50. Garden of Dandelion

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Nusa Dharma adalah sebuah pulau kecil di Nusa Dua Bali. Kami menghabiskan waktu sekitar dua jam menempuh perjalanan dari Denpasar. Kali ini, untungnya, Selena membiarkanku duduk di depan. Di samping Sancaka yang menyetir mobil. Karena yang bisa menyetir mobil hanya dua orang, Sancaka dan Zero. Maka kami harus berbagi ruang di mobil dengan lebih dari empat orang. Di kursi tengah, duduk berdempetan Selena, Cempaka dan Anya. Di kursi paling belakang, Alto dan Ririn tampak senang-senang saja berdua. Sementara Zero menyetir di mobil satunya bersama Velidsa, Adam, Riana, Aren serta duo sejoli Katrina dan Sirin.

"Enaknya yang jadi pacar supir." Anya berkata sinis. Kentara sekali penuh iri dan dengki. "Duduk leluasa di kursi depan."

"Nyenyenye," cibirku tak peduli.

"Awas itu tangannya nggak usah pegang-pegang! Lo belum dapet restu dari gue, ya!" Anya menepak tangan Sancaka yang mencari tanganku. Baru saja hendak digenggamnya. Lelaki itu lantas menarik tangannya kembali. Menunduk patuh pada Anya.

"Nggih, kakak ipar."

Aku mendengus jengkel. "Dasar jomblo."

"APA?!"

Mereka berseru kompak. Saking kerasnya aku sampai terperanjat. Sungguh, ada apa dengan mereka semua? Padahal aku hanya mengatai Anya.

"Kau yakin keputusanmu itu tepat, Sanca?" Selena bertanya seraya bersedekap tangan. Wajahnya yang serius benar-benar tak enak di pandang. "Kau tahu 'kan habis ini-"

"Saya tahu," potong Sancaka cepat. "Saya tahu, Selena. Tolong biarkan saja saya."

Ada apa ini? Suasana jadi tidak enak lepas mereka berbincang perihal hal aneh. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Apakah sesuatu yang berkaitan dengan misi? Atau hal lain yang disembunyikan dariku? Aku menoleh ke Cempaka, memeriksa apakah dia familier dengan apapun topik rahasia antara Sancaka dan Selena. Namun cewek itu juga sama terlihat begonya dengan semua orang yang tidak tahu-menahu. Dia bahkan tidak mengambil pusing. Memilih untuk memasang pengeras suara dan memejamkan mata.

"Hei, Aurora." Selena tiba-tiba memanggilku. "Putuskan saja dia. Sancaka itu cowok brengsek. Aku bicara sebagai teman yang sudah tiga tahun bersamanya dan sebagai kakak kelas yang amat menyayangimu."

Aku menoleh ke arahnya. Mengacungkannya jari tengahku. "Awas macem-macem lagi sama pacar gue!"

Ia mengedikkan bahu tak peduli.

Kami berangkat dari jam tiga pagi, dan sampai tepat ketika matahari terbit. Nusa Dharma adalah tempat wisata. Tetapi bila ditelusuri terus ke dalam, di ujung pulau ada lahan pribadi milik PT. Arca Mentari. Di sanalah Taraxacum berada.

"Arca Mentari tengah berusaha keras mengambil alih pulau ini sepenuhnya," kelakar Selena, membaca informasi yang ia cari di ponselnya. "Mereka membeli semua tanah yang bisa dibeli dan sedang bernegosiasi dengan pemerintah untuk melakukan investasi di sini."

"Mereka ingin menjadikan pulau surga ini menjadi neraka. Dasar para keparat berdasi!" umpat Cempaka.

Taraxacum tentu tidak bisa semudah itu di dekati. Kami memutuskan menyewa hotel, datang sebagai turis untuk melakukan pengamatan jarak dekat. Tidak banyak orang yang punya urusan di lahan pribadi Arca Mentari. Taraxacum tidak dibuka untuk umum jadi wisatawan tidak diperkenankan menjamah area itu. Hari pertama, kedua, dan ketiga melakukan pengamatan kami tidak menemukan apa-apa. Baru setelah seminggu kemudian, mulai ada mobil angkut yang berlalu lalang menuju ke sana. Diikuti dengan banyak truk berukuran sedang yang datang selama berhari-hari.

Kami membagi tim menjadi tiga bagian untuk membobol Taraxacum. Tim pertama adalah tim pengintai, bekerja duluan mengawasi aktivitas Taraxacum. Terdiri dari Alto, Riana, Adam, Katrina dan Sirin. Lalu tim penyergap, melakukan operasi penyergapan setelah informasi terkumpul. Aku berada di tim ini bersama Sancaka, Selena, Anya, dan sialnya, Velidsa. Lalu tim pengamat, melakukan pengamatan jarak jauh selama tim penyergap beroperasi. Bagian ini adalah keahlian khusus Aren dan Ririn. Sedangkan Cempaka, posisinya sebagai ketua dewan membuatnya naik dengan mudah ke kursi pemimpin misi. Meski tidak turun ke lapangan, tugasnya jauh lebih berat karena ia bertanggung jawab untuk semua nyawa kami.

