38. Harga untuk Pengabdian
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Semua orang pasti pernah berpikir bahwa hidup yang mereka jalani saat ini hanyalah serangkaian dari keseharian membosankan yang biasa-biasa saja. Kita berada dan berputar-putar dalam kebiasaan konstan yang disebut normalitas. Kita bahkan terjebak di dalamnya. Sampai pada akhirnya kita merasa benar-benar bosan dengan rutinitas tak bergairah ini dan mulai mengharapkan sesuatu yang jauh dari kata normal. Kita mengharapkan ada sesuatu yang mendatangi kita. Suatu abnormalitas yang dapat memicu adrenalin dengan jauh lebih hebat hingga kita sendiri merasa lelah dan ingin kembali ke garis lurus kehidupan sebelumnya.
Aku dengan kehidupan standar yang tidak luar biasa namun juga tidak biasa-biasa saja ini, terkadang aku tidak perlu meminta Tuhan memberikanku sedikit tantangan untuk pengalaman hidup sebagai anak SMA ibu kota yang bosan. Terkadang tantangan itu malah datang sendiri padaku, dan setiap kali abnormalitas itu datang, selalu ada setidaknya satu hal dari hidupku yang berubah. Dalam artian baik ataupun buruk. Abnormalitas meninggalkan bekasnya sendiri dan terkadang itu melekat menjadi kenangan kuat yang meninggali otakku sepanjang hidup.
Bolehlah kukatakan abnormalitas itu secara rutin menyambangi hidupku setidaknya setiap aku mulai mengalami ketenangan janggal yang membuatku merasa benar-benar tidak punya lagi alasan untuk hidup. Maka abnormalitas itu datang untuk menantangku sekali lagi. Katakan saja seperti momen di mana aku berubah menjadi yatim piatu saat umurku masih sembilan tahun, atau sebut saja teror bom Andalas yang ternyata rekayasa, di dorong jatuh ke jurang oleh seorang musuh, dan apa yang baru saja kualami hari ini.
Menjadi korban penculikan dari entah sindikat ninja mana.
Abnormalitas pertamaku sebenarnya terjadi sewaktu umurku berada di antara lima atau enam tahun. Kejadian itu menjadi salah satu dari sedikitnya memori masa kecil yang melekat kuat. Meski aku tidak ingat bagaimana detailnya. Tapi aku tahu saat itu aku dan ayahku tengah menginap di salah satu hotel yang tidak begitu bagus di Jakarta Pusat. Hotel itu memiliki satu kolam berenang ukuran sedang di lantai satu. Aku bermain di pinggir kolam itu. Lalu kecerobohan membuatku hampir mati tenggelam.
Apa kau tau bagaimana rasanya tenggelam?
Rasanya, seperti seluruh dunia kehilangan suaranya seketika. Seperti kau melayang-layang di satu dimensi yang gelap dan dalam, dengan air yang mengepungmu dari berbagai arah. Kau tidak bisa bergerak. Kau hanya terjatuh lebih dalam lagi. Dadamu sakit karena air memenuhi paru-parumu. Lalu kamu mulai merasakan sesak yang luar biasa. Membuatmu mulai kehilangan kesadaran, dan tak berdaya. Seolah-olah kematian berada sejengkal dari jarimu.
Hari ini, aku merasakan sesak yang sama mengepungku lagi.
Orang-orang berpakaian serba hitam bak ninja itu membungkus kepalaku dengan kain hitam. Sudah jelek, bau lagi. Bukan main sesaknya bernapas di dalam sini. Apalagi secara acaknya ingatan soal tenggelam belasan tahun lalu kembali berputar di otakku. Aku yang mengalami pusing hebat berkat kurangnya oksigen tidak bisa membedakan apakah saat ini aku benar-benar sesak napas atau hanya halusinasi karena mengingat perasaan tenggelam kala itu.
Mereka mengikat tangan dan kakiku dengan tali tambang yang sumpah demi satu dollar pertama milik Tuan Krab, rasa-rasanya tali itu ikut menggilas kulit mulusku karena aku merasakan perih yang luar biasa. Aku memberontak, menggelinjang ke atas dan bawah selagi mereka berusaha membopongku. Jangan harap aku akan mempermudah aksi penculikan ini dengan pura-pura pingsan. Aku setengah yakin ini masih di kompleks pendidikan Bawah Tanah. Sialnya, mulutku dilakban. Aku hanya bisa bergumam tak jelas seperti orang bisu. Akhirnya, rencanaku menarik perhatian tukang kebun, ibu asrama galak yang tengah patroli malam-malam, atau salah satu siswa ngelindur yang berjalan dalam tidurnya pun sirna manakala mereka melemparku ke dalam bagasi.
