5. Mawar Berduri
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Ada sebuah lubang dari semua rangkaian kejadian hari ini. Kan?
Ini terlalu sempurna dan kebetulan macam apa yang sampai bisa menyudutkanku sampai sebegininya. Dari tadi, aku merasa aku sedang dikendalikan oleh sesuatu. Sesuatu yang besar dan tidak terlihat. Sesuatu seperti sedang mengawasiku. Mengamati setiap responku terhadap semua kejadian. Sesuatu itu mungkin saja menciptakan kondisi ini dengan sengaja untuk menyudutkanku. Melihat bagaimana aku yang begitu apes padahal aku tidak ingat kesalahan apa yang telah kulakukan sampai Dewi Fortuna berpaling dengan begitu kejamnya. Mungkin saja aku sedang menjadi target pembunuhan suatu organisasi terlarang.
Ha-ha.
Jarang-jarang pikiranku jadi dramatis dan berlebihan begini. Kalau Teresa ada, ia sudah mengataiku alay. Ya, mau bagaimana lagi. Kata orang, cemburu memang bikin gila. Cemburu menghilangkan warasku. Rasanya, semua pikiran buruk berputar-putar di kepala. Aku tidak tahu kalau cemburu itu bisa berdampak sedemikian besarnya hingga aku bahkan tidak lagi memperdulikan dua bom yang sebentar lagi akan meledak. Aku terlalu sibuk memikirkan Kak Djanuar yang mengatakan "oke, tolong ya, Mil" seakan-akan mereka tengah berbincang berdua saja. Seakan-akan aku tidak ada disana.
Oke, tolong ya, Mil.
Aku bahkan ingat bagaimana cara Kak Djanuar mengatakannya. Begitu lembut tanpa sedikitpun nada sinis yang ia sisipkan. Beda sekali dengan ketika dia tengah berbicara padaku.
Ha! aku mendengus kasar. Apa karena dia? Apa karena Camila ia ingin putus denganku? Aku tahu Kak Djanuar bukan orang yang sebrengsek itu untuk mencampakkanku hanya karena menemukan gadis yang lebih cantik. Aku telah membuktikannya selama dua tahun ini. Tapi faktor itu tidak membuat semuanya menjadi tidak mungkin.
Ya Tuhan! mungkinkah selama ini Camila telah menggodanya terus menerus? Memainkan peran sebagai orang ketiga yang terlihat seperti pemeran protagonis sehingga Kak Djanuar tergoda untuk meninggalkanku dan mengabdi pada ratu kecantikan Andalas berperangai busuk itu. Peran apa yang selama ini ia mainkan didepan pacarku hingga Kak Djanuar mampu memutuskan hubungan kami dengan begitu absurdnya?
"Nggak ada bom disini."
Bom itu mungkin sebaiknya meledak saja. Kalau bisa meledaklah di tempat di mana Camila berada. Seharusnya aku sadar kalau ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Aku terlalu terbuai dengan pesonanya sebagai kakak tingkat yang baik hati dan cantik, terlebih ia pintar dan auranya terasa sangat keren hingga tidak menyadari bahwa di balik mawar yang mekar itu ada duri tajam yang ia simpan di bawah kelopaknya.
"Camila sama yang lain udah periksa lantai dua sama tiga. Tadi dia telpon dan bilang kalau nggak ada bom disana. Berarti kemungkinan lantai satu ini. Kita udah periksa semua kelas tapi nggak nemu apa-apa. Lo ada ide lain?"
Aku terlalu berpikir positif selama ini. Mengira bahwa Camila adalah rekan tapi ternyata dia adalah lawan. Camila rupanya se busuk itu, Kak Djanuar pun nyatanya bisa se brengsek itu. Mereka bermain api di balik punggungku, lalu membumihanguskanku tanpa aba-aba.
Aku telah salah. Camila tidak selugu bawang putih dan Kak Djanuar tidak sebaik hati pangeran. Mereka adalah bawang merah licik dan pangeran yang telah berkhianat pada bawang putih. Bawah putih sebenarnya adalah aku. Aku yang dengan bodohnya percaya bahwa semua ancaman jauh dari lingkar percintaanku. Aku yang telah dengan naifnya percaya bahwa Kak Djanuar adalah pangeran baik hati yang tidak akan termakan goda-goda bawang merah. Dan lebih salahnya lagi, aku tidak pernah menyadari bahwa Camila adalah bawang merahnya. Camila adalah mawar cantik yang dengan lihainya menyembunyikan setiap duri tajam di bawah kelopak bunganya.