"Kira-kira apa yang ada di dalam truk itu?" tanya Riana, begitu tim pengintai pulang ke hotel.

"Entahlah." Katrina yang masih berpeluh menyahuti. "Mungkin gerombolan anak-anak malang yang mereka culik."

"Tidak, sudah pasti isinya adalah potongan tubuh dan organ-organ," elak Sirin.

"Pasti ada bola mata dalam kaleng-kaleng penuh air."

"Dan potongan lidah."

"Oh! Yang tidak mungkin dilewatkan, jeroan dan bagian perut."

"Dengan usus manusia sepanjang enam meter yang mengelilinginya."

"Oke, cukup kalian berdua." Cempaka menyela saat melihat Aren yang memperhatikan mereka mulai berancang-ancang memuntahkan isi perutnya. "Kat, laporan yang benar."

Katrina dan regu pengintai berbondong-bondong mendatangi Cempaka dengan berbagai macam berkas yang mereka bawa.

"Semua ada di diska ini. Kami berhasil merekam dari udara aktivitas di dalam. Isi truk itu, ada sekitar sepuluh sampai lima belas anak yang baru di culik. Sisanya berkotak-kotak --mungkin saja organ-- dari pulau lain. Sepertinya mereka sedang bersiap mendistribusikannya ke para pembeli. Sisa uang dari projek amal sendiri tidak terlihat, mungkin sudah dikirim ke sana sebelum kita datang."

"Bagaimana dengan penjagaan?"

"Tidak terlalu banyak. Mungkin delapan orang. Selalu berganti-ganti hampir setiap hari. Tapi jika ingin masuk kita harus scan tanda pengenal." Kali ini Sirin yang menjelaskan.

Adam dengan sangat diamnya tiba-tiba mengeluarkan lembaran cetak biru. Saking diamnya tidak ada dari kami yang akan menyadarinya kalau ia tidak menarik perhatian Cempaka dengan mengulurkan berkas yang ia pegang. "Ini gambaran Taraxacum yang berhasil dipetakan."

Cempaka menerimanya. Ia menelaah lembaran itu cukup lama.

"Gimana sama Dandelion? Dia ada di sana?" tanya Selena.

Katrina menggeleng. "Taraxacum bisa dibilang seperti gudang 'barang' sementara mereka. Isinya benar-benar taman bunga yang dikelilingi hutan. Dan hanya ada sebuah bangunan tempat mereka mengurung dan mungkin juga membunuh anak-anak itu. Barang-barang yang dikirimkan ke sana akan dikirimkan lagi ke tempat lain besoknya. Mereka sepertinya tidak menganggap penting tempat itu. Karena isinya benar-benar hanya penjaga, itupun jumlahnya sangat sedikit dan bukan profesional."

"Oke, tim penyergap, berkumpul."

Aku maju mendekati Cempaka. "Semua informasi sudah terkumpul. Kalian akan turun besok. Misi kita adalah membebaskan anak-anak yang diculik dan mencari informasi tentang Dandelion. Mengerti?"

"Siap mengerti!" Kami serentak menjawab.

"Siapa pemimpin regu?"

Aku diam menunggu Sancaka atau Selena mengacungkan tangan. Namun sekian detik berlalu tidak ada yang bersuara. Anehnya, Cempaka melihat ke arahku dengan intens. Aku menoleh ke arah semua rekan sereguku. Betapa semena-menanya, mereka semua kompak menunjukku. Kecuali Velidsa yang tidak menunjuk siapa-siapa.

"Kok gue?!" kataku tak terima. "Ya, lu lah, Cak! Lu kan cowok!"

"Sa-saya? Saya biasanya bekerja sendiri. Bahkan waktu dengan Selena, kami bekerja sendiri-sendiri. Selebihnya improvisasi."

Aku menatapnya setajam pisau yang baru diasah. Pantas saja waktu itu ia bertindak seenaknya memutuskan untuk mampir ke panti tanpa ada diskusi dan persetujuan. Ternyata memang hanya pintar improvisasi.

Aku beralih menatap Selena. Gadis itu balik menatapku. "Kalau aku pemimpinnya kalian harus bisa bekerja seperti caraku bekerja. Siap?"

"Sekedar info saja, Selena itu orangnya nekat, dan hampir tidak waras. Dia bekerja berdasarkan insting dan suka mengabaikan rencana," tutur Zero tanpa di minta. Yang entah sejak kapan ada di sana. Hampir sepanjang hari dia tidak pernah terlihat. Dia bahkan tidak masuk ke tim manapun. Dia bilang, tugasnya adalah medis.

"Aku bekerja saat kalian sekarat." Lalu ia melengos pergi. Menghilang dari pagi sampai pagi. Aku curiga cowok itu mengapeli bule-bule berbikini di pantai.

"Jangan Selena," Cempaka menyetujui. Lalu aku menoleh ke arah Anya. Satu-satunya harapan karena Velidsa jelas tidak terlahir sebagai pemimpin.

