47. Throwback Memories
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Mungkin karena sudah terlalu biasa melakukannya, Kak Sancaka memulai insiden itu dengan begitu natural, seolah-olah memang sudah takdir terjadi hal demikian. Adalah pelayan wanita malang yang menjadi korbannya kali ini. Pelayan itu kebetulan sekali berjalan tepat di samping Kak Sancaka dengan membawa nampan berisikan beberapa gelas liquor dan sari buah. Dengan gerakan yang begitu mulus, lelaki itu membuat si pelayan menabrak dirinya. Cairan tumpah ke setelan mahalnya. Gelasnya jatuh mengotori lantai marmer. Perhatian sang bupati beserta beberapa tamu di dekat kami dengan cepat teralihkan. Pria itu nampak terkejut melihat tamu pentingnya kini basah oleh cairan liquor.
"Hei! What the hell are you doing on my clothes!" seru Kak Sancaka murka. Sang pelayan langsung beringsut ketakutan. Bupati menghampiri kami dengan wajah panik.
"Yaampun, maafkan saya Mr. Lichfield. Dia pegawai baru." Bupati Rendra berujar dengan nada bersalah.
"Tidak! Tidak bisa dibiarkan begini! Kau tahu ini berapa harganya?" serunya, seolah-olah lelaki itu telah menghabiskan seumur hidup untuk membeli satu set tuksedo itu. Wajahnya berkerut-kerut dengan kilat kemarahan.
Pelayan itu membungkuk berkali-kali. Tangannya terulur hendak membersihkan cairan di pakaian Kak Sancaka. Aku langsung menyentaknya mundur. "Jangan sentuh dia dengan tangan kotormu! Kamu mau kami memotong jari-jarimu?!"
"Mungkin kami harus memotong jarimu." Kak Sancaka memanasi.
Pelayan itu kian ketar-ketir. Kini ia berlutut dan menangis sesenggukan. Memohon ampun di kaki Kak Sancaka. Aku jadi tak tega melihatnya. Salahkan Kak Selena yang lama sekali.
Sementara Kak Sancaka mengomel marah tak habis-habis, orang-orang di sekitar mulai berbisik-bisik. Terdengar satu-dua kalimat dari mereka yang mengkritik pelayanan yang ada, mengatakan bahwa pestanya buruk dan sebagainya. Hal itu nampaknya terdengar oleh Bupati Rendra. Kuperhatikan wajah pria itu memerah padam, bercampur antara malu sekaligus kesal. Namun di hadapan para tamu-tamu pentingnya, ia harus merendahkan diri. Tersenyum dan membungkuk meminta maaf.
"Nah! I got it! Oke, Nemesis, Ananke, kalian bisa kemari." Suara Kak Selena muncul dari penyuara telinga. Aku menarik Kak Sancaka yang tengah menyentak-nyentak seperti orang kerasukan jin pemarah.
"Sudah lah, Sayang," ucapku. "Dia tidak pantas untuk waktu kita."
"Le-lebih baik kita langsung ke atas saja," bujuk Bupati Rendra takut-takut. Ia menghampiri Kak Sancaka dan mencoba melepaskan jasnya yang basah. "Tolong biarkan saya mengurus ini, sebagai permintaan maaf saya."
Kak Sancaka membiarkan jasnya pindah ke tangan bupati. Kini ia hanya mengenakan jas putih, rompi hitam dan dasi sebagai atasan. Ia menarik lengan kemejanya ke siku. Berjalan mengikuti bupati dengan memisuh gusar.
Lantai dua tak kalah megahnya dari lantai satu. Hanya saja di sini jauh lebih tenang dan sunyi. Ruangannya sama banyak, koridornya sama panjang. Entah beruntung atau tidak, aku melihat CEO PT. Arca Mentari di salah satu lorong koridor yang kami lewati. Tengah berbicara dengan seorang yang terlihat seperti penjaga. Aku melambatkan langkahku.
Sayup-sayup kudengar CEO Arca berkata, "... Uangnya sudah ditunaikan."
Aku menatap ke depan dengan cepat. Mereka berbicara tentang uang. Ini saatnya aku berpisah dengan Kak Sancaka.
Aku berhenti berjalan, menarik lengan Kak Sancaka meminta perhatian. Sang bupati ikut berhenti.
"Sayang, sepertinya aku harus ke kamar kecil. Kau duluan saja, nanti aku menyusul."
"Ah, kalau begitu biar pegawai saya menunjukkan jalannya pada Nyonya," celetuk bupati tiba-tiba. Aku melotot. "Hei, kamu! Sini! Tolong antar nyonya ini ke toilet."
Pengawal yang tengah menjaga pintu ruangan segera menghampiri bupati. Aku jadi kelabakan sendiri. Dia tidak boleh ikut! Aku ingin mengumpat. Kenapa bupati itu harus bertingkah sok perhatian begitu. Tidak bisakah dia membiarkanku pergi saja.
"Ah, tidak perlu repot-repot, pak bupati. Saya bisa sendiri, kok," tolakku. Aku menyenggol lengan Kak Sancaka agar cowok itu ikut membantu.
"Ah, iya. Tidak perlu repot-repot, Pak. Istri saya terbiasa sendiri. Itu akan lebih nyaman baginya," kata cowok itu membujuk.
"Begitukah?" Aku mengangguk yakin. "Ah, tapi akan lebih baik jika Nyonya ditemani. Agar tidak tersesat, haha. Kau tolong segera antarkan nyonya ini." Bupati itu memaksa. Aku menatapnya lekat-lekat. Berharap seribu satu sumpah serapah yang kulayangkan dalam hati akan mewujud sebagai kutukan dan terkirim dari tatapan mataku. Namun sekian detik kutunggu kepalanya bucat memuntahkan seluruh isi otaknya, hal itu tidak terjadi. Yang ada mataku jadi perih.
