51. Painful Truth

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel bye Zivia Zee

•••

Mantan kekasih bisa menjadi sumber masalah paling merepotkan di dunia apabila semua hal yang terjadi di masa lalu tidak diselesaikan dengan baik. Aku baru saja menjadi bukti nyata dari kejamnya dunia 'per-mantan-an' ini. Akibat keputusanku meninggalkan Djanuar di Bandung tanpa menyelesaikan masalah kami dulu, kini aku harus menerima konsekuensinya. Djanuar—yang entah bagaimana bisa tahu aku ada di Nusa Dharma—baru saja melakukan tindakan kriminal luar biasa. Ia menculikku menggunakan helikopter. Parahnya, bukan hanya aku saja yang jadi korban!

Aku tidak tahu bagaimana harus berkata lagi terlebih setelah aku melihat mantan pacarku itu baru saja membuang pacar dan sahabatku ke laut seperti tengah membuang sampah plastik. Tanpa ragu dan tanpa ba-bi-bu. Oh, jangan tanya betapa marahnya aku setelah melihat wajah tak bersalahnya saat lelaki itu melepas penutup wajahnya. Aku mengamuk hebat sampai helikopter yang kami tumpangi hampir terjatuh, dan cowok itu dengan super tega memukul tengkukku hingga pingsan.

Begitu aku terbangun, aku sudah berada di salah satu kamar hotel entah di kota mana. Tidak ada waktu untuk memikirkan lokasi. Hal pertama yang aku lakukan setelah membuka mata adalah mengambil pemukul baseball yang nangkring di sudut ruangan, lalu mengejar-ngejar Djanuar seperti psikopat gila.

Brakk!!

Vas bunga tak bersalah itu hancur begitu pemukulku mendarat di sana setelah Djanuar dengan gesitnya berhasil menghindar. Ia melirik pecahan vas bunga itu dengan ujung matanya. Mukanya lantas kian memucat.

"Lo diam di situ. Minimal kena sekaliii aja," pintaku

"Habis itu lo berhenti?"

"Habis itu gue ganti pakai pistol. DJANUAR!"

Lelaki itu berlari keluar kamar. Aku mengejarnya dengan kecepatan seribu kaki. Beberapa tamu yang tengah berjalan di koridor terkejut bukan main melihatku berlarian dengan pemukul mata menyalang bak harimau melihat mangsa.

"Tahan liftnya!" teriak Djanuar ketakutan. Tangannya menggapai-gapai ke depan hendak mencapai lift yang akan menutup. Orang-orang di lift menoleh penasaran dan menahan liftnya.

Aku langsung berseru heboh. "NGGAK! Jangan tahan liftnya. Gue geprek satu-satu kalau ada yang berani!"

Melihat aku yang berlari-lari dengan mengacungkan pemukul sembari melotot super lebar, mereka lantas berjegit takut. Lalu berhenti menahan liftnya. Mereka kini memencet-mencet tombol lift panik agar pintunya cepat tertutup.

"TIDAK!" teriak Djanuar saat pintu lift tertutup sempurna. Ia menoleh ke arahku dengan wajah penuh teror. Aku menyeringai senang.

Djanuar berhenti berlari. "Aurora, please. Ampun. Nggak akan gue ulangin lagi. Sumpah!"

Kuhentikan langkahku tepat di depannya. Mengetuk-ngetukan pemukul ke lantai agar ia tahu kalau aku masih punya nafsu untuk membuat sebuah bola tenis bertengger di kepalanya.

"Nggak akan ngulangin, ya?" tanyaku. Ia mengangguk cepat. Aku mendengus. "Ya iyalah nggak akan ngulangin orang nyawa lo bakal gue cabut sekarang juga!"

Kuayunkan tongkat baseball di tanganku tinggi-tinggi, berancang-ancang memukulnya keras seakan-akan aku berniat membuat seluruh isi otaknya meluber ke mana-mana. Tentu saja aku tidak akan benar-benar melakukan itu. Setidaknya, tidak sampai isi otaknya keluar.

"Gue punya alasan!" seru lelaki itu. "Please, dengerin gue kali ini aja. Gue lakuin ini karena gue mau nyelamatin lo dari Bawah Tanah.

