39. Aye, Aye, Kapten!
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Pasar Semanggi, Bandung.
"Nemesis udah di gerbang." Aku berbicara ke penyuara telinga. Memperbaharui informasi kondisiku saat ini. "Belum ada tanda-tanda dari target."
"Dimengerti. Kami siap kapan saja, kapten!"
Aku tidak bisa menahan diriku untuk terkekeh kecil. Entah sejak kapan Alto memutuskan panggilan baru untukku.
Aku berhenti memasuki area pasar. Isabel Geraldine jelas bukan tipe orang yang akan begitu saja melangkah ke dalam pasar kumuh yang becek nan bau. Apalagi masyarakat kaum bawah dengan berliter-liter keringat mereka berlalu lalang memenuhi hampir setiap sisi. Jika aku adalah Isabel Geraldine si anak orang super kaya dan nakal yang sedang kabur dari rumah, aku malah tidak akan memikirkan untuk masuk ke dalam sana dengan kedua kakiku yang dibalut Converse mahal. Jadi, kupilih untuk diam sejenak di gerbang masuknya. Tak lupa melihat kesana-kemari dengan muka jijik seperti orang baru pertama kali ke pasar.
Well, tanpa harus akting jadi Isabel pun aku sendiri memang enggan jika disuruh masuk ke dalam sana. Bahkan sejak dari gerbangnya, pasar ini sudah benar-benar kumuh. Di sisi gerbang dikerubungi oleh banyak tukang jualan mainan dan gerobak jajanan tradisional, dengan pembeli-pembeli mereka yang bersatu padu bagai lalat menggerayangi sisa makanan. Angkutan umum yang parkir di sisi jalan semakin menambah keramaian. Pasar jelas tempat paling menyesakkan di kota.
Aku baru akan mengeksplor lebih jauh ketika tiba-tiba saja suara siulan masuk dengan tidak sopannya ke telingaku. Aku menoleh hanya untuk melihat cowok cungkring berpenampilan awut-awutan yang sedang nangkring di atas tembok rendah dan menatapku dengan tatapan seolah-olah ia adalah cowok paling keren sedunia. Aku langsung meringis jijik.
"Aya awewe kota nyasar, euy," katanya, bermaksud menarik perhatian teman-temannya padaku. Sialnya, itu berhasil. Teman-temannya yang tak kalah awut-awutan langsung menoleh serentak padaku dengan wajah mesam-mesem. Salah satu di antara mereka malah langsung berdiri dan berjalan menghampiriku. (Ada cewek kota nyasar, nih).
Tadinya, aku sudah ancang-ancang untuk menendang perutnya. Sebagai peringatan bagi yang lain jika ada yang berani dekat-dekat padaku lagi. Tapi beruntung baginya karena aku langsung mengenali wajah si lelaki yang bersiul tadi. Di dalam file biodata milik Siti Marni Nurhayati, ada beberapa foto dan biodata lain sebagai orang-orang yang terlibat banyak dengannya. Aku mengenali para cowok-cowok kroco ini mulai dari si tukang siul, aku ingat foto dengan muka datarnya yang Bawah Tanah ambil dari pusat data kependudukan, foto yang jelas sama dengan KTP yang nangkring di dompet kulit sintetis yang nongol di sakunya. Namanya adalah Farhan Hamid Abidin, remaja berusia sembilan belas tahun yang putus sekolah sejak SMP dan bekerja serabutan di pasar.
Lalu teman-temannya, mulai dari yang paling kiri, cowok yang memiliki codet panjang di pipi hingga ke leher itu namanya Ujang. Ya, namanya memang sependek itu. Dia dua tahun lebih muda dari Farhan, sama-sama putus sekolah sejak SMP, juga sama-sama bekerja serabutan. Di sebelah Ujang, aku mengenali si cowok gondrong sebagai Samsudin Sumardin, anak pemilik toko kelontong di pasar Semanggi. Dia tidak putus sekolah, tapi dari rekam jejak bolosnya sejak tahun pertama, di pastikan dia akan segera bernasib sama dengan teman-temannya.
Satu cowok paling sok keren yang dengan percaya dirinya menghampiriku, namanya adalah Junaedi, namun berdasarkan data ia kerap di sapa Junet. Dia ini satu spesies dengan Samsudin, anak nakal yang bolos sekolah dan suka nongkrong di pasar. Lalu satu orang lagi yang berada di kanan Farhan, aku tidak tahu siapa dia. Datanya tidak ada di file yang Bawah Tanah berikan. Tapi sepertinya ia nampak tak berbeda dari mereka. Penampilannya macam preman jalanan dengan celana jeans robek-robek ketat dan jaket yang dijahitkan banyak tempelan.