Aku setengah yakin diriku akan pingsan selama perjalanan jika mereka tidak segera dianugerahi belas kasih untuk setidaknya membiarkanku duduk di kursi penumpang. Ya, mereka memang tidak dianugerahi belas kasih itu. Setelah beribu-ribu kali mengalami benturan menyakitkan dengan bagian mobil dan sebuah kotak kayu yang sudah nangkring di sana sebelum aku, kesadaranku mulai benar-benar menipis. Aku bahkan merasa sudah mati.
Aku baru sadar bahwa jantungku masih berdetak ketika entah sejak kapan aku sudah duduk terikat di kursi besi tegak. Mereka membuka penutup kepalaku dan dengan seenak jidatnya mengguyurku dengan air yang luar biasa dingin. Mataku langsung melek selebar mungkin.
"Aw!" salah satu dari orang itu membuka penutup mulutku. "Monyet! Bangsat! Tai anj—"
Plak!
Napasku kian memberat dengan rasa sakit yang menjalari permukaan pipiku. Beraninya mereka menampar mukaku yang cantik ini.
"Aurora Bhayangkari, dengarkan baik-baik jika kau ingin menyelamatkan hidupmu dan teman-temanmu." Orang-orang ini bicara dengan suara yang disamarkan seperti robot. "Kau akan memberikan semua informasi tentang Bawah Tanah yang kami inginkan, maka kami akan membiarkan kalian hidup. Apa kau mengerti?"
Aku mendelik tajam. "Nggak sudi! Lepasin gue! Mana Anya? Mana temen-temen gue!"
"Terhitung sejak tanggal 24 Februari 2019, sebuah misi diturunkan kepada dua murid Bawah Tanah. Siapa mereka?"
"Gue nggak tahu!"
"Ada kabar dari seluruh penjuru Indonesia bahwa ada kejadian-kejadian aneh disertai menghilangnya para pelajar. Bom meledak di sebuah sekolah, kasus kekerasan anak yang menghilang begitu saja, pencurian hewan peliharaan, sampai penculikan terjadi secara beruntutan sejak awal tahun. Tampaknya, Bawah Tanah merekrut lebih banyak anggota dengan cara yang lebih ekstrim. Katakan apa yang direncanakan Hendrik Tahir. Apa yang menjadi targetnya dalam misi tahun ini?"
"Dibilangin nggak tahu!" aku bersikeras. "Dengar ya, gue anak baru. Jadi, gue nggak tahu apa-apa. Lo, lo semua tuh salah nyulik orang!"
Ninja yang tengah berhadapan denganku diam sejenak. Sembilan puluh persen wajahnya tertutup. Begitu juga dengan tiga ninja lainnya yang berdiri di belakang. Tidak ada tanda organisasi dan sejenisnya yang melekat di pakaiannya. Aku jadi tidak bisa menebak identitas mereka, motifnya ataupun kenapa mereka memerlukan informasi soal misi yang tengah dijalankan Kak Sancaka dan Kak Selena.
"Jika kamu tidak bisa bekerja sama, kami terpaksa memberikanmu sedikit motivasi."
Orang yang sedari tadi berbicara denganku kini beralih pada teman-temannya. Berbisik-bisik sebentar lalu teman-temannya pergi menuju pintu besi di depan.
Aku baru menyadari sekelilingku. Mereka membawaku ke ruangan yang cukup luas dengan dinding besi dan lantai semen. Langit-langitnya terbuat dari plafon hitam yang hanya di sangga rangkaian tiang besi. Penerangannya yang remang membuat hawa terasa semakin dingin.
Suara desing pintu besi kembali mengalihkan perhatianku. Ninja yang tadi keluar itu kembali dengan gerombolan temannya, dan lusinan orang tahanan. Kepala mereka ditutupi kain hitam. Tapi aku yakin mereka murid Bawah Tanah juga. Mungkin salah satunya adalah temanku.
Mereka membawa satu di antara tahanan itu ke depanku. Melepas kain penutup kepalanya.
Mataku membola.
"Anya!"
"Aurora, jangan—"
Ninja gadungan yang menyandera Anya menodongkan gadis itu moncong pistolnya. Membuat kata-kata Anya tersekat dalam ketakutan. Aku pun spontan berteriak. Aku bahkan sempat hendak berdiri untuk menendang tangan sialan orang itu. Namun tali tambang yang melilit tubuhku di kursi mencegahku kemanapun.