Tanganku berhenti mengayun. "Masih tentang ini lagi? Please, deh. Nggak usah mengada-ada! Kalau ini cara lo biar gue berhenti dari—"

"Gue nggak lagi berusaha buat bikin lo berhenti dari Bawah Tanah karena gue nggak suka, Ra. Gue ngelakuin ini karena mereka berbahaya. Mereka itu manfaatin lo, Ra. Tolong percaya gue kali ini aja."

"Kak!" bentakku. "Ara bener-bener capek! Ara bener-bener nggak bisa ladenin kakak kali ini so please, anterin Ara pulang ke temen-temen Ara."

"Ara, dengerin gue dulu—"

"DJANUAR!"

"Gue punya buktinya!" seru Djanuar cepat. "Gue punya buktinya. Gue tahu lo masuk Bawah Tanah karena nyokap lo. Karena dia bikin kesalahan."

Aku membisu. Apakah semua orang tahu tentang fakta itu?

"Tapi, itu bukan salah nyokap lo, Ra. Bawah Tanah memanipulasi fakta. Mereka buat seolah-olah itu salah nyokap lo. Padahal sebenarnya bukan! Kardus berisi organ yang dikirim ke Bawah Tanah itu bukan Sarah. Sarah sebenarnya hilang dan sampai sekarang nggak ada yang tahu dia di mana. Bawah Tanah mati-matian nyari tentang Amerta karena Amerta tahu di mana Sarah. Bukan karena mereka pengin nangkep Amerta."

Djanuar mengeluarkan sebuah kertas dari sakunya. "Ini hasil tes DNA sisa mayat di dalam kardus itu, dan dari tes menunjukkan bahwa itu bukan Sarah. Mereka bohongin lo, Ra."

Aku mengambil kertas itu. Memperhatikannya lamat-lamat. "Memalsukan data kayak gini itu gampang banget—"

"Aurora! Bisa nggak sih lo percaya sama gue kali ini aja?! Gue bener-bener nggak mau lo terluka!" kesalnya.

Dibentak demikian emosiku ikut naik. "Terus lo tahu semua ini darimana?!"

Ia menghela napas. Nampak berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Gue kenal orang dalam pemerintah. Gue kenal orang BIN. BIN udah lama mengawasi kasus ini dan Bawah Tanah. Harusnya, kasus ini ditarik dari Bawah Tanah. Tapi Hendrik Tahir tetap ngirim murid-murid buat kasus ini. Lo pikir itu karena apa? Karena dia mau nemuin Sarah. Dan dia manfaatin lo buat itu, Ra. Dia mau jadiin lo umpan!"

Aku terdiam. Sejenak keraguan melingkupi hatiku. Kalau dipikir-pikir, kasus ini memang terlalu berat buat anak SMA. Pemerintah setidaknya tidak akan membiarkan anak SMA menangani kasus seberat ini. Jika semuanya adalah adalah kerjaan Pak Hendrik demi menemukan anaknya, itu terdengar lebih masuk akal di telingaku.

"Ka-kalaupun benar, bukan berarti nyokap gue nggak bersalah," kataku tak yakin.

Ia berdecak kesal. Menggenggam kedua lengan atasku. Menatapku di mata. "Ada kabar kalau Hendrik Tahir membuat kesepakatan dengan Amerta. Kalau Hendrik Tahir bisa menemukan mereka dan membawakan putri Naras, maka Amerta akan memberitahu di mana Sarah berada. Aurora, tolong sadar. Mereka ingin menukarkan lo dengan Sarah. Lo bakalan dijadiin tumbal."

Di dalam mata Djanuar, aku melihat keseriusan yang luar biasa. Aku melihat tekad yang tidak main-main. Tidak mungkin tatapan seperti itu mengandung kebohongan di dalamnya. Kecuali jika ia adalah seorang pembohong ulung. Namun, haruskah aku mempercayai semua yang ia katakan? Karena di telingaku itu semua terdengar seperti omong kosong. Tidak mungkin Pak Hendrik bisa berbuat hal sekejam itu. Apa katanya? Menukarkanku untuk Sarah? Sarah anaknya jelas-jelas sudah mati.

Aku tertawa pahit. “Segitunya lo pengin bikin gue lari dari Bawah Tanah? Lo pikir gue bego?!"

