36. Peluru Misterius
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
"Siap, mulai!"
Aba-aba dari Pak Sukma menjadi titik Patokan aksi Zero, Katrina dan Sirin dalam simulasi latihan yang sedang ditampilkan di hadapan kami semua. Katrina dan Sirin dihadapkan satu sama lain dengan mengenakan rompi pelindung. Di depan mereka terdapat masing-masing satu buah pistol beserta dengan selusin peluru karet yang belum terpasang. Dalam simulasi ini, Katrina dan Sirin harus melakukan adu cepat memasukkan peluru ke dalam pistol dan menembak. Orang dengan peluru pertama yang mengenai lawan lah yang menang.
Dorr!
Kedua pistol menyentak secara bersamaan. Menciptakan suara tembakan yang lumayan keras. Kami terkesiap manakala melihat noda cat merah di rompi keduanya. Dua-duanya mengenai tepat di bagian perut target.
"Kalian lihat peluru siapa yang sampai duluan?" tanya Pak Sukma, namun kami tidak perlu menjawabnya karena beliau dengan segera menunjuk Katrina. "Punya Katrina yang sampai duluan."
Katrina meniup ujung moncong pistolnya yang tak berasap. Menghadap kami dengan senyum pongahnya. Tak lupa ia melakukan selebrasi kecil dengan memukul udara. Sirin seperti biasa selalu menjadi sosok yang tenang. Dia tersenyum dan maju ke depan. Terlentang di tanah sementara Zero menghampirinya.
"Ini adalah simulasi pertolongan pertama pada luka tembak," tutur Zero seraya berjongkok di samping Sirin. "Saya yakin kalian pasti sudah belajar teorinya. Tapi tetap perhatikan setiap gerakan saya. Pertolongan pertama menentukan seberapa lama korban bisa bertahan selagi menunggu pertolongan medis yang lebih serius. Pertama-tama, pastikan keadaan sekitar sudah aman."
Kami memperhatikan dengan seksama. Zero membuat gestur gerakan waspada seraya menoleh kesana-kemari seolah-olah tengah berada dalam situasi yang sungguhan. Tak lama ia menambahkan dengan mengatakan jika kami berada di tengah-tengah situasi konflik senjata, maka kami harus memastikan untuk membawa korban tembak menepi atau pergi ke tempat aman secepat mungkin. Kemudian baringkan korban di tanah. Zero juga menekankan untuk jangan panik dan tetap tenang.
"Periksa denyut nadi dan napas korban. Jika korban mengalami henti napas dan Jantungnya berhenti berdetak, lakukan teknik CPR*. Kalian semua sudah belajar prosedur melakukan CPR 'kan?"
Kami serentak menjawab, "siap, iya!"
Kami di ajari teknis CPR dalam pelajaran biologi dan beberapa kali mempraktekkan di kelas.
"Bagus," tanggap Zero, "jika masih berdetak, maka tugas kalian adalah mempertahankan denyutnya selama mungkin. Periksa di mana luka tembak berada. Jika berada pada area fatal seperti bagian dada, cepat-cepat hentikan pendarahannya. Kali ini contoh luka tembak pada bagian perut. Yang pertama yang harus kalian lakukan dalam mengatasi pendarahan adalah balut lukanya dengan kain."
Zero melepas kaus olahraganya dan menekankannya pada perut Sirin. Tindakan lepas bajunya itu membuat beberapa dari kami heboh sejenak. Diam-diam aku salah fokus akan bentuk tubuhnya. Ternyata lumayan atletis.
"Biasanya, dalam misi kita tidak membawa alat-alat medis. Jika tidak punya kain kasa, robek atau lepas baju kalian lalu balut dan tekan pada luka yang terbuka untuk menghentikan pendarahan. Pastikan kalian menekan dengan area kain yang bersih. Yang kedua, posisikan luka lebih tinggi dari jantung."
Zero meletakkan tangannya di bagian pinggang bawah Sirin dan mengangkatnya. Ia lalu menyangganya dengan pahanya, memastikan posisinya lebih tinggi daripada jantung.
"Ini akan memperlambat aliran darah dan membantu menghentikan pendarahan. Terakhir, hal yang paling penting. Jika korban masih sadar, berusahalah untuk menenangkan mereka. Semakin tenang kalian dan korban, maka presentase selamat akan semakin tinggi. Ingat! Luka tembak adalah luka yang dapat mengancam nyawa. Karena itu kalian harus benar-benar hati-hati dalam memberikan pertolongan pertama. Mengerti?"