Sial!
Aku terdiam sejenak. Berusaha menenangkan diri.
"Siapa kalian? Apa mau kalian dari kami?"
"Kami adalah otoritas. Kami yang memegang kendali akan apa yang terjadi di negara ini. Kami bisa menjadi kawan, juga bisa menjadi lawan. Semua tergantung apakah kalian bisa bekerja sama atau tidak," kata ninja yang berhadapan denganku. Tampaknya ia adalah pemimpin sekte ninja kesasar ini. Nada bicaranya yang tenang dan dingin membuatku benar-benar tergugah untuk membuka penutup wajahnya dan menjahit mulutnya.
"Semua yang terjadi di negara ini harus melalui campur tangan dari kami. Selama kalian melakukan apa yang kami inginkan, maka kami akan menjamin loyalitas pada kalian. Sayangnya, pihak Bawah Tanah sepertinya mulai bergerak sendiri. Yang kami inginkan adalah informasi. Beri kami informasi tentang rencana Hendrik Tahir, maka kami akan memulangkan kalian dengan selamat. Beri kami informasi soal misi dua puluh empat Februari, kepada siapa misi itu diserahkan, misi apa yang mereka jalankan."
Aku benar-benar ingin berteriak di telinga orang itu bahwa dia benar-benar telah salah menculik orang. Aku memang tahu misi itu diserahkan pada siapa. Semua murid Bawah Tanah juga tahu. Tapi, tidak ada yang tahu misi tentang apa yang Kak Sancaka dan Kak Selena jalankan. Tidak kecuali mereka yang harus tahu. Herannya, mereka tampaknya terlalu bodoh untuk bisa mempercayai fakta itu. Maksudku, jika aku menjadi mereka, aku akan menculik Kak Cempaka, atau bahkan langsung saja kuculik Pak Hendrik, alih-alih menculik lusinan murid Bawah Tanah yang kemungkinan besar kurang informasi.
"Gue nggak tahu," kataku serius. Aku benar-benar dibuat takut. Sejak penembakkan Aren, pistol menjadi sesuatu yang sangat ampuh untuk membuatku paranoid. Terlebih jika posisinya ada di samping kepala seperti itu.
Tunggu, apa mereka juga yang menembak Aren waktu itu? Apa tembakan waktu itu adalah sebuah peringatan?
"Aurora Bhayangkari, salah satu dari murid baru yang paling bersinar. Tentu saja, kau tidak akan memberikan informasi semudah itu. Tapi coba pikirkan lagi, Nak. Apakah harga nyawa temanmu pantas untuk pengabdianmu pada negara ini? Tidakkah itu harga yang terlalu mahal?"
"Gue nggak tahu!" aku hampir berteriak. "Gue benar-benar nggak tahu apa-apa. Yang lo lakuin ini sia-sia! Kita semua nggak tahu apa-apa."
Orang itu menghela napas. "sepertinya, nyawa seorang teman tidak terlalu berharga di matamu."
"Wait, gue benar-benar nggak—"
"Tembak dia."
Dorr!
Teriakkanku menggelegar di penjuru ruangan. Beriringan dengan letusan peluru yang dalam satu sekon langsung menghantam tubuh seseorang. Bukan Anya. Aku tidak tahu siapa karena wajahnya tak terlihat. Tapi siapapun itu, nyawanya langsung raib dalam satu kali tembakkan. Ia jatuh ke tanah dan membentuk genangan kecil dengan darahnya sendiri.
Kepala dan mataku langsung memanas saat itu juga. Sementara tubuhku benar-benar terasa semakin dingin. Napasku dicekat di tengah tenggorokan oleh rasa takut yang mulai tak lagi mampu dihalau. Aku merasakan tremor menyerang setiap inci kulitku sementara si pemimpin ninja kembali berbicara, dengan nada suara yang semakin dingin.
"Saya harap itu sudah cukup mahal untukmu, Nak. Ya, nyawa manusia bukankah memang terlalu mahal untuk kesetiaan yang kalian berikan secara cuma-cuma untuk negara? Hari ini, negara membuatmu mengorbankan temanmu. Bagaimana jika besok kau harus mengorbankan keluargamu? Bagaimana jika besok giliran nyawamu sendiri sebagai bayarannya? Apa kau masih akan setia, Aurora Bhayangkari?"