"Brengsek."
"Apa?"
Wajahku mengeras ketika melihat Kak Djanuar menatapku penuh tanya. Wajahnya berkeringat lagi tapi bahkan aku tidak merasa dia seksi.
"Aurora, lo dengerin gue nggak sih?" nada yang sinis itu kudengar lagi. Pikiranku sangat kalut saat ini. Ada sesuatu didalam otakku yang mendesak untuk dikeluarkan. Mungkin itu ledakkan emosi yang berusaha keras kutahan. Jantungku berdebar kencang. Napasku naik frekuensi. Ingin sekali kukatakan padanya bahwa aku marah. Ingin sekali aku berteriak agar ia sadar bahwa apa yang telah ia lakukan padaku itu sangat jahat.
"Aurora?"
Aku mengerjab pelan. "Sampah."
"Apa?"
"Sampah," ulangku, "sampah adalah sesuatu yang sangat umum. Kita menghasilkan sampah setiap harinya. Saking umumnya, kita tidak pernah berpikir kalau satu sampah yang kita
hasilkan sangat penting bagi lingkungan di sekitar kita. Sampah bisa merusak tatanan ekosistem yang sehat menjadi buruk dan penuh polutan. Semua orang tidak pernah menyadari bahwa sampah sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan sebelum musim hujan dan banjir bandang terjadi. Jadi, kalau clue itu merujuk pada sesuatu yang penting namun sangat umum dan jarang orang-orang sadari, sampah adalah jawabannya."
Kemudian aku teringat kata-kata terakhir teroris itu. Semoga yang berkepentingan selalu menjaga kesehatannya sehingga tidak perlu menutup hidung.
"Kata-kata menjaga kesehatan itu, mungkin dimaksudkan agar kita selalu menjaga lingkungan. Membuang sampah pada tempatnya adalah salah satunya kan? Dan menutup hidung..."
Kak Djanuar menatapku takjub. "...Merujuk pada sampah yang identik dengan bau tidak sedap. Lo pintar, Aurora."
Aku menutup mata ketika Kak Djanuar mengusap puncak kepalaku. Seulas senyum muncul di wajahnya dan dia berlari setelahnya keluar dari kelas yang kami periksa. Aku menatap punggungnya yang menjauh itu. Menggigit bibirku keras-keras. Kupaksakan kakiku melangkah mengikuti kemana Kak Djanuar pergi.
Ini bukan saatnya, kukepal tanganku untuk menahan semuanya.
Ini bukan saatnya berbicara soal perasaann.
...
Area belakang sekolah selalu menjadi tempat paling sepi di SMA ANDALAS. Tempat ini adalah area pembuangan semua sampah sekolah, tempat gudang yang jarang dikunjungi berada, dan rumah bagi meja dan kursi yang rusak tak terpakai. Aku bersandar pada tiang panjang yang menopang atap tempat pembuangan -tempat pembuangan ini berada dibangunan yang terpisah dengan bangunan utama, terdiri dari sebuah gedung kecil terbuka yang diberi tiga sekat sebagai tempat sampah dengan tiga jenis berbeda. Kak Djanuar sudah sibuk menatapi tempat sampah yang berada tepat didepannya.
"Pasti ada disini," katanya. Lalu ia membuka tutup tempat sampah itu. Wajahnya mengernyit menahan bau yang menguar semerbak dari sana. Aku tidak berani dekat-dekat karena tahu muntahku hanya akan membuat udara di sekitar kami lebih terkontaminasi.
"Bagaimana?" tanyaku penasaran.
Kak Djanuar memasukkan tangannya pada tempat sampah itu. Aku memalingkan wajah, tidak kuat menahan jijik.
"Kita menemukannya!" suara Kak Djanuar terdengar bersemangat. Ketika aku berbalik, tempat sampah itu sudah tertutup lagi. kak Djanuar memandangku dengan sebuah kotak kayu berukuran sedang ditangannya. Ia mendekat dan menyimpannya disalah satu meja tidak terpakai didekat kami.