"Lo nggak ada alasan-"

"Lo murid terbaik," potongnya. Aku mendesis kesal.

"Oke."

"Oke, kapten, kamu punya rencana apa?"

Aku berpikir sejenak. "Emm ... gimana kalau ...."

Aku kemudian menjelaskan rencanaku. Rembukan itu melahirkan perdebatan super sengit karena banyaknya kepala dengan otak jenius yang memiliki banyak ide tambahan, dan hampir semuanya meminta didengarkan. Aku sampai pusing seratus keliling melihat banyak mulut bicara di waktu yang bersamaan. Baru ketika aku memukul meja kesal, menarik napas dalam, lalu mulai menyimpulkan dan membuat sebuah rencana baru dari berbagai ide yang keluar, mereka akhirnya bisa diam dan saling setuju.

Rencana itupun dimulai keesokan harinya.

Tahap pertama, umpan.

"Oke, Aurora. Kau sudah siap di tempat?" suara Cempaka dari dari pengeras suara terdengar.

"Siap," jawabku.

"Aku sudah terhubung dengan kamera pengawas, mereka tidak akan merekammu. Kau bisa mulai." Aren menginformasikan.

"Tunggu aba-aba dari kami," ujar Cempaka. Beberapa menit kemudian ia kembali bersuara. "Oke, mulai. Semoga berhasil!"

Suara deru kendaraan terdengar mendekat. Itu mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Memasang kuda-kuda, lalu berlari sekencang-kencangnya menabrak pintu box besi truk hingga menjeblak terbuka. Aku jatuh berguling-guling di tanah. Truk CDE target yang tengah berjalan beberapa meter di belakang truk kami lantas berhenti mendadak. Aku memulai aksiku. Bersandiwara sebagai salah satu korban penculikan yang berusaha kabur. Aku mulai berlari. Di saat yang sama, Sancaka turun dari kursi kemudi.

"Heh! Anak sial! Jangan kabur!"

Seraya berlari, aku memperhatikan truk target. Dua orang pria berbadan gempal yang mengendarainya segera turun. Mengejarku. Mereka terpancing. Bagus. Aku melambatkan lariku. Membiarkan mereka menangkap tubuhku.

"Tidak semudah itu, anak nakal," ujar si gempal yang lebih kurus. Ia menarik tanganku kasar dan menjatuhkanku ke tanah. Membuat wajahku bercumbu dengan kerikil dan debu. Sialan!

"Uh, terimakasih. " Sancaka datang menghampiri. "Anak itu benar-benar merepotkan. Dia sudah tiga kali kabur."

"Tidak masalah. Lagi pula, jika ada yang sampai kabur bukan kau saja yang kena masalah." Si gembrot yang lebih besar menepuk bahu Sancaka bak bapak-bapak yang tengah menasihati anaknya. Oke, agar mudah dibedakan, aku akan panggil yang lebih kecil sebagai Gempal dan yang lebih besar sebagai Gembrot.

"Lain kali hati-hati! Kau hampir membuat kita semua terbunuh. Kau lupa apa betapa seramnya Dandelion jika sudah marah?!" ketus Gempal. Ia sibuk marah-marah dan tampaknya belum punya rencana untuk menyelamatkan wajahku dari serangan jerawat di masa mendatang karena terpapar bakteri dari tanah sialan ini. "Eh, tunggu. Kau ini siapa? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Apa kau anak baru?"

Harusnya kau tanyakan itu dahulu sebelum marah-marah, dasar mulut besar.

"Saya? Oh, saya hanya seorang pencuri."

"Apa?"

Tanpa aba-aba, Sancaka melayangkan tinjunya ke arah Gembrot. Gembrot yang tidak menduga akan datang serangan kejutan harus menerima bulat-bulat tinjuan sancaka di wajahnya. Pria yang malang, tapi aku tidak iba. Gempal menganga lebar melihat semua yang terjadi. Entah mungkin dia bodoh atau hanya lelet, sempat-sempatnya dia bengong setelah temannya terkapar mengenaskan di tanah. Well, kebodohannya itu malah jadi keuntungan buatku. Pria itu sama sekali tidak mencoba melindungi dirinya saat aku mendorong diriku bangkit, melepas cengkeramannya dan menendang perutnya hingga ia tersungkur ke tanah. Itu tidak membuatnya pingsan, tentu saja. Ia berusaha bangkit lagi. Namun aku menahan tubuhnya dengan kakiku selagi aku menusukkan jarum suntik dan mendorong anestesi memasuki pembuluh darahnya. Lelaki itu pingsan. Aku melirik Sancaka. Tampaknya ia juga sudah selesai dengan Gembrot.

"Kita ke mana-in?" tanyaku. Sancaka melirik sekitar.

"Iket aja di pohon."

Butuh kerja keras untuk menyeret dua gumpalan lemak raksasa ini menuju pohon di bagian dalam hutan dan mengikatnya. Setelah dua puluh menit, akhirnya kami selesai dengan mereka. Beruntungnya, selama kami sibuk menyeret-nyeret mereka, tidak ada satupun truk yang datang.

