48. Heart to Heart
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
-
Sebelum mulai, tarik napas dulu
Iyak, tahan!! Jangan di buang sampai selesai baca bab ini :v
Absen dulu gaiss wkwk
↓↓↓
----
Sebutin satu karakter favorit kalian di Bawah Tanah
Misal: aku favoritin semua karakter, tapi yang paling favorit sih authornya 🌚 //plak
----
Okeh, udah absen?
Lanjut!!
•••
Orang bilang dendam akan selalu terbawa sepanjang hidup kita bahkan hingga akhir hayat apabila hati tidak bisa menghadirkan keikhlasan untuk merepihnya. Apabila hati tidak bisa mendatangkan permaafan untuk mengobatinya. Dendam akan selalu menyala selama sumbu api itu tidak bisa memadamkan dirinya sendiri dengan mencoba memaafkan. Mungkin inilah yang dirasakan Velidsa ketika ia melihat aku masih hidup dan baik-baik saja tanpa tahu bahwa keluargaku telah melakukan kesalahan yang begitu fatal kepada keluarganya. Mungkin rasa sakit inilah yang menyiksanya selama ini, yang membuatnya memiliki kebencian sebesar dan sedalam itu padaku. Yang membuatnya mampu bahkan tak ragu untuk membunuhku.
Sekarang aku lebih bisa mengerti. Karena ini, semua yang kurasakan ini sungguh menyiksa. Sampai rasanya sesak meski hanya bernapas. Sampai rasanya sakit meski hanya memejamkan mata. Semua yang terjadi selalu terulang setiap aku menutup mataku. Berputar-putar seperti kaset rusak yang tak memiliki akhir. Aku terus dihantui oleh sosok Susi Ambarwati yang sampai hari ini masih diberi kesempatan oleh tuhan untuk terus bernapas. Aku menyesal aku tidak membunuhnya saat itu. Sekarang aku berharap setengah mati aku bisa mengakhiri hidupnya.
"Aurora, kau baik-baik saja?"
Sancaka mengetuk dari luar. Ia sudah melakukan itu sejak aku mengurung diriku di kamar. Entah sudah berapa lama. Aku tidak menghitungnya. Langit berubah terang dan gelap di luar jendela, mungkin sebanyak tiga kali. Aku pun tak yakin. Aku tidak peduli.
"Aurora, kau harus keluar sekarang," bujuknya.
Namun aku tak bergeming, bergelung di ranjangku. Selepas kejadian itu, aku tidak tahu apa yang terjadi. Sancaka bilang Susi Ambarwati sudah diurus. Tapi aku yakin wanita itu masih hidup. Entah Sancaka memenjarakannya di mana. Sejak itu aku tak pernah bisa tidur. Setiap kali berhasil terpejam, aku selalu terbangun karena mimpi buruk. Semua ini menghantuiku. Aku ingin mengakhirinya.
Aku ingin membunuhnya.
"Ara," aku mendengar suara yang familier. "Ara bukan pintunya, Ra. Ini Anya."
Anya?
Kenapa dia ada di sini?
Aku bangkit dengan tergesa. Membuka pintu. Benar saja, Anya ada di sini. Anya di depanku. Berdiri menghadapiku. Ia tersenyum seolah-olah semuanya akan baik-baik saja.
"Ngapain lo di sini?" kudorong ia mundur. "Lo nggak boleh di sini. Lo bisa mati karena gue. Pergi nggak lo!"
Anya menatapku gamang. "Ra—"
"PERGI!" teriakku frustasi. "Dasar kepsek sialan! Beraninya ingkar janji—"
Ujung mataku menangkap Velidsa, tengah berdiri di lorong koridor memperhatikanku. Tidak hanya ada Velidsa, tapi ada semua orang di sini. Ada Alto, Adam, Ririn, Aren, Riana, Bahkan Katrina, Sirin dan Zero, sampai Cempaka. Semua orang ada di sini. Namun, aku tidak peduli dengan yang lainnya. Aku hanya peduli pada Anya.