Lidahku terlalu kelu untuk menjawab. Aku bahkan terlalu takut untuk menoleh menghadapnya. Seseorang ... seseorang mati karenaku! Aku masih tidak bisa percaya. Rasanya ini seperti mimpi. Oh kuharap ini benar-benar mimpi. Namun, melihat mayat itu dengan mata kepalaku sendiri, setelah sebelumnya tertembak dan mati tepat di hadapanku, aku bahkan tidak bisa berkedip. Apalagi mempercayai bahwa semua ini mimpi.
"Aurora Bhayangkari, misi apa yang diberikan Hendrik Tahir kepada dua murid Bawah Tanah pada dua puluh empat Februari 2019? Siapa murid yang menerima beasiswa itu? Katakan."
"Gue ... nggak tahu," bisikku.
"Apa nyawanya masih cukup murah untukmu, Nak?"
"YA!" Aku berteriak. Nyaris membuatku kehabisan suara. Akhirnya, aku bisa menatap wajahnya yang tertutup itu, meski dengan air mata yang tak kumaksudkan mengaliri pipiku. Meski dengan tremor hebat yang menyerang tubuhku. Aku memang gentar, tapi aku tidak bisa menyerah.
"Ya," kataku lagi hampir terisak, "kalian benar. Negara meminta pengabdian yang terlalu mahal. Tapi, seenggaknya apa yang kami korbankan jauh lebih terhormat dibanding jadi pengkhianat! Kami berkorban dan berjuang, kami jatuh, lalu berguguran, tapi nama kami bersih! Seenggaknya bukan kami yang menghancurkan negara sendiri! So, ya. Dibanding mengorbankan nasib bangsa dan nasib kami sendiri, kami jauh lebih murah. Lo bunuh gue sekarang. Seenggaknya, gue mati dengan tahu bahwa lo nggak dapat apapun dari gue. Seenggaknya gue tahu kalau hari ini usaha lo sia-sia!"
Aku benar-benar tak berdaya. Aku hanya anak SMA. Aku tidak tahu harus bagaimana. Apa yang kulakukan mungkin akan salah. Namun, setidaknya aku tidak salah di mata negara. Iya, kan? Meski tak sampai tersedu, air mataku tetap tak bisa berhenti keluar. Aku ingin seseorang meyakinkanku bahwa saat ini aku sudah benar.
Aku tahu, aku tahu apa yang dikatakan orang sialan berbaju hitam di depanku ini benar. Nyawa seseorang apalagi keluarga itu harga yang terlalu mahal. Ini yang menyebabkanku ingin mundur segera dari dunia ini. Namun sepertinya sudah terlambat. Aku sudah basah kuyup. Aku menatap Anya. Hanya ia yang bisa kupandang dan langsung memberikanku sedikit tenang. Setidaknya aku basah kuyup bersama Anya. Setidaknya aku tidak sendiri.
"Saya memang sudah menduga kau tidak akan mudah ditaklukkan," ucap orang itu. "Tapi bagaimana dengan teman-temanmu? Apakah mereka sama satu tekad denganmu?"
Pertanyaan itu membuatku kembali tercenung. Aku mungkin sanggup sok berani di sini. Tapi apa yang lain bisa sok berani seperti aku? Aku ragu semua dari kami bisa begitu. Meski kukatakan nyawa kami jauh lebih murah dari nasib bangsa yang kami genggam di tangan, tapi nyawa tetap jauh lebih mahal bagi pemiliknya masing-masing. Aku pun tak akan bisa sepasrah itu menyerahkan nyawaku.
Kendati demikian, tetap kukatakan, "tanyakan pada mereka. Gue yakin nggak ada satupun dari mereka yang sudi bantuin sampah kayak lo!"
Orang itu pun berkata, "buka penutup kepala mereka semua!"
Jantungku langsung berdebar seperti akan meledak. Bagaimana jika aku salah?"
Semua ninja jahat ini menodongkan pistol ke setiap kepala dari kami. Termasuk kepalaku yang ditodongkan pistol oleh si pemimpin. Beberapa orang merengek panik, beberapa lagi sudah mulai menangis.
"Siapapun yang bersedia bicara akan dibebaskan dengan selamat. Dalam hitungan ketiga, semua yang menolak patuh akan mati. SATU!"
napasku mulai memburu. Mataku menyapu setiap wajah ketakutan teman-temanku. Belum ada yang berani membelot. Tapi ketakutan dalam wajah mereka membuatku tahu bahwa ada sedikit motivasi di dalam diri mereka untuk melakukan itu.
Aku ingin memadamkannya.
"Kita mati bukan sebagai pengecut!" Aku mencoba mengatakan itu sekeras mungkin agar semua mendengar. "Seenggaknya, kita melunasi tugas kita. Jika hari ini kita mati, maka kita mati terhormat."
