44. Berjumpa Lagi

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia

•••

Pada dasarnya tuhan itu adil. Tuhan menciptakan dua takdir untuk manusia. Takdir yang tidak bisa diubah dan takdir yang bisa kita pilih. Tuhan memberikan kesempatan bagi kita untuk memilih sendiri akan dibawa ke mana diri ini sepanjang napas masih berhembus. Akankah kita menjadi orang baik? Ataukah justru berpaling dari kebajikan? Tuhan meletakkan kebebasan di tangan kanan kita, dan menaruh hasil dari keistimewaan itu di tangan kiri kita. Orang bijak berkata, "kamu menuai apa yang kamu tanam".

Mungkin Tuhan tengah menunjukkan ini padaku. Buah dari apa yang kutanam di orang-orang sekitarku. Aku menanam kebencian, maka permusuhan yang kudapatkan.

Baru usai upacara penutupan dan penobatanku sebagai murid terbaik, ketika kulihat Anya keluar dari ruang kepala sekolah. Tampak murka dengan apapun urusannya dengan Pak Hendrik. Aku melihatnya secara tak sengaja, Anya menyadari keberadaanku pun kebetulan semata. Namun semua seperti sudah terencana dengan begitu baik. Ketidaksengajaan itu lantas menjadi ruang kesempatan bagi takdir memperlihatkan hasil dari apa yang kupilih.

Permusuhan itu akhirnya datang.

"Lo ngapain? Lo ngapain sampai bisa nyingkirin gue dari posisi murid terbaik! Aurora, ini kerjaan lo 'kan? Jawab gue lo ngapain!" tatapannya menyalang. Ekspresinya begitu kelam. Ada luka dan ada murka. Aku tersenyum miris. Waktunya kembali bersandiwara.

Kuputar bola mataku jengah. Menatapnya penuh remeh, penuh cela. "Gue ngapain? Gue buktiin kalau gue jauh lebih baik dari lo, dan emang kebukti 'kan?"

Anya mendesis marah. Ia melirik lencana merah putih dengan liontin emas berbentuk dua pedang disilangkan yang tersemat di dada kiriku. Matanya menyiratkan kecewa. Denyut menyakitkan di dadaku kian menjadi-jadi.

"Gue pernah ngalahin lo sekali, dan gue yakin gue ngalahin lo lagi kali ini. Ha! Lo pikir gue nggak tahu kelakuan busuk lo? Lo, jadi murid terbaik karena nyelesain misi paling cepet? Bullshit! Gue denger semua yang terjadi di misi lo. Lo kabur. Lo mungkin bisa bohongin kepsek lo nggak balik ke regu lo karena lo takut. Tapi lo nggak bisa bohongin gue, Ra! Gue tahu persis orang kayak apa lo. Nyatanya lo nggak takut 'kan? Lo cuma pengecut yang mau kabur dari keadaan! Persis kayak lo yang pengecut ngelanggar janji yang lo buat sendiri!"

Aku mengepalkan tanganku. Merasakan emosi tersulut dengan begitu cepat. Aku memang brengsek, tapi Anya sudah keterlaluan. Spontan kudorong gadis itu sekeras mungkin. Anya hampir limbung ke belakang. "Lo nggak ada di sana, lo nggak tahu apa-apa!"

Tatapan Anya kian membara. "Gue nggak perlu ada di sana untuk tahu kalau lo itu pengecut!"

"Berhenti bilang gue pengecut!" teriakku. "Lo nggak tahu apa-apa. Lo nggak pantas hakimin gue. Bukan salah gue kalau lo nggak bisa lebih baik dari gue! Bukan salah gue kalau lo nggak jadi murid terbaik. Karena emang kenyataannya lo bukan nomor satu!" aku menarik napas. Menatap gadis itu dengan sekeji mungkin. Dengan tatapan paling dingin yang pernah kuberikan untuknya. "Anya, lo salah. Bukan gue yang nggak pantas ada di sini. Tapi lo yang nggak pantas nerima beasiswa Bawah Tanah."