"Siap, mengerti!"
Zero dan Sirin bangkit dan menyudahi demo mereka. Keduanya kemudian berkumpul bersama Katrina di sisi lapangan. Pak Sukma maju ke depan dan mengambil alih. Ia tersenyum pada ketiga murid senior itu dan memberikan tepuk tangan yang diteladani oleh kami kemudian.
"Terimakasih atas demo yang luar biasa Dari tiga kakak kelas kalian. Saya harap sampai sini kalian sudah paham. Jika saat misi kalian mengalami situasi ini, ingat untuk jangan panik, lakukan pertolongan pertama dengan benar dan cepat-cepat cari pertolongan medis," ujar Pak Sukma mengawali pidatonya. "Untuk latihan kali ini, kami akan menguji kalian soal kecakapan menggunakan senjata api dan melakukan tindakan medis. Kalian telah belajar selama kurang lebih enam bulan, saya harap kalian semua dapat menunjukkan kemampuan kalian dengan baik.
"Latihan kali ini tidak akan jauh berbeda dari latihan sebelumnya. Kita akan berlatih sembari bersenang-senang. Metodenya adalah permainan survival. Saya akan membagi kalian ke dalam beberapa kelompok beranggotakan dua orang. Di setiap kelompok, masing-masing anggota akan memiliki peran sebagai medis dan penyerang. Ingat! Kerja tim kalian juga dinilai dalam latihan ini. Jadi, tidak ada gunanya bersikap egois. Mengerti?"
"Siap, mengerti!"
Pak Sukma kembali melanjutkan penjelasannya. "Setiap kelompok akan di sebar di sekitar area hutan. Tugas para penyerang adalah menggugurkan sebanyak mungkin anggota kelompok lain. Tugas medis adalah melakukan pertolongan pertama pada teman sekelompok kalian yang terluka. Di game survival ini, kalian harus mematuhi dua aturan penting. Pertama, penyerang dilarang menembak anggota medis dari tim lain. Kedua, kelompok yang gugur dilarang berpindah tempat. Kami akan mengecek kalian satu persatu untuk menilai hasil pertolongan pertama kalian. Tim yang bertahan sampai akhir akan mendapatkan nilai tertinggi untuk latihan kali ini. Sepuluh murid dengan nilai perolehan nilai tertinggi di akhir masa pelatihan akan memiliki kesempatan untuk direkomendasikan sebagai pemimpin kelompok di misi mendatang. Dan setiap pemimpin misi akan memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi murid terbaik. So, do your best to get the best results."
Senyum Pak Sukma yang lelaki itu kembangkan dihadapan kami semua memang manis tiada tara. Apalagi dengan wajah tampannya yang dihiasi sedikit bulu kasar di dagu. Kendati demikian, kalimat-kalimat terakhirnya yang keluar bersamaan dengan senyumnya itu tidak bisa jadi motivasi yang bagus untuk kami semua. Alih-alih, kami semakin was-was. Hampir semua orang menginginkan posisi murid terbaik. Terutama Anya dan Velidsa. Dan meskipun aku punya tujuanku sendiri dalam misi kali ini, melihat mereka berwajah tegang begitu mau tau mau aku juga jadi ikut merasakan ketegangan yang pekat ini.
"Ingat untuk tidak keluar area yang sudah ditentukan!" kali ini Pak Frans yang berbicara dari sisi lapangan dengan suara tegasnya. "tidak boleh ada yang jauh-jauh dari aliran sungai. Hindari berjalan ke area tebing atau kalian akan di diskualifikasi dan tidak bisa mengikuti misi."
Tambahannya itu membuatku teringat lagi akan kejadian mengerikan ulah manusia jahanam bernama Velidsa beberapa waktu lalu. Spontan aku melirik ke arahnya saat Pak Frans menyinggung soal tebing. Velidsa tampaknya tidak punya masalah dengan itu. Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku terlalu erat. Hingga sengatan perih terasa di area telapak tanganku. Aku menatap anak itu tajam. Kali ini, tidak akan kubiarkan dia melukai seincipun dari tubuhku.
