7. Rumor yang Nyata

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

"Jadi, ada apa lo hari libur begini tiba-tiba ngajakin makan siang bareng?"

Aku mengaduk spageti karbonaraku. Saus buatan koki restoran sini tidak terlalu enak, sebenarnya. Tapi, entah kenapa aku nagih sekali spageti karbonara khas Epic Resto. Ya, mungkin karena faktor lapar juga. Ini sudah lewat jam makan siang, ngomong-ngomong. Dan aku belum makan apa-apa selain sepiring pasta yang ada didepanku.

Suasana Epic Resto cukup ramai. Tapi tidak terlalu sesak sampai aku jadi tidak betah. Di lantai dua, di meja yang terletak di balkon di paling ujung yang seakan terasing dari keramaian, aku dan Anya duduk berdua. Di depanku, spageti karbonara yang hampir masih utuh dan segelas lemon tea. Sementara didepan Anya, salad tuna mayo dan strawberry milkshake. Sama-sama masih utuh. Dua puluh menit kami berada di sini, hanya dihabiskan dengan keraguanku untuk mengutarakan maksud sebenarnya dan tatapan curiga Anya yang tidak hilang-hilang itu.

Aku risih sebenarnya melihat Anya seperti tengah menggosipiku di dalam otaknya. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan maksud dan tujuan. Anya ini jenis orang yang sedikit diberi tahu rahasia maka akan mengulik sampai ke akar-akarnya. Aku takut terbawa arus orang ini.

"Mau pinjam duit, ya, lo? Segan begitu muka lo," celetuknya.

"Sekalipun gue yatim piatu, gue punya banyak duit, ya," aku tak terima. Asal saja dia bicara.

Anya hanya mengedikkan bahu. Ia menciduk salad tunanya. Mulai makan dengan tenang. Aku memperhatikan spageti karbonaraku yang sepertinya sudah dingin. Sekarang mungkin waktu yang tepat untuk bertanya padanya. Tapi bagaimana memulainya tanpa menimbulkan rasa curiga. Anya terlalu menaruh sangka pada banyak hal yang terasa tidak biasa.

Aku salah. Harusnya aku tidak mengajaknya makan siang untuk membicarakan hal ini. Jelas-jelas sikapku ini penuh dengan anomali. Anya pasti sudah dirundung banyak sekali prasangka.

"Far," sial, aku terlalu bimbang. Anya pasti semakin curiga karena aku memanggilnya dengan nama depannya. Nama itu hanya kuucapkan setiap kali aku hendak berbicara sesuatu yang sangat serius.

"Ngomong aja kali, Ar. Lo butuh berapa? Gue usahain bantu, kok."

"Gue nggak mau pinjam duit!" Dia nyengir kuda.

Ish! Bagaimana sih tampangku saat ini. Apa semenyedihkan itu sampai Anya berpikiran seburuk itu?

"Maksud lo apa?" kataku, akhirnya. "Lo bilang di grub, sekolah kita suka ada kejadian-kejadian aneh..."

Anya diam sejenak. Selama beberapa saat tidak ada respon apapun yang kudapat darinya. Ia hanya menatapku, berkedip pelan, seolah tengah memikirkan sesuatu. Jantungku jadi dag-dig-dug. Aku tidak berani bernapas saking takut akan respon darinya. Apa aku telah memulainya dengan sesuatu yang salah?

Sendok salad yang ia pegang kini ia taruh ke atas piring dengan hati-hati. Tidak ada suara diantara kami selain suara denting yang kecil. Anya memajukan tubuhnya, berpangku tangan di atas meja. Dia menatapku lekat.

"Lo kandidat Bawah Tanah, kan?"

Suaranya sangat rendah dan serius. Tatapannya masih belum lepas dariku. Ia menunggu jawaban. Aku mengedarkan pandang pada ramainya Epic Resto musim libur ini. Suasana di tiap-tiap meja hangat. Penuh canda dan tawa. Aku melihat lagi ke mata Anya. Mata yang baru kali ini melihatku dengan sangat serius. Terpojoknya meja kami membuat orang-orang tidak akan menyadari bahwa apa yang tengah terjadi di antara aku dan Anya adalah sesuatu yang membuatku bersitegang hingga ke ujung-ujung kuku.