"DUA!"
Bulir-bulir keringat membanjiri dahiku. Aku sungguh takut ada dari mereka yang memilih untuk menuruti para ninja sialan itu.
"Kalian nggak perlu dengerin omongan pecundang kayak dia. Ingat pengorbanan dari kita akan melindungi bangsa dari parasit kayak mereka! Ingat kita di sini untuk melindungi negeri. Ingat semboyan kita—"
"TIGA!"
Aku menutup mataku.
"Askara Chaya Paksa ...."
Kemudian, tembakan meletus di mana-mana. Dari setiap moncong pistol tepat di depan kepala kami. Tepat di depan kepalaku. Dalam dua detik setelah itu, aku pun mati.
"Akcaya."
Aku menarik napas sedalam-dalamnya. Tunggu, aku masih hidup?
Aku mengangkat kepalaku. Rasanya energiku sudah benar-benar habis terkuras sampai tak mampu lagi untuk terkejut begitu melihat wajah familier manakala orang itu membuka kain penutup wajahnya.
"Kak Cempaka?"
"Pidato menjelang kematian yang bagus, Aurora."
Kak Cempaka mengeluarkan pisau lipat dari balik pakaiannya, yang kemudian ia pakaikan untuk membuka tali yang mengikatku. Ia membantuku berdiri. Lalu gadis berambut Bob itu menatapku sambil tersenyum dengan penuh kebanggaan.
Otakku masih macet setelah di serang badai ketakutan hebat untuk mencerna apa yang tengah terjadi. Saat aku melirik Anya pun, tampaknya ia juga sama bingungnya. Jadi ini tidak sungguhan? Tunggu, tapi tadi mereka menembak mati seseorang!
Dengan panik aku menoleh ke arah mayat tadi. Luar biasanya, mayat orang yang tadinya tergeletak dengan banjiran darah itu kini berdiri dengan segar bugar dan tengah berjalan seraya tersenyum menuju arahku. Mayat itu adalah Zero.
"Setelah latihan menembak kemarin, saya terkejut kamu masih tidak bisa membedakan mana darah asli dan mana yang palsu."
"What?!"
"Simpan pertanyaanmu. Sekarang berkumpul di aula!"
Kak Cempaka dan para ninja-ninjaan itu menggiring kami keluar dari ruangan itu. Begitu aku menginjakkan kakiku di luar ruangan, aku melihat ruangan lainnya yang lebih luas. Dikelilingi oleh empat ruangan lain dari berbagai sisi. Anak-anak lainnya keluar dari ruangan itu beriringan dengan sekelompok ninja gadungan yang menculik mereka.
"Jadi ini rekayasa lainnya?" Aku berbisik pada Anya.
"Nggak tahu," gumam Anya tak bertenaga. "Gue benar-benar ngira kita bakalan mati."
Kami berbaris di aula. Kak Cempaka berdiri di depan bersama Zero dan ninja-ninja lain yang ternyata merupakan anggota dewan. Seribu persen yakin yang tadi itu adalah ujian ekstrim lainnya. Aku mengusap bekas-bekas air mata di pipiku. Kesal, lega, bingung dan takut bercampur aduk. Rasanya aku ingin mencincang siapapun yang membuat sistem ujian seperti ini. Habis sudah air mataku terbuang dengan sia-sia. Tak berguna juga aku pidato sok berani seperti tadi.
"Selamat kepada seluruh angkatan 2019 yang berada di aula ini, kalian telah lulus ujian terakhir dan secara resmi telah memenuhi syarat untuk menjalankan misi mendatang!" seru Kak Cempaka dengan kebanggaan yang luar biasa.
Serentak setelah itu riuh tepuk tangan dari para dewan komite memenuhi ruangan. Kami meneladaninya tanpa tenaga. Jujur, usaha Kak Cempaka untuk membuat suasana setelah drama penculikan, lalu penembakan menjadi haru biru itu gagal total. Kami tidak ada terharunya sama sekali. Aku bahkan masih mengalami tremor.
"Besok adalah hari terakhir kalian sebagai murid biasa. Setelah hari esok, secara resmi kalian akan menjadi murid agen. Ingatlah, bahwa sebagai agen, kita memegang tanggung jawab yang besar! Setiap langkah kita akan menentukan nasib bangsa. Maka ingatlah hari ini di setiap misi kalian. Ingatlah bahwa kalian pernah ditodongkan senjata, kalian pernah hampir mati, ingat patriotisme kalian pada hari ini setiap kali kalian mengalaminya lagi di masa depan. Selalu ingat, tugas kita sebagai pelindung bangsa. Ingat semboyan kita,
"Askara Chaya Paksa!"
