52. Our Farewell

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Ra, jika kita jadi mata-mata sungguhan, kira-kira, bagaimana kita akan berakhir?

Apakah kita akan jadi pahlawan dalam bayangan?

Atau … kita akan menjumpai kematian?

Bagi setiap makhluk hidup, muara terakhir dalam hidupnya adalah saat ia menjumpai sang maut, karena setiap yang hidup akan selalu menjumpai mati. Namun, jika sebuah akhir hanyalah tentang kematian, akankah hidup kita memiliki makna selain daripada nilai kehilangan?

Manusia membawa lebih banyak hal dalam perjalanan menuju akhir hidupnya. Ada yang membawa kesuksesan, ada yang memeluk kegagalan, ada yang merangkul kebahagian, lalu ada juga mereka-mereka yang menggandeng penyesalan. Nilai, makna dari kehidupan kita bergantung pada apa yang kita lakukan. Bergantung pada setiap keputusan yang kita ambil. Akankah kita mati dalam kedamaian? Akankah kita mati dalam penyesalan?

Bila saja mungkin waktu dapat dipermainkan. Bila saja mungkin kita dapat menuju awal dan akhir kehidupan. Bila kita dapat membalik waktu, mungkinkah semua penyesalan-penyesalan itu tidak akan terjadi? Karena dalam akhir hidupku, aku menyesali semua keputusan yang telah aku ambil.

Menyesalinya dengan begitu dalam.

Deru napasku memberat tatkala aku menatap menembus mata Sancaka yang tak lagi diliputi kehangatan. Di dalam jendela hatinya yang kelam itu, hanya kutemukan kekosogan tanpa batas. Menunjukkan padaku bahwa selama ini aku tidak pernah menahu tentang kisah apa yang ada di balik mata kelamnya. Aku selalu menemukan kegelapan setiap kali aku memandang ke dalam sana, aku tidak pernah menemukan Sancaka, tidak sedikit bagianpun dari dirinya.

“Saya pengkhianatnya,” kata lelaki itu lirih. Aku menatap nanar. “Saya pengkhianatnya, Ra."

“Bohong!” seruku menolak percaya. “Bohong … nggak, nggak mungkin lo.”

Velidsa terbahak mendengar lirihanku. “Lo pikir Sancaka datang ke sana buat nyelamatin lo? Hahaha, nggak lah, bego! Dia jemput lo buat nganterin lo ke Amerta. Kalau kalian nggak kejebak di tol, gue nggak perlu turun tangan kayak gini dan lo akan tetep mati, Aurora! Iya, ini maksud gue waktu gue bilang lo akan mati. Gimana? Lo suka?”

Tak kuhiraukan gadis gila itu. Satu-satunya tempat mataku tertuju hanya Sancaka. Hanya  pacarku. “Dia bohong ‘kan, Cak?” lirihku sekali lagi. “Lo nggak mungkin gitu.”

Sancaka diam saja, tatapannya penuh kesedihan. Raut wajahku seketika berubah. Aku mengingat sesuatu. Tunggu, apakah selama ini memang dia? Apakah selama ini memang ini yang direncakanan oleh Sancaka? Apakah selama ini dia tahu soal rencana Pak Hendrik dan Velidsa? Kuingat kata-katanya sewaktu kami kabur dari asrama jam tiga pagi dulu, kuingat kata-katanya saat kita berbicara berdua setelah misi di Balai Agung dulu, saat-saat kita saling berbisik sewaktu berdansa di Balai Agung, lalu aku ingat kata-kata Selena soal Sancaka. Tunggu, apa selena juga tahu? Aku mendengus tak percaya. Semuanya berputar-putar di kepalaku tiba-tiba.

Suatu saat nanti, kamu tahu semua kebenaran tentang ini, saya mau kamu janji bahwa kamu nggak akan menyerah, Rora.

Janji, kamu nggak akan menyerah akan apapun. Janji, kamu akan selesaikan semuanya.

Kau yakin keputusanmu itu tepat, Sanca? …  putuskan saja dia.

Ananke. Kenapa 'Ananke'?

Ananke itu, dalam mitologi Yunani adalah nama dari dewi untuk hal-hal yang tidak bisa terelakkan … kita, berdiri di sini itu karena kita memilih berdiri di sini.