Setelah sesi penjelasan selesai, Pak Sukma membagi kami ke dalam beberapa kelompok. Entah beruntung atau tidak, kali ini aku disatukan dengan Anya. Tidak masalah sebenarnya, tapi bosan sekali selalu bersama dengan anak itu.
"Lo lagi, lo lagi," gumam Anya malas.
Aku mencebik sewot. "Gue juga bosen sama lo!"
"Aku juga bosan sama dia." tiba-tiba terdengar suara Alto dari belakangku. Ketika aku menoleh, aku mendapati lelaki itu dipasangkan dengan Adam.
"Mau tukeran pasangan?" tawarnya.
Aku dan Anya serentak menjawab, "ogah!"
Senyum di wajah Alto menghilang. "Kalian itu aneh ya. Keliatannya bertengkar mulu tapi selalu kompak."
Aku dan Anya mengedikkan bahu tak peduli.
Kami mulai mengambil peralatan masing-masing. Anya sebagai penyerang mengenakan rompi bergaris merah. Aku sebagai medis mengenakan rompi bergaris biru. Tidak ada peralatan medis yang dibawa untuk membuat gambaran praktek medis semakin dekat dengan misi sungguhan. Anya hanya membawa pistol G2 berisi peluru cat air beserta satu set isi ulangnya. Setelah semua lengkap, kami kembali dibariskan lagi.
Pak Frans berjalan menuju ke tengah, berdiri di samping Pak Sukma. Beliau mengangkat sebelah tangannya pertanda siap memulai aba-aba. Sebelah tangan lainnya memegang peluit yang ia selipkan ke bibir.
"Siap ...," seru Pak Sukma. Tak lama kemudian, peluit dari Pak Frans berbunyi nyaring seiring dengan tangannya yang turun ke bawah. "Mulai!"
Kami serentak berlari. Berpencar ke segala arah untuk menjauh satu sama lain. Hal pertama yang harus kami lakukan adalah menemukan tempat persembunyian atau tempat di mana tidak ada tim lain. Setelah semua tim saling berpencar, Pak Sukma dam tiga kakak kelasku yang menyebar di hutan akan menyalakan sirene dari toa sebagai bentuk aba-aba bahwa permainan dimulai.
Aku dan Anya berlari tak menentu arah. Sebenarnya kami tak terlalu memedulikan arah karena Pak Sukma sudah memasang pembatas area, dan lagi, Zero, Katrina serta Sirin turut berjaga di dalam hutan untuk mengarahkan kami. Jadi tersesat bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan saat ini.
Sembari berlari, aku turut memperhatikan sekitar. Pasangan Alto dan Adam berlari ke arah yang berlawanan denganku. Sementara Ririn dan seseorang dari kelas lain yang tak kutahu namanya berlari ke arah yang sama dengan kami, namun berpisah setelah beberapa meter. Aku memperhatikan hampir semua pasangan ke arah mana mereka berlari dan berusaha mengingatnya untuk mempermudah perburuan.
"Stop, kayaknya di sini aman." Aku melihat sekeliling. Tidak ada tim lain di sekitar sini.
Anya ikut berhenti dan mengamati sekitar. Kami hampir dekat ke perbatasan. Aku bisa melihat tali rafia merah yang diikat secara melintang dan bersambungan dari pohon ke pohon dalam beberapa meter. Membentuk pagar pembatas panjang yang mengelilingi area hutan tempat kami melakukan latihan. Di sini sunyi, namun tidak sepenuhnya sunyi. Kami masih dapat mendengar riak air sungai yang kuduga tidak begitu jauh dari area ini.
"Uh, panas gila!" keluh Anya seraya mengusap-usap lengannya yang tidak tertutupi kaus olahraga yang berlengan pendek.
Jarak pohon yang jarang-jarang membuat sinar matahari dapat dengan mudah menembus hutan dan memberikan sengatan yang cukup menganggu. Dedaunan rindang yang menaungi di atas kami tidak menutupi beberapa bagian hutan.
Anya mengokang senjatanya. "Tinggal tunggu sirene 'kan?"
Sesaat setelah dia bertanya, sirene yang ditunggu-tunggu terdengar. Anya segera memosisikan diri dalam keadaan siap menembak.
"Kita ke arah mana dulu?" tanyanya.