Kuhampiri Velidsa geram. Mendorongnya kasar. "Lo, lo yang buat Anya ke sini? Lo yang suruh om sialan lo itu buat ngirim Anya ke sini?! JAWAB BRENGSEK! beraninya lo ngincar sahabat gue! Lawan gue kalau lo emang mau ngelawan gue!"
Mungkin karena penampilanku yang sudah tak keruan, dengan rambut berantakan, mata merah dan wajah sembab, Velidsa tidak membalasku seperti biasa. Ia diam. Yang di lakukannya hanya mundur kala aku maju menantangnya. Ia hanya menatapku tajam dengan kebencian yang sama. Justru Anya yang bertindak menarikku berusaha melerai.
"Ra, udah!"
Diliputi murka, aku menghempasnya. "LO DIEM!" teriakku seraya mengacungkan telunjukku ke depan wajahnya. "Lo nggak tahu apa-apa!"
Aku kembali menghadap Velidsa. "Lo dendam sama gue? Lo dendam sama keluarga gue? Lo mau bunuh gue? Hah?! Oke, bunuh gue sekarang! Kalau itu bikin lo tenang. Kalau itu emang bikin lo puas, bunuh gue sekarang. Nggak usah lo bawa-bawa orang lain ke sini!"
"Aurora, cukup!" Cempaka mencoba melerai. Kudorong ia ke samping.
"Kenapa? hah?" tanyaku, melihat Velidsa tak sekalipun berkutik meski aku sudah menantangnya habis-habisan. "Lo takut? Lo nggak bisa bunuh gue? Ahaha ... oh, iya. Lo kan cuma pengecut yang cuma bisa nyelakain orang lain yang nggak salah!"
Dentuman keras terdengar tatkala velidsa mendorong tubuhku menghantam dinding. Membuat semua orang yang ada di sekitar kami memekik terkejut. Terlebih saat cewek itu mengokang senjata dan mengarahkannya ke dahiku.
"Velidsa!" teriak Sancaka penuh amarah. "Velidsa turunin pistolnya sekarang juga!"
Velidsa tak bergeming. Matanya tepat tertuju padaku dengan sarat kebencian yang membara. Menatapku penuh nyalang dengan wajahnya yang sudah begitu muak. Dengan kilat-kilat kemurkaan yang meledak-ledak.
Dulu, aku bisa melihat dengan jelas betapa ia membenciku hingga jauh ke lubuk hatinya. Kini, bukan hanya kebencian yang aku rasakan dalam tatapannya yang begitu tajam, tapi ada rasa sakit di dalamnya. Ada hati yang remuk redam, digerogoti dendam. Aku melihat diriku dengan kebencian yang sama, dengan luka dan dendam yang sama yang aku tujukan pada Susi Ambarwati. Melihat Velidsa bagaikan melihat refleksi diriku sendiri. Karena sejatinya kita berdua memanglah sama. Kita tak bisa menemukan kata maaf untuk benci yang sudah terlalu besar menjamah hati.
"Lo pikir gue nggak mau?" Aku bisa merasakan suaranya bergetar. "Lo pikir gue suka ngelihat lo masih hidup dan bernapas, baik-baik aja seolah nggak ada kejadian apa-apa? Sementara gue sama sekali nggak bisa ngelupain waktu sisa-sisa dari Kak Sarah di kirim ke rumah pakai kotak kardus! Gara-gara kesalahan ibu lo ... gue kehilangan sosok kakak! Lo nggak tahu seberapa besar keinginan gue buat bunuh lo 'kan? Lo bilang gue pengecut? Asal lo tahu aja kalau seandainya waktu itu Gue nggak meleset dan ngenain Aren, lo tuh udah mati tahu, nggak!!"
Mataku membeliak. Begitu juga dengan Aren yang perlahan mendekati kami dengan wajah tak percaya. "Jadi ... ja-jadi yang nembak aku itu kamu?"
