45. Amerta
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Pernahkah kamu terbangun di suatu pagi yang cerah dan menemukan dirimu benar-benar berhasrat untuk membunuh diri sendiri karena melakukan sesuatu yang amat kamu sesali di malam sebelumnya?
Aku sedang berada dalam urgensi itu sekarang. Bahkan berteriak ke seluruh penjuru ruangan saja tidak mampu mengenyahkan rasa kesal, malu dan menyesal yang membumbung tinggi dari lubuk hatiku. Aku berharap bumi menguburku detik ini juga.
"Aurora!" Kak Selena berteriak dari luar. "Bangun! Kita rapat sepuluh menit lagi."
Jantungku kian berdebar-debar. Rasanya aku ingin memanggil helikopter dan terbang kembali pulang. Setelah drama menye-menye di mana aku menangis dalam pelukan cowok bahlul itu semalam, aku tidak sudi menampakkan wajah dengan mata bengkakku di depannya. Aku tidak bisa! Harga diriku sudah hancur di depannya. Bisa-bisanya aku menunjukkan sisi lemahku begitu. Kupukul kepalaku sendiri. Betapa bodohnya aku.
"Ra?"
Itu suara Kak Sancaka!
"Y-ya?"
"Kamu nggak apa-apa?"
"Ya! Lagi ganti baju. Jangan masuk!" dustaku. Sesungguhnya, aku bahkan belum mandi. Aku sedang bergulung di dalam selimut. Berusaha menyembunyikan diri dari mata dunia.
"Oke." Kemudian suaranya tak terdengar lagi. Apa dia sudah pergi? Aku harap demikian.
Aku bangkit dari ranjangku, mandi dan berpakaian secepat kilat. Tidak ada waktu untuk memilih-milih baju. Aku hanya mengambil sepotong kemeja garis-garis hitam putih dan celana jeans. Kak Sancaka dan Kak Selena sudah berada di ruang santai pribadi di hotel yang kami sewa. Kak Sancaka memandangiku setibanya aku di sana. Aku pura-pura tidak bisa lihat ada sosoknya nangkring di sana.
"Oke, kita mulai sekarang," ujar Kak Selena setibanya aku di sini. Aku mengerut heran. "Cuma segini doang?"
Kedua orang itu menatapku dengan kerutan. "Apanya yang cuma segini?"
"Ya ... anggotanya. Nggak ada mentor atau agen pemerintah? Orang BIN nggak ada? Atau siapa kek TNI AL, AU, AD atau profesional lainnya yang ngebimbing kita?"
Mereka berdua saling bertukar pandang. Tak lama kemudian cengiran geli merekah di bibir keduanya. "Kau pikir ini misi tengah semester? Profesionalnya adalah kita, Dear. Tidak akan ada yang mengawasi atau memberi arahan. Istilahnya, jika kamu sudah dianggap sebagai murid terbaik, itu artinya kamu akan dianggap profesional. Kamu harus melakukan semuanya sendiri."
Mulutku menganga mendengarnya.
"Misi terakhir gue yang ada pembimbingnya, gue hampir diperkosa sama preman pasar dan dikejar-kejar gembong narkoba," kataku.
"Apa?!" Itu Sancaka.
"So, seberapa besar kemungkinan gue bakal mati di misi YANG tanpa pembimbing ini?" Kutekankan kata "yang" dalam kalimatku, dengan harapan semoga dua orang yang kelewat santai ini mengerti letak bahaya yang akan kami hadapi. Bukan! Bahaya yang akan aku hadapi.
"Hmm ... cukup besar," kata Kak Selena dengan santainya.
"What?!"
"Dengar, kita hanya lakukan bagian kita, oke? Biasanya kita dapat yang termudah. Hanya mencari informasi, menyelidiki atau menangkap seseorang. Di banding agen BIN di luar sana mengerjakan tugas yang jauh lebih berbahaya, tugas kita jauh lebih mudah. Kita hanya perlu mengerjakannya, mengirim laporan, lalu kembali ke Bawah Tanah dan menjalani kehidupan anak SMA biasa selagi menunggu misi berikutnya. Tidak perlu begitu khawatir. Lagipula, kau bersama kami yang luar biasa hebat ini."
Aku mencibir tak setuju.
"Ngomong-ngomong," Kak Sancaka tiba-tiba bersuara, "Rambutmu cocok denganmu. Kau ... jadi makin mirip bule. Makin cantik, hehe," ujarnya, nampak malu-malu.
Aku spontan menyentuh rambutku yang masih berwarna coklat karamel bekas misi kemarin. Lantas menggumamkan kata terimakasih dengan pelan. Aku bahkan ragu Kak Sancaka akan mendengarnya. Sementara itu Kak Selena mendelik ke arah kami berdua dengan wajah meringis.