Akhirnya, aku hanya tersenyum masam. Terpaksa mengikuti sang pengawal. Sementara Kak Sancaka memasuki ruangan bupati, pengawal ini mengarahkanku jalan ke toilet sungguhan. Melewati koridor tempat I Made Wayan Arca berada. Aku diam saja, pura-pura memang ingin ke toilet padahal aku hampir tak tahan memukul tengkuknya dan kembali memata-matai CEO Arca.
Sampailah kami di depan pintu toilet. "Silahkan, Nyonya. Saya akan menunggu untuk mengantar nyonya kembali ke tempat Tuan."
"Terimakasih."
Aku membuka pintu toilet pelan-pelan. Berdiam diri di ambang pintunya sejenak. Lalu mundur lagi berbalik menghadap sang pengawal.
"Ehm ... bisa kau periksa dulu? Saya tidak ingin ada serangga di dalam."
"Baik Nyonya."
Pengawal itupun masuk tanpa merasa curiga. Aku langsung bergerak cepat mendorongnya ke dinding. Lalu meninju tengkuknya sekeras mungkin. Sang pengawal pun pingsan. Aku mengintip keluar. Begitu memastikan tidak ada orang merepotkan yang harus kubuat pingsan juga, aku keluar dari toilet seolah-olah habis menggunakannya. Lalu menutup pintu dan menekan tombol kunci.
Aku kembali ke koridor di mana targetku berada. Sayangnya, mereka sudah tidak ada di sana. Kususuri koridor itu dengan hati-hati. Berwaspada jika mereka keluar dari salah satu ruangan di sini, dan benar saja. Kulihat CEO Arca keluar dari sebuah ruangan tak jauh dariku. Posisi tubuhnya membelakangiku jadi ia tidak menyadari aku ada di sana. Aku terpaku selama beberapa detik sebelum akhirnya tersadar. Spontan aku mundur dan bersembunyi di balik dinding di belokan koridor.
Suara derap langkah terdengar menjauh. Aku mengintip, mereka sudah tidak ada. Memanfaatkan kesempatan di tengah sepi nan sunyinya tempat ini, aku langsung bergerak memasuki ruangan. Ketika aku menarik kenopnya, pintu itu tidak terbuka. Rupanya terkunci. Aku memukul dinding kesal.
"Bangsat!"
Sejenak kemudian aku teringat akan jam tangan pemberian Pak Sukma. Aku langsung meraba lengan kiriku. Jam tangan itu di desain untuk mata-mata. Di dalamnya terdapat alat perekam, pelacak, dan sebuah celah tempat besi pipih. Aku menarik besi pipih itu dari lubangnya. Membengkokkan ujungnya dan mencoba membuka pintu dengan itu. Teknik membuka pintu dengan cara aku pelajari dari Bawah Tanah. Untungnya mereka mengajarinya karena ternyata benar-benar berguna. Kupikir membuka pintu dengan kawat, peniti dan sebagainya itu hanya bisa terjadi di film-film saja.
Pintu terbuka. Tanpa membuang waktu aku langsung masuk ke dalamnya. Di dalam sana, tidak ada apa-apa selain bertumpuk-tumpuk koper berwarna hitam. Koper-koper itu dijejerkan di tengah ruangan. Aku mencoba mengangkat satu, bebannya cukup berat, tapi masih bisa diangkat. Semua koper ini memerlukan kode untuk membukanya. Jadi aku tak mencoba membukanya. Lagipula dengan jumlah sebanyak ini, sudah pasti isinya adalah uang hasil lelang.
"Aku menemukan kopernya," kataku ke penyuara telinga. Lalu kuambil ponselku dan mengambil beberapa gambar.
"Bagus. Lakukan sesuai rencana lalu keluar dari sana," sahut cewek itu entah dari ujung mana.
Aku mengambil alat pelacak yang tertanam di dalam jam. Kupasangkan di salah satu koper. Lalu aku keluar dari sana. Aku kembali menuju ke tempat Kak Sancaka dengan menghela napas lega. Semudah itu misi ini selesai.
...
Kami kembali ke hotel hampir tengah malam. Meskipun badan kami sudah pegal-pegal dan mata kami sudah benar-benar tak memiliki energi untuk terbuka, kami masih tidak boleh beristirahat. Aku terjaga hampir sepanjang malam memperhatikannya layar monitor yang menampilkan tempat alat pelacak kami berada. Alat itu masih ada di Balai Agung, itu artinya uangnya belum berpindah tempat.
"Lo yakin uangnya bakal di kirim ke markas mereka?" tanyaku skeptis. Menurutku, koper-koper itu bisa di bawa kemana saja dan itu belum tentu markas mereka. Maksudku, jika aku jadi anggota mereka, aku tidak akan mengirimkan koper itu langsung ke tempat aku bersembunyi. Tapi nampaknya Kak Sancaka punya pikiran lain.
"Yakin. Berdoa saja koper yang kau pilih adalah koper yang mereka antarkan ke tempat mereka."
Aku tidak bicara lagi dan tetap memperhatikan titik merah di layar. Kami sudah memperhatikan titik itu sekitar satu jam, sama sekali tidak ada pergerakan.
"Oh, ya. Kau dapat apa saja Sel?" Kak Sancaka menghampiri Selena yang duduk di kursi. Tengah memperhatikan berlembar-lembar dokumen yang ia curi dari brankas pribadi milik bupati.
"Data pengeluaran dan pemasukan uang sebelum dan setelah pesta amal. Mereka sangat pintar rupanya, Cak. Semua rekening dan pengiriman tidak diatasnamakan dengan nama mereka sendiri. Mereka memakai nama palsu."