Kami kembali ke truk yang mereka bawa dengan masih berpeluh. Aku dan Sancaka langsung mengincar bagian box. Di dalam sana, ada tiga orang anak kecil yang meringkuk ketakutan di antara tumpukkan peti. Mungkin usianya tak lebih dari sepuluh tahun. Mereka menatap kami dengan mata yang polos dan ketakutan. Aku memandang miris. Siapa yang tega membunuh anak-anak sekecil mereka demi mengambil organ-organnya?

"Lapor, operasi tahap satu berhasil. Seluruh anggota tim cepat kemari."

"Irmgard," Sancaka menyebutkan kode nama Cempaka. "kirim regu penjemputan. Ada tiga orang korban yang masih hidup."

"Regu penjemputan segera datang," Katrina yang membalas.

Kami mulai mengevakuasi para korban. Mereka bergetar ketakutan saat kami mendekat. Namun, ajaibnya Sancaka mampu mengambil hati tiga anak tersebut. Regu penjemputan dan sisa anggota reguku datang tak lama kemudian.

"Kalian ikut kakak ini, ya. Kakak ini akan mengantarkan kalian ke tempat yang aman. Jangan takut, meskipun wajahnya garang-aw!"

Katrina menepak kepala lelaki itu. "Sekali lagi kau mengejek wajahku, akan kubuat wajahmu jadi jelek."

"Kau membuat anak-anak ketakutan, tahu." Sancaka cemberut seperti anak kecil. Katrina mengedikkan bahu tak peduli.

Anak-anak itu memang sungguhan takut pada Katrina. Siapa yang tidak? Cewek itu tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. Dari wajahnya saja sudah terlihat barbarnya. Tetapi setelah diajak bicara, akhirnya mereka tahu kalau Katrina bukan nenek lampir jahat yang akan menerkam mereka. Ia berhasil membawa anak-anak malang itu pergi.

"Oke, tahap dua, menyusup, dimulai."

Sancaka tetap berada di kursi kemudi. Aku, Selena, Anya dan Velidsa menggantikan tempat anak-anak tadi di dalam box. Kami mengenakan pakaian rombeng dan mencemongkan muka dengan perias wajah. Berlagak sebagai korban.

Sancaka mulai menjalankan truk. Duduk di dalam box gelap dan sempit ini benar-benar pengalaman paling buruk yang pernah aku lakukan. Badan kami harus bersenggolan dengan dinding box, peti-peti yang entah isinya organ apa, dan bertubrukan satu sama lain saat truk berguncang-guncang. Ada setidaknya lima kali dahiku membentur dahi Anya.

Truk berhenti sebentar. Mungkin kita telah sampai di gerbang. Aku bisa mendengar bunyi mesin alat pemindai tengah memindai kartu izin masuk yang kami curi dari Gempal dan Gembrot. Pintu box terbuka. Seorang penjaga menenteng senjata laras panjang memeriksa kami. Kami serempak memandanginya dengan mata polos dan ekspresi takut. Penjaga itu kembali menutup pintu. Tak lama kemudian truk kembali berguncang-guncang.

Sancaka memarkirkan truk di area sepi seperti yang sudah direncanakan. Kami turun segera setelah truk berhenti.

Tahap tiga, operasi penyelamatan korban.

Taraxacum jauh lebih luas dan kompleks jika sudah memasuki bagian dalam. Area ini di batasi pagar kawat tinggi. Terdapat bangunan pos jaga di depan untuk pemindaian kartu izin masuk. Di bagian dalam, kami disambut oleh lahan hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Beberapa meter ke depan baru kami bisa melihat bangunan satu lantai yang punya luas memanjang dengan papan plang bertuliskan 'Taraxacum, Garden of Dandelion'. Di belakang bangunan itu, kebun mawar seluas berhektar-hektar menghampar indah hingga titik batas hutan yang menaungi kebun.

Seperti yang dikatakan Katrina, Taraxacum memiliki tingkat keamanan yang rendah. Mungkin karena mereka lebih mengandalkan kamera pengawas. Lagipula semua organ dan anak hasil penculikan yang mereka bawa ke sini hanya akan menginap selama satu hari di Taraxacum. Meskipun demikian, tetap saja gerombolan penjaga sibuk berlalu lalang di sekitar bangunan.

Kali ini, aku dan Sancaka kembali bergerak bersama. Kami berperan sebagai penculik dan terculik lagi. Skenario pertama, aku dan Sancaka berjalan ke pintu depan. Menarik perhatian dua orang yang berjaga di sana.

"Hasil tangkapan lagi?" tanya salah satu yang berbadan ceking dan berkulit sawo matang.

"Yoi," sahut Sancaka sok asik.

"Hmm ... yang ini cantik. Sayang sekali wajahnya akan dikuliti."