… Tapi gimana kalau apa yang kita pilih bukan karena itu pilihan kita, tapi karena itu adalah yang harus kita pilih?

Sancaka tahu semua tentang Aurora, tapi Aurora nggak tahu satupun tentang Sancaka … Aurora nggak akan mau tahu apapun tentang Sancaka ….

Apa alasan Sancaka jadi mata-mata … Lo nggak punya pilihan

Kita mungkin nggak bisa bersama …

Sesaat pun tak mengapa.

… Semua tentang Sancaka nggak ada yang bagus.

… Sancaka itu cowok brengsek ….

Kamu takut kalau saya bisa bunuh orang?

Jadi, lo bakal bunuh gue?

Kalau saya todongin kamu pistol lagi, kamu harus todongin balik.

“Haha ….” Aku tertawa miris. Tanpa aku sadari, ia sudah menunjukkannya padaku. Apa yang akan menjadi akhir dari kita. “Jadi … ini maksud lo soalnya semuanya? Soal janji, soal lo bilang kalau lo todongin gue pistol sekali lagi, soal .. apa lagi, hah? Ananke? Ini maksudnya Ananke? Apa yang nggak bisa lo hindarin, Cak?! Lo nggak bisa hindarin kalau lo bakal khianatin gue?”

Lelaki itu meringis. Suaranya bergetar saat dia bilang, “Maaf ….”

Aku mendengus tak percaya. “Jadi semuanya palsu? Perasaan lo ke gue itu palsu, Cak?”

“Nggak!” serunya frustasi. “Nggak. Saya sayang kamu.”

“Terus … kenapa?” lirihku.

“Saya terpaksa.” Aku menangkap air mata di ujung matanya. Hidup ayah saya ada di tangan Pak Tahir. Saya perlu menemukan Amerta dan bawa kamu ke mereka, dengan begitu ayah saya bisa selamat.” Ia menangis terisak-isak. Aku membelalak.

“Pak Hendrik manfaatin lo juga?”

Sancaka mengangguk kecil. Air mata menuruni kedua pipinya. Sekarang aku tahu kenapa mata itu bisa menyimpan begitu banyak lara. Seolah-olah ia hidup dengan menanggung pedihnya dunia.

“Saya nggak punya pilihan, Ra … karena itu saya harus lakuin ini.”

Aku terdiam mematung. Detik itu, wajah Sancaka berubah dingin. Lelaki itu merangsek ke arahku dan melintangkan tangannya ke depan tubuhku. Ia menahanku di pelukannya dengan kasar. Persis seperti apa yang dia lakukan sewatu menjadikanku sebagai sandera sewaktu kejadian bom rekayasa di Andalas.”

“Hendrik Tahir!” serunya. Ia menyapu pandangan ke seluruh penjuru sembari menodongkan kepalaku senjata. “Keluar! Saya tahu kamu ada di sekitar sini! Keluar atau saya tembak Aurora!”

“Sancaka, lo apa-apaan!” bentak Velidsa yang berdiri di dekat helikopter. “Bukan gini kesepakatannya. Lo bawa dia ke Amerta, kita serahin berkas ayah lo. Lo lupa, hah?!”

Sancaka mendengus muak. “Serahin dulu berkasnya! Baru kalian boleh bawa Aurora!”

“Nggak semudah itu,” seru Anya dingin. Ia menodongkan pistolnya ke arah Sancaka. “Lepasin Aurora atau gue tembak lo”

Aku menatapnya nanar. Rasa bersalah telah menuduhnya yang tidak-tidak merundungku habis-habisan. Nyatanya, orang yang berkhianat adalah pacarku sendiri.

“Anya!” bentak Velidsa. “Lo lupa? Dia bikin lo nggak jadi murid terbaik. Lo masih mau lindungin dia? Mendingan lo tembak Sancaka sekarang, bawa Aurora ke gue—”

Dorr!

Anya menembak ke langit. Membuat semua terkejut bukan main. “Heh, diem ya, Bangsat! Lo nggak bisa manfaatin gue lagi.”

Velidsa berdecak kesal. Kini ia ikut menodongkan senjatanya ke arah Anya. Jantungku berdegup kencang melihatnya. “Velidsa! Turunin senjata lo sekarang juga.”

