chap 11
Kami kembali melangkah menembus hutan. Sesekali kami bertanya pada pemburu atau pencari kayu di hutan apakah melihat sebuah kain berbenang sutra. Namun nihil, tak ada satu pun orang yang melihat kain itu. Hampir putus asa, karena tak seorang pun melihat kain itu, aku menghentikan langkahku dan duduk di batang pohon yang tergeletak di tanah.
"Aku lelah, Pli. Sudah seharian kita mencari tapi tak ada satu pun yang melihatnya, aku benar-benar sudah lelah."
Kipli menghela napas pelan dan ikut duduk di sampingku. Kami duduk sembari menatap ujung sungai yang bahkan tak tampak ujungnya.
"Sampai kapan Pli? Aku pergi sejauh apa lagi? Aku rindu rumahku, aku rindu sapi homoku, aku rindu mencuci di sungai, aku rindu mengintip para pria bersama ikan mas ajaib, aku rindu semua itu." Aku menunduk menyangga kepalaku dengan tangan, baru kali ini aku merasa sangat merindukan rumahku. Walau aku muak dan akhirnya memutuskan untuk kabur, tapi kali ini aku rindu rumah itu.
Terlalu banyak kenangan yang tersimpan di rumah itu. Sampai saat ini pun aku masih berharap ayah akan pulang dan menemui diriku di rumah.
"Kita bahkan belum memulai apa-apa, kau malah sudah menyerah." ucap Kipli yang membuatku menoleh ke arahnya.
"Semua perjalanan dan pencarian pasti akan ada ujungnya, Akal tak sekali datang, runding tak sekali tiba, segala urusan selesainya secara bertahap atau berangsur-angsur tidak langsung selesai sekaligus itu yang namanya proses. Kelak jika kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan kau akan baru menyadari betapa berharganya sebuah proses," ucap Kipli yang membuatku sedikit berpikir.
Sepertinya benar kata Kipli, aku tidak boleh menyerah. Aku harus berusaha agar aku dapat segera mendapatkan kain itu dan pulang ke rumah. Walau aku tahu, saat aku pulang nanti ibu pasti akan memberikan hukuman padaku. Tapi aku tak peduli apa pun hukuman itu, yang aku ingin kan sekarang menemukan kain itu dan segera pulang.
"Kau benar, Pli." Aku tersenyum ke arah Kipli.
"Baiklah, tunggulah di sini, aku akan mencari buah-buahan untukmu." Kipli berdiri dan melangkah pergi mencari makanan.
Aku menyandarkan kepalaku di pohon besar, menghirup angin sedalam-dalamnya. Memejamkan mataku sesaat sembari menenangkan pikiranku.
Aku mendengar sebuah langkah mendekatiku sehingga aku membuka mataku untuk memastikan siapa orang itu. Sesosok pemuda berdiri tepat di hadapanku, pemuda itu berdiri menyilang tangannya menatap tajam diriku yang tengah duduk santai. Bajunya serba hitam dan sebuah tanda berbentuk bulan di keningnya. Dia memakai sebuah blangkon dan membawa sebuah palu kayu.
"Si-siapa kau?" tanyaku gugup, bagaimana tidak gugup, dia menatap intens diriku tanpa berkedip.
"Harusnya aku yang bertanya siapa kau?" tanyanya padaku yang membuatku gugup.
"Aku Bawang Putih, kenapa memangnya?"
"Seharusnya kau tidak pergi ke sini, apa yang kau lakukan di tempat ini?"
"Mencari kain," ucapku.
"Mencari kain di sini? Apa kau gila, atau kau memang gila?"
Sebenarnya siapa pemuda ini, datang-datang bertanya hal-hal aneh dan mengatakan aku gila.
"Kau itu yang gila! Datang-datang bertanya yang aneh-aneh," teriakku kesal.
"Kembalilah! Jika kau ingin mencari kainmu carilah lewat duniamu, jangan melewati jalan pintas yaitu dunia orang lain. Kau sudah membuat masalah besar di tempat ini."
"Aku tidak mau! Memangnya siapa kau berani mengusirku dan memerintahku." Aku berdiri dan mengangkat kedua tanganku di pinggang menentang pemuda itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top