Keduanya mengumbar tawa seolah itu adalah lelucon. Sancaka mau tak mau ikut tertawa juga meski terdengar benar-benar garing. Aku sendiri tak punya pilihan selain meringis ketakutan. Tidak akan lucu bila sang korban ikut tertawa juga dan tiba-tiba menyerang sang penjahat. Meskipun aku ingin melakukan itu setengah mati demi melihat wajah pucat mereka.

"Kau orang baru sepertinya. Taruh dia di sel di bagian timur."

Sancaka kemudian memasuki bangunan. Aren mulai memaparkan informasi dari kejauhan sana. "Di dalam sana ada empat penjaga. Satu menjaga sel anak-anak satu menjaga ruangan organ dan dua menjaga sebuah ruangan di barat. Ada banyak koper di sana."

Itu uangnya.

Begitu memasuki bangunan, kami di sambut sebuah aula luas. Ada pintu di Utara menuju kebun bunga, lorong di kanan dan kiri menuju gedung bagian timur dan barat. Ruangan organ berada di dekat kami. Di depan pintunya ada seseorang yang tengah berjaga. Sancaka mengumbar senyum padanya. Kemudian lanjut berjalan. Di bagian paling ujung ruangan, terlihat terali besi dengan banyak anak-anak tengah duduk meringkuk di dalamnya. Seseorang berjaga di depan penjara itu.

"Kami menemukan korban. Simulakra, mulai sekarang," bisikku pada Selena.

Sel itu butuh kartu izin masuk untuk dibuka. Sancaka menggesek kartunya dan memasukanku ke dalam sana. Penjaga yang duduk di kursi plastik di ujung ruangan menatapnya. "Sudah? Kalau begitu sana pergi!"

Sancaka bergeming.

"Oi, kau tidak dengar aku bilang-"

"ADA YANG KABUR!!" teriak seseorang di luar. Perhatian penjaga itu dengan segera teralihkan.

Rencananya adalah begini, selama aku dan Sancaka menyusup ke dalam bangunan. Selena dan Velidsa mengalihkan perhatian di luar. Kami berasumsi seluruh penjaga akan meninggalkan bangunan dan mengejar mereka. Saat itu terjadi, Anya akan membawakan truk ke depan bangunan. Anya sebenarnya tidak bisa menyetir, apalagi truk. Tapi jika hanya mengendarainya sejauh beberapa meter dari tempat kita parkir tadi ke depan bangunan, ia meyakinkan kami bahwa ia bisa melakukannya. Sancaka sudah mengajari dasar-dasarnya. Aku dan Sancaka akan mengevakuasi anak-anak masuk ke dalam truk. Sancaka akan pergi membawa mereka ke tempat yang aman. Lalu aku dan Anya akan menyusul Selena dan Velidsa mengurus para penjaga.

Seharusnya, rencananya berjalan seperti itu. Seandainya si penjaga ketus yang tengah duduk di sudut itu tidak terlalu malas untuk penasaran apa yang terjadi diluar. Alih-alih berlari keluar, lelaki itu malah ngomel-ngomel sendiri sembari makan apel.

"Anak-anak itu hanya merepotkan saja. Seharusnya mereka tahu kalau hidup mereka sudah berakhir di sini. Hei, kau masih ingin di sini? Tidak mau pergi?"

"Bagaimana denganmu? Apa kau tidak penasaran apa yang terjadi di luar?" pancing Sancaka. "Saya dengar, kalau ada yang kabur maka kita semua akan mati."

"Hah? Tentu saja kita semua akan mati. Si Dandelion itu orang yang benar-benar mengerikan. Tunggu, bukankah itu berarti aku harus mengejar mereka juga?" Aku sungguh gemas ingin mendampratnya keluar sekarang juga. "Ah, sepertinya tidak usah. Aku yakin yang diluar pasti sudah mengurusnya.

Sancaka menatapku, seolah meminta izin. Aku mengangguk. Lelaki itu pun mendekati si penjaga.

"Sebaiknya kau jangan berdiri," kata Sancaka. Penjaga memandanginya dari atas sampai bawah. Raut wajahnya menunjukkan rasa tak suka. Lalu seperti yang sudah di duga, pria itu pun berdiri, hendak menantang. Tanpa ba-bi-bu, Sancaka melayangkan tendangan ke arah perutnya. Si penjaga limbung ke lantai. Ia tertatih-tatih berdiri, masih terkejut dengan yang baru saja terjadi.

"Sialan-"

Sancaka berputar, kakinya terangkat tinggi melakukan hantaman ke area tengkuk si penjaga. Ia limbung lagi, kali ini tak sadarkan diri.

Aku beralih ke anak-anak yang tengah meringkuk. "Oke, anak-anak, dengarkan kakak, kalian mau pulang?"

Mereka semua mengangguk.

"Kalau begitu kalau harus ikut kakak. Jangan ada yang menangis. Kalian harus tenang, oke?"

Mereka mengangguk lagi.