Velidsa tak menghiraukannya. Air mataku jatuh lagi saat aku mulai membuka suara. "Kalau gitu bunuh gue sekarang. Kalau emang sebegitu bencinya lo liat gue masih hidup. Kalau ngeliat gue emang berat buat lo, lo bunuh gue sekarang!"
"Sekarang lo bisa bilang gitu karena lo udah ngerasain 'kan?" mata Velidsa berkaca-kaca. "Lo ngerasain 'kan gimana sakitnya? Lo tahu 'kan gimana perasaan gue liat lo bernapas di sekitar gue, dipuja-puja, padahal lo nggak lebih dari sekedar anak pembunuh! Lo mau gue bunuh lo? Oh, please, lo pasti mati! Lo tunggu aja waktunya. Lo pasti bayar apa yang udah keluarga lo lakuin ke keluarga gue!"
Ia menarik dirinya dan melengos pergi dariku. Aku berusaha meraihnya. Namun Sancaka menahanku. "Gue belum selesai. Panggil om lo ke sini—Lepasin gue, Cak! Velidsa! Suruh dia hadepin gue ke sini! Gue udah lakuin semua yang dia mau! Berani-beraninya dia bawa-bawa Anya—"
"Ra, gue ke sini karena keinginan gue sendiri. Ra, udah Ra, please." Anya berusaha memelukku. Aku memberontak heboh.
"Nggak, Nya! Gimana bisa udah? Hahahaha ... gimana bisa udah, Ay? Ayah gue dibunuh ….”
aku terisak hebat. Aku meronta-ronta berusaha lepas dari genggaman Anya, namun gadis itu merengkuhku begitu kuat. Ia mendekapku dari belakang. Menahanku untuk tidak kemana-mana. Aku merosot jatuh ke lantai. Anya masih tidak mau melepasku. Mataku menatap nanar pada punggung Velidsa yang kian berjarak. Tanganku terangkat berusaha meraihnya. Namun seiring ia menjauh pergi, sosoknya mulai tak lagi terlihat. terhalangi oleh gerombolan teman-temanku yang menatapku iba. Ikut tergugu dalam pedihnya isak tangisku.
“Dia bunuh ayah ….”
Anya kian mengeratkan pelukannya. “Bukan salah lo. Bukan salah lo,” katanya. Namun kenyataan seolah berkata lain. Karena sejak awal semuanya memanglah salahku.
…
Aku melihat pantulan diriku sendiri di permukaan kolam renang hotel. Airnya memberiku pantulan seorang anak dengan mata yang sayu. Mata yang seakan binarnya redam di telan kelam. Membuatnya terlihat bagaikan tak lagi bernyawa. Anak itu kini terlihat jauh lebih menyedihkan dari apapun yang paling mengibakan di dunia. Seolah-olah kesedihan hanya datang ke bumi untuk memberi derita pada harinya. Seolah anak itu tak pernah mengenal tawa dan bahagia.
Itu mungkin memang benar.
Memangnya apa yang bagus dari seorang Aurora? Dia hanya yatim piatu yang membuat ayahnya sendiri terbunuh karena telah bertahan hidup. Anak emas? Anak yang dianugerahi intelektualitas dan jiwa kepemimpinan? Itu hanya omong kosong. Harusnya aku menyambut tangan maut sewaktu ia mendatangiku sepuluh tahun lalu.
Harusnya ….
“Harusnya gue mati aja ….”
“Semua orang pasti akan mati bila sudah waktunya.” Sancaka mengambil duduk di sampingku, turut merendam kakinya. Aku menarik kakiku dari dalam air, hendak pergi. Aku benar-benar sedang tak ingin diganggu. Namun cowok menyebalkan itu seperti biasa memang selalu tidak peka. Ia menarik tanganku. Mencegahku pergi.
“saya baru dateng, lho. Jahat banget udah ditinggal aja.”
“Apaan, sih?! Gue lagi nggak mau ladenin lo, ya!” bentakku.