Anya melangkah maju. Menarik kerah seragamku, melayangkan lengannya untuk menamparku. Aku menutup mata, sudah siap menerima apapun yang ingin dia lakukan. Aku memang brengsek. Aku pantas untuk itu. Namun sampai beberapa detik kedepan aku tidak kunjung merasakan tamparan itu. Ketika aku membuka mata, Alto sudah berada di tengah-tengah kami, menahan tangan Anya.

"Eiits! Tunggu dulu, tunggu dulu, aduuhhh ... serem amat neng mainnya tampar-tamparan. Nggak sekalian jambak-jambakkan?"

"Alto!" suara Ririn bergaung dari belakang tubuhku. Gadis itu menarikku menjauh, sedangkan Alto menarik Anya mundur. "Orang lagi serem pada mau baku hantam malah bercanda! Aduh, ini ada apa sih Aurora, Anya? Jangan bilang kalian berantem karena rebutan cowok. Please! Jangan bilang cowoknya itu antara Alto sama Adam. Nggak ada yang lebih bagus lagi apa?"

Adam yang disebut-sebut menoleh dengan wajah polosnya, sementara Alto cemberut masam. "Yeuuu ... Kuhantam juga, nih. Udah, udah. Ini ada apa sih? Biasanya juga kompak nempel mulu udah kayak kembar siam. Ini kenapa malah pada berubah jadi jelmaan Tom and Jerry begini?"

"Lo tanya sama dia! Orang yang tega ngehancurin impian sahabatnya sendiri yang bahkan nggak dia anggap."

"Well, well, well, Aurora." Velidsa yang entah datang dari mana dengan seenaknya ikut campur dan memperkeruh suasana. "Gila, ya? Lo tuh emang parasit banget jadi orang. Hidup sahabat lo sendiri lo hancurin! Sekarang keliatan 'kan guys? Seberapa busuknya itu orang. Anya lo masih mau jadi teman dia? Undangan gue untuk gabung ke geng gue waktu itu masih terbuka lho."

Mataku membelalak. Jadi saat aku melihat Velidsa berbicara dengan Anya waktu itu adalah tentang ini? Mendadak aku diliputi kekalutan yang luar biasa. Aku mengeraskan rahangku. Velidsa benar-benar ... andai aku bisa menyingkirkannya dari sini.

"Ay," lirihku spontan saat Anya dengan senyum miring berjalan ke arah Velidsa. Gadis itu berhenti. Matanya menyiratkan sedikit terkejut dengan nada suaraku. Buru-buru aku merubah ekspresiku. Tapi aku tidak bisa memanipulasi perasaanku. Aku memang mendorongnya menjauh. Tapi tidak sejauh sampai dia lebih memilih berpihak pada Velidsa. Aku tidak bisa membiarkan itu. Aku panik melihatnya hendak menghampiri si cewek psikopat itu. Cepat-cepat kugenggam tangannya. "Lo boleh benci gue, tapi lo nggak bisa berpihak ke dia. Dia bukan orang yang bisa dipercaya!"

Anya menghempaskan tanganku kasar. "Apa peduli lo, hah? Brengsek!"

Kemudian Velidsa membawanya pergi dariku. Meninggalkanku. Napasku memburu melihat semua itu. Hatiku tercabik-cabik hingga rasanya hanya tinggal serpihan tak berarti. Aku tahu aku tidak boleh protes. Aku yang membuat semua ini terjadi.

Kamu menuai apa yang kamu tanam.

Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku merasakan pusing yang hebat. Mata, hidung, bibir dan telingaku, semuanya berdenyut menyakitkan. Aku merangsek dari genggaman Ririn dan tergesa-gesa pergi dari sana. Aku tidak peduli semua orang yang kutabrak. Aku tidak peduli caci-maki yang keluar dari lidah mereka untukku. Yang kupedulikan hanyalah menemukan sebuah tempat di mana aku bisa melampiaskan semuanya. Aku beruntung menemukan tempat itu dengan cepat. Ada kelas kosong di ujung koridor. Aku langsung memasukinya.

Begitu pintu tertutup, emosiku mengambil alih. Meledak lebih besar dari yang aku duga. Aku membuat kekacauan. Kulempar kursi yang ada di dekatku. Kutendang meja yang berdiri di sampingku. Lalu berteriak frustasi, terdiam dengan deru napas sendiri, lalu jatuh, lalu semua kekalutan itu perlahan terurai dari kepalaku.