"Apa sih, lo?" tawaku lepas saat itu juga. Aku tidak pandai bermain lakon. Tapi setidaknya aku pernah memerankan karakter sakit jiwa yang tertawa bahagia setiap kali menyakiti seseorang. Pengalaman itu yang kupegang saat ini untuk membuat tawa palsu. Semoga Anya tidak sejeli itu untuk melihat sandiwaraku. "Senang banget sama omong kosong macam begitu. Please deh, Anya. Hari gini, masih percaya sama rumor-"

"Bawah Tanah bukan rumor," ia memotong ucapanku. nadanya masih seserius sebelumnya. "Apa yang gue omongin di grup, terserah anak-anak cuma anggap itu lelucon atau omong kosong bahan ngeramein grub, tapi gue selalu serius kalau bicara soal itu. Bawah Tanah itu benaran ada, Aurora. Dan lo salah satu kandidatnya. Lo anak yang terpilih untuk jadi salah satu dari mereka."

Pertemuan ini sepertinya sudah sangat melenceng dari apa yang aku perkirakan. Pembicaraan ini seharusnya tidak menyingkap soal apakah aku salah satu kandidat atau bukan. Anya seharusnya tidak perlu securiga itu. Ada apa? Ini seperti dia mengetahui lebih banyak dari pada yang kutahu. Walau mungkin secara teknis benar. Tapi itu seharusnya tidak membuat dia yakin kalau Bawah Tanah sungguhan ada. Karena yang menerima surat dari instansi misterius itu adalah aku.

Kemarin itu, setelah kurebut cepat-cepat dari tangan Om Hardi. Aku memeriksa seluruh bagian surat itu. Depan, belakang, luar dan dalam. Tak peduli bagaimana tampilannya, surat itu benar-benar bukan dari orang brengsek itu -aku masih tidak sudi memanggil namanya, omong-omong. Itu benar-benar dari Bawah Tanah. Atau setidaknya begitu yang tertulis. Di dalamnya hanya ada selembar surat. Itu adalah surat beasiswa. Berikut dengan keterangan maksud dan tujuan, nama instansi pengirim, serta sebuah nomor untuk dihubungi. Tidak ada alamat jelas, nama pemimpin instansi atau data apapun yang dapat menjadi identitas. Surat itu hampir seperti surat fiktif yang dikirim oleh orang tidak punya kerjaan. Apalagi dengan amplop berwarna pink dan simbol hati dibagian tengah, siapa yang akan percaya kalau itu adalah surat beasiswa dari sekolah mata-mata. Tapi gurat serius yang ditampakkan Anya, serta tatapan tidak main-main yang ditujukannya padaku sangat mengangguku.

Mungkinkah ia...

Aku masih mempertahankan senyumku ketika Anya sudah benar-benar tidak memiliki senyum di wajahnya. Satu tarikan napas untuk melemaskan punggungku dan bersandar pada kursi seraya berpangku tangan. Kutatap ia dengan senyum tipis upaya melonggarkan ketegangan. Aku ingin tahu, seberapa serius dia membicarakan hal ini. Seberapa yakin dia Bawah Tanah benar-benar bukan rumor tidak penting belaka. Pun seberapa jauh dia mengetahui tentang semua ini.

"Oke," kataku, masih dengan berusaha santai. " Anggaplah Bawah Tanah benar-benar ada. Lantas dari mana lo tahu? Bagaimana lo bisa begitu yakin kalau sekolah mata-mata itu benar ada?"

"Karena gue juga kandidat Bawah Tanah, Aurora," katanya. Dia menjawab cepat sekali. Yakin. Tanpa keraguan. "Gue juga dapat surat beasiswa itu."

...

Omong kosong ini seharusnya cukup sampai disini saja. Sewaktu pertama kali memutuskan untuk bertemu Anya, sama sekali tidak ada niatku untuk percaya perihal Bawah Tanah. Bagaimanapun, organisasi itu hanya rumor yang sama sekali tidak memiliki bukti kuat untuk kebenarannya. Tapi Anya malah memberikan pengakuan mengejutkan itu.

Ini semua membuatku bingung. Aku dihadapkan dengan sesuatu yang keberadaanya antara ada dan tidak. Seandainya aku bisa bersikap masa bodoh, tapi Anya malah memberikan pengakuan itu. Ya, bisa saja Anya berbohong, sih. Mungkin dia sedang mempermainkanku, membuat hari jahil baru seperti Maret mop, atau apa. Aku belum memastikan apakah dia sungguh-sungguh atau tidak. Tapi dari pembicaraan kami di Epic Resto kemarin, aku bisa setengah percaya bahwa Anya tidak sedang bermain-main.