Aku memperhatikan kelima orang itu. Jika mereka ada di sini, berarti Siti Marni Nurhayati juga ada di sekitar sini. Tersenyum miring, mengibaskan rambutku yang diwarnai jadi coklat karamel ke belakang, lalu berkata dengan penuh menantang.
"Well, siapa di antara kalian yang mau ngasih gue tour keliling? You, you, or you?"
Kelima cowok itu langsung heboh seakan menang lotre. Ya, aku tahu aku memang cantik. Siapa yang tidak mau menemani aku jalan-jalan di pasar? Tentunya tidak ada.
"Nemesis, kamu menemukan target?" tanya Riana dari seberang sana. Aku batuk satu kali. Terkesan seperti meminta atensi dari mereka yang kini ribut merebutkanku, padahal sebenarnya itu adalah kode untuk rekan mata-mataku. Kami menciptakan sebuah kode sederhana untuk konversasi di situasi seperti ini. Dimana batuk satu kali berarti 'ya', dan dua kali berarti 'tidak'.
"Oke, Griffin siap memulai tahap dua. Pendekatan target Mario Galah dimulai."
"Virgo siap membantu. Izin memulai gerakan, Kapten."
Aku batuk sekali.
"Eh, eta si néng geulis geus nungguan 'kan! Geus wé lah babarengan!" Farhan terlihat kesal. (Eh, itu si cantik sudah menunggu 'kan! Udah aja bareng-bareng!).
Lelaki itu mendekat padaku dengan gayanya yang sok dialim-alimkan. Berkata, "Néng, mau kemana? Biar Aa—"
"PARHAN!"
Teriakkan garang yang tiba-tiba menyelinap dengan membahana di keramaian pasar membuat perhatianku teralihkan. Dari mulut koridor pintu masuk pasar, ada seorang gadis berkulit sawo matang, pendek, dan berkuncir kuda, mendatangi kami dengan wajah yang tak sedap dipandang. Aku tak bisa menghentikan bibirku menyeringai sedikit. Targetku, Siti Marni Nurhayati telah kutemukan.
"Naon atuh, Mar? Gogorowokan waé!" (Apa, Mar? Teriak-teriak terus!).
Siti Marni Nurhayati berkacak pinggang di depan kami semua. Matanya menyalang galak pada sosok Farhan yang wajah alimnya seketika tergerus hilang. "Kamana waé, sih! Ditétéangan ti tadi gé!" (Kemana aja, sih! Dicariin dari tadi juga!).
"Urangmah di dieu ti tadi gé. Manéh nu kamana waé!" seru Farhan kesal. (Aku di sini dari tadi juga. Kamu yang kemana aja!).
Siti Marni bergumam tak henti dengan bahasa sundanya yang semakin rumit dan semakin tak kumengerti. Tampaknya dia orang yang sangat cerewet. Lidah lincahnya itu baru berhenti ketika dia menyadari kehadiranku. Wajahnya yang memang sudah ketus tambah terlihat bengis. Ia memperhatikanku dari atas sampai bawah. Seolah-olah matanya tak pernah diperlihatkan cewek secantik aku.
"Saha ieu, Han? Kabogoh manéh?" (Siapa ini, Han? Pacar kamu?).
"Eh, lain! Acan, hehe. Teuing urang gé neng ieu teh saha. Karek mendak pisan. Jiganamah nyasar." (Eh, bukan! Belum, hehe. Gatau aku juga siapa dia. Baru ketemu banget. Kayaknya nyasar).
Entah apa yang dikatakan oleh gadis itu sampai wajah Farhan bersemu merah begitu. Aku punya firasat apapun itu pasti bukan hal yang bagus.
"Dia ngomong apa?" tanyaku pada Farhan. Semerta-merta Siti Marni mendelik tajam ke arahku. Ah, aku mengerti sekarang. Dia pasti menyukai Farhan. Sayangnya, Farhan lebih suka aku.
"Itu ... anu, dikiranya kamu téh pacar aku. Padahal mah bukan. Atuh da baru juga ketemu."
