40. Upaya Penyergapan

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

TRIGGER WARNING:

Attempted rape, violence

Bab ini mengandung beberapa konten yang mungkin tidak cocok untuk beberapa pembaca dan mungkin dapat menimbulkan ketidaknyamanan.

•••

"Askara Chaya Paksa."

"Akcaya," sahutku.

Sedikit ragu, kusambut uluran tangannya. Tukang bakso itu tersenyum dan menyuruhku kembali duduk. Baru kuperhatikan ketika kami duduk berhadap-hadapan, ia memakai Airpods. Maksudku, tukang bakso mana yang bisa sampai membeli Airpods?

Ia tampaknya masih cukup muda.  Setidaknya kutaksir umurnya pertengahan tiga puluh, wajahnya bersih, tapi pakaiannya dekil. Terutama lap handuk yang tersampir di bahunya.

"Anda agen pemerintah?"

"Panggil saja Binara."

"Au—"

Ia mengangkat tangannya sebagai isyarat agar aku berhenti bicara. "Cukup kode nama saja. Jangan sebutkan nama asli. Saya yakin kamu tahu itu dilarang."

Ah! Bodohnya aku melupakan hal itu.

"Nemesis," kataku akhirnya. "Tapi ... anda kayaknya udah tahu nama asli saya."

"Saya tidak tahu, tapi saya tahu kode nama kamu. Jadi saya tahu kalau kamu hendak menyebutkan nama asli, karena kamu tidak menyebutkan kode nama."

Aku menggaruk tengkukku. Sungguh impresi pertama yang buruk. Sekarang aku jadi terlihat bodoh di matanya.

Entah mungkin karena melihat gerak-gerik gelisahku atau orang bernama Binara ini memang peka. Ia terkekeh pelan dan berkata padaku. "Tidak papa. Kesalahan seperti itu memang sering dilakukan pemula. Tapi jangan dilakukan lagi. Bisa berbahaya."

Meskipun aku yakin dia bilang begitu untuk menghiburku, tetap saja harga diriku jatuh sejatuh-jatuhnya. Perasaanku tidak membaik hanya dengan mendengar kalimat pemakluman diikuti senyum tipis begitu. Justru itu membuatku semakin merasa buruk. Aku yakin anggotaku yang lain mendengar dan menyimak kesalahan yang kubuat itu. Ah, aku semakin ingin pulang saja.

"Jadi ... saya sama anggota saya sudah dapat nama. Selanjutnya, kami tinggal cari markas bandarnya dan siapa saja yang terlibat. Kemungkinan warga sekitar pasar ada sangkut-pautnya," jelasku.

Binara mengangguk paham. "Kerja bagus. Sepertinya misi ini bisa kalian selesaikan sebelum satu minggu. Kalau begitu, saya anggap kalian sudah paham kasus ini. Terutama kamu. Di sini, saya dilarang bantu apapun. Tugas kalian sepenuhnya akan diurus dengan kalian. Paham?"

Aku mengangguk.

Binara kembali melanjutkan. "Saya cuma bisa kasih beberapa informasi. Anak-anak yang bicara denganmu tadi, saya kenal mereka. Bukan anak baik, tentu saja. Jadi, penting untuk berhati-hati. Saya duga setelah ini anak laki-laki itu akan kembali ke kamu dengan bawa minuman keras. Kemungkinan mereka akan suruh kamu minum. Karena kamu murid Bawah Tanah, saya yakin kamu tidak memiliki toleransi untuk alkohol. Jadi, tolak sebisa mungkin.

"Aldi Angga Pratama, saya yakin kamu sudah tahu dia bukan orang sini. Kemungkinan orang organisasi lain. Sebisa mungkin jangan terlibat dengannya. Itu diluar tugas kalian. Perhatikan preman-preman dan beberapa penjual pasar. Kemungkinan semua punya hubungan dengan bandar Argo. Ingat, tugas kalian hanya mencari informasi, cari nama-nama dan tempat yang menjadi markas mereka. Lalu kalian mundur. Selebihnya adalah tugas saya. Kamu mengerti?"

"Siap, mengerti."

Binara merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel dan memberikannya padaku. Berkata, "Sambungkan saya pada kalian. Untuk jaga-jaga saja."

Aku pun meraih ponselnya.