"Nggak, Ra. Nggak sama sekali." Ia mulai kehilangan kesabaran.

"Lepasin gue," kataku dingin. Djanuar malah mempererat pegangannya. Aku memberontak. "Lepasin gue, Kak—"

"Lepasin dia atau saya tembak."

Aku terkejut mendengar suara yang familier. Djanuar di depanku membeku. Ia melepaskanku dan mengangkat kedua tangannya di samping telinga, berbalik secara perlahan. Aku mengarahkan pandangan ke siapapun yang ada di belakang Kak Djanuar. Betapa terkejutnya aku ketika melihat pacar baruku berada di dalam lift tengah menodongkan pistolnya ke kepala mantan pacarku. Oh, tuhan. Aku benar-benar lelah dengan konflik antara pacar dan mantan pacar ini.

"Aurora, sini."

Aku berjalan memasuki lift. Di saat yang sama, Nira keluar dari kamar tempat aku bangun tadi. Aku baru sadar kalau anak itu tidak berada di sekitarku. "Nira, sini!"

Gadis itu berlari tergopoh-gopoh memasuki lift, lalu memelukku erat.

"Aurora," panggil Djanuar lirih. Matanya memandangku dengan sirat sedih seolah-olah aku akan mati dua detik dari sekarang.

"Maaf, kak. Gue nggak bisa."

"Please, Ra. Gue ... gue sayang sama lo," lirihny, dengan tatapan mata yang menyiratkan ketulusan.

Mataku membola. Bukan tidak menyadarinya, aku bisa melihat perasaan tulus yang mengombak di dalam matanya. Aku melihat keinginan murni untuk mempertahankanku di sisinya. Aku melihat hatinya. Aku mendengar suara hatinya.

Namun, sayangnya sudah terlambat.

Aku menggenggam tangan Sancaka. Kini wajah Djanuar diliputi keterkejutan. Lalu dengan perlahan, sirat kecewa mulai menyala di matanya yang memandangku sayu.

"Maaf."

Pintu lift tertutup. Membawaku meluncur turun ke bawah. Tanpa kusadari jantungku berdebar kencang. Aku mengingat wajahnya yang khawatir, suaranya yang gemetar dan matanya yang menyiratkan damba saat ia mengatakan perasaannya. Jantungku berdesir hebat, hingga rasanya napasku ikut memberat. Bohong apabila aku berkata bahwa seluruh perasaan yang kumiliki untuknya sudah sempurna sirna. Dusta bila aku mengatakan bahwa di dalam hatiku sudah tak ada lagi ruang untuknya. Nyatanya, ia masih mendekam di dalam sana. Jauh di lubuk hati terdalamku. Nyatanya, jantungku masih berdebar karenanya. Dirinya masih bisa menimbulkan perasaan ingin memiliki meski itu tidak sebesar dulu.

"Tenang," kata Sancaka lembut. Meremas lembut tanganku. Aku baru sadar kalau aku menggenggamnya terlalu kuat. “Ini baju siapa?”

Sancaka memandangi aku yang tak lagi memakai pakaian compang-camping. Sudah berganti dengan  kaus hitam polos dan ripped jeans berwarna gelap. Kutatap ia di mata. Menjawabnya ragu. “Punya Kak Djanu.”

Lelaki itu cemberut. Kemudian menyerahkan jaket lorengku. Aku baru sadar dia menentengnya sedari tadi. Aku memakai jaketku. Sancaka sendiri memakai kaus dan jeans serba hitam. Dilapisi dengan jaket bomber hijau lumut.

Lift terbuka tak lama kemudian. Kami bergegas keluar dari gedung hotel. Sancaka membawaku ke lahan parkir. Ia bilang ia memarkirkan motornya di sana.

Begitu sampai di pinggir lahan parkir, langkah kaki kami berhenti. Motor Sancaka memang ada di sana, tapi bukan hanya motornya yang ada di sana. Tapi juga ada pria asing berjaket kulit hitam yang nangkring di sampingnya. Pria itu belum menangkap kehadiran kami. Sancaka menuntunku bergegas meninggalkan lahan parkir diam-diam. Kini kami berjalan dengan tergesa-gesa di trotoar.

"Itu orang Amerta?" tanyaku.