Apa?! Aku melotot semelotot-melototnya. Terkejut luar biasa dengan apa yang cowok itu bilang. Apa aku tidak salah dengar? Sepanjang lima belas tahun lebih tujuh bulan hidupku, itu adalah hal paling bodoh yang pernah kudengar. Aku penasaran bagaimana cara kerja otaknya sampai berani berspekulasi demikian.
"Ha? Ah, haha ... bukanlah! ya kali. Kenal aja nggak," kataku sok asik. Jika bukan sedang menyamar, sudah kucumbui pipi mereka satu-persatu dengan jurus tapak Budha.
"Kamu teh siapa? Mau ngapain sama mereka?" tanya Siti Marni tak bersahabat.
Aku tak ingin apa-apa dari mereka. Aku ingin apa-apa darimu. Gemas sekali aku menahan diri untuk berkata begitu. Cewek pendek ini belum apa-apa tingkahnya sudah macam penguasa daerah. Jika bukan karena misi, kutekankan sekali lagi, jika bukan karena misi perdana maha sakral yang telah dinantikan semua orang selama enam bulan, sudah kulempar iPhone 12 Pro di sakuku tepat ke mulut berkeriputnya.
"Isabel Geraldine," kataku, seraya menawarkan tanganku kepadanya. Ketika dia ikut mengulurkan tangannya dan hendak menggamit tanganku, buru-buru kutarik kembali tanganku, melakukannya dengan sehalus mungkin dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
"Panggil aja Bel," aku melanjutkan.
Mata Siti Marni yang bulat besar terlihat seperti akan keluar ketika ia mulai melotot padaku. Mulutnya yang menyebalkan ternganga lebar seraya melihat dengan tak percaya pada tangannya sendiri yang masih dalam posisi hendak bersalaman. Aku yakin aku melihat sedikit sirat merah padam di pipinya. Dia tampak seperti akan mengamuk. Namun, karena tidak ada di antara teman-temannya yang memperhatikan, ia buru-buru menarik tangannya kembali dengan cepat.
"Manéh téh—"
"Cantik?" potongku. Lalu mengibaskan rambutku lagi. "Tentu saja. Pintar? Nggak usah ditanya lagi. Kaya? Sangat. Gue bakalan di sini sebentar. Mungkin satu-dua hari. Mungkin lebih. Gue nggak ada urusan apa-apa sama kalian. Tapi karena kalian yang nyamperin gue duluan, dan gue juga butuh orang yang tahu tempat ini, gue izinin kalian main sebentar sama gue, mau?"
"MAU!" seru mereka semua kecuali Siti Marni.
Siti Marni tampaknya tak suka keberadaanku. Tapi ia tak punya pilihan karena kelima temannya menyukai keberadaanku.
"Ya udah," katanya dengan wajah masam. "Ikut aja sini—"
"Wait! Ingat, gue nggak ada urusan sama kalian. Tapi, kalau kalian mau berurusan sama gue, kalian ikutin cara gue."
Pertama, aku harus membuat kami semua duduk di satu meja yang sama, membuat mereka menceritakan diri mereka sendiri, kemudian menyingkirkan kelima cowok hidung belang, lalu mengorek informasi dari sang target.
Kulirik tukang bakso tak jauh dari tempat kami berdiri. Menunjuknya, lalu berkata, "Gue mau cobain kuliner lokal."
...
Rencana misi ini telah disusun seapik mungkin oleh aku dan anggotaku setelah mempelajari berkas-berkas informasi dari Bawah Tanah. Alto dan Riana akan mengeksekusi bersama. Riana menjadi pengalih perhatian, berperan sebagai ibu-ibu menyebalkan yang akan membuat keributan dan memaksa Mario Galah meninggalkan kiosnya. Alto sudah ditempatkan di dalam pasar sebagai penjaga kios tepat di samping kios Mario untuk membantu Riana membuat target keluar dari kios. Setelah target berhasil dikeluarkan dari sarangnya, maka Alto akan beraksi menggeledah kios dan mencari bukti serta informasi yang berguna.
Perpaduan duo itu tampaknya berjalan dengan sangat lancar. Sejak aku menyetujui pergerakan mereka, aku mendengar banyak keributan dari Airpods. Tampaknya Riana mendalami perannya dengan sangat baik.