Hari ini Anya menjanjikan sebuah kunjungan ke rumahku sore nanti. Begitu ia mendapatiku tidak bisa berkata apa-apa ketika dia menyebutkan soal surat beasiswa, Anya langsung menghentikan pembicaraan kami saat itu juga. Katanya, lebih baik dibicarakan di ruang privat di mana hanya ada kami berdua. Aku tidak tahu alasan kenapa Anya begitu ingin obrolan soal ini menjadi sangat rahasia, senyap, dan tidak terendus orang lain yang tidak kenal sekalipun. Padahal aku sangat ingin memborbardirnya dengan banyak pertanyaan waktu itu. Tapi, ya sudahlah. Anya pun sudah berjanji akan menceritakan semuanya nanti malam.

Tapi sebelum itu terjadi, akan kuceritakan dulu bagaimana aku bisa kembali ke tempat ini. Tempat di mana semuanya dimulai. Segala huru-hara, tanda tanya. Aku masih ingat benar bagaimana kemarin bangunan ini masih menjelma puing-puing sisa. Hari ini, genap empat hari setelah teror bom itu, aula ANDALAS sudah hampir pulih dari segala luka. Menyisakan aku yang pusing akan banyak tanda tanya.

"Bagaimana pertemuannya dengan kepala sekolah?" aku memberikan salam hormat sebelum menjawab. Kang Akur tersenyum padaku, sebelum matanya kembali lagi pada bangunan aula yang tengah dalam proses pembangunan.

Kami berdiri sekitar sepuluh meter dari bangunan besar itu. "Pak Isdar bilang jangan terlalu memikirkannya."

Aku menerima panggilan dari wali kelasku untuk segera datang ke sekolah siang ini. Beliau bilang kepala sekolah, Pak Isdar, hendak bertemu. Tidak banyak yang dibahas di ruang kepala sekolah tadi. Pak Isdar bertanya-tanya perihal kejadian waktu itu, lalu menasehatiku agar tidak perlu khawatir dan jangan terlalu memikirkannya. Beliau bilang pelakunya sudah ditangkap. Beliau juga bilang tidak ada berita di TV karena beliau yang meminta agar kasus ini ditutup rapat dan tidak disebarluaskan sebagai berita di media massa.

"Ya, setiap hal buruk memang harus cepat-cepat dilupakan," Kang Akur menimpali. Aku tak sengaja bertemu dengannya di depan aula ini. Ketika aku tengah memperhatikan begitu cepatnya sisa-sisa kejadian hari itu terlupakan dan hilang.

"Kang," ujarku, kami berdua masih menatap lurus ke arah aula. "Pernah nggak, sih, Akang ngerasa kalau akang terlibat sesuatu yang besar tapi Akang nggak tahu apapun?"

Kang Akur bergumam. "Konteksnya apa dulu, nih? Misterius banget, tuh, kayaknya."

"Yaa, nggak tahu," aku menggaruk kepalaku. Tidak mungkin, kan, kusebutkan bahwa perbincangan ini mengarah pada kejadian bom itu. Kejadian yang Anya yakini seratus persen berkaitan dengan Bawah Tanah. "Nanya aja, haha."

Kang Akur belum menjawab. Ia bergumam panjang sekali. Matanya masih memperhatikan para tukang yang merenovasi aula. Entah sejak kapan aktivitas mereka jadi tontonan menarik bagi kami. Tak lama, Kang Akur menunjuk salah satu tukang yang berada diatas atap aula. Sedang menangkap batu-bata yang dilemparkan oleh rekannya dari bawah.

"Kamu lihat tukang yang di atas itu, Aurora?" aku mengangguk pelan. Kang Akur tersenyum dan diam lagi. Tangannya kini berpindah untuk mengusap dagunya yang berjanggut tipis.

"Kenapa, Kang?" Tanyaku.

"Sebelum jadi pelatih disini akang dulu pernah kerja sambilan jadi tukang bangunan. Nggak lama, cuma dua bulan." Aku mengangguk, mendengarkan. Kang Akur masih memperhatikan tukang itu. "Jadi pekerja kasar memang harus siap menghadapi situasi berbahaya. Kerja di ketinggian dengan minim alat keselamatan, kayak apa yang sekarang kita lihat. Tapi, karena akang waktu itu masih muda, baru keluar SMA. akang dijadiin kacung yang bantu-bantu bawa alat saja di bawah. Nggak bahaya, sih. Tapi capek, berat."