“Galak banget, Mbak. Saya cuma mau ngasih tahu kalau kamu salah. Sancaka nggak tahu semuanya tentang Aurora, kok. Buktinya, Sancaka nggak tahu minuman yang kamu suka. Makanya saya bawain semua, hehe.” Lelaki itu mengulas senyum tiga jari.
Aku memperhatikan sekantung kresek yang dibawa lelaki itu. Berisi berbagai macam minuman botol beraneka rasa. Ada juga dua buah roti kasur, coklat dan beberapa bungkus makanan ringan. Setelah melihat semua isinya, baru kusadari tenggorokanku mengering entah sejak kapan. Aku mengambil satu minuman botol bersari leci dan menandas setengah isinya.
Memandangiku, Sancaka tersenyum kecil. Aku berdecih tak suka. Memangnya dia pikir aku lucu apa.
“Aurora sukanya leci, ya? Oke! Kalau gitu nanti saya bawain minuman leci yang banyak biar bibirnya nggak cemberut terus.”
Aku mengalihkan wajah. Pura-pura tak mendengarnya. Lelaki itu terdiam. Kakinya memainkan air kolam pelan. Membentuk riak yang timbul tenggelam. Suara airnya diam-diam jadi seperti alunan. Kolam renang hotel ramai saat siang, namun sepi saat malam. Berlama-lama di sini setidaknya menghadirkan sedikit tenang. Sunyinya amat melarungkan.
“Sudah tenang?” tanya Sancaka. Aku mengangguk kecil. Tidak tahu harus bagaimana. Aku sebenarnya sudah cukup malu karena membiarkan diriku menangis histeris di depan semua orang. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi yang lain. Aku sudah tidak punya muka.
“Kenapa ada banyak orang?" Aku mempertanyakan kehadiran Anya dan yang lainnya di sini. Harusnya mereka semua tidak di sini. Misi ini adalah tanggung jawab murid terbaik.
“Kita butuh bantuan,” jawab lelaki itu. “Sejak kejadian di panti, semuanya hampir kacau. Kita hampir kehilangan semua jejak Amerta. CEO Arca pergi meninggalkan pulau, Bupati Rendra juga. Seluruh transaksi bank akhirnya beku. Kita kehilangan jejak uangnya. Kepala sekolah terpaksa ngirimin murid lain. Kita ada di sini karena usaha dari bertahun-tahun lalu. Kita nggak bisa kehilangan jejak mereka. Itu kenapa yang lain juga dikirim. Selama kamu istirahat, mereka yang mati-matian mencari jejak-jejak Amerta. Seenggaknya, sekarang kita tahu uangnya belum keluar pulau, walaupun belum tahu tepatnya di mana. Itu artinya markasnya masih ada di sini.”
“Tapi kepsek brengsek itu ingkar janji—”
“Anya, dia datang atas kemauannya sendiri. Awalnya dia nggak dilibatkan, tapi dia sendiri yang bujuk Pak Tahir buat bantuin kita. Aurora, nggak peduli seberapa keras kamu berusaha melindungi seseorang, kamu nggak akan pernah berhasil selama orang itu nggak mau dilindungi,” katanya lembut.
“Ck, dasar keras kepala!” umpatku. “Tante Susi lo kemanain?”
“Mau apa?”
“Jawab aja!” desakku.
Sancaka menghela napas. “Dendam itu nggak baik disimpan terlalu lama.”
“Velidsa pun mendendam sama gue.”
“Velidsa itu anak nakal. Emangnya Aurora anak nakal?”
“Nggak lucu, Cak!” bentakku tak tahan. Aku benci melihat ketenangannya. Aku benci melihat ia masih bisa begitu lembut, begitu manis, bahkan setelah semuanya kacau balau denganku.
“Ya udah, ya udah,” gumamnya. Lalu ia turun ke air. Merendam dirinya di kolam. Lelaki itu berjalan ke depan tubuhku. Mengulurkan tangannya.