Kami berdua mengelilingi benda itu. Kotak itu terlihat bagus dan Kak Djanuar bilang itu cukup berat. Mungkin terbuat dari bahan jati. Pada bagian permukaanya terdapat ukiran batik yang cantik. Di bagian atasnya kami dapat melihat sebuah layar kecil. Disamping layar itu terdapat sebuah tombol merah.
"Bagaimana cara membukanya?" tanyaku.
"Mungkin kita harus menekan tombol ini," Kak Djanuar lalu menekan tombol itu. Layar kemudian berkedip menyala. Garis-garis hijau muncul dan berkedip-kedip. Tak lama garis-garis itu berubah menjadi sebuah kalimat "SEBUTKAN KATA SANDI" berwarna hijau berkedip dua kali. Kalimat itu kemudian berubah lagi, menjadi garis-garis kolom yang berkedip-kedip pelan dilayar.
Kami termangu menatapi benda itu. Semua teka-teki ini tidak ada habisnya. Aku kesal sampai tidak peduli lagi.
Kak Djanuar masih menatap layar itu. "Berapa lama yang kita punya?"
Aku memeriksa ponselku. Waktu menunjukkan pukul dua kurang dua puluh menit. "Tidak banyak."
Aku bisa mendengar ia menghela napas. Tidak ada waktu untuk berpikir. Kami telah menghabiskan hampir tiga jam dengan sia-sia untuk mencari bom di semua penjuru sekolah. Ketika menemukan yang pertama, sebuah kata sandi dibutuhkan untuk mencegahnya meledak. Kurang dari dua puluh menit lagi dan kami bahkan belum menemukan kotak kedua. Berpikir hanya memakan waktu. Tapi kita tidak bisa apa-apa kalau tidak berpikir.
Kondisi ini menjadi sangat rumit. Aku ingin menyerah untuk menjadi pahlawan. Tidak peduli banyak sekali orang yang menuntut ku, aku bukan pahlawan. Aku tidak terlahir untuk menjadi hal itu. Lebih lagi, aku tidak sedang dalam kondisi dan mood yang baik untuk menyelamatkan sekolah ini. Maksudku, maaf-maaf saja kalau alasan ini tidak bisa diterima, tapi aku masih remaja berumur lima belas tahun yang baru saja dikhianati dan diputuskan. Aku sedang berada dalam fase dimana sedang ingin sendirian dan menangis sejadi-jadinya di kegelapan tanpa direpotkan dengan urusan bom apalah itu.
Alay sekali.
Masa bodoh. Tidak ada satupun hal yang memusingkan kepalaku selain kenyataan bahwa aku telah dikhianati oleh pacarku.
"Apa kira-kira?" aku bahkan tidak ingin repot-repot menjawab. Aku galau segalau-galaunya sampai tidak punya daya untuk merespon apapun.
Kak Djanuar masih belum menyerah dan tampak sangat berniat untuk menyelesaikan hal ini. Dia menyebutkan banyak sekali kata yang berhubungan dengan sampah dan kebersihan. Tapi belum ada satupun yang cocok. Aku bisa melihat rasa frustasinya dari bagaimana dahinya berkerut. Tiba-tiba aku dilanda rasa penasaran yang hebat. Kira-kira kapan ia akan menyadari bahwa kita tidak memiliki harapan pada waktu yang akan mencapai limit ini.
"Sampah, menjaga, daur ulang, shit! Katakan sesuatu, Aurora!"
Mungkin dia belum menyadari bahwa aku sudah sangat hopeless dengan semua yang terjadi. Aku tahu menyerah hanya karena patah hati itu sangat tidak etis untuk dilakukan dalam situasi dan kondisi genting macam begini. Apalagi taruhannya adalah gedung sekolah juga nyawa para kakak tingkatku tercinta. Meskipun hampir semua orang berada jauh dari gedung dan hanya kami yang dengan nekat bersebelahan dengan alat peledak itu. Kita tidak tahu seberapa besar ledakkan yang akan ditimbulkan.