Aku tersenyum kecil. Ya, aku bisa membayangkan bagaimana pelatihku itu menjadi pekerja kasar amatir yang suka disuruh-suruh mandornya. Dengan tubuh kurus yang otot-ototnya belum terbentuk. Dan dada yang belum sebidang sekarang.

"Suatu hari," Kang Akur melanjutkan. Entah kenapa, tapi kusadari nadanya berubah berat kali ini. "Teman akang yang sudah senior di sana jatuh dari lantai tiga bangunan yang lagi di rekonstruksi. Untungnya selamat. Tapi beliau harus kehilangan satu kakinya karena tertimpa alat berat waktu jatuh. Polisi melakukan penyelidikan dan perusahaan digugat karena mengabaikan keselamatan para pekerja. Waktu itu, katanya, Alat keamanannya rusak. Sudah berkarat. "Kang Akur berhenti sejenak. Ia menghisap rokok nya. Kemudian dia tertawa kecil dari hidungnya. Aku mendengarnya lebih seperti mendengus. "Bisa kamu bayangkan saat itu, Aurora. Sudah alat keamanannya minim, rusak pula. Berkarat. Memang pantas, sih, itu perusahaan buat digugat. Tapi kamu tahu apa yang terjadi setelah perusahaan digugat, Aurora?"

Kang Akur menatapku. Aku menggeleng. "Apa, kang?"

"Gugatannya dicabut." Aku merasakan kemarahan pada suaranya. "Gantinya, beberapa hari kemudian, teman akang yang lain digugat karena menyebabkan kecelakaan. Polisi bilang, kronologisnya mereka di ketinggian itu bukannya kerja tapi malah bercanda. Sampai teman akang yang kecelakaan itu kepeleset dan jatuh dari lantai tiga. Kamu pasti bisa menilai kalau itu tidak benar, kan?"

Aku mengangguk. Tidak sulit mencium fakta yang dibalikkan dari kejadian sejanggal itu. "Perusahaannya pasti nyogok polisi buat bikin gugatan palsu. Kejadian palsu."

Kang Akur mengangguk, "ya, tapi masalah utamanya bukan disitu. Gugatan itu sebenarnya bisa dilawan kalau saja teman akang yang kecelakaan itu bicara. Tapi, entah kenapa, dia tidak mau melakukannya."

"Mungkin dia sama saja dengan polisi yang mau terima sogokan itu. Mungkin dia disogok berapa juta rupiah buat tutup mulut. Mungkin dia lebih suka uang dari pada temannya yang dituduh itu."

"Kamu berpikir begitu karena tidak mengenalnya. Tapi akang tahu persis bagaimana teman akang itu. Pribadi yang jujur, rendah hati, prinsipnya kuat berpacu pada keadilan dan kebaikan. Sampai sekarang akang nggak tahu kenapa beliau nggak mau ngasih tahu ke semua orang soal kebenaran akan kejadian waktu itu. Sampai sekarang semua nggak ada yang tahu kenapa dia begitu. Dari cerita akang ini mungkin kamu sudah bisa melihat maksud akang. Bahwa setiap kejadian, tidak peduli kita berpengetahuan soal itu dengan baik..."

"...Akan selalu ada hal yang tetap menjadi misteri. Hal-hal yang tidak pernah bisa kita lihat dan pahami dari sisi kita. Tapi akan kita ketahui dari sisi yang lain," ujarku spontan. Kang Akur tersenyum. Mengangguk membenarkan tanggapanku.

"Selalu ada dua sisi dari setiap kejadian, Aurora. Mungkin kamu tidak bisa melihatnya dari sisimu, tapi bisa kamu ketahui jawabannya dari sisi yang lain. Akang nggak tahu kamu terlibat apa, sesuatu sebesar apa, semisterius apa, sampai kamu nanya hal yang begituan. Aneh rasanya ditanya begitu sama anak seumur kamu. Tapi, kalau kamu bertanya-tanya, why it's happen to you, kamu bisa coba memahami sesuatu itu dari sisi yang lain. Kamu mungkin akan menemukan jawabannya disana."