"Kemungkinan besar."

Banyak orang berlalu-lalang di trotoar. Semua tampak punya kesibukan tersendiri.  Namun tidak sulit untuk membedakan mana yang hanya peduli dengan kesibukannya sendiri, dan mana yang peduli dengan kesibukan orang lain. Di antara kerumunan manusia yang memadat di trotoar, aku melihat dua orang berjaket kulit hitam di depan. Tengah sibuk mengecek orang-orang yang berjalan di sekitarnya, mencari kami.

Sancaka menarikku untuk berputar arah. Sayangnya, dari arah satunya pun kami melihat orang-orang berjaket kulit hitam itu tengah menyisir trotoar. Orang-orang Amerta ada di mana-mana. Tidak ada satupun arah yang bebas dari mereka. Sial sekali. Kami terjebak di tengah-tengah.

“Kak.” Nira merengek di pinggangku. Ia menunjuk orang-orang berjaket hitam itu. Rupanya mereka sudah melihat kami. Aku dilanda kepanikan. Bergerak ke arah manapun rasanya tidak benar.

“Ke sini!” seru Sancaka. Menarikku melintasi jalan raya yang tengah ramai-ramainya. Beberapa mobil terpaksa berhenti mendadak saat kami tiba-tiba melentas. Bunyi klakson berderu nyaring mengundang perhatian orang-orang trotoar.

“Hei!” seru salah satu pengendara yang marah.

Aku memperhatikan sekitar. Orang-orang Amerta mulai megikuti kami ke jalan. Mengakibatkan lebih banyak klakson yang berteriak-teriak. Sancaka sempat berhenti di tengah-tengah. Sisi trotoar satunya yang hendak kami tuju juga di kuasai oleh orang Amerta.

“Jangan diam di jalan!” seru seorang pengendara lagi.

Kami mulai kembali bergerak berlari-lari di jalanan. Orang-orang itu mengejar kami. Kami menyisih ke trotoar. Orang-orang berlalu-lalang dengan padat. Aku menyenggol banyak bahu dan menyebabkan beberapanya terjatuh. Di belakang kami, orang Amerta itu malah dengan sengaja mendorong semua orang yang berada di jalannya. Bahuku tersentak saat Sancaka menarikku  menyisih keluar dari trotoar. Kami kembali ke parkiran. Orang yang menunggui motor Sancaka sudah tidak ada. Kami berlari-lari menggapainya.

“Tunggu dulu!” Tiba-tiba tanganku di tarik kencang ke belakang. Seorang pria berjaket kulit hitam dengan wajah super garang berhasil menangkapku. Nira berteriak histeris. Aku menariknya berpindah ke balakangku. Sancaka tak kalah gesit langsung menodongkan pistolnya. Gerombolan suruhan Amerta dengan cepat memenuhi parkiran. Ikut mnenodongkan senjata ke arah kami. Kami membeku.

Pria yang menarik tanganku melepaskan tanganku. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah ponsel. “Dia hanya ingin bicara,” katanya, menyodorkan ponsel itu padaku.

Alisku bertaut satu. Aku menoleh ke arah Sancaka yang masih waspada. Ia pun tak memiliki ide apa yang dimaksud dengan orang ini. Kupilih untuk menerima ponsel itu. Begitu ponsel itu berpindah ke tanganku, layarnya langsung menyala. Memperlihatkan panggilan dari sebuah nomor tak bernama. Aku mengusap tanda menerima panggilan, ragu-ragu mendekatkannya ke telingaku.

“Halo?” Terdengar bunyi kerasak selama beberapa saat sebelum kembali hening.

“Aurora Bhayangkari.” Aku mendengar suara seorang lelaki. “Siapa?”

“Orang yang kau cari,” ujarnya. Napasku tercekat saat itu juga.

“Dandelion?”

“Jika kau ingin bertemu dengan saya, ikutlah dengan mereka.” Sarannya terdengar dingin.

Aku berjalan menjauh dari orang-orang yang mengelilingiku. Sancaka mengikutiku dengan ujung matanya. Ia Nampak khawatir. Namun ia tidak bisa menyusulku dan menurunkan kewaspadaanya.

Aku berbisik skeptis. “Ini beneran Dandelion?”