Tak lama setelahnya Mar kembali. Dengan wajah riang gembira anak itu menengadahkan tangannya padaku. "Kamu bisa datang sore ini. Nah, lipstiknya jadi buat aku 'kan?"

Tersenyum tak minat, sebisa mungkin menahan diri untuk memutar bola mata jengah. Kurogoh tasku, lalu tanganku keluar membawa barang seukuran jari tengah itu. Kuberikan padanya. Mar berjingkrak-jingkrak heboh seolah aku memberikannya ramuan awet muda.

"Itu cowok-cowok ke mana, sih? Lama banget!" kataku gusar. Mar memperhatikan arah tadi mereka menghilang.

"Nggak tahu. Kayaknya—"

Seperti petir yang tiba-tiba datang menyambar. Tanpa ada peringatan, tanpa ada tanda-tanda, semua terjadi dengan demikian spontan. Firasatku bahwa hari ini akan ada banyak yang berlari-lari rupanya mewujud nyata. Aku tahu benar ketika dengan sekonyong-konyong Alto berlari bagai lesatan panah keluar dari salah satu koridor masuk pasar. Di belakangnya, gerombolan penghuni pasar yang marah berlari-lari di belakangnya bersama dengan sebuah parang serta celurit di tangan. Binara, aku, Mar, penjaga toko kelontong sebelah, tukang parkir, dan beberapa pengunjung pasar yang berada di luar langsung menaruh mata ke arah mereka. Semerta saja semua jadi begitu kacau dan penuh kepanikan. Terutama saat para warga berjiwa bar-bar di belakang Alto berteriak ada maling.

Mar langsung menyeruak ke barisan penasaran. Aku hendak menyusul. Namun tiba-tiba saja aku mendengar suara Alto dari Airpods-ku.

"Kapten, lapor! Hari ini aku sepertinya hanya bisa sampai di sini."

"Ya, gue tahu. Lo baik-baik aja? Bisa lolos nggak?"

"Sedang diusahakan. Ada beberapa data penting di ponselnya Mario Galah. Belum sempat aku ambil. Keburu ada yang nyangka aku maling. Maaf, kapten."

"Oke, nggak papa. Gue aja yang ambil."

"Ponsel Mario Galah sudah ada di tangan saya, Kapten. Biar saya yang ambil," sela Riana.

"Oke, kalau gitu—"

Kata-kataku tercekat ketika kulihat Mar berlari dengan panik ke dalam pasar.

"MAR!" teriakku. Cewek itu tidak menggubrisku.

Buru-buru kususul ia. Kuterobos barisan orang-orang yang belum juga bubar meski Alto dan sekumpulan warga yang marah sudah tak lagi ada di depan mata mereka. Ibu-ibu beranak satu yang kusenggol membentak ke arahku. Umpatan datang dari anak lelaki yang terjatuh karenaku. Begitu juga dengan bapak-bapak ceking yang barang bawaanya berhamburan ke tanah karena ulahku. Aku ingin berbalik dan meminta maaf sebelum akhirnya menendang mereka ke pinggir agar tak menghalangi jalan. Sayangnya, Mar berlari dengan cukup kencang. Ia seperti orang yang baru menerima kabar kematian orang terdekatnya.

Setelah menerima layangan umpatan dari setidaknya lima orang, akhirnya aku berhasil menyusul Mar. Di saat yang sama, kami berpapasan dengan Farhan dan teman-teman udiknya.

"Mau kemana?" tanyaku.

Dengan tergesa Mar menjawab, "Warungnya Kang Mario ada yang maling katanya!"

"Hah? Maling?" Farhan keheranan. Sayangnya, tak ada yang sudi menjawab keheranannya karena Mar langsung melesat begitu saja. Aku pun tak mau repot-repot menjawab, kuikuti Mar memasuki pasar. Aksi kami berdua kemudian diteladani oleh lima cowok itu.

Disela-sela lari, aku berbisik ke penyuara telinga. Memperingatkan Riana yang kemungkinan masih ada di dalam kios.

"Virgo, kalau lo masih ada di kiosnya Mario Galah, keluar sekarang! Target satu sedang menuju ke sana."

"Bentar lagi, Kapten. Masih proses transfer data."