Velidsa kutempatkan di sekitar perumahan gang-gang kecil di dekat pasar. Terutama bagian yang dekat rumah Siti Marni dan Mario Galah. Tugasnya adalah mengintai. Sementara Ririn ditempatkan di warung kaki lima di dekat pasar, memonitori kami dengan perangkat keras, melakukan pengintaian jarak jauh dan mencari informasi. Lalu, terakhir aku bertugas menemukan Siti Marni dan membuatnya mengantarkanku pada bandarnya.
Well, sejauh ini semuanya berjalan cukup lancar.
"Di sini mah, Neng, kalau mau makan enak, gampang! Baso tahu aya, kupat aya, nasi koneng aya, mi bakso gé aya. Asalkan, Aya duit jeung babaturan!" ujar Farhan panjang lebar.
Aku mendengarkan seraya bersantai di kursi plastik rangkap tiga dengan kondisi paling bagus di antara semua kursi yang mereka duduki, seolah aku adalah ratu yang duduk di kursi spesial sementara pengawalnya lesehan di lantai. Kutempatkan kakiku secara tidak sopan —demi mendalami peran— di atas meja warung, tepat di sebelah mangkuk mi bakso yang hanya kumakan lima buah baksonya saja. Meninggalkan mi, bihun, sosin dan tauge, serta kuah kaldunya yang lezat di mangkuk. Sebenarnya, wanginya yang luar biasa mengundang selera makan membuatku gemas ingin melahap seluruhnya. Tapi aku punya firasat kalau aku akan banyak lari-lari hari ini. Tidak lucu kalau tiba-tiba aku terserang keram perut karena lambungku belum mencerna semuanya.
"Eh! Manéh téh ngomong nu balek atuh!" Jitakkan tiba-tiba dari Ujang membuatku terkesiap sejenak. Farhan mengaduh kesakitan. Seketika saja mulutnya menyerukan banyak umpatan dengan kecepatan yang luar biasa. "Éta si enéng moal ngartieun. Naon ceunah babaturan teh?" (Eh! Kamu ngomong yang bener! Itu dia nggak akan ngerti. Apaan babaturan itu?).
"Nya biasa wéh atuh! Ngajitak sagala!" Farhan berucap ketus. Dalam sekejap ekspresi marahnya berubah ketika ia berbalik ke arahku. Senyum sok manisnya kembali menghiasi wajahnya. "Kalau mau makan enak, gampang. Asalkan ada duit sama temen, mah, jadi!"
Aku bergumam panjang. "Eh, kenapa haru ada temen?"
"Nya biar rame atuh, Neng! Masa nanti téh makan sambil ngelamun sendirian. Eungké téh kasurupan!" (Nanti kesurupan!).
"Aing maung!"
Mereka tertawa-tawa heboh. Aku tak mengerti di mana lucunya. Tetapi demi menghargai lelucon garing yang telah susah payah ia katakan, aku mengikuti yang lain tertawa canggung. Saking canggungnya kurasa ini lebih bisa disebut meringis.
"Jadi, kamu teh ngapain ke sini? Jauh-jauh ti Jakarta?" Siti Marni yang akrab di sapa Mar mengembalikan suasana menjadi lebih serius.
Aku berdeham. "Kabur dari rumah. Biasa, di sana banyak yang ngatur. Hidup gue terbatas. Di sini gue nyari kebebasan. Nyari kesenangan."
"Beuh!" pekikkan mendadak dari Farhan membuatku terlonjak. Benar-benar hal yang patut dipertanyakan, kenapa orang-orang di sini senang membuat orang serangan jantung. "Berarti Neng Bel teh datang ke tempat yang tepat! Di sini mah sagala kesenangan Aya, neng!"
"Oh ya?" Aku menurunkan kakiku. Mencondongkan tubuhku ke arah Farhan yang duduk di depanku dan menatapnya penuh rasa tertarik. "Ada apa aja?"
Farhan mengeluarkan sebuah kotak putih bergambar paru-paru jelek. "Kalau mau kebebasan, dimulai dari sini."
Aku mendengkus seraya memalingkan muka. Farhan dan yang lainnya hanya melihatku ternganga tatkala aku merebut dus kotak kecil itu dari tangan Farhan, mengeluarkan satu batang rokok dan menaruhnya di mulutku. Kutatap lelaki itu intens ketika aku mulai menyalakan pemantik dan menyulut rokokku. Aku bukan perokok, tapi karena Kak Djanuar merokok, aku pernah memaksanya mengajariku karena penasaran. Untungnya, ia bersedia meski setelahnya lelaki itu tidak pernah mau merokok di depanku lagi karena tak mau aku mengikutinya. Sekarang, mungkin aku harus berterimakasih padanya. Berkat pengalaman singkat itu, aku bisa menghisap rokok tanpa tersedak dan dengan sombong menghembuskan asapnya tepat di wajah Farhan untuk berlagak keren. Kuakhiri aksi itu dengan senyum miring.