Sancaka menggesek kartu. Sel pun terbuka. Aku bergegas menuntun mereka keluar. Ada sekitar lima belas anak yang ada di dalam sel. Empat belas menurutiku dengan mudah. Satu anak tidak mau bergerak meringkuk di ujung sel. Aku berdecak kesal. Menarik napas, menenangkan diriku sendiri.

"Hei," aku menghampirinya. Anak perempuan itu mengangkat kepalanya. Memandangku. Anak terperangah begitu melihat matanya. Mata dengan kelainan heterochromia, sebelah berwarna abu dan sebelah lagi sangat mencolok dengan perpaduan kuning dan hijau. Indah sekali.

"Dia yang termahal," kata Sancaka. Masih berdiri di belakangku.

"Hei, nggak usah takut," kataku lembut. "kita akan pulang."

"Pulang?" aku mengangguk. "Siapa namamu?"

"Nira."

"Oke, Nira. Kita akan segera pulang. Jadi kamu harus berani, oke?"

Ia mengangguk kecil. Kemudian aku menawarkan tanganku. Ia menggenggamnya ragu-ragu.

Deru mesin terdengar dari luar. Itu pasti Anya. Kami segera menggiring mereka keluar. Seperti yang direncanakan, truk sudah parkir di luar. Sancaka langsung membawa mereka semua ke dalam.

Nira menarik-narik ujung bajuku. Aku menoleh ke arahnya. Wajah anak itu ketakutan luar biasa. Ia menunjuk sesuatu di depan truk.

"Dandelion," bisiknya.

Dahiku mengkerut heran. Lalu kusadari Anya tidak turun dari kursi kemudi. Aku mengintip ke depan, wajahku kontan diliputi teror saat aku melihat Anya tengah dibekap oleh seorang pria asing di depan sana. Di saat yang sama, ujung mataku menangkap bahwa ada orang lain yang berada di kursi kemudi.

Dengan panik aku berteriak, "SEMUANYA TURUN!"

Empat belas anak yang ada di dalam truk tidak sempat turun. Truk itu melaju ke sebelah si lelaki yang tengah menyandra Anya. Sancaka yang belum menyadari keadaan terkejut saat truk melaju begitu saja. Matanya kian membola saat melihat lelaki asing berpakaian rapi tengah menyandra Anya.

Si lelaki segera menutup pintu box saat truk sudah ada di sampingnya. Ia mengarahkan pistol ke kepala Anya hendak menembakkannya. Aku berteriak histeris. Saat itu perhatiannya teralihkan padaku. Kemudian ia sadar bahwa barang paling berharga masih ada di tangan kami.

"Serahkan anak itu." Ia berjalan dua langkah mendekat. Memperlihatkan kepada kami ujung pistol yang berada di samping kepala Anya. Jantungku berdentum-dentum panik. Nira menangis sambil memelukku. Sancaka bersiaga di depanku sembari menodongkan pistol ke arahnya.

"Serahkan teman kami dulu." Sancaka mencoba bernegosiasi.

"Anak itu. Baru kuserahkan gadis itu pada kalian."

"Simulakra, Fox," aku memanggil Selena dan Velidsa. "Kami terjebak."

"Kami juga," jawab Kak Selena. Suaranya terengah. Ada bunyi dentuman keras di latar belakangnya. "Aku dan Fox sudah tidak di Taraxacum. Kami sedang melarikan diri. Ada sepasukan bersenjata yang mengejar kami!"

"Irmgard?" aku mencoba memanggil Cempaka.

"Aurora! Gawat! Mereka mengetahui keberadaan kita. Aku dan yang lain sedang melarikan diri."

"Apa?!" aku hampir berteriak.

"Aurora, keluar dari sana sekarang juga! Kita diincar! Sepertinya mereka sengaja membiarkan kita masuk ke tempat itu. Sejak awal aku sudah merasa aneh kenapa sistem keamanan mereka mudah sekali disusupi."

Sial!

Menyadari kami terpojok, lelaki itu tertawa-tawa. "Apa kalian sudah menyadari posisi kalian sekarang?"

"Serahkan saja teman kami, lalu kami akan serahkan anak itu," kata Sancaka. Masih mencoba tenang. Namun kalimatnya membuat Nira berteriak histeris. Ia memeluk pinggangku begitu erat.

"Hah ... baiklah, ayo kita lakukan. Jika kalian ingin mencoba bernegosiasi denganku."

Ia kemudian mengetuk dinding besi truk. Truk itu melaju meninggalkan Taraxacum setelahnya. "Mari lihat apa yang bisa kalian tawarkan pada Dandelion."

Dandelion sama sekali tidak melonggarkan cengkeramannya pada Anya. Tapi setidaknya moncong pistolnya tak lagi berada di sisi kepalanya. "Jadi, siapa kalian-kalian ini? Berani sekali mengacaukan bisnisku. Haha, kalau dilihat-lihat, sepertinya masih anak-anak. Tunggu, apa kalian orang BIN? Kudengar pemerintah mulai menggunakan anak-anak untuk memburuku. Apakah itu kalian?"