"Akcaya!"
Setelahnya, kami dibubarkan. Aku baru hendak mengikuti orang-orang berjalan keluar ketika Anya tiba-tiba menarik lenganku.
Mengatakan, "Jujur, kalau lo nggak ngomong panjang lebar kayak tadi, gue mungkin akan ngacungin tangan dan jadi pengecut egois. Ra, gue ... mungkin punya tekad untuk jadi mata-mata. Tapi gue nggak punya keberanian gila kayak lo. Gue butuh lo, Ra. Setelah yang tadi itu, lo yakin masih mau mundur dari Bawah Tanah? Nggak bisakah lo berkorban untuk gue?"
Aku menatap Anya gamang. Perasaan bersalah menyelimuti batinku ketika dengan terpaksa kulepaskan genggaman Anya. Membuat gadis itu menatapku kian kecewa. Maaf Anya, tapi setelah apa yang kita lalui tadi, aku semakin yakin untuk meninggalkan dunia mata-mata.
Aku tidak bisa berkorban lebih banyak lagi.
...
Setelah malam yang menegangkan itu, Bawah tanah di selimuti suasana baru. Suasana tegang yang baru. Pagi-pagi sekali kami dikumpulkan di aula. Kali ini, di atas podium tidak hanya ada para guru yang berjejer rapi. Ada tambahan layar monitor besar yang muncul dari langit-langit. Kelihatannya akan ada sebuah pengumuman. Ketua apel yang kali ini dengan spesial diisi oleh ketua dewan galak kami alias Kak Cempaka tidak membubarkan kami begitu selesai seperti biasanya. Alih-alih, ia memerintahkan kami semua untuk istirahat di tempat. Sejak itu suasana di aula mulai hening.
Pak Hendrik sang kepala sekolah maju ke depan mikrofon. "Selamat pagi seluruh siswa Bawah Tanah yang saya banggakan!"
"Pagi!" kami semua serentak menjawab. Tak lupa mengubah gerakan ke sikap sempurna sebelum kembali menaruh tangan di belakang pinggang.
"Hari ini kalian akan melihat hasil akumulasi nilai akhir. Seperti yang telah dijanjikan, sepuluh murid dengan nilai tertinggi akan dipilih sebagai pemimpin misi, dan setiap pemimpin misi akan memiliki peluang lebih besar untuk menjadi murid terbaik. Jadi bersiaplah. Ingat! Hasil yang kalian dapat bukanlah hasil akhir, tapi awal baru untuk berjuang menjadi lebih baik."
Seperti biasa, senyum karismatik menjadi penutup di akhir pidatonya. Pak Hendrik benar-benar memancarkan aura berbeda ketika berbicara di depan umum. Ia seperti memang terlahir untuk itu. Aku mengaguminya.
"Tunjukkan hasilnya!"
Tidak pakai suara tabuhan, tidak pakai lampu kedap-kedip, tidak dilambat-lambatkan agar semakin menegangkan, layar monitor langsung menunjukkan hasilnya. Kami bahkan tidak sempat degdegan. Semua tertera di layar itu dalam sekali kedipan. Mau tahu nama yang berada di urutan pertama? Untung saja aku tidak mengira itu namaku, jadi aku tidak kecewa. Nama yang tertulis paling atas, tidak lain dan tidak bukan adalah Faradita Anya.
Anya berdiri tepat di depanku. Jadi aku tidak tahu bagaimana ekspresi bahagianya setelah sekian lama berjuang keras, akhirnya anak itu mendapatkan keinginannya; menjadi nomor satu.
Tiga urutan berikutnya diisi oleh anak kelas lain. Aku menemukan nama Adam pada urutan empat, lalu aku di urutan sepuluh. Ya, dengan semua insiden yang pernah melibatkanku, tidak mungkin aku jadi nomor satu. Velidsa berada tepat di bawahku, di urutan sebelas. Alto dan Ririn bersebalahan di urutan tiga belas dan empat belas. Di paling bawah ada Aren, pasti karena insiden penembakan kemarin silam.
Layar kemudian hanya menunjukkan nama-nama sepuluh besar. Mulai dari Anya hingga namaku. Diurutkan dari kiri, diikuti dengan nama-nama anak lain di bawah nama-nama kami.
"Ini adalah kelompok untuk misi kalian," kata Pak Hendrik. Bola mataku hampir keluar mendengarnya.