Kami sudah berada di dalam pasar. Berdasarkan denah yang kuingat, Pasar Semanggi ini cukup luas. Kios Mario Galah berada di area belakang pasar. Letaknya cukup jauh dari bagian depan tempat kami masuk. Tapi dengan kecepatan berlari Mar yang panik luar biasa. Kemungkinan dia akan sampai ke sana dalam hitungan detik. Terlebih bagian dalam pasar sedang lenggang dari pengunjung akibat kehebohan yang menyita perhatian massa tadi. Aku harus memperlambat Mar.

"Mar!" panggilku. "Mau ke mana, sih?! Jangan cepet-cepet!"

"Bentar, ini penting!" serunya.

Sial, anak ini susah dialihkan perhatiannya.

"Virgo, cepetan!" bisikku ke penyuara telinga. Riana menanggapi dengan sama paniknya. Sepertinya ia masih belum selesai.

"Mar!" panggilku lagi. Mar tidak mengindahkan. Lama-lama tingkahnya yang pura-pura budek itu bikin kesal juga. Akhirnya, kutarik lengannya dengan tenaga dalam. Dia hampir terjengkang saking kerasnya tarikanku. Masa bodoh, malah akan lebih bagus jika tangannya terkilir sedikit.

"Bisa nggak sih tenang dikit?!" bisikku menahan kesal. "Lo lupa ada Farhan di belakang? Feminim dikit, kek! Lo nggak mau jadian sama dia apa?!"

Begitu diungkit soal Farhan, anak ini baru bisa diam. Mar tercenung. Gerak-gerik tubuhnya masih tak tenang, tapi setidaknya ia melambat. Yang tadinya lari maraton kini jadi jalan cepat. Aku berbisik lagi pada Riana, menyuruhnya cepat membereskan segala hajatnya di sana. Riana masih mengatakan hal yang sama, bahwa proses pemindahan data masih berlangsung.

Meskipun kami melambat, tetap saja bisa dibilang cukup cepat. Kami sampai ke area belakang pasar tak lama setelah itu. Kios milik Mario Galah malah sudah terlihat. Hal itu membuat Mar kembali mempercepat langkahnya.

"Virgo! Keluar dari sana sekarang!"

"Iya, bentar," jawab Riana. Sialan! Kalau begini akan terlambat. Malah, memang sudah terlambat. Kami sudah sampai ke depan kios Mario Galah.

"Nah, beres!"

"Heh! Saha manéh?! Ngapain di dieu?!" sentak Mar begitu melihat sosok Riana yang mengenakan daster dan menenteng tas belanja tengah berdiri di dalam kios. (Heh! Siapa kamu?! Ngapain di sini?!)

Riana menoleh, segera menghampiri kami.

"Manéh, manéh," gumamnya. "Manéh nu saha?! Ieu nu nungguan warung ka mana, sih?! Pamulangan aing can dibéré!" (Kamu, kamu, kamu yang siapa?! Ini yang jaga warung di mana, sih?! Kembalian aku belum dikasih!)

Mendapati orang yang ia bentak rupanya lebih galak, Mar bak sumbu api yang seketika padam disiram air. Gadis itu bergumam gugup seraya meminta Riana untuk mengambil kembaliannya di laci. Riana mencak-mencak dengan demikian sewotnya sebelum pergi, tak lupa menyenggol sensi bahu Mar ketika ia melewati kami. Aku terperangah melihat betapa totalitas pendalaman perannya. Mar yang gayanya sudah macam preman pasar saja sampai tergagap. Ya, siapa yang tidak takut dibentak olehnya yang sudah macam emak-emak bar-bar tipe sen kiri belok kanan.

Mar bergegas memasuki kios dan memeriksa tempat itu. Entah apa yang dicarinya. Tapi dilihat dari betapa paniknya ia begitu mengetahui kios Mario Galah disusupi maling, kuduga ada sesuatu di sini. Sesuatu yang penting yang melibatkan Argo dan komplotan bandarnya. Mungkin data-data yang ditemukan Alto dan Riana di dalam ponsel Mario Galah.

"Aya nu leungit, teu?" tanya Farhan. (ada yang hilang, nggak?).

Mar menggeleng. Gadis itu kembali tenang meski gelagatnya tetap mencurigakan.

"Ya udah. Hayu ah balik." Farhan mendatangiku dan menunjukkan botol kaca tanpa merek dengan air bening di dalamnya. "Ini yang kamu cari 'kan?"