Aku berdiri, mengambil fokus ke data-data pada lembaran pergerakan uang di projek amal Arca Mentari dengan penasaran. "Ini semua nama-nama bunga?" tanyaku. Mengamati nama-nama yang tercantum di kertas. Bunganya lengkap sekali. Mulai dari mawar, melati, hingga bunga tulip. Sudah macam taman bunga saja.
"Aku harus pecahkan nama-nama ini dulu baru kita bisa tahu yang mana di antara mereka yang merupakan anggota Amerta." Kak Selena mengambil lembaran itu dan membawanya keluar.
Tinggal aku dan Kak Sancaka di ruangan ini. Aku duduk di kursi panjang yang menghadap jendela. Dari sini, aku bisa melihat kelap-kelip lampu bangunan yang terlihat kecil-kecil. Seperti sekumpulan rasi bintang di langit.
Kak Sancaka bergabung denganku, duduk tepat di sebelah tubuhku.
"Kalau begini terlihat sekali indahnya, ya?" Ia membuka suara. Aku mengangguk kecil.
"Jadi, gimana rasanya jadi mata-mata?" tanya lelaki itu. "Apakah kamu suka dunia ini?"
"Nggak begitu." Aku menerawang ke langit malam. "Kadang seru, kadang ngerepotin. Tapi, kalau jadi mata-mata itu ... bebannya terasa sekali. Nggak boleh pulang, nggak boleh ini, nggak boleh itu. Nyokap gue hilang—bahkan mungkin emang beneran udah meninggal—karena ikut tim gabungan BIN. Dan gue rasa itu udah cukup jadi alasan kalau gue nggak mau ada di sini."
"Jadi kamu bakal pergi?"
"Setelah ini, setelah status mama jelas, ya, gue bakal keluar dari Bawah Tanah." kupandangi wajahnya. "Lo pasti bakalan kangen sama gue nanti."
"Pasti," jawabnya. Senyumku hilang. Bukan jawaban yang kuharapkan. Sebenarnya aku hanya bercanda. Tapi Kak Sancaka menyiratkan keseriusan di matanya.
"Ananke," ujarku, mengalihkan pembicaraan. "Kenapa 'Ananke'? Apa artinya?"
Kak Sancaka berdeham kecil. "Ananke itu, dalam mitologi Yunani adalah nama dari dewi untuk hal-hal yang tidak bisa terelakkan. Istilahnya, seperti takdir. Jadi nih, kita, berdiri di sini itu karena kita memilih berdiri di sini. Kita ada di Bawah Tanah dan jadi mata-mata itu karena kita memilih untuk melakukan itu. Tapi gimana kalau apa yang kita pilih bukan karena itu pilihan kita, tapi karena itu adalah yang harus kita pilih? Kamu mungkin ada di sini karena terpaksa, tapi kamu bisa memilih untuk nggak melakukan itu. Tapi kalau saya—"
"Lo nggak punya pilihan," simpulku. Tak ada jawaban dari Kak Sancaka. Tidak mengelak, tidak juga membenarkan. Hanya bungkam yang ia lakukan. Menatapku dalam sunyi sarat gamang. Namun bagiku lelaki itu tidak perlu menjawab. Semuanya terjelaskan melalui bungkamnya, tersirat dari nanar matanya yang teramat kelam. Aku mengubah posisiku menjadi duduk bersila, berhadap-hadapan dengannya.
"Sancaka tahu semua tentang Aurora, tapi Aurora nggak tahu satupun tentang Sancaka."
Kak Sancaka ikut duduk bersila di atas sofa. "Aurora nggak akan mau tahu apapun tentang Sancaka. Semua tentang Sancaka nggak ada yang bagus."
Aku beringsut mendekat. "Memangnya ada yang bagus dari Aurora?"
Tangannya terangkat menyentuh helai rambutku. Merapikannya ke belakang telinga. "Aurora cantik, Caka selalu bilang 'kan?"
Aku mengambil tangannya. Menangkupnya dengan kedua tanganku. Menatapnya serius. Berharap ia mengutarakan jawaban dari segala tanya yang sudah mendekam di benakku sejak lama. "Apa alasan Sancaka jadi mata-mata?"
Kak Sancaka menatapku dalam untuk waktu yang cukup lama. Kemudian yang ia lakukan hanyalah tersenyum tipis. Berkata, "Karena itu takdir saya."
Aku menjauhkan diriku. Perlahan mengurai genggaman tangan kami. Kembali menghadap jendela. Mengecewakan. Tak pelak hatiku dirundung kehampaan, berselimut kesedihan. Tidak Sancaka, tidak Djanuar, semuanya sama saja. Tidak ada yang benar-benar terbuka denganku. Mereka memasuki kehidupanku, bahkan hingga menembus dinding yang kuciptakan untuk menghalangi semua orang. Tapi saat aku ingin memasuki kehidupan mereka, mereka malah menciptakan batas yang terlalu tinggi untuk kulalui. Apalah artinya semua ini jika hubungan yang kami punya hanya sebatas aku mempercayai mereka, namun tidak dengan mereka mempercayaiku.
Aku bangkit. Sikapnya membuatku ingin pergi saja. Namun lelaki itu menahan. "Kamu pasti akan tahu kalau sudah waktunya."
Aku kembali duduk. "Kapan?" tanyaku tak sabar. Lelaki itu hanya bergumam tak jelas. Aku tahu dia tidak memiliki jawaban.
"Begini saja, kamu mau tahu tentang saya? Saya pasti kasih tahu. Tapi pelan-pelan." Aku menatapnya tak puas. Sancaka menundukkan wajahnya, mensejajarkan mata kami. "Ya?"
Akhirnya, kuhela napas kasar dan mengangguk. Lelaki itu tersenyum. "Oke, tapi dari sekarang." Aku menaruh kepalaku di sandaran sofa. "Ceritain sesuatu tentang kakak."