“Jika kau tidak percaya, ikutlah dengan mereka. Lihat dengan mata kepalamu sendiri.”

“Naras Putri Lasmana, kau pasti tahu siapa dia. Di mana lo menyembunyikannya? Apa lo membunuhnya? Lo buang ke mana mayatnya? Jawab gue dan gue akan ikut mereka.”

Terdengar suara kekehan di ujung sana. “Saya akan menjawab semuanya setelah kamu berada di hadapan saya. Bukankah tidak sopan berbicara hal yang penting ditelepon seperti ini? Ikutlah dengan mereka, Nak. Akan kuceritakan soal ibumu.”

Aku mendengus jengkel. “Hah! Entah ini Dandelion palsu yang ke berapa lagi. Dengar ya, trik kayak begini nggak akan mempan sama gue. Bilang sama bos lo, nggak peduli seberapa sulit jalannya, gue akan cari dia sampai ke ujung dunia sekalipun. Bilang sama bos lo, dia akan bayar semua yang udah dia lakuin ke orang tua gue!”

Terdengar helaan napas panjang di ujung sana. “Kau sangat mirip dengan ibumu.”

Aku menutup panggilan. Berjalan ke tengah-tengah Sancaka dan pria berjaket hitam. Mengembalikan ponsel di tanganku padanya. “Dia mau ketemu.”

Si pria mempersilahkanku untuk ikut dengannya. Aku mendorong Sancaka mendekati motor gede yang terparkir di dekat kami. “Nggak perlu. Dia mau saya dateng sendiri. Dia kasih alamat pertemuannya. Kalian nggak perlu antar saya.”

Pria itu menatapku bingung. Aku menyuruh sancaka untuk cepat-cepat menyalakan motornya. Lelaki itu bertindak cepat. Begitu motor menyala, aku langsung menggendong Nira menaikinya. Lalu aku ikut naik ke atasnya.

“Ta-tapi bukannya ….” Sancaka mengendarai motornya pelan melewati kerumunan jaket hitam yang memandangi kami kebingungan. Begitu kami sudah memasuki jalan raya, orang-orang itu baru menyadari apa yang sedang tejadi. Pria tadi berseru kencang. “KEJAR MEREKA!”

Sancaka langsung mengegas motornya hingga melesat kencang di jalanan. Untungnya lalu lintas tidak padat, kami melaju pesat membelah udara. Desir angin menerbangkan rambutku dan menghantam wajahku kasar. Aku tidak pakai helm, butiran debu dari depan seperti menghujani mataku. Kami melaju melewati Simpang Tugu Ngurah Rai. Maju terus hingga memasuki Tol Bali Mandara.

Aku menoleh ke belakang. Kumpulan mobil dan motor melaju kencang ke arah kami.  Orang-orang itu rupanya belum berniat melepaskan kami. Sancaka dengan terpaksa menerobos jalur utama karena sulit untuk mengebut di jalur khusus motor yang sempit dan dipenuhi pengendara motor lain. Ia mengemudikan motornya lincah menyalip mobil demi mobil yang berada di depannya. Namun orang-orang yang mengejar kami pun tak kalah lincahnya. Aku berteriak panik saat sebuah motor dan sebuah mobil muncul di sisi kami. Sancaka menarik gas hingga kami terasa melayang.

“AURORA!” seru seseorang di belakangku. Aku menoleh dan melihat Anya serta Velidsa ada di mobil yang dikendarai oleh entah siapa. Kemudian aku menyadari selain gerombolan Amerta, ada gerombolan Bawah Tanah yang ikut balap liar di  tol dengan pemandangan laut yang fantantis ini. Selain Anya dan Velidsa, aku melihat Katrina, Sirin serta Cempaka berada di satu mobil yang sama di sebelah kiriku. Kemudian ada Alto dan Adam menaiki motor masing-masing, berusaha menghalangi jalan dari mobil gerombolan Amerta.

“Hei! berhenti, bodoh! Lo akan mati kalau maju terus!” teriak Velidsa. Aku memperhatikan ke belakang. Melihat gerombola Amerta datang semakin banyak, Alto dan Adam hampir di tabrak oleh mereka.

“Lo gila!” seruku. “Justru gue bakal mati kalau berhenti!”