"Cuma segini doang?" tantangku.
Jauh di dalam tatapan matanya aku tahu dia terkesima, atau mungkin merasa tertantang. Mungkin dia sedikit kesal karena tidak berhasil memukauku. Ya, teruslah seperti itu, cowok brengsek! Tunjukkan padaku apa yang kalian miliki. Tunjukkan padaku rahasia gelap dan pusat kesenangan kalian. Tunjukkan di mana bandarnya.
"Mau yang lebih bebas?"
Aku menarik diri lalu bersandar. Memandangnya seraya bersedekap tangan. Farhan melakukan kontak mata Yang aneh dengan teman-temannya, kemudian mereka beranjak.
"Tunggu di sini," katanya padaku. "Aku bawain sesuatu yang bakalan kamu suka."
"Eh, hayang kamana, Han?" cegah Mar. (Eh, mau kemana, Han?).
"Ngambil 'éta'. Tunggu wéh! Ngké balik." (Ngambil 'itu'. tunggu aja! Nanti balik."
Mereka dengan cepat hirap dari pandangan kami. Kini tinggal aku dengan Mar dan tukang bakso yang tampak sibuk mengusir lalat dengan lap kumalnya. Ini bisa jadi kesempatan bagus. Saatnya membuat Mar bicara tentang—
"Kamu mah aneh, ya." tiba-tiba saja dia membuka suara. Aku tidak menduganya. "Udah enak jadi orang kaya, malah kabur dari rumah, main ke tempat kumuh. Kalau aku mah pasti betahan di rumah daripada main ke sini."
Aku menghela napas, mengikuti alur sentimentil yang tiba-tiba saja dihidupkan olehnya. "Ya, kehidupan orang beda-beda. Jadi kaya belum tentu enak."
Jauh di dalam hati dan otakku, aku berteriak, "bullshit!"
Kalau aku jadi anak sekaya Isabel Geraldine sampai bisa beli merek ponsel yang ada di sakuku ini, aku tentu akan sangat-sangat betah di rumah.
"Aku teh nggak suka kamu," gumamnya.
Aku menatapnya dari atas sampai bawah, gue juga nggak suka sama lo!
"Karena takut Farhan diambil gue?"
Dia tidak menjawab. Aku mengulum senyum. Anak ini sangat mudah ditebak. Jika begini, memanipulasi dirinya harusnya lebih mudah.
"Tenang aja," kataku selembut mungkin.
Kurangkul ia dengan akrab. Membuatnya menoleh kebingungan. "Farhan bukan selera gue."
"Jadi, kamu téh nggak akan ngerebut Parhan?" Ia menatapku berbinar.
Aku kembali bersedekap tangan. Menatapnya dengan senyum semanis mungkin. "Iya. Lagian lo sama Farhan cocok, kok. Gue juga cuma sebentar di sini."
Semburat merah menjalari kedua belah pipi Mar. Bagus, sekarang aku tahu cara mengambil hatinya.
"Hei, mau gue kasih beberapa trik?"
Ia menoleh dengan mata penasaran. "Trik?"
Aku mendekat ke arahnya. Berbisik, "Biar lo sama Farhan bisa jadian."
Semerta-merta cewek itu meraih tanganku dan digenggamnya demikian erat. "Gimana?!"
Buru-buru kutarik tanganku dari genggamannya. Diam-diam menyekanya ke ujung bajuku. Kulihat tadi ia diam-diam mengorek hidungnya. Berani-beraninya ia menyentuh tanganku setelah melakukan hal menjijikkan.
"Gampang! Lo tahu tipe idealnya Farhan kayak gimana?"
Mar bersandar di kursinya lemas. Seketika saja semangat yang membuncah ruah dua detik lalu hilang.
"Kenapa?" tanyaku. Sesaat kemudian aku menyadari sesuatu. "Ah, tipenya yang kayak gue?"
"Lupain aja, ah! Aku mah jauh atuh kalau dibandingin sama kamu mah."