Aku menarik lengan Anya agar cewek itu mengikutiku. Aku sempat lihat tim lain yang entah siapa berlari ke timur. Aku tidak tahu apakah mereka masih di sekitar sana. Tapi layak untuk dicari tahu.
Sebagai pembawa senjata, Anya berjalan di depanku. Sementara aku siaga di belakang. Memperhatikan sana-sini. Untungnya, pendengaranku lumayan tajam dan Anya punya tingkat kepekaan yang tinggi. Jadi kalau ada orang yang mengintai kami dari jauh, kami pasti tahu.
Di lima menit pertama kami tidak menemukan siapa-siapa. Tidak ada orang yang mendekat dan tidak ada orang yang kami dekati. Padahal, aku sudah sangat waspada. Saking waspadanya, hutan jadi terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Anya tampaknya mulai ragu dengan petunjuk arah dariku. Ia berbalik, memandangiku dengan skeptis dan bertanya, "lo yakin ini arahnya benar?"
"Yakin!" seruku. "Udah ayo cepat!"
Aku mendorong tubuhnya agar kembali berjalan. Namun Anya tetap diam di tempatnya dengan tatapan menyebalkan itu. Aku mendesis gemas. "Ay, lo kagak percaya sama intuisi orang se-jenius gue?"
"Cih." Anya akhirnya mengalah. "Awas aja kalau sala—"
Anya tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia berbalik dengan terburu seolah ada tangan tak kasat mata yang menyentuh punggungnya. Ternyata, tangan tak kasat mata itu berasal dari radar kepekaan luar biasa miliknya yang menangkap intensitas dua orang mangsa. Jauh di depan kami, terdapat dua orang tengah mengendap-ngendap menuju arah barat. Tampaknya belum menyadari keberadaan kami.
Dengan tanpa suara, Anya mengarahkan moncong pistolnya ke arah si penyerang laki-laki berompi merah. Ia menarik napas dalam, sebelum akhirnya menarik pemicu pistolnya. Suara tembakan terdengar beriringan dengan desing peluru bulat berisi cat air yang meluncur cepat menghantam ....
Pohon?
Aku menganga tak percaya.
"Bego!" desisku kesal. Segera kutarik Anya untuk bersembunyi di balik pohon terdekat manakala si lelaki yang terkejut di depan sana mengarahkan pistolnya dengan siaga ke arah kami.
"Hei! Siapa di sana?!"
Aku memejamkam mata akan kekacauan ini.
"Kok nggak kena?" Bisikku dengan gigi bergemeretak akibat kesal.
"Nggak tahu!" seru Anya, ikutan kesal. "Harusnya kena. Jaraknya kejauhan."
Kami diam sejenak. Anya yang bersandar pada batang pohon memberiku tatapan "kita harus apa sekarang?". Aku yang berdiri di depan Anya berusaha mengintip ke balik pohon. Anya mengikuti gerakanku dengan ekor matanya. Kentara sekali ketegangan dalam ekspresi wajahnya.
Aku mengintip sedikit dan langsung menarik kepalaku. Anya memandangiku dengan mata penasaran.
"Gimana?"
"Orangnya datang ke sini."
"Bagus. Gue bisa tembak dia kalau jaraknya makin dekat."
Anya berancang-ancang keluar dari persembunyian kami. Aku segera menahannya.
"Tunggu dia lebih dekat lagi sedikit," kataku. Lelaki itu tampaknya belum menemukan keberadaan kami. Dia berjalan dengan perlahan sekali. Posisi tubuhnya sangat waspada seraya melihat ke berbagai arah.
Anya membalikkan badannya untuk mengintip dari balik pohon. Ia menyiagakan pistolnya memasang arah target.
"Bentar dulu," kataku.
"Iya, bawel!"
Tim di depan masih bergerak dengan waspada. Aku menunggu jarak yang tepat agar tembakkan Anya dapat tepat sasaran. Sialnya, sebelum jaraknya cukup bagus, lelaki penyerang di depan sudah keburu melihat kami. Aku sampai terkejut. Dalam jarak segini, aku tidak tahu apakah Anya dapat tepat sasaran. Namun tidak ada waktu lagi.
"Sekarang!"
Dorr!
"Ah! Sial!" seru si lelaki penyerang.