"Serahin aja dia, lo nggak usah banyak bacot!" bentakku kesal. Tidak, Aku tidak sedang sok berani di sini. Aku sedang takut. Sangat ketakutan. Tubuhku bahkan gemetaran. Jauh di dalam kepalaku, banyak skenario yang bisa terjadi. Yang terburuk, seperti ketakutan terbesarku selama ini, Anya akan kehilangan nyawanya. Aku tidak bisa menghadapi itu. Tidak lagi.

Dandelion menanggapiku dengan tawa. "Luar biasa sekali. Pantas saja mereka menggunakan kalian. Anak-anak zaman sekarang rupanya tak kenal rasa takut. Bagaimana dengan ini?"

Ia menembak ke arah kami. Kami merunduk cepat. Peluru itu menghantam dinding. Nira kian histeris.

"Apa kalian sudah mulai takut? Hah! Ini mengingatkanku pada peristiwa lama. Ada juga sepasukan prajurit seperti kalian yang mengincar kami. Mereka dipimpin oleh tentara wanita yang merepotkan itu. Kau tahu sekarang mereka semua berakhir di mana? Mereka tidak terlihat lagi."

Aku mengalami tremor hebat. Keringat dingin mengucur deras ke seluruh tubuhku. Napasku mulai berubah jadi satu-satu. Pikiranku kacau. Seperti ada kabut yang menggelapkan mataku. Namun saat itu, anehnya, aku tidak merasa takut. Tidak, aku masih takut. Tapi tidak sebesar murka yang tiba-tiba memenuhi nadiku. Aku mengeratkan genggamanku pada pistol. Mengongkangnya, dan dengan spontan menembakkan satu peluru ke depan.

Peluruku mengenai kakinya. Dandelion mengerang hebat. Pistolnya jatuh dari tangannya. Saat itu juga Anya bergerak melepaskan diri dari pria itu. Ia menendangnya hingga tersungkur di lantai. Sancaka terlalu terkejut untuk bereaksi. Aku melepaskan Nira dan menerjang maju ke atas pria itu. Kutodongkan ia ujung pistolku yang masih hangat.

"Di mana mereka? Di mana tentara wanita itu sekarang?!"

Dandelion meringis kesakitan. Namun rasa sakitnya tak lebih besar dari rasa paniknya. Ia megap-megap begitu aku menekan ujung pistolku ke dahinya.

"Aku tidak tahu!" serunya ketakutan.

"BOHONG!" teriakku. "Lo pasti tahu. Lo dalangnya 'kan? Lo Dandelion. Lo apain dia? Lo bunuh? Lo buang jasadnya ke mana? Jawab!"

"Aku sungguh-sungguh tidak tahu-akh! Sakit ... lepaskan aku. Aku benar-benar tidak tahu!"

Kutekan sedikit pemicu pistolku. "Satu."

"Tolong percaya padaku. Aku benar-benar tidak tahu. Aku bukan-"

"Dua."

"Aku tidak tahu, sialan!"

"Ti-"

"AKU BUKAN DANDELION!"

Aku melonggarkan tekananku pada pemicu. "Apa?"

"Aku bukan Dandelion. Aku hanya penggantinya. Aku bukan dalang dari bisnis ini, sungguh. Tolong percaya padaku. Aku hanya orang yang bertugas muncul di depan yang lain sebagai Dandelion. Dandelion yang asli tidak pernah muncul di depan kami. Kau tidak akan pernah bisa menemuinya."

"Jangan bohong!" teriakku lagi.

"Aku tidak bohong! Bahkan jika kau menembakku, itu akan sia-sia karena aku bukan Dandelion yang asli."

Aku terengah. Pikiranku luar biasa kalut. Aku tidak tahu harus bertindak apa lagi. Jika dia bukan Dandelion, maka harus kami cari ke mana lagi dalang dari semua kekacauan ini?

"Ta-tapi, lo pasti tahu tentang tentara wanita itu 'kan? Kasih tahu gue di mana dia sekarang? Apa dia masih hidup?"

"Aku tidak tahu. Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Terakhir kali aku melihatnya, dia pergi menemui Dandelion. Setelahnya, wanita itu menghilang. Dia tidak pernah terlihat lagi. Aku bersumpah."

Aku mendorong moncong pistolku ke kepalanya lagi. "Lo pikir gue bakal percaya?! Jawab gue atau gue tembak sekarang! JAWAB!"

"Kita harus pergi dari sini." Sancaka memperingatiku.

Saat itu baru kusadari ada banyak deru mesin bersahut-sahutan. Dandelion palsu itu tertawa.

"Silahkan jika kalian ingin menembakku. Lagi pula aku memang akan mati. Tapi, kalian tetap tidak bisa keluar dari sini. Kalian akan mati bersamaku di sini."

"Kita pergi dari sini." Sancaka menarik tubuhku.

Gerombolan mobil mulai memasuki area Taraxacum. Orang-orang bersenjata keluar dari dalamnya. Mendekati kami. Aku tidak punya pilihan selain mengikuti Sancaka. Kami kembali masuk ke dalam gedung. Lalu menuju pintu yang mengarah ke kebun mawar. Kami keluar dari sana.