Alkohol. Perkiraan Binara benar. Setelah ini, bisa kutebak apa yang mereka ingin lakukan padaku. Aku mundur selangkah. Rokok masih bisa kuatasi. Tapi alkohol akan langsung mengantarkanku pada lubang neraka. Aku harus lolos dari ini. Tapi nampaknya ini tidak akan mudah. Kelima cowok itu mengerubungiku dengan senyum menyeringai yang menakutkan. Aku seperti terjebak di antara sekumpulan predator haus darah.

Sial!

...

Betapa aku membenci Mar hingga setiap atom yang membentuk sel tubuhnya. Di antara semua orang, di antara berbagai waktu, kenapa harus detik ini ia pergi meninggalkanku bersama sekumpulan cowok otak udang di tempat yang sepi. Apakah tidak ada waktu lain. Apakah tidak ada orang lain untuk mengurusi urusan sok sibuknya itu. Betapa teganya ia meninggalkan aku—yang notabenenya adalah cewek cantik idaman lima orang udik ini—sendirian di tengah-tengah mereka. Awas saja! Setelah kubongkar semua kejahatannya, akan kupastikan ia masuk penjara paling jelek se Indonesia.

"Nih, minum," pinta Farhan. Diikuti seruan heboh dari teman-temannya.

Kutatap ia dengan tatapan paling keji yang pernah mataku buat. Seratus persen—tidak, seribu persen yakin dia sudah merencanakan ini semua. Ia membawaku ke rumahnya yang tidak ada siapa-siapa selain mereka berlima, lalu menyuruhku minum alkohol. Tabiat iblisnya jelas sekali terbaca. Ia ingin membuatku mabuk lalu menggilirku dengan teman-temannya.

Aku mengeraskan rahangku. Sekuat tenaga kutahan diri agar tidak kelepasan mengamuk. Sialnya, melihat wajah mereka yang kuyakin di dalam otaknya berseliweran pikiran kotor tentangku membuatku benar-benar tidak tahan. Kepalaku bahkan memanas. Aku tak yakin aku bisa menahan diriku lebih lama dari ini.

"Sok atuh, Neng. Diminum. Katanya mau bebas. Mau senang-senang." Samsudin membuat suasana kian memanas. Mereka semakin heboh menyorakiku.

"Gue nggak mau," kataku dingin.

"Eh, jangan gitu atuh, Neng. Sok diminum dulu wéh."

Mereka kian menyorakiku untuk meminum cairan itu.

Mungkin karena terlalu gaduh, Alto sampai bisa mendengar dari penyuara telinganya. Ia bertanya padaku apa aku memerlukan bantuan. Emosiku terlalu besar untuk menjawabnya. Salah-salah, aku bisa kelepasan mengamuk tanpa kumaksudkan. Jadi aku diam sejenak. Kuambil botol alkohol dari tangan Farhan. Kelima lelaki itu langsung bersorak girang melihat tindakanku.

"Nemesis, kamu nggak papa? Apa yang terjadi di sana? Kamu di mana? Biar aku susul."

Kutatap Farhan lekat-lekat. Kukunci pandangan itu. Kuperangkap ia dalam netraku manakala kutumpahkan seluruh isi botol cairan berharga miliknya. Keheningan yang canggung langsung menyusupi kami. Seluruh insan yang ada di ruangan ini terdiam melihat tetes demi tetes alkohol keluar dan terbuang sia-sia dari botolnya. Farhan dan teman-teman sialannya melihat itu seakan-akan tak pernah menduga gadis cantik, nakal dan bodoh yang mereka temui bisa berani melakukan hal itu. Tersirat di mata kelimanya rasa terkejut dan marah yang besar. Aku tahu dari senyum sumringah yang perlahan hilang dari wajah mereka.

"Kenapa ditumpahin?" tanya Farhan dengan suara tertahan bak sedang menahan kesal.

Aku mengedikkan bahu tak acuh. Masih dengan belum melepaskan tatapan mata kami, kusodorkan botol kaca yang kini kosong padanya. Farhan mengulurkan tangan hendak menerima. Namun kutahan saat ia mau mengambilnya.

"Lo pikir gue bodoh?" senyum miring terulas dibibirku. "Sorry, ya, tapi tolong ngaca! Orang rendahan dan kotor kayak lo bukan selera gue."

