau tanyakan, Nak?"
"Apakah, Tuan melihat sebuah kain berbenang sutra yang hanyut di sini?"
"Kain sutra? Hmmm?" Dia mengerutkan keningnya seakan mencoba mengingat sesuatu.
"Aku melihat sebuah kain tadi pagi saat mengambil air, aku mencoba untuk mengambilnya namun, belum sempat aku mengambilnya, kain itu hanyut terbawa arus ke dalam hutan," tuturnya.
"Hutan??"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top