Sancaka ikut menyandar. "Nama saya Sancaka Tirtayasa ...."
"Udah tahu. Yang lain!" protesku. Lelaki itu terkekeh geli. Mulai bercerita. "Ayah saya dulu seorang pemburu. Pemburu yang sangat hebat. Kami tinggal di daerah Kalimantan. Ayah dulu suka bangunin saya jam tiga pagi buat pergi berburu rusa. Saya belajar nembak sejak umur enam tahun, ayah saya yang ngajarin. Waktu itu ayah ...."
Kuperhatikan wajahnya lekat-lekat. Diam-diam mengulas senyum. Sancaka yang matanya berbinar saat menceritakan ayahnya terlihat sangat lucu. Sejujurnya, dia punya senyum seperti anak kecil saat dia bersemangat akan sesuatu. Wajahnya memancarkan rona bahagia. Matanya menyorot ke atas mengenang sesuatu.
Aku terpaku sendiri. Dia sungguh terlihat sangat bersinar.
...
Seseorang memanggil-manggil namaku dengan kepanikan yang luar biasa. Orang yang sama mengguncang-guncang tubuhku dalam dekapannya, membuatku merasa bumi seakan bergetar. Aku bagai tidak punya daya untuk menghentikan orang itu. Tubuhku rasanya lemas, dadaku pun berdenyut sakit. Tapi entah kenapa ... aku kedinginan. Seolah-olah aku habis berguyur di tengah hujan.
"Aurora! Aurora bangun, nak." panggil orang itu lagi.
Pandanganku memburam. Aku mengerjap-mengerjap. Ketika penglihatanku mulai jelas, hal pertama yang kulihat adalah wajah khawatir ayahku dan kelamnya langit malam. Ada air mata di pelupuk matanya serta bertumpuk-tumpuk kerutan di dahinya. Di belakangnya, aku melihat hantu zaman kolonial Belanda, seorang wanita memakai kebaya berdiri di belakang ayah. Ia menatapku dengan senyum mengerikan.
"AURORA!"
Aku terperanjat bangun. Hampir memuntahkan jantungku keluar. Di depanku Kak Sancaka dengan khawatir tak henti-hentinya menanyakan apa aku baik-baik saja.
"Gue nggak papa," kataku dengan suara serak. Aku menyeka keringat yang membahasi dahiku. Bersandar di sofa untuk menenangkan diri.
"Mimpi buruk?"
Aku mengangguk seraya mengambil segelas air yang disodorkan olehnya. Meminumnya hingga tandas.
Sebenarnya, bukan mimpi buruk jika saja tidak ada hantu zaman Belanda yang nangkring di belakang. Mimpi itu adalah memoriku sendiri, tepat setelah aku hampir saja tenggelam. Aku tidak tahu kenapa aku memimpikannya sekarang. Mungkin aku merindukan ayah.
Pintu berderit terbuka. Kak Selena memasuki ruangan. "Dia sudah bangun?"
"Ya. Baru saja," sahut Kak Sancaka.
Aku berdiri untuk melihat jam, "ini masih jam setengah lima." Aku tidak tahu kapan aku mulai tertidur. Mungkin saat Kak Sancaka cerita soal kebun kurma miliknya karena lelaki itu menceritakannya seperti orang mendongeng. Tapi rasanya belum lama. Mataku masih sangat berat.
"Bersyukurlah, Tuan Putri. Kami di sini tidak memejamkan mata sama sekali."
"Kalian nggak tidur?" aku terperanjat. "Terus kenapa nggak bangunin gue dari tadi?"
Cewek itu menunjuk Kak Sancaka dengan dagunya. "Katanya, 'kasihan, dia masih sangat muda', hah! Memangnya dia pikir aku setua apa."
"Selena!" protesnya.
Kak Selena menyahut sewot. "Apa?!"
Lelaki itu mendelik kesal. Ia kembali menatapku. "Maaf membangunkanmu. Tapi sepertinya kita harus bergerak sekarang."
Aku mengusap wajahku untuk menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Mengintip layar monitor. "Pelacaknya bergerak?"
"Ya. Cepat ambil jaketmu. Kita berangkat sekarang."
Kami turun ke parkiran. Sancaka duduk di kursi kemudi, Selena di sampingnya, aku sebagai anak bontot harus mengalah duduk sendirian di belakang. Mobil melaju lumayan cepat mengejar target yang agak jauh dari hotel. Matahari belum terbit, jalanan pun masih sepi. Ada beberapa kendaraan yang sudah berlalu-lalang di jalan raya, tetapi tidak banyak.
Bali termasuk daerah yang benar-benar panas, namun subuh ini udaranya masih segar. Bintang masih terlihat berkelip di kejauhan sana. Lampu-lampu jalan masih menyala. Begitu juga dengan lampu-lampu rumah. Benar-benar suasana yang begitu hening.
"Belok kiri," Selena mengarahkan. Kak Sancaka memutar setir dengan perlahan. Lalu menepikan mobilnya di pinggir jalan.
Mobil yang membawa koper itu berhenti di depan sebuah rumah panti dengan lambang bunga teratai di plang masuknya. Panti asuhan Bimasena.
"Ini ... ini bener nggak sih petunjuknya?" tanyaku ragu. Aku pikir kami akan sampai ke sebuah rumah besar nan megah milik salah satu orang super kaya. Bukannya panti asuhan yang ditinggali oleh banyak anak kecil. Bahkan dari kejauhan saja, kami bisa melihat banyak anak-anak kecil berada di halaman panti tengah menyiram tanaman bersama pengasuhnya.
"Bener, kok. Di layar emang ngarahinnya ke sini." Selena menunjukkan layar laptopnya.