Tak ada yang bisa ditahan lagi. Sumbu telah terbakar. Maka inilah ledakannya. Tatkala lelaki itu dengan segenap murkanya mendorongku kasar, kukeluarkan semua emosiku saat itu juga. Kakiku bergerak menendang perutnya. Belum cukup menjatuhkan si brengsek itu, kuhantamkan botol kaca di tanganku ke kepalanya. Suara pecahan dan beling yang berserak ke bawah membuat keempat lainnya terkejut. Darah mulai mengaliri pelipis Farhan, sementara orangnya terhuyung jatuh tanpa daya.

Satu beres.

"Eh, si goblok!" Samsudin berseru.

Segera kualihkan perhatianku padanya. Cowok itu maju dengan melotot tajam seolah hal itu akan membuatku takut. Ia melayangkan kepalan besar ke arah wajahku. Pergerakan yang bodoh, karena dengan posisi seperti itu seluruh kelemahan dan titik vitalnya terbuka lebar. Tak membuang waktu, kutahan serangannya dengan tangan kiri, lalu menendang perutnya. Cara tercepat melumpuhkan lawan adalah tendangan.

"Anjing!" Samsudin berseru. Ia hampir terjatuh. Namun rupanya masih bisa bertahan. Aku kembali menendangnya tepat di bagian yang sama. Rasa sakit yang luar biasa jelas sedang menjalari tubuhnya. Begitu ia jatuh terduduk, kuarahkan tendanganku pada tengkuknya. Ia pingsan.

Satu lagi selesai. Tinggal tiga.

Tiga orang sisanya mengelilingiku. Kumulai serangan dengan mengambil tamplak meja makan di ruangan ini. Lalu melemparkannya pada wajah Ujang. Selagi Ujang panik bukan main karena penglihatannya tertutup, aku melayangkan serangan pada Aldi dan junet. Mereka menyerangnya secara bersamaan. Kulumpuhkan juga dengan bersamaan.

"Nemesis?" suara Alto menyelinap dari penyuara telinga.

"Bentar," sahutku.

Aldi menjadi yang pertama menyerang. Begitu ia datang dengan sebogem pukulan yang siap menghajarku, kutendang ia menjauh. Berbalik kepada junet, kuambil tangannya yang melayang ke arahku. Membantingnya ke tanah kemudian. Sentuhan akhir, kuinjak wajah junet sekeras mungkin. Hidungnya berdarah karena itu. Masih belum selesai, Ujang yang telah berhasil melepaskan kain tamplak meja mendatangiku dengan teriakan heboh. Cepat-cepat kuambil kursi kayu yang nangkring di sampingku. Lantas memukulkannya padanya. Ujang ambruk dengan kursinya yang kini berubah jadi patahan-patahan.

"Kamu bukan cewek nakal biasa," ujar Aldi. Aku kembali menaruh perhatian padanya. "Suruhan siapa?"

"Bukan siapa-siapa."

Aldi menangkis seranganku secepat aku melayangkannya. Aku menarik tanganku dan berancang-ancang memukulnya kembali. Dengan kecepatan yang berbeda pada titik vital di sela pertahanannya yang terbuka, Aldi berhasil kuserang. Ia terhuyung sedikit. Namun dengan cepat kembali segar bugar dan memasang kuda-kuda. Posturnya yang bagus membuatku tahu dia terbiasa berkelahi. Jika aku melawannya hingga salah satu dari kami tumbang, akan memakan waktu lama. Aku tidak punya waktu untuk itu.

Kulepas kuda-kudaku. Kubiarkan seluruh titik lemahku terbuka. Aldi mengernyit heran namun agaknya ia tak berniat repot-repot mempermasalahkan hal itu. Lelaki itu datang menyerang. Saat itu juga aku melangkah mundur. Aku mengambil tangannya, lalu membantingnya ke lantai. Sebelum ia sempat bereaksi apa-apa, aku merogoh tasku dan mengeluarkan pulpen ajaib dari Bawah Tanah. Menempelkan ujungnya tepat di leher Aldi. Aliran listrik langsung menyengatnya. Merenggut kesadaran lelaki itu, dan selesai sampai di sini.

"Nemesis? Aurora! Lo di mana?" suara Alto menyeruak ke telingaku dengan panik.

"Gue baik-baik aja," kataku akhirnya.