"Menyakitkan bukan?"

Aku terperanjat. Bangkit dengan tergesa. Entah lelaki dengan jas panjang dan topi fedora berwarna hitam itu bagian dari sindikat hantu mana sampai bisa datang mengendap-endap tanpa suara seperti itu. Bahkan telinga sensitifku tidak bisa mendeteksinya. Tahu-tahu dia sudah berdiri di belakangku, menaruh kedua tangannya di dalam saku, dan melihatku dengan senyum tipis misterius.

Tunggu, tapi kalau dilihat-lihat mukanya seperti tidak asing.

"Airlangga?" tanyaku ragu.

"Airlangga? Hmm ... orang biasa memanggilku begitu. Ya, kurasa ini salam perkenalan kita, Aurora Bhayangkari. Seperti yang diekspektasikan, kau menjadi murid terbaik tahun ini."

Aku menelan ludah, mundur dua langkah. Mendadak otakku macet, tidak tahu harus bagaimana. Dulu Cempaka sudah memperingatkanku kalau orang ini akan mendatangiku cepat atau lambat. Tak kusangka dia benar-benar datang padaku, apalagi tepat setelah aku dinobatkan jadi murid terbaik. Aku bingung harus bagaimana. Setahuku, semua orang menghindarinya. Katanya dia merekrut orang-orang pilihan untuk sebuah organisasi entah apa itu. Kak Selena bahkan menolak. Mungkin aku harus menolak juga.

"Bawah Tanah," gumamnya, "Tidakkah kau sadar tempat ini memberikan rasa sakit yang berbeda dari tempat lain? Lebih banyak, lebih membekas. Dari matamu sepertinya kau sudah tahu. Kalau menurut pendapatku, Bawah Tanah bukan tempat yang bagus untuk menuntut ilmu. Bagaimana menurutmu?"

Aku menatapnya waspada. "Lo mau apa?"

"Saya? Saya hanya ingin bertemu dengan murid terbaik tahun ini."

"Lalu mencoba merekrut gue untuk apalah itu tujuan lo? Nggak, makasih. Gue punya tujuan sendiri."

"Naras Putri Lasmana. Untuk memperbaiki kesalahan yang ibumu buat, itukah tujuanmu?"

Mataku melebar. "Lo tahu ibu gue?"

"Saya tahu semuanya, Nak," katanya dengan nada rendah. "Sepertinya kamu telah diperingati tentang saya. Hah ... doktrin Selena. Sejak gadis itu menolakku, sulit bagiku untuk menjalin kepercayaan dengan murid-murid di sini. Hei, Nak. Biar kuberitahu padamu. Jika kamu ingin menebus kesalahan ibumu, Bawah Tanah bukan pihak yang tepat untuk kamu bernaung."

"Oh, ya? Lalu siapa yang tepat? Lo?" sahutku sinis.

"Itu tergantung padamu. Hanya kamu yang bisa menentukan hal itu." Dahiku mengerut tak mengerti. "Di sini saya hanya akan menawarkan kesempatan yang jauh lebih berharga dari sekedar jadi murid terbaik di sekolah anak unggul. Saya tidak merekrut orang sembarang, saya memilih mereka yang memiliki tujuan, dan saya tahu kamu memiliki tujuan. Kesempatan dari saya akan jauh lebih membantumu mencapai tujuanmu. Kau akan tahu di kemudian hari."

"Dan untuk apa lo ngerekrut gue? Nggak mungkin lo ngerekrut orang-orang cuma untuk bantuin mereka mencapai tujuan mereka," kataku skeptis.

"Tujuan saya adalah mencapai tujuan kita bersama," jawabnya. "Apakah kamu pernah mendengar kalau musuh dari musuh kita adalah teman kita?"

"Wait, jadi maksudnya lo ngajakin gue berkhianat dari Bawah Tanah? Seriously?! Lo-lo beneran ngajakin gue berkhianat dari Bawah Tanah di Bawah Tanah? Wait, kok lo bisa keliaran di sini? Jangan bilang selama ini lo diawasin. Shit! Jangan bilang gue bakal kena detensi gara-gara berduaan di kelas sama lo!"

lantas aku dengan paniknya mengecek ke luar ruang kelas. Tidak ada orang di luar. Sepertinya aman-aman saja. Tunggu, apa mereka mengawasi kami dari kamera pengawas?