Mobil yang kami ikuti pergi tak berapa lama kemudian.
"Kita mampir aja," usul Kak Sancaka seraya melepas sabuk pengamannya.
Aku membelalakkan mata. "Ya, kali. Masa kita mampir dengan sukarela ke markas musuh?"
"Itu panti asuhan, Ra. Kalau emang benar itu markas Amerta, kita tetap bisa mampir kapan aja."
"Ya, tapi—masa tiba-tiba. Lagian apa alasannya coba? Sancaka!"
Cowok menyebalkan itu langsung keluar tanpa mendengarkan kata-kataku. Aku terpaksa mengikutinya.
"Alasannya, ya kamu," katanya, tepat sebelum aku mencak-mencak tidak setuju. "Kamu kenal pemiliknya 'kan?"
"Lo mau gunain gue?!" seruku kesal. Cowok itu tidak menghiraukanku. Ia berjalan dengan santai seolah kita sedang mengadakan kunjungan amal.
"Permisi," seru cowok itu.
Seorang pengasuh yang tengah menjaga anak-anak di halaman menghampiri kami. Begitu juga dengan anak-anak kecil yang menoleh penasaran.
"Cari siapa, mas?"
"Benar ini panti asuhan Bimasena?" Pelayan itu mengiyakan. "Begini, kami sedang liburan kemari. Kebetulan, teman saya kenal sama yang punya panti, ibu Susi Ambarwati. Nah, mumpung lagi di sini boleh kami bertemu sebentar dengan beliau?"
Aku tersenyum masam saat pengasuh itu menatapku. "Oh, boleh mas. Masuk dulu."
Pengasuh itu membukakan pagar. Kami memasuki area halaman. Anak-anak langsung mengerubungi kami. Memandang penuh rasa penasaran. Beberapa menarik-narikku untuk di ajak bermain. Pengasuh itu masuk ke dalam untuk memanggil Tante Susi. Jantungku dag-dig-dug sendiri. Harus bilang aku nanti saat bertemu dengannya. Sancaka, dasar cowok sialan itu. Sesudah ini ingatkan aku untuk menendang pantatnya.
"Aurora?"
Suara yang tak asing menginterupsiku. Aku menoleh untuk menemukan seorang wanita berkebaya berada di ambang pintu, memandangiku dengan raut terkejut dan mata berkaca-kaca.
"Tante," kuulas senyum sok manis.
Tante Susi setengah berlari menghampiriku dengan tangan terbuka, mau tak mau aku menghambur ke pelukannya. Kami berpelukan layaknya ibu dan anak yang sudah lama tidak bertemu. Aku bingung harus bagaimana. Sementara si kampret Sancaka melihat kami dengan tatapan mata penuh haru. Oh, bahkan Selena menitikkan air mata. Pandai sekali mereka berakting. Saking pandainya sampai-sampai aku yang dikorbankan untuk misi dadakan ini.
"Ya ampun, Ara ... kok bisa toh kamu ada di sini? Darimana dapet alamat Tante? Kamu sehat-sehat aja 'kan? Gimana om kamu? Kamu ke sini bareng Hardi?"
Tante Susi mencari-cari keberadaan Om Hardi di belakangku.
"Ara sehat, Tante. Om juga sehat. Cuma om nggak ikut Tante, Ara ke sini sama temen-temen Ara," kataku. "Ara kemarin-kemarin sempet lewat sini, nggak sengaja liat Tante gitu. Tapi kemarin nggak sempet mampir soalnya lagi buru-buru. Jadi Ara mampir sekarang. Tante sendiri gimana? Tante sehat 'kan?"
"Tante sehat, Sayang." Wanita itu menangkup sebelah pipiku. "Dulu tante liat kamu itu masih keciiil banget, kurus. Lah, sekarang, woalah udah tinggi aja. Jadi cantik, ayu! Nyesel Tante nggak sempet ngunjungin kamu lagi. Malah kamu yang ngunjungin tante duluan."
Aku tertawa kecil. Lalu kuperkenalkan Tante Susi ke dua kakak kelas kampret yang kubawa. Tentu saja dengan nama samaran. Sancaka mengenalkan dirinya sebagai Dimas, sedangkan Selena menyebutkan namanya sebagai Sahila. Kami dipersilahkan duduk di ruang tamu. Berbincang-bincang sejenak soal omong kosong yang diutarakan Sancaka. Dia bilang kami sedang mengerjakan projek potret laut untuk festival karya seni si Jakarta.
Setengah jam berlalu, sepenuhnya dihabiskan dengan perbincangan soal studi kelautan apalah itu. Lalu anak-anak panti mulai menghampiri kami dan menyeret mereka berdua bermain di ruangan sebelah. Kini tinggal aku terjebak bersama Tante Susi. Sebenarnya anak-anak itu menarikku juga, tapi wanita ini menahanku untuk memperlihatkan foto-foto lawas anak-anak panti. Aku tak bisa apa-apa selain pura-pura tertarik.
Setelah melihatnya di Balai Agung, entahlah, dulu, aku merasa dia adalah orang paling baik yang pernah kukenal. Seperti yang bisa dilihat Tante Susi punya pribadi yang sangat ramah juga sifat keibuan yang membuat siapapun nyaman. Namun sekarang, setelah tahu wanita di depanku ini terlibat dengan komplotan perdagangan ilegal, bahkan diduga menjual anak-anak asuhnya untuk sumbangan dari Arca Mentari, aku tidak merasakan kenyamanan yang sama seperti dulu saat aku berada di dekatnya. Aku merasa was-was. Aku merasa dia adalah orang yang berbahaya.