Kumasukkan lagi pulpen ajaib itu ke dalam tas. Benda ini benar-benar barang paling berharga yang pernah Bawah Tanah berikan. Ada beberapa fungsi dalam satu barang. Termasuk alat perekam, kejut listrik, mata pisau di bagian dalam, dan senter. Ukurannya yang tidak terlalu besar dan sifatnya yang fleksibel membuatku menjadikan benda itu sebagai barang favoritku sedetik setelah aku menerimanya.

"Butuh bantuan?" tanya Alto. "Aku dan Virgo siap kapan saja."

"Gue ada di perumahan di gang dekat pasar. Kalian jaga-jaga di sekitar sini," kataku seraya keluar dari rumah Farhan.

Aku menyusuri gang-gang yang berdempetan dengan rumah-rumah warga.
Suasana nampak seperti gang normal saja. Beberapa warga bercengkrama di badan gang. Anak-anak berlarian menciptakan bunyi gema dari langkah mereka.

"Fox, lo di mana?"

"Masih deket rumahnya target satu."

Tak jauh dari tempatku.

"Ikutin gue," kataku, ketika melihat Mar berdiri beberapa meter di depanku. Tampaknya ia baru ingin kembali ke rumah Farhan.

"Semuanya stand by dekat gue. Bentar lagi kita sergap markasnya Argo."

...

"Nu lain di mana?" tanya Mar begitu aku menghampirinya.

"Minum-minum di rumah Farhan."

"Oh."

Mar mengambil langkah menuju rumah Farhan. Aku cepat-cepat menggamit tangannya. "Orangnya pada mabuk. Mending kita ke Argo sekarang. Gue mau liat barangnya."

Mar tampak enggan menurutiku. Entah karena isu maling di kios Mario Galah atau otaknya mulai bisa berpikir, tapi setelah kejadian heboh di kios itu Mar terlihat agak ragu denganku. Mungkin ia berpikir aku punya hubungan dengan si maling. Cewek kota yang tiba-tiba datang dan minta informasi soal bandar narkoba, lalu maling yang secara kebetulan ada di kios Mario, semua memang seperti saling berangkaian. Sayangnya, sudah terlambat baginya untuk curiga. Setelah ia membeberkan hampir semuanya padaku, sudah terlambat baginya untuk bersikap waspada.

Aku jalan duluan. "Farhan itu unik, ya."

Mar mengikuti di belakangku. Setiap aku melibatkan cowok itu, Mar selalu menjadi lebih mudah dikendalikan. Entah aku harus terharu atau sedih melihat perasan bodohnya yang begitu besar pada cowok brengsek macam Farhan membuat Mar menjadi sangat rentan oleh orang sepertiku.

"Dia ngerokok, putus sekolah, minum-minum, dan suka ngejebak cewek. Tapi, anehnya kata lo dia nggak pakai narkoba."

Gadis itu tersedak tiba-tiba. "E-emang nggak make, kok."

Aku hanya tersenyum.

"Jadi, di mana si Argo?"

"Yakin mau sekarang? Kayanya mah Kang Argonya sekarang lagi nggak ada."

"Ya udah, lo aja yang tunjukkin barangnya. Bisa 'kan?"

Mar terdiam. Tapi akhirnya mengangguk, tak memiliki alasan untuk menolak. Kami menyusuri gang jauh dari sekitar pasar. Hingga sampai ke area pembuangan sampai kumuh. Berada di antara tumpukan sampah yang menggunung, tertutupi oleh truk sampah yang parkir dan berlalu lalang. Di sudut lapangan luas itu, terdapat ruko tak bernama yang terlihat tutup. Mar membawaku ke sana.

"Di sini," katanya. "Nggak ada orang kayaknya. Dibilangin juga Kang Argonya jam segini mah belum ada."

"Nggak papa," kataku.

Kuamati ruko dan sekitarnya. Ruko itu nampak seperti ruko tak terpakai biasa yang ditinggalkan pemiliknya. Tapi di dalamnya, tersimpan harta karun berupa bertumpuk-tumpuk karung ganja dan kawan-kawannya. Penyamaran yang bagus. Apalagi tersamarkan dengan banyaknya sampah di tempat ini.

Mar memandangiku. "Terus, mau ngapain atuh? Mau nungguin Kang Argo."

Kulepaskan sebelah Airpods-ku dan menggenggamnya di saku. Mataku  memandanginya. Mar balik memandangiku dengan alis terangkat. Aku maju selangkah demi selangkah. Mar mundur seiring aku terus mendekat.

"Bel?"