Mataku membola seketika. Kami sama-sama terkejut. Namun tak butuh waktu lama untuk kami berubah dari terdiam menganga menjadi berteriak heboh hanya karena melihat rompi si lelaki ternodai cat merah. Aku dan Anya sampai berjingkrak-jingkrak dan melakukan adu tos saking senangnya.
"Hei! Beraninya kalian!" seru rekan medisnya tak terima.
"Dih, kok ngamuk? Suruh siapa telat menghindar!" ledek Anya.
Gadis berompi biru mengepalkan tangannya. Dia menatap kami seolah-olah kami adalah kudis di kakinya.
"Tinggalin aja," kataku. Menarik Anya untuk mencari mangsa lain.
Tadinya, kami akan pergi dan meninggalkan dua orang itu dengan tenang dan tentram. Tadinya, tak perlu ada konflik lain yang menyulitkan dan membuat kesal. Ya, itu tadinya. Karena baru dua langkah kami meninggalkan tempat itu, si gadis berompi biru yang tak diragukan lagi punya dendam kesumat itu tiba-tiba saja berteriak.
"Hei! Semuanya! Aurora dan Anya di sini! Tembak mereka jika tidak ingin nilai tertinggi di ambil oleh mereka berdua!"
Aku dan Anya saling pandang. Sejenak, kami menganggap itu sebagai teriakan tak berarti yang datang karena dendam. Mustahil ada yang mendengarnya karena setahuku di sini cukup sepi. Tapi semua berubah ketika datang huru-hara dari arah belakang. Begitu kami menoleh, ada tiga tim yang entah muncul dari mana dan berbondong-bondong mengincar kami seperti orang kelaparan tiga bulan yang melihat ayam goreng. Di antara tiga tim itu, termasuk ke dalamnya adalah tim Alto dan Adam.
"Ay, Ay, tembak Ay!" seruku panik.
Anya sempat kelabakan dengan senjatanya saking terkejutnya melihat mereka. Aku bahkan merasa gadis itu menembakkannya dengan tangan sedikit gemetar. Dan kurasa memang benar. Karena tembakannya meleset.
"Anya!" seruku lagi.
Panik, Anya menarikku untuk kembali berlindung di balik pohon.
"Woy! Beraninya keroyokan!" teriakku. "Alto, curang lu malah ngeroyok gue! Sana nggak?!"
"Iya! Alto lu jangan ikutan! Curang amat malah main keroyokan." Anya ikut-ikutan. Ia mengintip sedikit dari batang pohon dan berusaha menembak. Sayangnya, tembakannya kembali meleset.
"Nggak!" Sahut Alto dari balik pohon lainnya. "Kalian saingan terberat di angkatan ini. Maaf-maaf saja, tapi kami semua sepakat kalian harus kalah dulu!"
Aku ternganga tak percaya. Kesepakatan macam apa itu?! Bisa-bisa ada kesepakatan absurd yang tercipta di antara mereka. Tunggu, jangan bilang ada konsiliasi rahasia yang terjalin di antara semua orang kecuali aku dan Anya. Jangan bilang, sebelum latihan ini dimulai mereka telah lebih dulu saling berkomplot dan menyusun rencana untuk menyingkirkan kami.
"Kabur aja dah!" saranku, yang langsung ditanggapi tatapan membunuh dari Anya.
"What?! Are you kidding me?!"
"Mereka semua kerjasama. Kabur dulu. Kalau keroyokan begini kita nanti kalah!"
Anya terdiam. Tak lama kemudian ia berseru, "ya udah, cabut!"
Kami pun kabur dari sana. Hampir terbirit-birit dengan hujanan peluru cat air dari belakang. Untungnya, tak ada satupun dari mereka yang kemampuan menembaknya se-presisi Kak Sancaka dan Katrina. Hujan peluru itu terbuang sia-sia mengenai tanah dan pohon.
"Woy! Jangan kabur!" teriak Alto dari belakang.
Hal itu tampaknya memacu adrenalin Anya dengan luar biasa karena sesaat setelahnya Anya ikut berseru, "cepetan, Ara!"
"Lu yang cepetan!" kesalku.
Aku mulai mendahului Anya. Cewek itu langsung melotot begitu melihat aku sudah di depan. Ia kemudian mempercepat larinya dan mensejajarkannya denganku. Kami saling menatap sengit.
"Ini bukan waktunya balapan, elah!" serunya.