“APA?” teriak Sancaka. Dia belum menyadari keberadaan yang lain. Aku mencondongkan kepalaku ke samping telinganya. Berseru, “Velidsa sama yang lain di belakang! Kita di suruh berhenti!”

Sancaka menoleh ke belakang sebentar. “Nggak bisa!” teriakknya pada Velidsa.

“Berhenti dulu, Cak! Gue butuh Aurora!” seru Velidsa.

Aku menoleh heran. “HAH?! Buat apa lo butuh gue—”

Brukk!!

Motor musuh di belakang menabrak kami. Sancaka dengan cepat kehilangan kendali. Ban motor tergelincir, kemudian oleng dan jatuh dengan miring. Kami terseret sejauh tiga meter sebelum motor berhenti. Debu mengepul di sekitar kami. Aku merasakan perih di kaki yang bergesekan dengan aspal. Lemas bukan main aku dibuatnya hingga tak sanggup untuk  bangkit. Di belakang kami, kekacauan sedang terjadi. Motor yang menabrak kami jatuh, membuat mobil Selena harus membanting setir hingga menabrak mobil musuh yang mencoba menyusul kami. Mobil musuh menabrak pembatas jalan, menyebabkan blokade jalan. Mobil-mobil yang datang mengebut di belakang mereka tidak memiliki waktu untuh mengerem. Tanpa mampu dihindari lagi, tabrakan beruntun terjadi hingga mengular Panjang ke belakang.

Mobil Velidsa berhenti di dekatku. Menciptakan semakin banyak kepulan debu yang menggulung-gulung di udara. Gadis itu turun dari mobil, dibantu Anya langsung menarikku berdiri dan memasukkanku ke dalam mobil. Aku merasa seperti sedang diculik, dan mungkin aku memang sedang diculik.

“Kak Sancaka nggak dibawa?” tanyaku bingung begitu mobil kami langsung maju tanpa membawa Sancaka. Aku menoleh ke belakang, Sancaka baru berdiri ketika mobil kami sudah jauh.

“Yang penting lo dulu,” kata Velidsa tak peduli. Aku menoleh ke Anya, meminta penjelasan. Anya menjawab tanpa menoleh padaku. “Pak kepsek dateng ke sini. Kita disuruh bawa lo ke dia. Katanya penting.”

Aku mengangguk paham. Aneh, kenapa Pak Hendrik datang ke sini untuk menemuiku? Aku sedang dalam misi untuk menyelamatkan Nira. Tunggu, Nira! “Wait, Nira masih di sana. Orag-orang itu ngincar dia!”

“Kak Cempaka yang urus,” jawab Anya cepat.

Dahiku berkerut heran. “Dapet lokasi gue dari mana?”

Anya menunjuk jam tangan pemberian Pak Sukma di tangan kiriku.”Ngelacak jam tangan lo lah. Lo pikir pacar lo si Ular Sanca itu tahu lokasi lo darimana? Dari sono lah.” Oh, iya. Aku lupa jam tangan ini adalah jam pintar dengan sistem android di dalamnya.

Mobil melaju menaiki jalan lingkar tol. Kami berhenti tepat di atasnya. Selagi aku kebingungan sendiri, Anya dan Velidsa turun. Mulai memblokade jalan dari mobil-mobil warga sipil yang hendak lewat. Aku ikut turun. Velidsa mengacungkan pistol ke udara dan menembakkan asap hijau. Tak lama kemudian, deru mesin helikopter terdengar dari kejauhan. Sebuah helikopter terbang menuju kami.

“Ini kita mau ngapain?” tanyaku.

“Lo harus ketemu pak kepsek,” jawab Anya singkat.

“Kenapa?”

Tak ada yang menjawab.

Aku merasakan bulu kudukku merinding saat angin mulai bertiup kencang di sekitarku. Aku merasakan sesuatu yang janggal dari tatapan tajam Velidsa dan mata dingin Anya. Ada yang tidak beres. Itu tercium jelas dari raut wajah mereka berdua. Helikopter itu mulai terbang rendah. Anya mendekatiku.

“Ayo, Ra,” ajaknya.