Aku masuk lagi. Menatapnya seolah ia adalah parasit dunia. Lelaki yang kisaran usianya mungkin akhir tiga puluhan itu terkekeh kecil. "Tenang, Nak. Saya tidak mengajakmu berkhianat pada siapapun. Saya bukan musuh siapa-siapa. Tapi, saya juga bisa jadi musuh semua orang. Itu tergantung bagaimana kamu memandang. Begini saja, jika kamu tidak mengerti, anggap saya adalah orang di luar otoritas. Saya tidak berpihak pada siapapun."

"Seperti pihak netral?"

"Bisa dibilang begitu. Saya tidak bekerja untuk siapapun, tidak berada di bawah naungan kekuasaan manapun."

"Jadi, lo ngerekrut orang-orang untuk jadi volunteer jasa mata-mata freelance?"

Airlangga terkekeh geli. "Senyamannya kamu beranggapan saja. Tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai ... keseimbangan. Ambisi saya adalah untuk menciptakan keadilan. Saya yakin kamu tahu bahwa keadilan tidak bekerja di bawah naungan kekuasaan. Maka itulah peran saya. Saya mengajakmu untuk jadi bagian dari keseimbangan. Aurora Bhayangkari, bergabunglah dengan saya."

Aku terpaku dalam kebingungan yang luar biasa. Tidak, bukan karena aku tidak mengerti maksud dari pria aneh itu. Aku hanya tidak dapat menangkap bagian mana dari diriku yang membingungkan pria itu sampai dengan percaya dirinya ia datang padaku dan menawari bergabung ke kelompok mata-mata freelance miliknya. Maksudku, jika dia tahu semua tentangku, harusnya dia tahu kalau aku hanya anak SMA biasa yang ingin menyelesaikan masalah keluarga lalu kembali lagi ke kehidupan biasa-biasaku. Jauh dari segala tetek-bengek Bawah Tanah, misi, rahasia negara, dan kawan-kawannya.

"Maaf, tapi lo salah." Aku berujar. "Tujuan kita nggak sama. Gue di sini untuk menebus kesalahan nyokap gue. Lalu gue akan meninggalkan dunia mata-mata dan kembali jadi orang normal. Nggak, gue nggak punya motivasi atau niat jadi pahlawan yang menjaga keseimbangan, menciptakan keadilan, menjadi hakim agung apalah itu. Itu bukan tugas gue dan bukan tujuan gue. Maaf, tapi lo ngajak orang yang salah. Gue nggak bisa terima tawaran lo."

Airlangga menghela napas. Memandangku dengan senyum tipis. "Kau yakin, Nak?"

Aku mengangguk mantap. "Sangat-sangat yakin."

"Hah ... mengagumkan sekali. Sangat jarang saya bisa menemukan orang berpendirian kuat sepertimu. Bahkan Selena, dia tidak sepertimu. Padahal, saya yakin kamu bisa jadi pemimpin yang baik di kelompok mata-mata freelance saya nanti," katanya meniru kata-kataku dengan wajah jenaka. Tangannya membentuk kutip saat ia mengatakan 'mata-mata freelance'.

Aku tersenyum miris. "Lo salah. Gue bukan pemimpin yang baik. Gue bahkan dikhianati dan kabur dari tugas gue." Aku menekuri sepatuku. Bergumam rendah. "Gue cuma pengecut."

"Pandangan orang beda-beda," katanya. "Pendirian seperti itu, yang bahkan tanpa sedikitpun keraguan, hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memiliki tekad dan mereka yang berjiwa pemimpin. Ya, terlepas dari itu, kamu sudah menolak saya. Tapi saya punya firasat di masa depan keyakinanmu itu akan berubah. Terlepas benar atau tidak, hubungi saya jika kamu berubah pikiran."