Velidsa menelengkan kepalanya melihat ke arahku. “Hah? Kenapa? Lo bakal tembak gue juga? Hahaha, perhatiin dulu pistol di samping kepala lo!”

Emosiku benar-benar kacau. Aku merasakan aliran darah menderas di kepalaku. Aku benar-benar ingin menyudahi semua ini. Tapi apa daya? Velidsa benar. Aku saja tak bisa apa-apa di cengkeraman Sancaka.

“Oke, tenang semuanya!”

Tiba-tiba terdengar seruan dari seseorang. Mata kami semua teralihkan pada seorang pria yang baru keluar dari mobil yang parkir di dekat kami. Itu adalah Pak Hendrik. “Tenang semuanya. Bisa tolong kalian turunkan senjata kalian? Saya sudah di sini. Kalian mencari saya? Sancaka? Kamu mencari saya?”

Aku memandangnya penuh murka. Tak habis pikir bagaimana bisa pria itu masih begitu tenang setelah semua ini.

Sancaka menghadap ke arah Pak Hendrik yang berjarak beberapa meter darinya. “Serahin dokumen ayah saya.”

“Serahkan dulu Aurora,” pinta Pak Hendrik semberi tersenyum tenang. Sancaka sedikit menekan jarinya ke pemicunya. “Berkas ayah saya, lalu saya berikan Aurora.”

Pak Hendrik menghela napas. Ia pun mengeluarkan sebuah berkas dari mobilnya. Melemparnya ke arah Sancaka. Berkas itu teronggok di aspal. “Sudah saya berikan. Sekarang, Aurora.”

Kami semua terdiam. Sancaka menatap dokumen itu. Ia belum bereaksi apa-apa. Anya di depanku kian waspada. Begitu juga dengan Velidsa yang masih menodongkan pistolnya pada Anya.

“Lo bener-bener bakal lakuin ini ke gue?” kataku pelan.

Sancaka tersenyum kecil. “Kamu percaya saya bia melakukannya?” Aku tak menjawab. Dia melanjutkan. “Kalau saya nggak percaya saya bisa melakukannya.”

Keningku berkerut heran. “Apa—”

“Ha! Sudah saya duga. Bapak nggak akan nyerahin berkas aslinya ‘kan?” kata Sancaka. Suaranya bergetar hebat.

Pak Hendrik terheran mendengar kata-kata Sancaka. “Sancaka, berikan Aurora—”

“Saya tahu Bapak bohong soal Ayah saya. Bapak nggak punya bukti yang bisa bikin ayah saya nggak di hukum mati ‘kan?” Lelaki itu meringis kecewa.

“Apa maksud kamu, Sancaka? Saya punya bukti agar ayah kamu dibebaskan. Sudah saya berikan berkasnya. Sekarang, berikan Aurora!”

Sancaka menggeleng keras. “Saya nggak bisa khianatin Aurora.”

“Sancaka!”

Lalu semuanya terjadi dengan begitu cepat. Sancaka melepaskanku. Ia menjatuhkan pistolnya. Lalu tanpa diduga-duga, tahu-tahu saja lelaki itu mengeluarkan sebuah granat dari saku jaketnya. Ia menarik pinnya dan melemparkannya ke arah helikopter. Semua yang melihat membelalakkan mata. Tak sempat bereaksi apa-apa. Helikopter lalu meledak hebat. Mobil-mobil yang ada di dekatnya ikut terkena dampak menciptakan ledakan besar. Sancaka menarikku hingga kami jatuh berbaring di aspal.

Bumbungan asap hitam menciptakan suasana kian kelabu. Kobaran api menguar tinggi menimbulkan bunyi repih. Aku dan Sancaka masih terpekur di aspal saat kudengar khalayak ramai berteriak histeris. Isak tangis muncul di mana-mana. Di sekitarku, orang-orang yang berhasil selamat dari ledakan karena berada cukup jauh dari helikopter mulai bangkit dan berlarian menjauh. Sementara yang lainnya teronggok mengenaskan.

“Velidsa!” seru Pak Hendrik yang ternyata masih selamat. Velidsa berdiri di samping helikopter saat ledakan terjadi. Aku tidak tahu apakah dia selamat atau tidak. Gadis itu sempat berlari. Namun kulihat kini ia terkapar dalam genangan darahnya sendiri di aspal. Pak Hendrik menghampirinya dengan panik.