"Sewaktu ayahmu meninggal dulu, tante bener-bener kaget. Nggak nyangka rasanya Hanung akan pergi duluan sebelum tante. Padahal tante yang lebih tua beberapa tahun dari ayah kamu. Emang ya yang namanya kematian itu nggak ada yang tahu. Semua di tangan tuhan."
"Papa pasti udah tenang sekarang, Tante."
"Semoga."
Ayahku memang meninggalkanku dengan cara yang cepat dan begitu tiba-tiba. Tidak ada firasat, tidak ada tanda-tanda. Hari itu berjalan dengan sangat normal. Setidaknya sampai wali kelasku menginterupsi kelas bahasaku, dan mengantarkan aku ke rumah sakit. Katanya, ayahku telah tiada. Dia terkena serangan jantung saat tengah bekerja. Jantungnya berhenti berdetak dalam perjalanan ke rumah sakit.
"Oh ya, kalau tidak salah tante masih simpan foto-foto lawas ayah kamu. Kamu mau lihat?"
Mataku membola penasaran. "Boleh, Tante."
Aku dibawanya ke lantai dua. Ke sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang kerja. Di dalam ruangan itu ada sebuah pintu lagi. Katanya, itu kamar mandi. Aku diperbolehkan menggunakannya jika aku mau.
"Tunggu sebentar ya, Nak. Tante ambil dulu albumnya."
Ia pergi keluar. Aku mengamati ruangan ini. Sepertinya, dugaan soal keterlibatannya Tante Susi dengan Arca Mentari dan Bupati Rendra tidak bisa dielakkan lagi. Dilihat dari ruang kerjanya saja, aku sudah bisa tahu. Ruangan ini benar-benar mewah dan elegan. Tak hanya ruang kerja miliknya, seluruh panti memiliki desain dan arsitektur yang mewah. Panti ini punya luas yang fantastis. Jauh lebih luas dari kebanyakan panti di luar sana. Bahkan jauh lebih luas dari rumahku.
Ruang kerjanya tertata amat rapi dan cantik. Beberapa vas bunga bertengger di sudut. Aku mengamati keseluruhan ruangan. Mataku berhenti pada meja rendah berbahan jati yang berdiri kokoh di tengah-tengah ruangan. Di atas meja itu ada sebuah koper hitam yang amat familier. Itu koper uang yang sama dengan yang ada di Balai Agung. Lantas aku mendekati koper itu, benar-benar koper yang sama.
"Tapi ...," Aku meraba-raba permukaannya, "Kok nggak ada alat pelacak yang gue pasang?"
"Maksudmu ini?"
Aku membalikkan badanku. Jantungku tak bisa berdegup lebih kencang lagi manakala aku melihat Tante Susi berada di depan pintu, memegang pelacak yang kupasangkan ke koper. Dia mengambil langkah mendekatiku.
"Tante pikir tante salah lihat. Tapi rupanya itu memang kamu, yang ada di Balai Agung kemarin," ujarnya.
Raut wajahnya berubah drastis dari yang terakhir aku lihat. Sisi keibuannya menguap entah ke mana. Yang aku lihat kini adalah seorang ibu-ibu berkeriput jahat yang punya tatapan membunuh. "Memang sudah aneh, sih. Anak Hanung dan Naras tiba-tiba muncul tepat setelah brankas Rendra dibobol. Harusnya aku tahu sejak awal kalau itu adalah kau."
Aku mundur, tetap menjaga jarak darinya. Diam-diam tanganku bersiaga di pistol yang bertengger di pinggangku. "Tante kenal mama saya?"
"Naras Putri Lasmana, Tante sangat mengenalnya. Wanita merepotkan yang punya pendirian kuat. Kau tumbuh persis seperti dirinya. Itu sebabnya tante menjaga jarak darimu sejak Hanung meninggal. Aku tahu kau akan sama merepotkannya dengan Naras. Ibumu itu, bahkan usaha mencelakaimu saja tidak cukup untuk membuatnya berhenti mengincar kami! Jadi tante terpaksa menyingkirkan ayahmu. Salahkan ibumu, Sayang. Kau yatim piatu karenanya."
Mataku membola. "Ap—apa maksud Tante?"
"Kau tidak tahu?" Wanita itu mendengus sinis. "Baiklah akan kuberitahu. Lagipula kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini. Aurora sayang, aku membunuh ayahmu."
Sungguh, omong kosong apa lagi yang kudengar hari ini? Kenapa semuanya mengait-ngaitkan kematian orang tuaku. Kenapa ibu dan ayahku harus di sebut-sebut lagi. Tidak bisakah mereka membiarkan aku hidup dengan tenang.
Ah, kepalaku memanas. Aku sangat tidak suka. Semua hal buruk yang mereka kaitkan dengan kedua orang tuaku, semua misteri yang menyelimuti kepergian mereka, aku benar-benar ingin meniadakannya. Kenapa harus terbongkar baru sekarang? Napasku mulai memburu. Rasanya seperti ada ribuan bom atom yang meledak secara bersamaan di dalam otakku. Aku berjalan mendekati Tante Susi. Menatapnya lekat, mencari kebohongan di wajahnya yang dingin. Nihil.
"Katakan," kataku dengan suara rendah. Seluruh sopan santunku kuhilangkan, semua sungkan seganku kutiadakan. Kucengkeram kerah kebayanya. Membuat wajah kami berjajaran. "Katakan semua itu bohong. Cepat."
Wanita sial itu tertawa. Tertawa penuh remeh. Gigiku bergemeretak keras. Kusentak tubuhnya agar ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang bisa melakukan apa saja padanya. "Jangan coba-coba sama gue. Gue ... gue bisa bunuh lo!"
Tante Susi mendorongku hingga cengkeramanku lepas. Mendengus kesal. "Hah! Sudah kuduga kau memang semerepotkan ibumu! Aku tidak bermain-main. Kau ingat saat kau tenggelam waktu kau kecil?"