Aku berkelit mundur. Jantungku berdentum keras. Pikiranku berputar-putar pada satu kemungkinan yang selama ini selalu aku abaikan. Kenapa Pak Hendrik datang kemari dan memintaku menemuinya? Kenapa mereka lebih memilih membawaku ketimbang membawa Nira yang jelas-jelas lebih penting jika ingin menangkap Amerta? Kenapa dan segala kenapa berseliweran di otakku. Ruang tanya di benakku membludak hebat hingga berhasil mengetuk ruang curiga.

Dia mau manfaatin lo, Ra. Lo mau dijadiin tumbal!

Lalu aku ingat semua kata-kata Djanuar. Aku ingat raut khawatir yang memenuhi wajahnya. Aku ingat tatapannya kala ia mengatakan semuanya padaku. Ia begitu sedih. Ia kalut. Ia marah, takut dan aku membuatnya merasakan kecewa juga. Kemudian suaranya yang pecah kembali berputar di otakku. Terngiang-ngiang seakan berusaha menyadarkanku.

 Ada kabar kalau Hendrik Tahir membuat kesepakatan dengan Amerta … jika bisa menemukan mereka dan membawakan putri Naras, maka Amerta akan memberitahu di mana Sarah berada.

Aku terhuyung ke belakang. Kepalaku mendadak dilanda rasa sakit yang hebat. Kepingan-kepingan memori bedatangan entah dari mana, memaksa masuk ke kepalaku. Aku ingat saat mama pulang ke rumah. Memperingatkanku soal Amerta. Aku ingat kata-kata terakhirnya.

Selalu berhati-hatilah, Sayangku … nyawamu cuma satu, Aurora.

Seperti dihujani sinar setelah begtu lama mendekam dalam kegelapan, kini aku sadar, mama tidak memperingatiku karena tahu aku akan terlibat dengan Bawah Tanah. Mama memperingatiku, mama memberiku pesan agar aku tidak mengikuti jalannya. Lalu semuanya mulai terasa bercampur aduk. bak ada ledakan memori yang luar biasa besar di dalam kepalaku.

Aku mengingat wajah ayahku yang khawatir, tawa Susi Ambarwati yang meremehkanku, wajah Pak Hendrik yang begitu kalut saat mencoba membuatku percaya dengan semua kata-katanya. Lalu semua ingatan itu membawaku pada satu ingatan krusial. Ingatan saat aku berada di Galeri Wangsit bersama Selena. Kala aku menemukan sesuatu di gudang yang gelap di dalam galeri itu. Awalnya, aku mengira mataku salah melihat. Karena rasanya tidak akan mungkin akan menemukan foto ibuku yang sudah tercoreng tanda silang berwarna merah teronggok penuh debu di dalam sana. Namun, kini semuanya terasa masuk akal. Alasan foto ibuku di taruh di antara tumpukan sampah di gudang. Alasan mengapa Pak Hendrik membuat rumor aku adalah siswa emas tahun ini menyebar ke seluruh Bawah Tanah. Alasan mengapa meski aku membuat kesalahan besar, aku tetap dinobatkan sebagai murid terbaik. Itu semua adalah manipulasi  Pak Hendrik untuk membuat aku berada dalam situasi ini.

Situasi yang sudah Djanuar peringatkan padaku, namun aku mengabaikannya.

“Ra?” panggil Anya. Helikopter sudah mendarat di jalan.

Aku memandanginya nanar. “Apa lo tahu semua ini?”

Anya mengerutkan dahi. “Hah?”

“Anya, lo bantuin Velidsa bawa gue ke sini,” lirihku. “Lo khianatin gue?”

What?!” Anya melangkah mendekatiku. “Lo bilang apa? Gue? Khianatin lo? Lo yang khianatin gue, Ra! Lo yang ninggalin gue!”

“Jadi lo bantuin Velidsa, bawa gue ke Pak Hendrik supaya mereka bisa tumbalin ke Amerta karena lo masih dendam sama gue? Karena gue, lo nggak diumumin jadi murid terbaik?”