"Jangan bilang kalian berdua pacaran," celetuknya kemudian. Aku terbatuk. "Ya enggak lah! Mana ada."
"Enggak?" Kak Sancaka memandangiku dengan wajah polosnya. "Tapi kemarin—aw!" Kutendang kakinya. Ia berlagak seperti akan menangis. "Rora sakit."
Aku melotot galak. "Sukurin!"
Kak Sancaka terkekeh. Menatapku usil.
"Oke, kalian duo kasmaran, hentikan dulu pacarannya," sela Kak Selena. "Karena besok kita akan mulai operasi lapangan, kita bicarakan soal rencana. Aku yakin Aurora sudah diberitahu soal siapa target kita dan apa misi kita, tapi aku akan menjelaskannya sedikit lagi. Dengarkanlah."
Aku mengambil duduk di sofa selagi Kak Selena mulai menjelaskan detailnya. "Target kita adalah sindikat perdagangan ilegal yang dikenal dengan nama Amerta. Organisasi ini pertama kali terdengar di area Nusa Tenggara Timur pada empat belas Oktober 2002 melalui peristiwa sepuluh penculikan anak usia empat belas tahun ke bawah yang terjadi secara beruntun selama tiga bulan. Pola yang sama kemudian terjadi di kota-kota lain di tahun-tahun berikutnya. Mulai dari kota Makassar, Ambon, hingga kota Jayapura di di Papua. 2007, BIN kita mulai melakukan penyelidikan, kemudian diketahui bahwa sejak terjadi peristiwa sepuluh penculikan di berbagai kota, terdeteksi juga pergerakan pasar gelap menjadi sangat aktif dengan peningkatan keuntungan sebesar enam puluh persen."
"Mereka menculik, membunuh dan menjual organ anak-anak itu di pasar gelap dengan keuntungan miliaran dolar," ungkap Kak Sancaka.
"Bahkan mungkin lebih," tanggap Kak Selena. "2009, surat perintah turun untuk melacak dan menangkap seluruh sindikat. Namun sampai empat tahun kemudian tidak ada satupun yang berhasil dijebloskan ke penjara. Mereka sangat pintar. Setiap kami mulai menemukan titik terang, mereka selalu berhasil lolos. Semua petunjuk kita selalu berhenti di satu titik, dan kami harus memulai semua pencarian dari awal. Kau tahu kenapa?"
Aku menggeleng singkat. "Mereka membunuh semua yang berhasil terdeteksi oleh kami."
"Untuk menghilangkan jejak," gumamku.
"Akhirnya, BIN mengubah rencana dan mulai bekerja sama dengan murid Bawah Tanah. Aku rasa kamu tahu cerita di bagian ini."
Mataku turun ke bawah. Berkata lirih, "Mama ngelakuin kesalahan fatal."
"Ibumu dan seluruh anggota misi menghilang. Tidak ada yang kembali hingga saat ini. Kami menduga mereka sudah mati. Hanya sampai situ yang kami tahu. Aku hanya diberitahu mereka berhasil menemukan beberapa orang yang di duga terkait, melacak pergerakan mereka. Terakhir kali kami melacaknya, mereka ada di sini."
"Pulau Bali," gumamku. "Tunggu, kalau dilihat dari kota-kotanya, mereka hanya bergerak di wilayah timur?"
"Iya, hanya di timur. Kami menduga karena wilayah timur tidak seperti wilayah lainnya. Tangan pemerintah jarang memanjang ke sini. Jadi mudah sekali bagi mereka untuk lolos begitu saja."
"Oke, jadi bagaimana dengan rencananya?" tanyaku. kak Selena melirik Kak Sancaka. Kak Sancaka mengeluarkan beberapa lembar foto, menaruh mereka satu persatu di atas meja.
"I Putu Sekar Rendra, bupati Bali saat ini," kata Kak Sancaka menunjuk foto pertama. Lalu ia beralih ke foto kedua. "I Made Wayan Arca, pemilik PT. Arca Mentari, sebuah perusahaan obat-obatan dan alat kesehatan. Setiap bulan Agustus, kedua orang ini terlibat kerjasama dalam projek amal. Pesta amal untuk orang-orang kaya diadakan di Balai Agung di pusat kota, dan setiap pesta amal ini dilakukan, tercatat hampir di seluruh bank Indonesia, terdapat setidaknya seratus delapan puluh transaksi uang dengan nilai fantastis ke rekening projek amal mereka. Saya dan Selena sudah menyelidiki pergerakan uang itu, mereka mengirimkan setiap lima juta ke beberapa sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Tapi jika semuanya dijumlahkan, semua uang yang diamalkan itu tidak mencapai satu perempatnya. Pertanyaan adalah, ke mana sisa uang hasil amal tersebut? Kami sudah mencari, tidak ada data transaksi bank apapun. Tidak ada pengiriman uang tunai keluar pulau."