Aku membeku.
"Ya, itu ancaman untuk ibumu agar ia meninggalkan kami. Tapi dia keras kepala, sama sepertimu."
Kemudian memoriku mulai memutar ingatan lama itu. Selama ini, aku selalu berpikir bahwa wanita jalang yang ada di depanku ini adalah yang menyelamatkanku, hanya karena aku melihatnya ada di pinggir kolam saat aku tenggelam. Namun aku salah. Otakku mulai menyusun ingatanku dengan benar. Sekarang aku ingat, aku tidak tenggelam karena aku ceroboh, aku tidak membuat diriku sendiri jatuh ke kolam. Tapi ada yang menjatuhkanku. Ada yang mendorongku.
Susi Ambarwati lah yang mendorongku. Ia mencoba membunuhku.
"Lo ... lo mencoba buat bunuh gue?"
"Jika ayahmu tidak cepat-cepat datang, mungkin kau memang akan mati. Mungkin juga setelah itu ibumu akan memilih untuk berhenti di sana. Tapi sayangnya kau tidak mati. Maka ayahmu yang mati. Itu salahmu sendiri."
"Apa?!"
Aku mulai kesulitan mengatur napasku. Kepalaku mulai berdenyut pening. Penglihatanku sejenak berputar. Apa lagi yang kuhadapi ini? Apa lagi ini? Aku menahan diriku yang hampir limbung ke belakang. Berusaha mencerna semuanya.
Jadi maksudnya ayahku mati karenaku? Karena aku masih hidup?
Tante Susi berjalan ke meja kerjanya. Ia mengeluarkan satu berkas. Melemparnya ke meja rendah. "Itu hasil otopsi ayahmu yang asli. Dia mati karena kandungan arsenik di dalam kopi yang ia minum."
Aku melangkah tertatih. Gemetar tanganku mengambil berkas itu. Kubuka lembar pertama, melihat nama ayahku, air mataku tak tahan meluruh. Kuusap tulisan namanya, Hanung Bhayangkara. Di bawah namanya tertera jelas kebenaran yang selama ini tak pernah kutahu. Yang tersembunyi oleh kebohongan yang diutarakan pihak rumah sakit. Apakah mereka dibayar untuk melakukan itu? Hatiku berdenyut nyeri. Aku tersedu sedan. Tak bisa lagi kutahan.
Tidakkah tuhan terlalu kejam denganku? Aku jatuh dalam tangisku sendiri. Meratapi kematian ayahku dan kenyataan yang baru kutemui. Menangisi bahwa ayahku mati dengan begitu tidak adilnya, dan aku membiarkan ketidakadilan itu menang selama hampir sepanjang hidup. Aku terisak-isak. Aku tergugu, kalut.
Tuhan, tidakkah semuanya terlalu berlebihan buatku? Apa yang kulakukan sampai harus berakhir dengan semenyakitkan ini. Apa yang kulakukan sampai semua berakhir begitu pahit. Kusimpan pertanyaan itu di puncak kepalaku. Aku ingin tuhan mendengarnya. Aku ingin tuhan menjawabnya.
Kenapa?
Apakah karena aku tidak mati saat itu? Saat aku ditenggelamkan untuk menghentikan ibuku. Ataukah karena aku tetap hidup dan bernapas tanpa tahu bahwa apa yang menyebabkan ayahku tiada adalah karena aku bertahan hidup?
"Ta—tante yang ngelakuin sendiri? Tante yang ngeracunin papa?" tanyaku.
Wanita itu menjawab, "Sebenarnya aku tak mau melakukannya. Tapi ibumu tidak memberiku pilihan—akh! Aurora—"
Aku mungkin bersalah telah hidup selama ini tanpa tahu apa yang ada di balik kematian orang tuaku, dan aku akan tetap bersalah bila aku menggunakan amarahku membalaskan dendam kematian kedua orangtuaku. Aku akan jadi pendosa. Namun itu tidak mengapa. Kutekankan itu ke lubuk hatiku saat aku berdiri dan menerjang ke arahnya, menjatuhkannya ke lantai, mencekiknya. Mencekiknya dengan sangat kuat.
"Au—rora—akh!"
"Kenapa? Kenapa lo bunuh ayah? KENAPA!"
Aku tersedu lagi. Air mataku mengalir deras. Aku tidak bisa mengontrolnya. Namun tidak masalah. Ayahku tidak mendapat keadilan selama enam tahun kematiannya. Tapi sekarang aku bisa membawakan keadilan itu untuknya. Nyawa dibalas nyawa, begitu 'kan hukumnya? seperti yang Velidsa bilang padaku saat ia mencoba membunuhku di tebing waktu itu.
Nyawa dibalas nyawa.
Nyawa dibalas nyawa.
Aku jadikan kalimat itu sebagai matraku. Setiap kali hatiku membisikkannya, aku semakin menguatkan cengkramanku di lehernya. Tidak peduli wajahnya kini memerah kehabisan napas. Tidak peduli tubuhnya mengejang-ngejang kesakitan. Aku ingin kedua tangan ini mencabut nyawanya aku ingin membunuhnya.
Dia pantas mati.
"I-ibumu—" Tante Susi menepuk-nepuk tanganku. Berusaha mengatakan sesuatu. "Kau ingin tahu tentang ibumu—"
Cengkeramanku melonggar. Di saat itu juga, Tante Susi menendangku keras. Aku tersungkur kebelakang. Tubuhku menabrak pintu kamar mandi hingga menjeblak terbuka.
"Dasar jalang sial!" serunya.