Orang-orang bersenjata mengejar kami di belakang. Tidak ada jalan untuk keluar dari Taraxacum. Satu-satunya cara adalah berlari ke ujung pulau. Kami berlari melalui hamparan bunga mawar. Duri-durinya menggores kakiku. Namun bahkan sakitnya tidak terasa dibanding rasa panik dan takut yang menguasai kami. Aku menyempatkan diri menoleh ke belakang. Mereka semakin dekat. Sancaka yang menggendong Nira di punggungnya menyuruh kami untuk berlari lebih kencang.

Suara letusan peluru mulai muncul di mana-mana. Kami spontan menundukkan kepala. Orang-orang gila itu mulai menembaki kami dengan serentak. Peluru melesat di mana-mana. Beberapa mendarat di tanah, beberapa merusak tanaman mawar di sekitar kami. Aku mencoba terus menghindar.

"CEPAT!" teriak Sancaka.

Ujung hutan mulai terlihat. Kami melesat ke dalamnya secepat yang kami bisa. Orang-orang itu masih tidak menyerah. Mereka mengikuti kami ke dalam hutan bagaikan mengejar hewan buruan.

Aku melebarkan langkahku. Berlari semakin kencang di antara pepohonan yang tinggi menjulang. Mengabaikan rasa lelah yang datang bertubi-tubi, meniadakan rasa sesak yang menyiksa tanpa henti, aku terus melangkah memperjuangkan hidupku yang selangkah lagi menuju mati. Bahkan rasanya kini tubuhku tak lagi menapaki bumi. Bak udara melayangkan tubuhku. Di belakang sana, mereka masih tidak berhenti. Letusan peluru yang orang-orang itu arahkan pada kami menjadi pemacu adrenalin. Memotivasi kami untuk terus berlari.

Deru angin berbisik-bisik di telingaku. Sinar mentari menelisik di antara dahan menyoroti hutan. Aku melihat ke atas, rasanya pohon-pohon bergerak menjauh ke belakang, kemudian tertinggal. Langit tidak lagi di penuhi dedaunan. Kini sempurna biru langit yang jadi naungan. Kami telah sampai di ujung pulang.

Langkah kami berhenti di sana. Di tebing tinggi yang menjadi akhir dari pijakan kami. Orang-orang itu masih ada di dalam hutan. Namun tak akan butuh waktu lama untuk mereka sampai kemari dan menangkap kami. Aku memandangi lautan luas di depan kami. Hanya ini satu-satunya jalan menuju pelarian.

"Kak," panggilku.

"Tidak ada jalan lain," sahut Sancaka.

Aku memandanginya. Wajahnya dibasahi keringat. Terlihat berkilau diterpa cahaya matahari. Begitupun dengan kami semua. Ia memandangku dalam. Ada keputusasaan di matanya. Itu terlihat sangat jelas dari matanya yang bergetar. Aku memegang bahunya. Mengangguk. Mengisyaratkan bahwa tidak apa-apa, tidak masalah bila harus begini.

Kami pun bersiap melompat.

"Tunggu!" seru Anya.

Di saat yang bersamaan, muncul deru mesin dan hembusan angin kuat dari atas kami. Sebuah helikopter militer muncul dan terbang rendah tepat di samping kami. Di dalam helikopter itu, orang-orang berpakaian tentara dengan memakai penutup wajah dan mata lengkap meminta kami untuk segera masuk. Aku melihat ke hutan, orang-orang Amerta mulai bermunculan dan menembakkan peluru. Tanpa berpikir panjang kami langsung melompat ke dalam. Helikopter itu naik dan terbang meninggalkan pulau.

Awalnya, aku pikir helikopter itu dari Bawah Tanah. Aku pikir kami sudah selamat.

Namun rupanya aku salah.

Helikopter itu terbang di atas laut. Begitu sudah dekat dengan pantai, mereka tiba-tiba menodongkan senjata ke arah kami. Lalu mulai melempar Sancaka dan Anya jatuh ke laut. Aku berteriak. Namun mereka sudah kepalang jatuh. Nira memelukku erat saat tentara itu mulai menarik tubuhnya. Aku cepat-cepat memeganginya erat dan menodonginya pistol. Tentara itu menyerah.

"Jalan saja," katanya kepada temannya yang mengendarai helikopter.

Helikopter pun mulai terbang meninggalkan area itu. Membawaku dan Nira bersamanya. Alisku bertaut satu. Kenapa mereka hanya menculikku seorang?

Pertanyaan itu dengan cepat kuketahui jawabannya ketika salah satu dari tentara itu membuka penutup wajahnya dan menunjukkan padaku seseorang yang amat sangat kukenal.

"Djanuar?"

__________

Catatan Penulis

Hanya tinggal beberapa bab lagi menuju ending, sudah siap?

Kritik dan saran boleh tulis di komentar, kalau suka bab ini boleh tekan tombol 🌟

Sampai jumpa di bab selanjutnya 😘


__________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top