“Ngapain?”
“Berendam. Biar hatinya dingin.”
Ia mengambil tanganku. Menariknya pelan-pelan. Aku merosot ke dalam air. Sensasi dingin langsung menyerbu sekujur tubuhku begitu air menyentuh permukaan kulit hingga ke bagian dada. Sejenak aku menggigil sebelum akhirnya mulai terbiasa dengan suhunya. Tangan lelaki itu menuntunku ke tengah-tengah kolam. Selama melakukan itu senyum manisnya tak pernah hilang. Ia mengendalikanku dengan tatapan matanya yang dalam.
“Coba rentangkan tanganmu,” pintanya. Ia ikut merentangkan tangannya sendiri. Membiarkan jarak melebarkan dirinya di antara kita. “Coba lakukan ini.”
Sancaka melepaskan tanganku perlahan-lahan. Kepala dan tubuhnya dicondongkan ke belakang hingga tubuhnya sempurna mengambang di air. Lelaki itu memasrahkan dirinya dalam pelukan riak ombak kecil yang mengayun-ngayunkan tubuhnya.
“Terkadang, kita hanya perlu mencoba untuk pasrah akan setiap keadaan yang Tuhan berikan. Terkadang kita hanya perlu diam, mengikuti arus, mematuhi ombak ke manapun kita dibawanya. Terkadang, Aurora, kita hanya perlu menerima. Kita hanya perlu belajar ikhlas. Dengan begitu, hati kita akan mampu memaafkan. Memaafkan keadaan dan diri kita sendiri.”
Aku menarik napas dalam. Termangu meresapi kata-katanya. Aku pun mencoba melakukan hal yang sama. Kubiarkan dinginnya air memeluk diriku. Membiarkan massa diriku ditopang oleh ombak. Kupandangi langit-langit kaca yang menyuguhkan hamparan langit malam, yang terpandang megah ditaburi biji-biji langit. Maha kuasa tuhan untuk seluruh alam.
Aku mungkin punya cara sendiri untuk memahami takdir. Bagiku, yang selalu berjuang mengendalikan takdir, pasrah bukan jawaban. Memaafkan bukan pilihan. Karena aku percaya setiap perjuangan pasti ada hasilnya. Setiap kebaikan dan setiap keburukan pasti ada balasannya.
Takdir terlahir Bersama hukum sebab-akibat agar semuanya tetap mampu dinilai adil. Maka tidaklah salah jika aku memupuk dendam. Karena apa yang Amerta lakukan pada kedua orang tuaku haruslah ada balasannya. Sebagaimana kode nama yang kupilih mewakilkan diriku, Nemesis, karena aku adalah bentuk pembalasan.
Namun tatkala dendam sudah terlalu sakit untuk disimpan lubuk hati, mungkin tidak salah untuk mulai merelakan. Mungkin Sancaka benar. Mungkin seluruh lara yang kurasakan ini adalah cara tuhan untuk menegurku, bahwa manusia tidak diperkenankan untuk berkuasa atas takdir. Pada akhirnya semua kembali ke kodratnya masing-masing. Aku hanya perlu belajar ikhlas untuk menemukan ketenangan.
“Jika Ara mati hari itu …,” kataku dengan suara serak, “Ayah juga pasti akan mati kalau Tuhan menghendaki.”
“Iya.” Sancaka membenarkan.
“Bukan salah Ara, karena semua sudah rencana Tuhan.”
“Akhirnya kamu memahami,” sahutnya.
Arak-arakkan awan di atas langit bergerak menyisih. Membuka bulan sabit yang sejak tadi terselimuti. Cahaya peraknya menerangi kami. Lalu alam seakan membentuk persekongkolan demi menautkan dua hati yang belum sebati. Menggunakan riak air yang menjembatani tautan antara mata dengan mata. Yang kemudian melalui cahaya rembulan dikirimkannya sedikit percikan di dalam tatapannya. Aku dan Sancaka membangkitkan diri tanpa melepas tautan netra itu. Saling bersemuka lalu mulai menepis jarak. Ia menangkup wajahku. Aku menggengam lengannya.