Dalam kondisi hati yang kacau balau begini, apakah kau bisa menyelamatkan dunia ketika otakmu penuh dengan banyak hal terutama rasa sakit. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih karena setiap kali aku mencoba, selalu ada bayang-bayang Camila dan Kak Djanuar yang tertawa-tawa karena berhasil mempermainkanku.
Aku tahu. Pikiranku sangat kacau. Aku tidak fokus. Jadi bisakah semua hal ini-sejenak saja-menghilang dan berhenti menekan aku?
"Aurora?!"
"Gue. Nggak. Tahu. Really, diamlah sebentar karena gue lagi pusing. Kita nggak punya banyak waktu dan kurang dari sepuluh menit lagi bom ini bakalan meledak. Terus semua orang akan nyalahin gue karena nggak becus melakukan tugas yang bahkan bukan tanggung jawab gue. Kalau kakak nanya apa kata sandi dari bom yang sumpah demi apapun baru gue lihat bentuknya sekarang, please, kak! gue nggak tahu. Katakan saja apapun yang menurut kakak benar. Plastik, misalnya."
Bib...bib...bib...
Bunyi yang nyaring itu mengalihkan perhatian kami. Di layar itu, semua kolom huruf sudah terisi menyusun sebuah kata "PLASTIK" yang berkedip dua kali kemudian berubah menjadi kalimat panjang yang bergulir berkali-kali.
BOM BERHASIL DIMATIKAN
SEMOGA HARI MU MENYENANGKAN
Ada hening yang membingungkan sebelum kudengar suara tepuk tangan dari Kak Djanuar. Senyum bangga terukir di wajahnya. Dia melihatku dengan takjub seakan-akan aku berhasil menyelamatkan seluruh dunia. "Gue udah bilang sama lo, lo jenius, Aurora."
Ada sesuatu yang bergejolak aneh didalam perutku. Tiba-tiba saja aku merasa dunia ini berseri-seri. Aku telah menjadi pahlawan. Rasa tenang itu sangat menyenangkan ketika kulihat Kak Djanuar melihatku dengan begitu bangga. Seolah-olah puas dengan semua kerjaku. Tatapannya menggodaku untuk ikut tersenyum. Ini sangat menyenangkan.
Dan akan menjadi sangat membahagiakan seandainya saja aku lupa kalau semua ini belum selesai.
"Djanu, Aurora!"
Aku sudah menduga orang itu akan datang. Dia selalu datang di waktu yang tepat. Di waktu di mana kami berada di puncak suatu tujuan dan mengalihkan semua impresi Kak Djanuar padanya. Mawar berduri yang pandai sekali mencari panggung.
"Gue nemu kotak aneh di ruang UKS, mungkin aja itu bom."
Benar sekali. Satu kalimat darinya seperti peluru kecil yang langsung menembus titik vital target dalam sekali tembak. Satu kalimat darinya, semua perhatian Kak Djanuar seketika berubah haluan pada Camila yang datang dengan heroik. Membuat dia seolah-olah adalah pahlawan sesungguhnya.
Mungkin aku memang se bodoh itu karena baru menyadarinya sekarang. Tapi hal ini sudah berlangsung sangat lama. Tidak pernah kusadari sebelum hari ini bahwa kita bertiga selalu begitu. Ada satu tembok yang memisahkan aku dengan mereka di mana aku menjadi begitu asing. Tidak, kali ini bukanlah satu perasaan yang berlebihan. Teresa bahkan tidak pantas meledekku. ini perasaan yang nyata yang baru kusadari hari ini. Kami selalu begitu. Setiap Camila menyelinap dalam semua percakapanku dengan Kak Djanuar, Aku selalu kembali pada titik tidak terlihat diantara mereka berdua. Sekarang aku ingat momen-momen mana saja di mana Camila selalu hadir dan membuat aku menjadi semu.
Dia telah menjadi mawar berduri dalam hubungan kami sejak waktu yang sangat lama.
Aku bahkan tidak bisa menyela apapun ketika Kak Djanuar dan Camila dengan begitu asyiknya membahas soal kotak kedua. Sementara aku memperhatikan keduanya, waktu tidak tersisa banyak. Pada titik itu mereka berdua pergi begitu saja seolah-olah tidak ada kehadiranku untuk diajak pula. Tanpa suara aku mengikuti langkah keduanya di belakang.