Anya memandangku nanar. Seolah-olah ia tidak tahu apa yang dia lakukan. Namun, semua sudah terkatakan. Dia memisahkanku dari Sancaka, membawaku Bersama Velidsa, dia melakukan semua yang akan Velidsa lakukan. Harusnya aku tahu sejak awal. Kenapa Anya bisa berada di sini, tidak mungkin jika bukan karena Velidsa mengajaknya untuk ikut memelihara dendam dan menjatuhkanku. Aku ingat dulu sebelum aku pergi, terakhir kali aku melihat Anya sewaktu dia memilih bersama Velidsa. Aku ingat tatapannya yang penuh kebencian saat itu.

“Teganya lo, Ay,” aku menatapnya penuh rasa kecewa. Suaraku pecah. Aku bergetar tak keruan. “Tega lo, Ay! Padahal gue sayang banget sama lo!”

“Gue tega? Aurora sadar!”

Aurora sadar!

Suara Djanuar tiba-tiba terngiang di kepalaku. Aku menutup mata menahan perih.

“Bukan gue yang tega, tapi lo, Ra! Bisa-bisanya lo bilang gue berkhianat? Nggak satupun dari kalimat lo gue ngerti, Ra. Nggak satupun—”

“Nggak usah bohong, sialan!” Aku berteriak frustasi. Pikiranku diliputi kekalutan. Aku tak bisa berpikir apa-apa lagi. Emosi mengambil alih diriku. Tanpa berpikir apa-apa aku menodongkan pistolku pada Anya. Velidsa di belakang tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Anya mundur selangkah. Matanya membola melihatku melakukan itu. Aku mendengus, mau sampai kapan dia bersandiwara?

Situasi kian kacau. Mobil-mobil hitam mulai berkumpul mengepung kami. Sekumpulan orang-orang bersetelan keluar dan menodongkan senjata ke arahku.

“Jadi ini maksud lo waktu lo bilang kalau gue bakal mati, hah?!” Seruku pada Velidsa. Gadis itu terbahak puas.

“Gimana? Gimana rasanya? Sakit?”

Anya membeliak mendengar Velidsa. “Velidsa ini apa-apaan?”

Aku tertawa miris. “Ay, please. Lo nggak usah pura-pura lagi. Gue tahu lo. Gue tahu lo selalu pengin jadi yang pertama. Gue tahu lo akan dan selalu akan melakukan semuanya  buat itu! Tapi gue nggak tahu lo bisa khianatin gue karena ini, Ay … so please, nggak usah pura-pura lagi!”

“Pura-pura? Gue nggak pura-pura, Ay! Gue beneran nggak tahu ada apaan di antara kalian berdua!”

“Lo nggak tahu, terus kenapa lo bantuin Velidsa?! Lo mau tahu kenapa Pak Hendrik mau ketemu gue?! Itu karena dia janji bawa gue ke Amerta buat ditukar sama sarah! Lo masih nggak tahu, atau lo pura-pura nggak tahu, hah?!”

Mata Anya diliputi keterkejutan. Aku ingi menangis. Sampai kapan dia mau begitu. Aku tahu dirinya. Aku tahu dia bisa memanipulasi orang lain. Sampai kapan dia mau melakukan itu padaku?

“Nggak sekalipun, Ra,” lirinya, “Nggak sekalipun gue pernah khianatin lo. Satu-satunya sahabat yang gue punya. Lo pikir gue bisa lakuin itu?”

“Ay, please. Berhenti nyakitin gue kayak gini, please.” Aku bergetar hebat. Namun Anya tak ingin menyudahi sandiwaranya. Gadis itu memandangku kian nanar. Menatapku penuh kecewa.

“Gue nggak pernah khianatin lo, Ra.”

“Ay—”

Kata-kataku tercekat saat telingaku menangkap bunyi kokangan senjata. Bukan dari Anya, melainkan dari seseorang di belakangku. Aku berbalik hanya untuk terhuyung mundur. Mataku membola, menatapnya penuh rasa kecewa saat Sancaka entah sejak kapan sudah berdiri beberapa meter di belakangku. Menodongkan senjatanya ke kepalaku untuk yang ketiga kalinya.

 “Bukan Anya yang mengkhianati lo,” kata Velidsa lagi. “Sancaka lah pengkhianat yang sebenarnya.”

__________

3 BAB MENUJU EPILOG

sudah siap menemukan akhir dari segalanya?

Aku tahu kalian sudah lumutan, tapi ... Here I am! ♪ \(^ω^\ )

Happy reading guys 🥳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top