“Gua bisa suka sama lo,” aku memperingatinya. Lelaki itu tak menyahut. Ia hanya terus mendekat hingga aku bisa merasakan deru napasnya di wajahku.
“Saya sudah menyukaimu.”
Udara rasanya dua kali lebih berat manakala debar jantung berdentam kian pekat. Meski tidak terkatakan dengan lantang, bolehlah ini disebut pengakuan atas rasa yang mulai datang. Rasanya, jarak sudah tak lagi jadi arti. Kami tepis seiring nafsu memuncak tinggi. Hanya perlu satu dorongan kecil untuk menyatukan dua bibir yang sudah saling menghadapi. Namun Sancaka menahannya sebelum benar-benar bertaut saling melengkapi. Aku menahan napas gugup.
“Ini bukan khilaf lagi?” tanyanya memastikan.
Aku menghembuskan napas pelan. “Bukan.”
Lalu semuanya terjadi dengan begitu memabukkan. Membuatku melayang-layang. Membuatku sejenak lupa akan semua masalah yang datang. Seluruh ego rebas dalam sekali sentuhan. Tersingkirkan oleh dominasi rasa saling mengingini. Sancaka mengeratkan tautan kami, memindahkan tangannya memelukku. Aku mencengkeram erat kemejanya. Lalu kami saling berbagi kasih yang bertumpahan deras dalam jalinan yang tercipta.
Itu adalah ciuman singkat yang manis dan tidak bersalah. Kami menyudahinya perlahan, dengan gerakan yang lembut agar tak saling menyakiti. Terengah-engah kemudian. Saling digempur hembusan napas satu sama lain. Namun semua berakhir dengan senyuman kecil yang terulas indah di bibir kami.
Kami beristirahat sejenak dengan dahi yang saling bersentuhan. Kemudian aku teringat semua yang kami lalui, dunia yang kami tinggali, semua susah sedih yang menghampiri. Aku mendorongnya pelan. Namun Sancaka tidak ingin melepaskan.
“Kita mungkin nggak bisa bersama,” gumamku pelan. Aku mendengar helaan napas berat darinya.
“Sesaat pun tak mengapa,” lirihnya.
Kami saling memisahkan. Saling menatap lagi. Lalu bak pikiran yang saling terhubung, kami mengumbar tawa bersamaan.
“Gue tahu lo udah suka sama gue dari lama,” ujarku, meledeknya.
“Saya juga tahu dari lama kamu pasti bakalan suka juga sama saya nantinya.” Ia tak mau kalah.
“Dih,” remehku, “Kan' karena lo-nya bahlul, sih.”
“Bahlul gini suka juga ‘kan?” senyum miring khasnya muncul lagi. Membuat wajahnya jadi lebih menyebalkan.
“Suka lah! Kan' peletnya berhasil.” Ia tertawa kecil.
“Sekarang tanggal berapa?” tanyanya.
“Kenapa? Mau dibuletin di kalender?” aku meledeknya lagi. Aku suka mencandainya.
“Terus dikasih tulisan ‘hari Rora berhasil kena peletnya Caka’ biar nanti kalau udah setahun Caka pelet lagi biar awet.”
Aku terbahak keras. Menikmati momen itu dengan hati yang jauh lebih ringan.
_________
Catatan Penulis
•
Yang tadi nahan napas boleh dihembuskan lagi ya wkwkw
Akhirnya bab ini keluar juga //fyuhh 🤧
Siap-siap untuk roller coaster terakhir, karena hanya tersisa beberapa bab lagi menuju ending.
Sebelum pulang ke realita masing-masing, mari kita absen penutup dulu
↓↓↓
---
Satu kata untuk bab ini
---
Pencet tombol 🌟 seikhlasnya
Sampai jumpa di bab selanjutnya
😘😘
•
__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top