Sial! Tepat di bawah namaku, ada nama Velidsa, Alto, Ririn, dan Riana. Abaikan yang terakhir karena aku tidak kenal siapa dia. Tapi lihat tiga nama itu. Tiga nama dari orang-orang paling aneh sedunia yang pernah kutemui. Yang dua berperilaku hiperaktif dan gila, yang satu memang dari sananya tidak waras. Betapa kacaunya! Sebenarnya, Alto dan Ririn masih lumayan. Tapi Velidsa! Kenapa harus dengan orang yang hampir membunuhku!
Aku ingin protes. Sayangnya, bisa dengan mudah dipastikan Pak Frans akan langsung datang dan menamparku bulak-balik jika aku berani. Sudah hanya dapat peringkat sepuluh, berani protes pula, pasti begitulah isi hati beliau. Alhasil, aku berpasrah diri ketika pada akhirnya Pak Sukma memanggil kelompokku ke ruangannya. Ia membagikan masing-masing dari kami satu file coklat muda.
"Itu berkas misi kalian," katanya. "Bukalah."
Di dalam file itu, ada beberapa foto pasar tradisional, serta beberapa dokumen biodata orang-orang yang tidak kami kenal. Dokumen pertama tentang seorang perempuan berkulit sawo matang, berkuncir kuda, dan bermuka sengak bernama Siti Marni Nurhayati. Seumuran denganku dan tercatat tidak memiliki wali, tidak sekolah, tampaknya berasal dari jalanan, dan diduga menjadi pengedar narkoba di pasar Semanggi di sudut barat kota Bandung. Dokumen berikutnya menunjukkan foto pria pertengahan dua puluhan yang memiliki tubuh agak ceking. Namanya Mario Galah, bekerja sebagai penjual ayam potong di pasar Semanggi. Diduga sebagai penjual narkoba.
"Saat ini kami hanya punya dua orang ini yang dicurigai melakukan transaksi ilegal, diduga pengedaran obat terlarang jenis sabu-sabu dan ganja. Lihat denah ini."
Aku menyingkirkan dokumen biodata dua orang tadi dan beralih pada cetak biru pasar yang juga memuat denah pemukiman di sekitarnya.
"Pelajari denah ini. Terutama pada bagian pasar dan gang-gang kecil di sekitarnya. Ada kemungkinan jaringan ini bukan hanya jaringan kecil, tapi melibatkan warga setempat juga. Lihat dokumen berikutnya."
Dokumen paling bawah adalah dokumen biodata dengan fotoku sendiri, namun memiliki nama yang berbeda.
"Ini file karakter kalian," jelas Pak Sukma. "Pelajari dokumen itu. Kalian memiliki peran masing-masing, tapi tugas kalian semua sama: mencari bukti peredaran obat terlarang dan seberapa luas jaringan Bandar ini. Di sana kami sudah menempatkan agen pemerintah yang akan mengawasi kalian. Kalian akan tahu yang mana ketika sudah berada di sana. Mengerti?"
"Siapa mengerti!" Kami menjawab serentak. Kemudian mata Pak Sukma beralih padaku.
"Aurora, sebagai pemimpin misi, tugasmu adalah memimpin, mengarahkan, membuat rencana, dan mengontrol misi agar berjalan lancar. Mengerti?"
Aku menjawab lantang. "Siap mengerti!"
"Bagus. Ingat! Ini adalah kerja tim. Apapun yang kalian lakukan harus berdasarkan kesepakatan tim dan pemimpin misi. Bukan berarti kalian tidak bisa berimprovisasi, tapi, pikirkan baik-baik dampak dari semua keputusan kalian. Kami akan tetap mengawasi kali dari sini, tapi kami tidak akan ikut campur. Tidak ada bantuan, kalian akan sepenuhnya sendirian. Jadi, perhatikan setiap tindakan, setiap langkah, jika gagal, kalian akan otomatis gugur sebagai salah satu kandidat murid terbaik. Mengerti?"
"Siap mengerti!"
"Ada yang mau ditanyakan?"
Alto mengacungkan tangannya. "Izin bertanya, Pak."
"Silahkan."
"Berapa lama waktu kami untuk menyelesaikan misi ini, Pak?"
"Satu Minggu. Jika dalam satu Minggu kalian belum menyelesaikannya, maka misi akan dikembalikan pada agen pemerintah dan kalian dianggap gagal. Ada lagi?"
Kami semua terdiam.
"Siap tidak!" jawabku kemudian.
"Kalau begitu satu hal lagi," segaris senyum terulas di bibir Pak Sukma. Senyum bersemangat, seolah-olah ia telah menunggu waktu untuk mengatakan, "Kalian bisa memilih kode nama kalian sekarang."