Ruangan kesehatan berada dekat dengan lapangan utama, posisi itu dipilih agar para anak PMR bisa dengan cekatan mengambil tindakan membawa anak yang sakit atau pingsan pada saat upacara tanpa dihalangi oleh jarak yang jauh. Namun, posisi itu tentunya cukup jauh dari area belakang sekolah. Selama kami berlari, tidak pernah kutemukan Kak Djanuar menoleh padaku. Bahkan satu kali pun. Ia terlalu asyik berlari disamping Camila, memberinya banyak informasi soal bom, bahkan sempat mendiskusikan kata sandi apa yang tepat untuk kotak kedua. Ia lupa kalau akulah yang menyelamatkan kami dari kotak pertama. Terlepas dari sengaja atau tidak, kalau memang Kak Djanuar menganggapku jenius, harusnya dia lebih percaya padaku untuk kata sandi kotak kedua.
Ini sungguh menyebalkan.
"Ini kotaknya," ujar Camila setibanya kami di UKS. Kotak yang ia tunjukkan sama persis dengan apa yang kami temukan di area pembuangan. "Belum gue apa-apain. Nggak berani."
"Lo benar-benar nemuin bomnya, thanks ya."
Mataku mendelik tajam. Ada rasa jijik yang teramat besar ketika aku menemukan dua orang itu saling berpandangan dengan begitu lembutnya. Seolah-olah kotak itu berisi coklat bukannya berisi bom. Dan lagi, apa-apaan ucapan terimakasih yang kelewat manis itu. Kak Djanuar bahkan tidak mengatakannya padaku ketika aku berhasil menebak kata sandi kotak sebelumnya.
"Kak! Waktunya, waktu!" hebohku saat itu juga. Enak saja si bawang licik itu mau tatap-tatapan mesra dengan Kak Djanuar. Aku tidak ikhlas se tidak-tidak ikhlasnya.
"Oh, ya, kita butuh kata sandi," seketika mereka dilanda kepanikan. Kak Djanuar tampak tidak sanggup lagi menggunakan otaknya. Camila tentu saja tidak bisa diharapkan-walaupun ia pintar. Aku merangsek ke antara mereka berdua. Merebut kotak itu dari tangan Camila sekasar yang aku bisa.
"Aurora, pelan-pelan dong!" aku mendelik pada Kak Djanuar.
"Waktunya tinggal lima menit! bom ini nggak nungguin kalian tatap-tatapan mesra dulu buat meledak ya."
Ia diam. Mereka berdua diam. Sialan! tidak ada satupun yang menyangkal tuduhanku. Apa ini artinya mereka mengakui kalau sudah bermain dibelakang?
"Gue bakal cari bantuan diluar," Camila langsung pergi. Siapapun seharusnya tahu kalau lima menit tidaklah cukup untuk melakukan hal itu.
Aku menekan tombol merah yang ada disamping layar. Seperti sebelumnya layar itu berkedip, kemudian tulisan yang sama muncul, dan berganti menjadi garis kolom.
"UKS, kesehatan, ah obat!" tebakku. Tidak terjadi apa-apa seperti sebelumnya.
"Suntik, pil, anestesi, flu, kanker..." aku menyebutkan kata yang acak. Tidak terjadi apa-apa. Ah! tiga menit lagi.
"Mungkin kita harus nunggu Camila,"
Kak Djanuar menghentikanku. Sontak aku mengerutkan alis.
"Kakak pasti tahu waktunya nggak cukup kan? Tiga menit lagi!"
"Gue telpon Camila sekarang. Biar dia yang nebak kata sandinya. Siapa tahu ketebak."
Napasku memburu tiba-tiba. Kepalaku memanas. Aku terserang sesuatu bernama lonjakan emosi yang tak tertahankan lagi hingga saat itu juga kubanting kotak itu kelantai. Kak Djanuar menatapku terkejut. Aku balas menatap sosok di depanku nyalang. Gigiku rasanya bergemeretuk saking kuatnya aku mengeraskan rahang.