Ya, tentu saja sangat jauh! Bahkan tidak bisa dibandingkan meskipun langit dan bumi menyatu. Meskipun begitu, tetap kukatakan padanya. "Ah, gampang! Selama ini lo jarang dandan 'kan? Coba sekali-kali setiap ketemu Farhan lo dandan. Pasti jadi pangling."
"Ah, tapi nggak akan jadi secantik kamu."
Ya iyalah! Gemas sekali aku ingin berteriak padanya. Apa yang cewek ini harapkan? Cantiknya Aurora Bhayangkari itu berada di level yang berbeda. Tidak bisa ditiru, apalagi disama-samakan. Kalau mau secantik aku, kau harus terlahir kembali. Masa harus kusuruh ia mati dulu hanya untuk cowok urakan seperti Farhan.
"Kalau dilihat-lihat ... sebenarnya lo itu cantik. Cuma kurang ngerawat diri aja. Coba ubah penampilan lo jadi sesuatu yang disukai sama dia. Jadi lebih feminim, mungkin?"
"Me-menurut kamu aku téh cantik? Beneran?"
Tentu saja tidak. Jika bukan karena misi aku tidak akan pernah mengatakan hal itu.
"Iya! Lo tuh sebenarnya cantik. Gini aja deh, sebagai permulaan, gue kasih lo lip cream punya gue. Ini barang mahal dan bagus banget, warnanya juga lucu, jadi, Farhan pasti suka lihat lo dandan dikit. Sisanya, lo yang urus sendiri. Gimana?"
Kutunjukkan pewarna bibir yang tidak pernah kupakai satu kali pun, bahkan baru kutahu merek dan bentuknya hari ini. Mata Mar melebar melihat benda itu. Penuh gugah dan hasrat ingin memiliki. Tangannya terjulur hendak meraih. Sebelum benda itu beralih tuan, segera kutarik kembali dari hadapan Mar. Membuat gadis itu berwajah kecewa.
"Ada syaratnya," kataku.
"Oke, apa?"
"Ingat, tujuan gue ke sini mau apa?"
"Senang-senang? Bebas?"
Aku mengangguk. "Kasih gue sesuatu yang bisa mewujudkan itu. C'mon! Gue udah bantuin lo. Lo juga harus bantuin gue lah. Gue yakin lo punya sesuatu yang bisa bikin gue bebas. Benar-benar bebas."
Mar belum berkata apa-apa. Ia terlihat amat ragu. Mungkin ia sedang mempertimbangkan akan memberitahuku soal bandar narkoba atau tidak. Aku harus membuatnya membeberkannya hari ini, karena jika itu terjadi, misi ini bisa selesai dalam satu atau dua hari.
"Kalau lo nggak mau jadian sama Farhan ya udah si nggak papa. Gue juga—"
"Bentar!" potong gadis itu panik. Aku menarik senyum puas. "Gue kasih tau lo sesuatu, tapi Li nggak boleh bilang ke Farhan."
Selagi ia bicara, tanganku mulai menyelip ke dalam tas kecil yang ku selempangkan di bahu. Kuraih pulpen canggih pemberian Bawah Tanah di dalamnya. Menekan tombol kecil untuk merekam suara di bagian badan pulpen. Lalu ku pindahkan posisi tas menjadi ke atas meja agar lebih dengan dengan Mar.
"Deal! Oke, apa?"
Mar beringsut mendekat. Ia berbisik, "Gue ada kenalan yang jual ganja. Gue bisa ngambil beberapa gram buat lo. Asalkan lo ada duit."
Aku langsung menarik diriku, pura-pura jengah. Tidak bisa jika dia hanya mengambilkannya untukku saja. Dia harus mengantarkanku ke sana.
"Nggak tertarik," kataku tak acuh. Semoga ia terpancing untuk memberiku lebih banyak informasi dengan cara ini. "Kalau itu doang, banyak di tempat gue. Denger ya, gue udah pernah kemana-mana. Semuanya jual yang itu-itu aja. Sama aja kayak rokok ini. Basi! Gue mau barang bagus!"
"Ta-tapi—"
"Gue bersedia bayar mahal." Kuusap tas selempang kecil ini tepat di depan wajahnya. Kurang meyakinkan apa lagi sandiwaraku? Harusnya sekarang ia sudah mengantarkanku ke sana.
Mar menarikku mendekat. Kembali berbisik, "Oke, tapi kamu harus dateng sendiri ke sana. Aku bisa anterin kalau kamu berani."