...
Jalanan yang tak rata membuat truk pengangkut barang yang kutumpangi bergejolak. Berulang kali badanku bersenggolan keras dengan badan truk juga muatannya yang berupa berbagai furnitur kayu. Aku harus ekstra berpegangan juga ekstra menahan sabar. Numpang di bagian belakang truk memang bukan cara datang yang elit. Bukan juga seperti yang kuharapkan. Di mana sebelumnya aku pikir aku akan naik mobil bagus dan turun dari sana dengan bergaya, sementara orang-orang memperhatikanku dengan tatapan iri dengki mereka.
Nyatanya, truk reot ini yang menjadi kendaraanku. Tidak masalah. Setidaknya, aku pakai baju mahal dan keren, memegang iPhone seri terbaru beserta penyuara telinganya yang tidak akan pernah bisa kubeli seumur hidupku jika hanya mengandalkan warisan ayah.
"Aw!" erangku spontan. Entah truk reot sialan ini bersinggungan dengan lubang jalan sedalam apa, yang jelas, gejolak tadi itu membuat pantatku yang kepanasan duduk di atas besi ini semakin menderita. Aku benar-benar ingin segera turun. Namun, tampaknya Pasar Semanggi masih harus membuat truk ini berjalan beberapa meter ke depan, yang artinya aku harus menderitanya lebih lama lagi.
"Aurora, kau tidak papa?" aku sempat terkejut mendengar suara Pak Sukma di penyuara telinga. Terlalu tiba-tiba ia menanyakan keadaanku. Mungkin karena erangan spontanku tadi.
"Saya baik-baik saja, Pak. Tadi truknya melewati kubangan," jelasku. Well, sebenarnya aku ingin bilang bahwa aku 'tidak' tidak papa, truknya bergoyang ke sana-kemari, pantatku kepanasan, dan kulitku yang mulus ini sedang mengalami proses pemanggangan oleh matahari yang kelewat teriknya. Aneh sekali, seingatku Bandung itu cukup dingin bila dibanding dengan Jakarta, tapi tampaknya sama saja.
"Oke, kau hampir sampai. Ingat, karaktermu sebagai Isabel Geraldine, anak orang kaya nakal yang kabur dari rumah. Berkamuflaselah sebaik mungkin. Jangan sampai sebutkan nama asli di depan target."
"Siap, mengerti!"
"Kau sudah sampai?"
"Sebentar lagi, Pak," jawabku. Pasar Semanggi masih beberapa meter di depan.
"Baiklah, mulai sekarang kau yang memimpin misi ini."
"Siap laksanakan!" aku mengamati bagian depan pasar yang mulai terlihat. Berdeham sejenak sebelum kembali melanjutkan. "Operasi satu oleh regu sepuluh. Kepada seluruh anggota harap konfirmasi kondisi."
Tak lama terdengar suara Alto berkata, "Siap! Griffin. Posisi, stand by. Siap bertugas!"
"Fox. Posisi, stand by. Siap bertugas!" sahut Velidsa setelahnya.
Kemudian Riana, si perempuan berwajah manis dan berkulit sawo matang dari kelas sebelah yang baru kukenal kemarin sore turut menanggapi. "Virgo. Posisi, stand by. Siap bertugas!"
"Rose?"
Ririn sebagai yang terakhir merespon. "Rose. Posisi, stand by. Siap bertugas!"
Lalu, aku sebagai penutup. "Nemesis. Posisi, stand by. Siap bertugas! Konfirmasi selesai. Operasi satu oleh regu sepuluh, siap dimulai!"
"Semoga berhasil." Pak Sukma sebagai kata-kata terakhirnya sebelum sambungan dengannya terputus.
Truk pengangkut barang yang kutumpangi berhenti. Aku melompat turun. Mengamati Pasar Semanggi yang kini berada tepat di depan mataku. Usai enam bulan kami dididik dan ditempa menjadi prajurit cerdas, ini adalah perhentian pertama dari semua petualangan yang pernah kami lalui. Ini adalah tujuan pertama kami. Aku pun mengambil langkah pertamaku.
"Oke, waktunya jadi mata-mata sungguhan."
__________
Catatan Penulis
•
Hello! Aku back lagi uhuuuy 🥳
Cuma mau bilang selamat membaca (◍•ᴗ•◍)❤ kalau suka boleh pencet tombol 🌟 kritik dan saran cuss di komen.
Sampai jumpa di bab berikutnya 👋🏻
•
__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top