"Ini karena Camila kan?!" todongku, setengah berteriak. "Ini karena dia, lo minta putus sama gue. Kalian main belakang dan udah ngerencanain ini semua. Lo mancing gue buat datang ke acara kelulusan lo, lo iming-imingi gue janji touring romantis berdua, tapi sebenarnya lo cuma mau patahin hati gue di saat gue udah berharap setinggi langit sama janji lo. Tega lo, kak!"
"Aurora, lo ngomong apa sih? Siapa yang main belakang?"
"Nggak usah pura-pura. Gue udah tahu semuanya. Selama ini gue pikir kita berdua yang jalanin hubungan ini. Tapi ternyata, cuma gue yang nganggap hubungan ini ada. Sementara lo keasyikan main belakang sama Camila yang gue pikir dia baik. Tapi ternyata dia cuma cewek manja yang hobinya ngerebut cowok orang. Dasar jalang!"
Matanya membola. Kak Djanuar tampak begitu terkejut. Aku sendiri juga terkejut dengan ucapan ku sendiri. Emosiku benar-benar tumpah. Meledak ruah disini. Bahkan air mataku mengalir. Ini jarang sekali terjadi, aku menangis karena masalah percintaan. Aku mulai merasa ini berlebihan. Tapi respon Kak Djanuar juga kelewat berlebihan. Dia menamparku. Benar-benar menampar pipiku.
"Jaga ucapan lo, Aurora! Lo nggak pantas ngomong kayak gitu. Lo nggak tahu apa-apa."
Ada sensasi panas dan rasa nyeri ketika kupegang bagian pipi kananku. Sakit. Tapi tidak lebih sakit dari hatiku. Kutatap ia perlahan, wajahnya sarat akan amarah. Kutatap ia nyalang. Apapun tindakannya itu salah. Dia telah menggelapkan hatiku.
"Lo brengsek, kak! Gue benci sama lo! Pergi aja lo sana sama Camila-Camila itu. Nggak usah sok-sokan bantuin gue."
"Jadi, selama ini lo cuma mikirin hal nggak penting itu?! Kemana otak lo dalam keadaan kayak gini, sih?! Kita nggak punya waktu buat debat, ya."
Aku mendengus jijik, "kenapa? Lo nggak suka perilaku bejat lo selama ini terbongkar? Gue nggak akan berhenti, kak. Gue akan umbar semua kelicikan lo main belakang sama Camila sialan!"
"Aurora!"
Bib...bib...bibbibbibbibbii...
"BOMNYA MELEDAK!"
...
Ternyata kami telah menghabiskan begitu banyak diantara sedikitnya waktu. Tapi, seperti yang sudah-sudah, emosi selalu dapat membutakanku. Hingga aku tidak pernah sadar bahwa selama kami berdebat waktu berjalan begitu cepat sebelum Kak Djanuar berteriak dengan begitu paniknya.
Ada peringatan. Kotak itu bersuara pada satu menit terakhir. Tapi suara kami lebih keras dari sirine kematian. Pada saat itu, mata ku benar-benar buta. Telingaku sepenuhnya tuli. Tidak ada yang kurasakan selain amarah dan sakit hati tatkala melihat Kak Djanuar begitu terporos pada Camila. Terlebih ia membentakku, bahkan menamparku. Dengan mudahnya peringatan itu terlewatkan. Namun kotak itu masih memberi kesempatan. Sepuluh detik terakhir, ketika Kak Djanuar berteriak akan namaku. Suara "bib" yang nyaring dan cepat sebagai peringatan terakhir memberitahu kami bahwa waktu telah habis masa.
Bom itu meledak.
Begitu keras dan membahana. Tidak ada yang dapat kami lakukan ketika suara "bib" yang panjang berubah menjadi sebuah ledakan hebat. Besar sekali. Aku tidak begitu tahu banyak akan bagaimana kondisi kami ketika bom itu meledak. Memporak-porandakan keadaan.
Satu hal terakhir yang kuingat, ada sinar terang membutakan mataku. Kemudian sebuah tarikan keras menjatuhkanku ke lantai. Bom itu meledak. Menciptakan dengung yang menulikan. Sinar terang itu kemudian mendekat dengan sangat cepat. Satu detik setelahnya, aku tidak pernah tahu apa yang terjadi.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top