Sebaris seringai muncul di bibirku dengan tak tertahankan. Memang itu yang kumau.
"Jadi, siapa mereka?" tanyaku. Kurangkul Mar dipundak. Kubuat ia berpikir bahwa kami akrab agar tak ada satupun yang ia tutupi.
"Aku teh nggak tahu ini nama asli atau bukan. Tapi, si akang itu teh suka di panggil Argo."
Argo, kemungkinan nama pendek atau alias.
"Dia bandarnya?"
"Iya, Kang Argo punya penyuplai barang-barang bagus, tapi nggak tahu dari mana. Itu juga cuma sebatas ganja dan beberapa yang dia jual ke anak-anak kayak kita. Selebihnya, si akang jual ke nu loba duitna." (Ke yang banyak duitnya).
"Oke," gumamku. "Lo sendiri pakai? Kalau Farhan sama yang lain, mereka pakai juga?"
"Nggak," jawab Mar cepat. "Farhan sama yang lain nggak tahu. Cuman aku sama Aldi. Kalau Aldi pakai, dia pelanggan baru juga. Kalau aku mah sebatas perantara doang. Itung-itung nyari duit."
"Aldi itu ...."
"Yang pake jeans robek-robek. Dia juga ada pesen ganja."
Aku bergumam sembari mengangguk paham. "Siapa tadi namanya?"
"Aldi. Siapa yah nama panjangnya téh ... ah! Aldi Angga Pratama, kalau nggak salah téh. Budak teiung mana, si éta gè baru da. Kalau mau sekalian sama yang punya Aldi mah hayu aja aku mah. Tapi kalau mau datang ke sana juga hayu wéh aku mah." (Nggak tahu anak mana. Dia juga baru di sini).
"Siapa aja di sini yang jual? Siapa tahu ada yang punya barang bagus selain si Argo. Gue lagi nyari pemasok juga. Mau gue bawa ke Jakarta soalnya," kataku.
"Yang jual mah banyak, Bel. Cuma pemasok di sini cuma si kang Argo. Jaringan Kang Argo téh besar pisan. Pokoknya kalau mau yang bagus, langsung ke Kang Argo aja."
Aku bergumam lagi. "Ada nomornya Argo? Boleh gue minta?"
Ia mengusap tengkuknya. "Eung ... kalau itu mah harus minta ke Kang Argonya langsung. Asalkan Isabel modal duit mah pasti dikasih. Kang Argo mah pasti loyal sama pelanggan nu tebel dompet."
Aku mengangguk paham. Kutekan lagi tombol rekam di badan pulpen untuk menghentikan rekaman. Sejauh ini, informasi yang kudapat sudah hampir utuh. Aku sudah dapat nama. Seharusnya dari sini semuanya akan jadi lebih mudah lagi.
Bang!
Suara dentuman aneh terdengar dari Airpods, membuatku terkesiap. Mar yang berada di sampingku ikut melonjak kaget. Hampir saja ia menumpahkan sisa es teh di meja. Jantungku masih berdetak kencang saat Mar bertanya keheranan seraya menatapku aneh.
"Nggak papa, tadi ada semut di tangan gue," jawabku asal.
Mar tergelak kemudian. Mengataiku aneh. Aku hanya tersenyum pahit.
Suara itu jelas-jelas dari kelompok Alto-Riana. Entah apa yang terjadi pada mereka. Setelah suara dentuman itu, aku mendnegar banyak sekali keributan. Riana berteriak marah-marah seperti orang gila. Dan ada kehebohan di layar belakang. Sepertinya, mereka membuat kerusuhan yang jauh lebih besar dari yang kami butuhkan.
Aku terlonjak lagi ketika tiba-tiba saja ponsel milik Mar bergetar dan membunyikan nada dering. Gadis itu pamit untuk menjawab panggilan. Ia memberi jarak cukup jauh dariku. Sepertinya itu salah satu orang bandar, atau malah itu Argo sendiri.
Seperginya ia dari tenda tukanag bakso. Aku segera fokus ke penyuara telinga. Memastikan kabar dari anggotaku.
"Griffin, Virgo, perbarui status kalian. Apa kalian baik-baik saja?"
Aku mendengar suara batuk dua kali. Dari volumenya itu pasti suara batuk Alto. Mereka tidak sedang baik-baik saja. Sudah kuduga.
"Fox, perbarui status," peritahku.