Aku segera bangkit, menarik senjata api di pinggangku dan menodongkannya ke arah Tante Susi. Napasku memburu sampai rasanya paru-paruku seperti akan meledak. Namun tidak ada waktu untuk menenangkan diri. "Di mana mama? Tante pasti tahu di mana mama 'kan? Katakan atau gue tembak!"
Dengan terengah-engah wanita itu tertawa sinis. Semua yang kulakukan bahkan masih tidak mencegahnya bertingkah sombong. "Ibumu menghilang. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Hari itu aku bilang padanya bahwa Hanung sudah kubunuh. Lalu ia pergi, dan menghilang begitu saja. Tidak pernah kembali. Kau tahu, mungkin dia melarikan diri. Mungkin dia meninggalkanmu."
"Bohong!" kataku. "Kalian culik mama gue? Kalian bunuh? Katakan, lo kemanain mama gue!"
"Aku tidak bohong!" ia mendesis kesal. "Kenapa? Kau tidak bisa menerima kenyataan kalau ibumu meninggalkanmu? Hah, lucu sekali. Memangnya kalian pernah bersama?"
"Brengsek! Jawab gue atau gue tembak sekarang!"
"Tembak?" Ia tertawa seolah-olah itu adalah lelucon paling lucu abad ini. "Kau mau menembakku? Tanganmu saja gemetaran hebat. Kau bisa menembakku?" ia menepuk dadanya sendiri. "Kalau begitu coba tembak. Ayo! Coba tembak aku, Aurora. Aku yang membunuh ayahmu, hahaha. Tembak, ayo tembak!"
Dorr!
Aku menembaknya. Namun seperti setiap skenario tuhan, orang jahat selalu bertahan hidup paling lama. Tembakkanku meleset. Aku terengah lelah. Terkejut, marah, kesal, takut, semua bercampur aduk menjadi satu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Menembak orang yang membunuh ayahku pun aku tak becus.
Wanita itu tertawa keras. "Sudah kubilang 'kan? Kau tidak akan bisa menembakku. Bukan aku yang akan mati hari ini, Sayang. Kau lah yang akan mati."
Ia lalu menerjang ke arahku. Mendorongku ke jatuh ke bak mandi rendam yang sudah terisi penuh dengan air. Aku meringis dalam hati. Apakah ia sudah merencanakannya? Akan menenggelamkanku sekali lagi?
"Harusnya aku membunuhmu sejak lama!"
Itu adalah kata-kata terakhir yang kudengar. Kemudian aku hanya merasakan sesak yang kuat manakala ia menahan kepalaku di dalam rendaman air. Udara membuncah keluar dari paru-paruku yang mulai disusupi air. Aku meronta-ronta, menginginkan udara. Namun wanita itu terlalu kuat. Sedang aku sudah benar-benar lemas tanpa daya.
Haruskah aku menyerah di sini? Mungkin ini saatnya aku menyerah. Mungkin aku memang harus mati. Jika aku bertahan hidup untuk kedua kalinya, nyawa siapa lagi yang akan ia ambil untuk menggantikan nyawaku? Apakah nyawa Om Hardi? Apakah nyawa teman-temanku? Aku tidak ingin menghadapi kematian lagi.
Maka kupejamkam mataku kuat-kuat. Kuletakkan diriku pada ruang kepasrahan terdalam. Lalu berhenti melawan. Kubiarkan ia membunuhku sekali lagi.
"AURORA!"
aku merasakan tubuhku ditarik ke atas. Lalu seluruh sesak di dadaku perlahan-lahan luruh seiring dengan udara yang berebutan memenuhi rongga dadaku. Aku terbatuk, memuntahkan air yang kutelan. Seseorang menggendongku keluar dari bak berendam. Menyeka air di mukaku.
"Aurora, sadarlah!" teriaknya, teramat panik. Aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah wajah Sancaka yang berkerut panik. Air mata memenuhi pelupuk matanya.
Ah, aku tertawa kecil. Bagaimana bisa ia begitu terlihat seperti ayahku?
Suara teriakannya, wajah ketakutannya, air mata di pelupuk matanya, sama persis dengan ayahku bertahun-tahun lalu. Sewaktu ia menyelamatkanku dari kolam yang hampir merenggut nyawaku. Melihat wajah Sancaka, wajah ayahku terbayang lagi. Aku seperti kembali ke masa lalu.
Ayahmu mati karena kau bertahan hidup.
Lalu suara Tante Susi kembali melemparku ke kenyataan saat ini. Menamparku dengan begitu kejamnya. Air mataku tak bisa kutahan. Mereka mengaliri kedua pipiku. Sedang aku terisak hebat. Kak Sancaka memelukku.
"Tidak papa, tidak papa," katanya. "Saya ada di sini."
"Tidak papa, ayah ada di sini."
Aku ingat ayahku memelukku dengan cara yang sama dengan cara yang Sancaka lakukan. Membawaku dalam rengkuh hangatnya. Memastikan aku aman. Melindungiku.
"Ayah ada di sini, Aurora. Ayah akan selalu ada di sini untuk melindungimu."
__________
Catatan Penulis
•
Uhuyyy halooww!! Jumpa lagi sama akuu (◍•ᴗ•◍) //akhirnya 😙
Aku mau ngucapin happy eid Mubarak bagi saudara2 muslim yang merayakan 🥳 anggap aja update kali ini THR dari akuu wkwkw. panjang loh ini 😌 hemat2 ya :v
Maapin klo aku ada salah2 ketik, typo dan salah puebi di ceritaku. Maapin juga klo aku updatenya lama Hikd :_))
Btw, ada yang udah tau bakalan ke arah mana kisah Aurora? Ada yang udah bisa nebak endingnya? Semoga ga ada yang bisa nebak biar surprise wkwkw :"v
Komen yaw apapun pendapat kalian tentang bab ini. Sampai bertemu di bab selanjutnya 😘
•
__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top