Ia memberikanku sebuah kartu nama kecil berwarna hitam. Hanya ada sebuah nomor yang dicetak di kartu itu. Tidak ada nama, alamat, instansi, apalagi nama sosial media. Benar-benar hanya nomor. Sesudahnya pria itu melenggang ke pintu keluar. Ia membuka pintu, sejenak menahan dirinya di ambang pintu. Menoleh padaku seraya berkata, "Sedikit nasihat dari orang yang telah melalui banyak hal. Di dunia mata-mata ini, sebaiknya jangan menaruh kepercayaan kepada siapapun."

Ia mengedipkan sebelah matanya, lalu melangkah pergi. Aku ikut keluar, langsung menemukan Kak Cempaka seperti orang hilang di koridor. Cewek itu berlari menghampiriku begitu ia melihatku.

"Dicariin juga. Dari mana aja, sih?" omelnya.

"Nggak dari mana-mana. Kenapa?"

"Dipanggil kepsek. Sini ikut."

Aku mengikuti Kak Cempaka.

"Gila, ya," ucapnya. Bola mataku berputar bosan. Sudah dua orang yang mengataiku gila hari ini. "Kamu beneran jadi murid terbaik. Selena nggak salah perkiraan."

"Sebenarnya apa sih istimewanya jadi murid terbaik? Kok semua orang pada rebutan itu gelar. Perasaan jadi murid terbaik makin berat aja bebannya 'kan?"

"Hanya gelar yang istimewa. Selebihnya, kau benar. Bebannya sangat berat. Aku sendiri tidak mau. Tapi bagi beberapa orang yang sama gilanya seperti Selena, atau mereka yang benar-benar ingin menjadi mata-mata, beban itu tidak jadi masalah. Jadi murid terbaik adalah langkah awal dari bersinarnya seorang mata-mata, karena kalian bukan lagi ditempa di kelas seperti murid mata-mata lainnya. Kalian akan belajar segalanya di misi lapangan. Pengalaman yang akan menjadi guru kalian."

Aku mengangguk-ngangguk. Pantas semua orang memperebutkan gelar itu.

"Kalau Kakak gimana? Kenapa Kakak mau jadi mata-mata?"

Kak Cempaka menoleh padaku. "Aku? Sejak kecil aku memang sudah disiapkan untuk ini. Orang tuaku juga mata-mata. Aku jarang melihat mereka. Bisa dibilang, ini seperti sudah menjadi garis keturunan dari keluargaku. Aku hanya meneruskan."

Aku mengangguk lagi. Karena masih berada di satu lantai, kami sampai dengan cepat di ruang kepala sekolah. Di dalam sana kepala sekolahku itu tidak sendiri. Ada beberapa guru termasuk Pak Sukma.

"Aurora, mungkin ini saatnya kau memakai hadiah dari bapak. Itu bukan jam biasa. Itu dirancang untuk seorang mata-mata," kata beliau setibanya aku sana. Kemudian aku teringat jam mahal dan elegan pemberiannya di kelas pertama kami. "Kau akan membutuhkan itu."

"Kenapa?"

"Minggu depan kau akan berangkat," sahut Pak Hendrik.

Aku menatap semua orang yang juga memandangku. "Berangkat? Ke mana?"

"Ke tempat misimu akan dilaksanakan, Pulau Bali."

...

Aku meloncat turun dari helikopter milik Bawah Tanah yang kutumpangi. Begitu aku sudah berada di landasan, orang-orang bersetelan langsung menghampiriku. Membantu menurunkan barang-barang dan membawa semua hal yang ku bawa dari Bogor turun ke kamar hotel. Helikopter itu kembali naik ke udara. Aku berlari menjauh untuk menghindari terpaan angin kencang dari baling-balingnya. Namun tetap saja, selama masih berada di landasan anginnya tetap mengacak-acak rambutku. Jaket loreng yang kukenakan bahkan sampai berkibar-kibar, padahal bahannya cukup keras dan tebal. Hampir serupa dengan bahan jaket tentara sungguhan.

Helikopter yang membawaku akhirnya berada di jarak yang cukup jauh, meski anginnya masih terasa berhembus di mana-mana. Partikel debu beterbangan di sekitar tubuhku. Untungnya mataku terlindungi oleh kacamata hitam yang kukenakan. Landasan ini hampir sepenuhnya kosong. Hanya ada dua orang yang berada di sini, menyambut kedatanganku.