Tepat ketika itu, Mar melihat buku-buku jari di tangan kananku memiliki lebam-lebam kemerahan. Tertangkap pula oleh matanya bercak-bercak darah di sana. Membuat gadis itu menyadari ada sesuatu yang janggal.

"Tangan kamu kenapa?" aku tak menjawab. Kediamanku tampaknya membuat gadis itu tersadar. Matanya membola seraya berkata panik. "Farhan mana?!"

"Pingsan di rumahnya."

Aku bergerak hendak mencengkeram tengkuknya. Tapi tubuh Mar tiba-tiba tertarik ke belakang. Velidsa pelakunya. Ia memukul tengkuk gadis itu dengan sikunya. Mar jatuh tak sadarkan diri di lantai. Aku masih terkejut untuk beraksi apa-apa. Velidsa memandangiku dengan kebencian yang selalu ada di matanya. Aku belum bersiap-siap ketika ia dengan tiba-tiba menarik paksa sebelah Airpods milikku yang masih terpasang dan melepaskan miliknya sendiri. Gadis itu membuang alat komunikasi kami ke kubangan lumpur di dekat kakinya.

"Vel?"

"Lo mabuk dan ninggalin tanggung jawab lo. Gue yang nemuin markasnya Argo. Begitu skenarionya."

"Apa?"

Segenap tanya berputar cepat di benakku. Namun tidak ada yang perlu menjawabnya. Semua sirna tatkala aku merasakan seseorang menarik kerah belakangku. Kudapati ternyata ia adalah Farhan dengan kemurkaan yang besar di matanya. Cowok itu nampak tak baik-baik saja dengan luka mengering di pelipis kanannya. Begitu juga dengan teman-temannya di belakang, minus Aldi yang entah kenapa tidak ada di sini bersama mereka.

"Ngapain di sini, cantik? Acara kita belum selesai," bisik cowok itu.

Kupandangi Velidsa dengan tak percaya. Aku tahu. Di antara sekian banyak orang, Velidsa adalah tipe terburuk. Aku tahu dia memang tidak bisa dipercaya, apalagi diandalkan. Tapi aku tidak menyangka si sialan itu akan bertindak sejauh ini. Sebenarnya, kebencian apa yang ia pendam padaku sampai harus melakukan segalanya untuk mencelakai aku.

Aku tidak mengerti.

"Velidsa, lo gila?!" teriakku. Gadis itu hanya tersenyum miring. Senyumnya bahkan jauh lebih mengerikan dari wajah Farhan yang penuh darah. Dasar psikopat licik!

"Gue mau lo dikeluarin."

"Lo khianatin gue? Lo khianatin kita?!

Ia mendengus. "Sejak awal gue nggak pernah ada di sisi lo. Bye-bye, Kapten."

"Brengsek—"

Farhan menyeretku pergi dari sana. Dibanding saat pertama kali melawannya, Farhan terasa lima kali jauh lebih kuat kali ini. Mungkin dendam kesumat yang ia miliki untukku menstimulasi dirinya. Aku memberontak. Namun tampaknya semua yang kulakukan berakhir dengan sia-sia.

Sialan! Velidsa harus membayar semua ini!

"Lepasin gue brengsek!"

Aku tersungkur ke tanah. Bocah sialan itu mendorongku jatuh. Ujang dan Samsudin bergegas memegangi kedua tanganku, mencegahku untuk berdiri. Mereka memaksa aku berbaring di tanah. Sedang Farhan mulai mendekatiku.

Apa si gila itu berniat memperkosaku di tengah jalan di ruang terbuka?!

Sialan, sialan, sialan!

Cengkeraman Ujang dan Samsudin tak bisa kugoyahkan. Kali ini kekuatan mereka tak bisa kutandingi.

Sialan!

Ada alasan kenapa aku yang dipilih untuk mendekati target pertama. Karena secara kekuatan dan kemampuan beladiri, aku yang paling mumpuni jika kejadian seperti ini terjadi. Bahkan Alto yang laki-laki masih kalah denganku soal bertarung satu lawan satu. Namun sepertinya kemampuanku tak begitu berguna. Mungkin aku hanya beruntung pada kali pertama.

"Lepasin!"

Farhan menjilat bibirnya dan menatapku dengan binar hasrat yang menggelora di dalam netranya, membuatku merinding bukan main. Ia berlutut, meraba pipiku, lalu mulai turun ke leher dan pundakku.