Ah, bukankah Anya juya berdiri cukup dekat dengan helikopter? Aku langsung bangkit begitu mengingat gadis itu. “Anya!” teriakku.

“Aurora!” Kulihat gadis itu sedang berusaha bangkit tak jauh dariku. Aku bergegas menghampirinya. Baru dua langkah, perhatianku langsung teralih oleh Pak Hendrik yang tiba-tiba saja menodongkan pistolnya ke arah kami. Aku membelalak.

“Anya awas!”

“Sialan kalian semua!”

Dorr!

Desing peluru terdengar menghantam punggung Anya. Membuat tubuh gadis itu limbung ke depan. Aku menangkapnya dengan tanganku. Sejenak aku merasakan jantungku berhenti berdetak. Sejenak kemudian aku merasakan waktu berhenti berputar. Suara denging menyakitkan berderu di mana-mana. Pendengaranku memblokade suara di sekitar. Pandanganku berubah buram. Kepalaku lantas diliputi kekosongan.

“A-ara—” lirihnya tertahan.

Kemudian suara-suara yang tadi tidak terdengar berubah menjadi seruan penuh kebisingan. Aku merasakan waktu kembali berputar. Detak jantungku kembali terasa berdentam cepat. Manakala aku jatuh oleh beban tubuh Anya dalam pelukanku, saat-saat di mana mataku menangkap darah memenuhi tangan dan punggung Anya, saat itu, sekali lagi aku menyadari bahwa aku kembali mengalami kekalahan telak. Tujuanku untuk membuat orang yang kusayang tidak lagi tersakiti karena kesalahan keluargaku dipupuskan dalam satu tembakan.

Aku bergetar hebat saat Anya mulai memuntahkan banyak darah ke penggungku. Terbatuk keras seolah nyawanya ikut tertarik keluar. Anya terbatuk lagi dan lagi di pelukanku. Aku bisa merasakan bau besi yang kuat saat punggungku terasa basah oleh darah Anya. Kubaringkan ia di pangkuanku. Wajahnya sudah benar-benar memucat. Tanganku bergetar hebat menangkup pipinya.

“Ay,’ panggilku lirih. Napasnya mulai memendek. Anya meringis menahan sakit. Air mata mulai mengaliri pipinya. “Shh … nggak papa, nggak papa.” Aku berusaha menenangkannya.

“Ra—gue ….” Kalimatnya tersendat. “Ra, sakit—”

Aku memejamkan mataku. Menahan isakkanku sendiri. Kuusap air matanya pelan. Mencoba tersenyum agar Anya percaya semua akan baik-baik saja. “Gue tahu, kok. Gue tahu. Nggak papa, Ay. Nggak papa. Lo akan baik-baik aja. Kita sebentar lagi pulang. Tahan, ya.”

Aku menatap sekitar. Mencari siapapun yang bisa membantuku. Namun semua orang bahkan tidak lagi mempedulikan mayat yang bergelimpangan di jalan. Mereka berlarian menjauhkan diri dari tempat ini dengan wajah penuh teror dan ketakutan. Aku terisak sendiri. Siapa saja, siapa saja tolong datanglah.

Aku tak ingin kehilangan lagi.

__________

2 BAB MENUJU EPILOG

apa yang kira-kira menunggumu di akhir kisah?

Awww Haii 👋🏻 masih ada yang baca kah?

Maafin aku yang ga sempet up ini berbulan-bulan 😭 well, sebentar lagi Bawah Tanah 1 tamat n aku jadi agak degdegan haha.

Tenang aja gaiss, meski upnya lama. tapi ending Bawah Tanah 1 sudah ada ditangan yey 🥳 sekarang aku lagi sedikit demi sedikit  merancang plot untuk Bawah Tanah 2. Kisah Aurora panjang n berliku ya  🤧 tapi semoga kalian masih betah untuk ngikutin 🥺

Setelah baca bab ini gimana nih pendapat kalian? Apakah akan sad or happy end? Ada yang masih tim Sancaka? Atau udah melipir ke Djanuar? Atau malah ada yang tim Aurora jomblo saja? Wkwkw.

Tungguin selalu yaa 😁

Sampai jumpa di bab selanjutnya 🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top