Sancaka dan Selena. Kedua orang itu berdiri beberapa meter dariku. Sama-sama memakai kacamata hitam untuk melindungi mata mereka. Angin mengacak-acak rambut keduanya, namun itu tidak menghalangi keduanya untuk berpose bersedekap tangan sok keren. Dari jarak sejauh ini, aku tetap bisa melihat senyum menyebalkan Kak Sancaka dan senyum menyeringai Kak Selena. Aku menghampiri mereka.

"Hei, Cantik. Kita berjumpa lagi." Kak Sancaka menyambutku. Aku mendelik dingin. Setelah aku mengetahui semuanya, aku tak lagi berminat beramah-tamah dengan mereka berdua. Apalagi cowok bahlul satu ini.

"Aurora Bhayangkari, selamat datang, selamat bergabung dengan kami. Aku salut kamu benar-benar jadi murid terbaik," ujar Kak Selena penuh bangga.

Aku tertawa kering. "Ya, ya, ya. Bagus banget akting kalian berdua. Tapi, please ... nggak usah pura-pura bangga. Gue tahu kalian berdua tahu gue bakal jadi murid terbaik. Kan alasan beasiswa gue yang sebenarnya ya itu. 'pertanggungjawaban'."

Ujung-ujung bibir Kak Sancaka tertarik ke bawah. Aku merangsek di tengah mereka, menyinggung bahu keduanya dan melenggang pergi ke tangga untuk turun ke hotel. Keduanya mengikutiku. Kak Sancaka yang paling menganggu karena cowok itu berjalan tiga senti di belakangku dan gak henti-hentinya merundungiku dengan ribuan pertanyaan.

"Kamu marah pada kami? Kamu marah pada saya? Saya salah apa?"

Sekuat mungkin aku mengabaikannya. Membuka pintu yang ada di depanku, kami disambut koridor hotel yang elegan. Lantainya marmer berwarna krem dan dindingnya seperti terbuat dari polesan batu berwarna hitam yang cantik. Sungguh ciamik.

Tadinya, aku bisa menikmati interior mewah ini dengan tenang dan damai. Menahan kekesalanku karena selama ini mereka memperlakukanku seolah-oleh aku anak emas yang baru ditemukan, sampai repot-repot memintaku berjanji untuk jadi murid terbaik. Tapi nyatanya dua orang menyebalkan itu pasti sudah tahu sejak lama kalau aku akan jadi murid terbaik. Mereka sudah merencanakan itu sewaktu beasiswa Bawah Tanah pertama kali dikirimkan. Aku yakin sekali. Tapi semua ketenangan itu harus berakhir dengan sangat cepat manakala Kak Selena dengan lidahnya yang seakan tanpa dosa berkata dengan begitu santainya.

"Mungkin di misi pertamanya dia reunian lagi sama mantannya. Makanya jadi ketus sama kamu. Wajah tampanmu itu sudah tidak bekerja lagi Cak."

"Apa?" seru Kak Sancaka heboh. "Kau bertemu dengan mantanmu? Di mana? Ngapain aja? Jangan bilang kalian kembali bersama."

"Shh," aku mendesis gusar. Menatap Kak Selena dengan sorot permusuhan. Diam-diam kudoakan semoga tubuhnya tiba-tiba terbelah dua karena tatapan mautku. Sayangnya itu takkan pernah terjadi, yang ada justru cewek itu melihatku dengan senyum licik yang seolah-olah berkata 'aku yang menang'.

"Lo!" kutunjuk-tunjuk hidungnya dengan keji. "Denger, ya! Kak Djanuar tuh nggak suka sama Kakak. Nggak usah ge'er!"

"Oh, ya? Kenapa kau bisa begitu yakin? Eh-jangan bilang kamu benar-benar bertemu dengannya di sana? Pantas saja kau marah pada kami. Si muka dua itu pasti bilang yang tidak-tidak padamu 'kan?"

"Dia bilang kalian nggak bisa dipercaya. Ironisnya, ternyata beneran, huff." Aku mendengus jengkel.

"Tunggu, apa?! Kamu benar-benar ketemu dengan mantanmu?"

"Apa, apa, diem nggak!" Kusemprot dengan galak, Kak Sancaka mundur takut-takut.