"Kita main yang enak-enak dulu, Cantik."

Napasku memburu ketika tanga Farhan perlahan turun ke pinggangku, lalu pahaku, lalu—

Bang!

Sesuatu melesat tepat di samping lelaki itu. Menghantam keras aspal tepat di samping badanku, menciptakan retakan di sekitar sana. Semua orang membeku. Terutama aku yang hampir saja pindah alam karena peluru yang melesat tanpa suara itu hampir tertanam di kepalaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Namun ketika Ujang dan Samsudin melepaskan tanganku seraya perlahan mundur, berseru panik untuk melarikan diri, yang lain menoleh ke belakang Farhan dan mulai lari terbirit-birit. Aku hampir terinjak-injak karena kerusuhan mereka.

Rupanya, ada seorang laki-laki macam teroris yang berdiri di sana. Lelaki dengan kain penutup wajah itu menggenggam sebuah pistol, dan kini ia berjalan mendekatiku. Lantas aku dilanda panik. Kakiku mendorong-dorong aspal berusaha untuk bangkit. Namun tubuhku masih dijangkiti tremor parah. Alih-alih bangkit, aku malah mundur dengan ngesot. Aku lemas bukan main. Dapat terbayang di otakku akan penampakan diriku sendiri saat ini. Berantakan dan berwajah pucat bagai mayat.

Sial!

Kenapa harus selalu begini?

Teroris lagi. Teroris dan selalu teroris. Kali pertama mungkin aku beruntung terorisnya adalah Sancaka yang sedang menyamar. Namun tidak ada yang namanya keberuntungan yang sama untuk kali kedua. Kali ini teroris sungguhan dan aku pun sungguhan akan mati. Setidaknya, aku akan bertemu ibu dan ayahku setelah orang itu menembakku.

Tapi, haruskah aku mati dengan cara begini?

Orang bilang, mekanisme bertahan hidup seseorang akan aktif dengan sendirinya dan memberikan keajaiban tak terduga. Mungkin, itulah yang sedang terjadi padaku saat ini. Aku sudah siap menyambut alam baka ketika aku berpasrah diri dan menutup mataku. Namun, semuanya terjadi bahkan tanpa kusadari. Entah kekuatan dari mana, akhirnya aku bisa bangkit berdiri. Lalu aku merasakan tubuhku seperti dikendalikan oleh orang lain, tanganku bergerak cepat mengambil pistolku  dan menodongkannya pada lelaki itu. Aku bahkan hampir menarik pemicunya kalau lelaki itu tidak tiba-tiba membuka kain penutup wajahnya dan bersuara untuk pertama kalinya.

"Aurora?"

Aku menurunkan sedikit todonganku. Kutatap sosok di depanku ini dengan tak percaya. Setelah enam bulan lebih tidak pernah lagi terdengar kabarnya. Aku tidak menyangka akan melihat orang ini lagi di situasi seperti ini.

"Kak Djanuar ...."

__________

Catatan Penulis

Hai hai aku back 😌😌

Siapa yang kangen??? Ayo ngaku, angkat ketek semua yaa aku tau klean kangen akohh 😏 //plak

Okeh okeh, aku tau Klean sebenarnya kangen Sancaka 🌚 tapi yang datang malah Djanuar tuh 😙 siapa yang berharap Sancaka yang dateng?? Acung tangan ✋😙

Aku juga berharapnya Sancaka yang muncul 😌 tapi anaknya masih mageran di balik layar tuh 😤 ya udah lah ya yang penting bab baru yang ditunggu2 udah Dateng 😍 yang kemarin nyapa di DM dan komen, udah aku jabanin ni 😏 kalian bacanya dikit2 ya harus cukup sampe dua Minggu ke depan 😗 //plak

Sebenarnya belum mau up sekarang, tapi ternyata aku memang sudah kelamaan tidak up. Maapkeun ya semuaa belakangan aku sibuk kuliah 😔

Aku gabisa sering up, tapi tenang aja. Ga bakalan aku gantungin sampe 2 Bula kayak kemarin (semoga) //plak. Ya doain aja sejua urusan di rl ku lancar biar bisa cepat menyapa kalian lagi 🥰

Kalau suka bab ini, boleh pencet 🌟 kritik dan saran langsung cuss di komen.

Sampai jumpa di bab selanjutnya 😘

_________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top