Aku menggeleng. Jawaban Kang Akur masih tidak bisa menjadi solusi bagiku yang menghadapi sesuatu yang ada di antara fiktif dan nyata.

"Tapi, kang, bagaimana kalau sisi yang lain itu tidak ada, atau tidak bisa aku temukan. Seperti tidak terlihat, yang keberadaanya tidak memiliki bukti fisik apapun."

"Kalau begitu, mungkin sesuatu itu memang dimaksudkan begitu."

"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.

"Maksudnya, mungkin memang itu maksudnya. Kamu merasa terlibat atau dilibatkan oleh sesuatu yang tidak ada. Kamu merasa ditekan oleh hal itu. Mungkin itu memang dimaksudkan seperti itu. Untuk membuatmu sadar dan tahu bahwa kamu sedang berada di situasi yang diciptakan oleh mereka."

Jawaban Kang Akur jelas memperumit semua ini. Apa maksudnya itu ... ada sekelompok orang yang sengaja meledakkan sekolahku untuk membuatku sadar bahwa aku sedang diincar untuk menjadi kandidat mata-mata, agen rahasia, whatever. Ini tidak masuk akal. I mean, this is illegal. Pengeboman sekolah jelas ilegal dan membahayakan banyak nyawa. Orang gila mana yang melakukan itu hanya untuk menjadikan seseorang kandidat mata-mata sialan.

"Ini sungguh gila."

"Gila, memang. Tapi ada beberapa orang yang melakukan metode itu untuk mengetahui apa seseorang pantas atau tidak untuk menjadi sesuatu."

Spontan aku menoleh pada Kang Akur. Wajah nya santai sekali. Memperhatikan para tukang bangunan melakukan tugasnya. Aku di sebelahnya sudah menegang seperti batu. "But, why?" Gumamku.

"Mungkin karena kamu yang terpilih," aku sebenarnya tidak mengharapkan Kang Akur berkata begitu. Tapi jawabannya sangat menarik perhatianku.

"Terpilih?"

"Terpilih, itu seperti 'mereka' memilihmu dan percaya padamu. Percaya Kamu bisa atau mampu menghadapi itu. Itu terpilih. Kamu yang terpilih."

"Tapi, aku cuma anak biasa. Aku nggak sepintar Kak Camil. Keluargaku bukan orang kaya. Aku cuma anak biasa. Kenapa aku?"

Aku secara sadar tahu bahwa tidak seharusnya aku mengatakan hal yang sangat mencurigakan seperti itu. Bisa-bisa Kang Akur curiga atau bagaimana. Tapi Kang Akur tidak memberikan respon berarti selain tatapannya yang jadi agak aneh dan senyumnya yang terasa janggal. Dengan senyum itu, ia berkata padaku, "menurutmu, apa yang membuatmu menjadi istimewa? Kualitas apa yang membuatmu pantas menjadi sang terpilih?"

Aku mengalihkan tatapan pada para tukang bangunan lagi. Menggelengkan kepala pelan.

"Tidak tahu, benar sekali. Kebanyakan orang-orang tidak sadar akan potensi diri mereka sendiri. Sering kali juga lingkungan mereka tidak bisa melihat potensi orang itu. Potensi yang tersembunyi karena satu dan lain hal. Tapi, akang pernah dengar satu organisasi yang begitu jeli memilah mana emas dan tembaga. Mana yang berkualitas mana yang tidak. Organisasi itu begitu misterius. Keberadaanya hanya rumor di kalangan masyarakat. Sangat tertutup, hampir dipercaya hanya sebagai karangan fiksi seseorang. Tapi, beberapa kali kejadian-kejadian aneh mengarah pada mereka.

"Organisasi yang sangat pandai melihat manusia-manusia unggul untuk dijadikan kandidat. Tujuannya masih simpang siur. Orang dulu berkata, organisasi itu menculik anak-anak remaja untuk dijadikan senjata perang. Tapi, banyak juga yang percaya organisasi itu adalah organisasi yang dibentuk khusus oleh pemerintah dan sangat dirahasiakan keberadaannya karena setiap kandidat adalah calon mata-mata negara. Rumor baik dan buruk menyelimutinya seperti awan-awan menyelimuti langit. Banyak sekali. Tapi tidak satupun yang pernah terverifikasi kebenarannya. Organisasi yang sampai sekarang tidak diketahui kebenaran akan keberadaannya. Organisasi seperti..."

"Bawah Tanah."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top