"Padahal aku hanya menebak saja." Kak Selena melanjutkan. "Djanuar sering berkeliaran di Pasar Semanggi. Urusan organisasinya, aku tidak bisa menyelidiki nya karena rekam jejak anak itu benar-benar tertutup rapat. Hei, Aurora. Apa kau tahu pacarmu itu kriminal? Yang aku tahu dia punya sangkut paut dengan sindikat mafia apalah itu."

Aku tahu. Aku sangat-sangat tahu. Visi Kak Djanuar yang kutemui di gang seminggu silam tak bisa kuenyahkan dari pikiranku.

"Kakak tahu banyak lebih daripada aku. Sebenarnya hubungan Kakak sama Kak Djanu itu apa?"

"Kenapa? Kamu khawatir dia masih suka denganku?" Kak Selena menaik-turunkan alisnya menggodaku.

"What? Masih? Heh! Kak Djanu jelas-jelas nggak suka sama Kakak! Dia sukanya sama gue!" Aku kembali mengambil langkah berjalan menyusuri koridor. Kedua orang itu mengikutiku.

"Hah! Si sialan itu," umpatnya. "Kami nggak ada hubungan apa-apa. Awalnya aku memang mendekatinya."

"Apa?!" seruku dengan mata membola. Jadi si bawang merah ini beneran mau merebut pacarku?!

"Bukan secara romantis! Kau ini cemburuan sekali. Hanya untuk mengajaknya bergabung dengan kami. Kau tahu Djanuar itu cerdas 'kan? Sayangnya, aku yang lebih cerdas ini datang ke sekolah kalian, jadi dia tidak jadi dinobatkan jadi peringkat satu," ocehnya. Diam-diam aku meledekinya. "Sebenarnya dia bukan target kami. Targetnya hanyalah kau dan Faradita Anya. Tapi tiba-tiba saja cowok itu mendatangiku dan dia tahu kalau aku bukan murid pindahan biasa. Dia juga tahu aku mengincar pacarnya. Dia marah sekali sewaktu tahu kau diawasi oleh kami. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa tahu. Tapi karena kejadian itu, aku jadi sadar kalau dia punya kemampuan. Sejak itu aku mulai mengajaknya untuk bergabung bersama kami. Djanuar itu keras kepala sekali. Bahkan sudah kuiming-imingi perjanjian jika ia mau bergabung, kau tidak akan kami sentuh. Tapi dia tetap tidak mau. Bukan, dia tidak bisa."

"Karena latar belakangnya?"

"Karena masa lalunya. Dia sangat terikat sekali dengan organisasi apapun itu di mana dia terlibat. Dia bahkan tidak bisa melepaskannya demi kau."

Kemudian aku teringat kata-kata Kak Djanuar di dalam angkot waktu itu. Dia bilang dirinya yang kulihat saat itu adalah ia yang sesungguhnya. Dia bilang dia tidak bisa menjadi cowok baik-baik yang aku kenal. Inikah maksudnya? Kak Djanuar dan segudang rahasia yang baru kutahu hari ini.

"Kenapa?" suaraku melirih. "Kenapa dia nggak mau lepasin masa lalunya?"

"Soal itu, harus kau tanyakan sendiri padanya. Itupun jika kalian bisa bertemu lagi. Karena jelas jalan kalian sudah sangat berbeda. Kamu di sini membela negara, dia di sana menjadi ancaman negara. Sungguh menyedihkan."

Aku terpaku dalam renungan panjang yang bahkan tak habis saat aku sudah sendirian di kamar. Berbaring di ranjangnya, menatap langit dengan hampa. Aku merasakan putus asa. Ini seolah-olah tuhan tidak menuliskan pilihan bagi kami. Seolah-olah kami memang tidak ditakdirkan untuk bersatu.

Pintuku diketuk sekitar pukul tujuh malam. Kak Sancaka berada di depannya saat aku membuka pintu. Kutatap ia sedingin mungkin.

"Hai, masih marah?"

Aku tidak mengindahkannya. Lebih memilih kembali menutup pintu. Ia menahan dengan tangannya. "Aurora tunggu. Saya ... saya rindu kamu."

"Lo ngecewain," kataku rendah.