"Jadi?"
"Jadi, jika uangnya tidak keluar pulau, kami menduga uang itu dikirimkan ke suatu tempat di pulau ini."
"Jadi maksudnya, jual beli organ itu ada di sini?"
"Maksudnya, ada markas Amerta di sini," Kak Selena membenarkan. "Dan, ya. Jual beli organ itu kemungkinan besar dilakukan di sini. Selain catatan transaksi uang, kami juga menemukan banyak sekali pengiriman barang masuk pulau serentak untuk PT. Arca Mentari dari Jayapura, Nusa Tengga Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Maluku. Ada juga pengiriman keluar pulau menuju seluruh Indonesia dan pengiriman internasional."
Aku mengangguk paham. Jika semua data itu di analisis, maka akan ditemukan benang merah yang menghubungkan semuanya. Satu hal yang belum kumengerti. "Lalu, apa hubungannya sama Tante Susi?"
Aku menunjuk foto ketiga, foto seorang perempuan awal empat puluhan yang mengenakan kebaya hitam. Mata kedua kakak kelasku lantas terbelalak. "Kamu kenal wanita ini?"
"Tante Susi Ambarwati. Beliau teman papa gue." Aku mengiyakan.
"Gimana bisa kamu kenal? Kamu pernah ketemu?" tanya Kak Sancaka. Wajahnya seketika jadi waspada. Aku tak bisa lebih bingung lagi mendapati atmosfer ketegangan yang datang tiba-tiba. Kujawab ia ragu-ragu. "Dulu gue pernah ikut papa ke Jakarta pusat buat urusan bisnis apalah itu, gue masih enam tahunan waktu itu. Gue sempat hampir tenggelam di kolam berenangnya, dan beliau yang nyelamatin gue. Dia bahkan datang waktu pemakaman papa. Kenapa? Apa dia terlibat kasus ini juga? Tunggu—jangan bilang papa gue ikut terlibat!"
"Ayahmu bersih." Kak Selena menyangkal cepat. "Kalau ayahmu terlibat, ibumu tentu tidak akan ditunjuk untuk misi itu. Tapi, ya, wanita ini memang terlibat. Dia seorang kepala panti asuhan Bimasena. Kau tahu apa yang menarik? Setiap tahun, ada dua sampai tiga anak di panti itu yang dilaporkan menghilang. Mau tahu yang lebih menarik lagi? Panti asuhan Bimasena adalah salah satu penerima sumbangan tetap dari projek amal Arca Mentari."
"Kami juga menemukan bahwa Susi Ambarwati menemui I Made Wayan Arca seminggu yang lalu di perusahaan milik Arca." Kak Sancaka menambahkan. Ia menaruh satu foto Bu Susi dan I Made Wayan Arca yang dipotret secara diam-diam dari dalam mobil. "Sudah dipastikan dia juga terlibat."
Lelaki itu kemudian mengeluarkan sebuah cetak biru sebuh bangunan yang di atasnya bertuliskan Balai Agung. Membentangkannya di meja. "Tujuan kita adalah mencari tahu ke mana sisa uangnya pergi dan menemukan markas Amerta."
"Jadi, kita akan menyusup ke Balai Agung?"
Kak Selena menggeleng. Lantas meletakkan sebuah tiket ekslusif pesta amal Arca Mentari di atas meja. "Kita akan menjadi tamu undangannya."
...
Rencananya begini, karena tiketnya hanya untuk dua orang, kau dan Sancaka masuk sebagai tamu undangan.
Menggandeng tangan Kak Sancaka mesra, kami berjalan ke depan penjaga bersetelan di depan pintu Balai Agung. Penjaga berwajah datar itu langsung memperhatikan kami dengan seksama.
"Tiket!"
Kak Sancaka mengeluarkan sebuah tiket dari saku jasnya. Penjaga langsung mengeceknya dengan mesin scan kecil pendeteksi keaslian. Tiket itu Kak Selena curi dari seorang investor asing PT. Arca Mentari. Jadi sudah pasti mesin scan akan mampu mendeteksinya. Begitu bunyi 'bib' tanda scan berhasil terdengar, sang penjaga pun mempersilahkan kami masuk.
Kami berjalan memasuki aula balai pelan-pelan. Bukan karena kami waspada, tapi karena aku tidak terbiasa mengenakan sepatu hak setinggi lima senti. Aku bahkan gemetaran selama berjalan dari parkiran ke pintu masuk utama.
"Tunggu!" tiba-tiba saja terdengar seruan dari belakang. Kami membeku di tempat. Jantungku langsung berdebar tak keruan. Jangan bilang kami ketahuan secepat ini.
