chap 2
***
Aku terbangun dari tidurku, aku mencoba untuk tidak menghiraukannya. Aku mencoba tidur lagi, tapi sapi itu kembali bersuara. Kali ini semakin berisik membuatku sakit kepala. Suara sapi itu terus saja melenguh membuatku terpaksa bangun dan memeriksanya. Entah sampai kapan sapi itu akan terus menggangguku.
Apa mungkin dia akan melahirkan? Tapi siapa yang telah menghamilinya? Ah, mungkin ada sapi jantan tak sengaja memperkosanya. Susah, jika sapi homo minta pasangannya maka mencari pasangannya pasti pemilih. Dengan malasnya aku melangkah menuju kandang takut, jika terjadi sesuatu padanya. Sapi jantanku, adalah sapi yang sangat menawan di tanah Bengkalis ini, mungkin karena itu banyak pejantan yang terpesona kepadanya.
Aku tak akan dapat tidur kembali jika aku belum memastikan ternak-ternakku baik-baik saja walau awalnya aku tak peduli tapi aku takut jika terjadi sesuatu pada sapi kesayanganku. Kail sebentuk, umpan seekor, sekali putus sehari hanyut . bila mengerjakan sesuatu tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, tidak akan mendatangkan hasil. Aku harus mengerjakannya sekarang aku melangkah keluar menembus gelapnya malam hanya bantuan cahaya bulan yang dapat aku andalkan. Suara binatang malam terdengar memecah keheningan malam ini, dingin anginnya seakan menusuk kulitku yang hanya berbalut kain. Aku membuka kandang sapi yang hanya beratap kayu.
"Apa ada sesuatu yang mengganggumu sapi? Kau terlihat begitu risau, sampai membangunkanku." Aku mengelus lembut badan sapi yang berwarna coklat itu. "Apa kau lapar? Hmm, airmu habis. Kau pasti haus, tunggulah akan aku ambilkan air di sumur." Aku mengangkat ember dan berjalan ke sumur timba, yang tidak terlalu jauh dari kandang.
Tanganku terus menarik ember berisi air dari sumur, hingga sebuah cahaya dari obor menampakkan sesosok bayangan, seseorang yang bahkan tak tampak wajahnya karena terlalu jauh dan cahaya obor yang tak begitu terang, membuatku menghentikan kegiatanku menimba. Siapa gerangan orang yang pergi di tengah malam seperti ini.
Pemikiran singkat membuatku memutuskan untuk mengikutinya. Langkah demi langkah aku ikuti orang itu, menuju ke dalam hutan hingga dia berhenti di seberang sungai. Aku sudah gila, di tengah malam seperti ini aku mengikuti seseorang yang bahkan aku tak kenal, melewati sungai dan masuk ke dalam hutan larangan.
Aku bersembunyi di balik semak-semak, walau samar aku mencoba mengintipnya.
"Apa yang harus aku lakukan, raksasa?" Suara itu terdengar sayup, suara yang sangat aku kenal.
Ibu? Apa yang dia lakukan di hutan larangan ini?
Mataku membulat sempurna saat aku melihat sebuah lengan besar terjulur menunjuk ibu tiriku. Lengan yang bahkan tak tampak wajah dan tubuhnya, yang membuatku bergidik ngeri.
"Carilah kain berbenang sutra, cucilah saat matahari akan terbit. Kain itu akan membuat rupamu awet muda dan cantik. Tapi ingat, kain itu hanya boleh dicuci oleh seorang gadis yang memiliki tanda lahir di pelipis matanya. Kau pasti tahu, siapa gadis itu." Suara besar itu terdengar begitu jelas dan kasar, yang semakin membuatku takut.
"Bawang Putih," ucap ibu tanpa ragu, membuatku terkejut setengah mati. Aku menutup kedua mulutku, dan melangkah mundur. Hingga kakiku tak sengaja menginjak sebatang ranting yang terdengar sangat jelas.
"SIAPA ITUUUU?!?!" Suara raksasa yang begitu keras membuatku ketakutan dan segera pergi dari sana.
Aku berlari, lari sekencang-kencangnya, sekuat tenaga, Tak peduli ranting-ranting tajam menyobek kulitku, tak peduli juga dengan langkah kakiku yang membawaku entah ke mana. Aku takut, sangat takut.
Aku masih terus berlari menembus hutan hingga aku tak sadar aku sudah berada di dekat sumur. Napasku terus bergemuruh, keringat bercucuran membasahi tubuhku.
"Putih? apa yang kau lakukan di tengah malam seperti ini?" Seseorang menyentuh bahuku, yang membuatku langsung terkejut dan terjatuh.
"Merah?"
***
"Kail sebentuk, umpan seekor, sekali putus sehari hanyut . bila mengerjakan sesuatu tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, tidak akan mendatangkan hasil."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top