Aku mendengar dengusan kesal sebelum Velidsa menjawab, "Aman. Belum ada tanda-tanda mencurigakan yang terlihat."
Aku beralih ke Ririn. "Rose, lo dapat file rekaman dari gue?"
"Dapat. Filenya sudah kuamankan."
"Cari tahu tentang Aldi Angga Pratama dan seseorang dengan nama Argo."
"Aye, aye, Kapten! Aldi Angga Pratama, filenya tidak dapat ditemukan di situs kependudukan milik negara kita. Kemungkinan itu nama palsu."
Palsu, berarti dia bukan sekedar pelanggan. Apakah dia mata-mata juga? Mungkin orang suruhan organisasi gelap lainnya. Sial, keberadaan orang itu bisa saja menggagalkan misi. Jika ia sungguhan orang suruhan organisasi, dia mungkin akan curiga dengan kehadiranku.
"Periksa CCTV pasar. Anak laki-laki kisaran 17 sampai awal dua puluhan. Yang pakai celana jeans robek dan jaket penuh tambalan, yang sama Farhan dan gengnya. Cari tahu informasinya dari wajahnya. Lo bisa 'kan?"
"Akan kucoba. Tentang Argo, dia sudah dikonfirmasikan sebagai bandar. Informasi tentangnya sedikit. Aku dapat satu foto dari data narapidana lapas. Nama aslinya, Sumargo. Kukirim foto dan datanya padamu."
Tak lama ponsel iPhone 12 Pro di sakuku bergetar. Aku mengecek pesan dari Ririn. Dalam data tentang Sumargo, terdapat sebuah foto lelaki awal empat puluhan berambut cepak, dengan wajah seribu persen mengindikasikan orang jahat.
"Makasih, Rose."
"Aye, aye, Kapten!"
"Berhenti manggil gue gitu, deh. Temen lo sih ih gara-garanya!" protesku, tanpa menyebutkan nama Alto karena kami dilarang menyebutkan nama asli selama misi. Hanya kode nama yang boleh dipakai. Ririn hanya terkekeh mendengar dengusan kesalku.
Kuamati lagi biodata milik Sumargo alias Argo. Seperti kata Ririn, tidak banyak datang yang bisa didapat. Tapi dari informasi ini kita tahu dia mantan narapidana. Dipenjara sekitar sepuluh lalu dengan alasan pembegalan. Aku tidak tahu bagaimana sejarahnya menjadi bandar. Tapi, jika sepuluh tahun lalu dia hanya pelaku kriminal setingkat begal. Berarti ada yang mengenalkannya pada dunia narkoba. Ada orang lain di atasnya yang menjadi bosnya. Apakah ia mengenalnya dipenjara? Aku tidak tahu.
Tapi, dimanapun itu ia mengenal orang ini, "itu berarti jaringannya bukan cuma di area Pasar Semanggi aja."
"Tentu saja. Jaringan bandar narkoba bisa mengular hingga ke luar negeri."
Aku terperanjat. Kali ini, jantungku benar-benar hampir berhenti berdetak. Aku bahkan sampai melompat dari kursiku saking kagetnya manakala melihat tukang bakso yang menjaga tenda ini tiba-tiba mendekat padaku dan berbicara begitu.
"Anak SMA datang ke pasar dan tanya-tanya tenrnag bandar narkoba," katanya, "Sudah pasti kamu mata-mata."
Aku sudah siaga menaruh tanganku di pistol yang kusembunyikan di saku sabuk yang tersembunyi di balik bajuku ketika tukang bakso itu mengulurkan tangannya. Tersenyum padaku seraya berkata, "Askara Chaya Paksa."
Kemudian aku menyadari sesuatu, dialah sang agen pemerintah.
__________
Catatan Penulis
•
Uwuu berjumpa lagi dengan sayee 🌝
Nggak ada yang mau aku omongin si paling ngingetin vote n komen n polow 😌 sebenarnya ... Aku udah kehabisan bahan buat di bahas di author note 😭 jadi bingung mo ngemeng apa di sini. Coba gantian kali ya Klean yang ngemeng di komen 🌚 komen random pun suka w bacain soalnya komen kalian mood banget aw //ngegombalsupayapadakomen :v
Oke deh segini aja bacotnya :v kalau suka boleh dong di pencet 🌟 kritik dan saran mangga tulis di komen.
Sampai bertemu di bab selanjutnya 😘
•
__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top