"Jangan panik," bisik Kak Sancaka. Lelaki itu kemudian berdeham. Berbalik dengan senyuman tipis. Bertanya dengan suara berat khas bapak-bapak. "Ya?"
Penjaga yang sedang berjalan di belakang kami melirik canggung. "Ah, maaf Tuan. Maksud saya nyonya ini." Penjaga itu membungkuk sebagai permintaan maaf, kemudian berjalan ke arah nenek tua bergaun merah di samping kami.
Kak Sancaka menghela napas. "Saya kira harus ada improvisasi."
"Huff ... hampir aja. Oke, setelah ini apa?"
"Setelah itu, nikmati saja pestanya," ungkap Kak Selena. Aku mengernyit bingung. "Kita nggak ngapa-ngapain selama dua jam lebih itu?"
"Tentu saja tidak, bodoh!" Kak Selena menjitak keningku seenak jidat. Aku sudah ancang-ancang membalas, namun cewek itu melotot seram. "Sanca, berbaurlah dengan para tamu. Aurora, kamu ingat-ingat denah bangunan. Pestanya di sepanjang lantai satu, jadi kamu bisa sebebas mungkin menuju ruang manapun di lantai satu. Menyingkirlah dari pesta itu, pergi ke area belakang. Di dapur, ada pintu menuju ke luar. Aku akan menunggu di sana . Kau bukakan pintu untukku. Mengerti?"
"Sayang, sepertinya aku harus ke kamar kecil. Bisa kau tangani dulu tanpa aku?" tanyaku dengan logat bule tak lancar bicara bahasa Indonesia.
"Of course, baby. Take your time."
Aku tersenyum tanda pamit pada sekumpulan pria dan istri-istri mereka yang menjadi teman bicara kami. Ada setidaknya dua puluh menit kami berbincang-bincang dengan mereka. Selagi aku melenggang pergi, Kak Sancaka kembali menarik perhatian kelompok konglomerat itu dengan mulutnya yang pandai. Ia berbicara soal saham, bisnis uang elektronik dan sebagainya dengan cara yang sangat berwawasan dan mengagumkan.
Pesta amal ini bukan main ramainya, juga tak bisa ternilai betapa mewahnya. Lampu kandelir cantik menggantung di tengah-tengah aula, di bawahnya terdapat patung dewi Hindu atau Budha aku tak bisa mengenali, berdiri dengan megah sebagai air mancur yang di bawahnya dikelilingi kolam. Meja panjang tempat segala jamuan di gelar di sisi-sisi ruangan. Tangga megah bertahta agung di bagian depan.
Aku melewati seorang pelayan yang menawarkan minuman di atas nampan. Berjalan menuju koridor di samping tangga. Dari cetak biru yang diperlihatkan Kak Selena, koridor itu menuju area belakang. Lebih tepatnya ke dapur.
Tidak banyak tamu undangan yang berkeliaran di koridor. Hampir seluruhnya meramaikan aula. Koridor ini amat panjang. Terdapat banyak ruangan dan belokan menuju koridor lain. Tapi untungnya arah menuju dapur hanya perlu berjalan lurus. Aku menemukan pintu berwarna hitam di ujung koridor, berdasarkan denahnya, itu adalah pintu dapur.
"Oke, dapurnya sudah ketemu. Selanjutnya adalah ...."
"Wait, kalau lo nggak bisa buka sendiri dari luar, berarti gue harus buka pakai kunci, dong?"
"Tidak, Adik manis. Pintunya tidak dikunci. Tapi aku tidak bisa begitu saja masuk dari sana. Ada banyak orang yang bekerja di dapur. Tugasmu adalah mengalihkan perhatian mereka."
Aku belum merencanakan apa yang akan aku lakukan di dalam sana untuk mengalihkan perhatian, tapi itu bisa belakangan. Yang penting masuk dulu. Aku pun membuka pintu.
Suara desisan api, koki masak yang berteriak garang, kelontang panci serta wajan, dan percikan minyak langsung memenuhi indera dengarku. Namun tanganku terpaksa berhenti saat pintu baru terbuka sedikit. Bukan karena aku ngeri melihat kehebohan itu. Tapi aku benar-benar terpaku dalam ketidakpercayaan manakala aku melihat sosok yang familier di dalam dapur. Tengah berbicara dengan orang yang sepertinya adalah kepala koki.
Aku mengenal orang itu. Ya, mana mungkin aku akan lupa. Kebaya hitam yang selalu ia kenakan, rambut bersanggul yang bagai telah menjadi ciri khas, dan wajah lembut yang keibuan itu begitu melekat dalam kepalaku.
Dia adalah Susi Ambarwati.
__________
Catatan Penulis
•
Secuil jejak anda sangat berarti bagi saye.
Sampai jumpa di bab selanjutnya 👋🏻
•
__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top