"Saya ngecewain?"

"Caka nggak ngasih tahu soal mama Ara." Suaraku bergetar. Ah, aku merasa aku akan menangis lagi.

Kak Sancaka mendorong pelan pintu agar terbuka. Aku tidak punya tenaga untuk menahannya, jadi kubiarkan ia masuk. Begitu ia melangkah ke dalam, aku melangkah menghadap jendela. Membelakanginya.

"Maafin Caka," katanya, "Saya nggak bisa ngasih tahu Rora."

Aku menoleh kearahnya setengah kesal. "Tapi ini soal nyokap gue 'kan? Berarti Ara harus tahu 'kan? Coba bayangin aja kalau itu tentang mama lo, Kak, tapi semua orang nyembunyiin itu dari Caka. Enak, nggak? Nggak!"

"Kamu semarah itu? Kamu sesakit hati itu sama saya?"

Aku termangu. Merasa deja vu. Lo sesakit hati itu, Ra? Kata Anya dahulu saat kita bertengkar di toilet. Kemudian pikiranku disambangi kekalutan yang begitu besar. Mendadak semua-semua yang berubah kacau jadi terpampang nyata dan begitu jelas di hadapanku. Baik itu tentang Persahabatanku dengan Anya yang hancur, lalu Velidsa memanfaatkannya untuk mencuri dirinya dariku, kematian ibuku yang tidak jelas, Kak Djanuar yang berubah menjadi orang asing, dan Kak Sancaka yang tidak bisa kupercayai lagi. Semua seakan-akan kembali dibacakan tuhan dengan keras tepat di depan mukaku. Membuatku kian merasa jatuh. Membuatku kian merasa kecil. Aku merasakan mataku mulai tergenang. Tubuhku lagi-lagi gemetar. Semua terasa begitu menyakitkan.

"Dasar emang pada brengsek! Kenapa semuanya harus rusak-"

Suaraku tercekat sedalam Kak Sancaka merengkuhku di lengannya. Membuat napasku terjeda, jantungku memompa, dan waktu berhenti berorientasi untuk saat-saat itu. Aku merasakan debar jantungnya membuncah di dada, hangat tubuhnya yang dibalut dengan harum lembut pewangi pakaian, semua menyelimutiku dalam lingkar tangannya yang membawaku dalam dekap tubuhnya.

Aku terpaku begitu saja. Tak tahu harus berbuat apa. Aku terlalu berduka untuk merangsek keluar dari dalam pelukannya yang entah kenapa terasa begitu nyaman. Sampai tanpa disadari aku menikmati elusan tangannya di punggungku karena terlampau menenangkan. Barang sejenak aku terlena oleh kelembutannya sebelum akhrinya sejuta perasaanku luruh bersamaan dengan rengkuhannya yang kiat mengerat. Meremas kemejanya, aku menangis sejadi-jadinya. Mencurahkan segala luka yang telah kutahan sejak begitu lama. Tak peduli saat ini aku menjadi begitu lemah di hadapannya. Aku tak lagi bisa menahannya.

Jika saja, jika saja aku mempertahankan Anya di sisiku, setidaknya jika ada Anya aku mungkin akan baik-baik saja. Tapi dengan kebencian yang terus merentang lebar di antara kami, aku sempurna rapuh. Aku tidak memiliki siapa-siapa di sisiku. Aku tak punya tempat untuk bersandar. Maka bolehlah aku menggunakan bahu lelaki ini hanya untuk sesaat, hanya untuk kali ini saja. Hanya sampai aku kembali bisa menguatkan diriku sendiri.

Tolong biarkan aku begini sesaat lagi saja. Tolong izinkan aku menyesapi suaranya yang membisikkan kata-kata menenangkan, izinkan aku menikmati tepukan tangannya, hangat tubuhnya, dekap eratnya.

Biarkan aku menjadi lemah sebentar saja. Sekali ini saja.

______________

Catatan Penulis

Secuil jejak anda berarti besar buat semua penulis. Jangan sungkan pencet tombol bintang di pojok situ yak gratis kok 🌝

Kritik dan saran boleh tulis di komentar. Sampai jumpa di bab selanjutnya 👋🏻👋🏻

_____________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top