"Ya, lo yang mulai—"
Aku tidak tahu apakah ada sesuatu di dalam hutan ini yang menolak kehadiranku atau bagaimana, sehingga setiap kali masuk ke dalamnya aku selalu tertimpa sial. Pertama kali, aku didorong orang jatuh ke jurang. Dan kali ini, aku menabrak seseorang, atau seseorang menabrakku. Persetan dengan siapa yang menabrak siapa, yang pasti rasanya sakit saat pelipisku berbenturan dengan kepala orang itu. Belum cukup sampai di sana, kami terjatuh, lalu berguling-guling menuruni tanah yang menurun. Jangan tanya bagaimana sakitnya saat mencapai dasar, punggungku langsung berbenturan dengan batang pohon. Ingin sekali aku menebang pohon itu saking kesalnya.
"ARA!" teriak Anya dari atas. Aku bisa dengar suara langkah kakinya yang ikut menuruni tanah.
Aku masih lemas, tapi rasa kesalku lebih besar. Kuabaikan dengan setengah mati rasa berdenyut yang menyiksa di seluruh tubuhku untuk cepat-cepat berdiri dan meneriaki si orang tak tahu malu yang membuat aku jatuh sampai berguling-guling. Untung di sini sepi. Kalau tidak, mau ditaruh di mana harga diriku nanti.
"Heh!" seruku, pada cewek berkepang dua dan berkaca mata besar. Aku mengernyit heran. "Aren?"
"A-aurora?"
"Lo—"
Aku menahan diri mati-matian untuk membantingnya ke bawah dan menginjak wajahnya dengan sepatu pantofel. Gemas bukan main ingin melakukannya, sebenarnya. Tapi jika kulakukan aku sendiri yang akan repot. Sebagai gantinya kutakut-takuti saja ia dengan pura-pura berlagak hendak memukulnya. Tapi, ternyata anak itu sungguhan takut. Entah itu bagian dari spontanitas atau memang sengaja, Aren dengan teriakkan paniknya langsung menodongkan pistolnya padaku. Membuat aku membeku dan Anya bersiaga.
Anya yang berada di belakang Aren mengokang peluru dan meletakkan moncong pistolnya tepat di belakang kepala gadis itu. Membuat Aren ikut membeku. Nampak sekali di wajahnya bahwa nyalinya kecil.
"Jatuhin pistol lo atau gue tembak," ancam Anya dingin.
Aku melihat ketakutan dalam manik mata Aren. Dia memang belum memindahkan arah moncong pistolnya, tapi tangannya bukan main bergetar. Anak itu bergumam entah apa selama beberapa saat. Seakan-akan tengah berdebat dengan dirinya sendiri. Aku mengerutkan dahi melihatnya. Anya juga. Namun sebelum otak kami berhasil tersinkronisasi dengan tingkahnya, Aren dengan gerakan yang tiba-tiba berputar menghadap Anya dan ikut menodongkan pistolnya meski dengan tubuh bergetar.
"Nggak!" serunya. "Ka-kamu kemarin nembak aku. Sekarang giliranku nembak kamu!"
Dia masih dendam rupanya.
Anya tersenyum miring. Ia berkata, "mau taruhan peluru siapa yang bakal nyampe duluan?"
"Wait!" sela-ku saat itu juga.
Buru-buru aku memisahkan keduanya. Berdiri di antara mereka seperti tokoh utama wanita sok berani dalam drama yang menjadi tameng peluru di antara dua orang yang tengah beradu senjata. Tindakanku ini agaknya menimbulkan tanya di benak Anya. Karena anak itu dengan tanpa bebannya mengetuk-ngetuk punggungku dengan ujung pistolnya. Dia mungkin punya otak yang tua sampai dengan begitu cepatnya melupakan kalau punggungku yang ia pukul-pukul dengan ujung pistol itu baru saja berbenturan dengan kerasnya batang pohon.
"Ara, minggir," katanya.
"Anya, diam!"
"Ya, lo minggir makanya!"
Aku mengabaikannya dan kembali fokus pada Aren. "Ren, lo sama siapa? Kok lo sendirian?"
"Bo-boleh!" kata Aren. "Kita buktiin peluru siapa yang sampai duluan."
Aku terpaku. Apa dia baru saja mengabaikan aku?
"Aurora, minggir," kata Anya lagi.
Aku berdecak kesal. Tidak bisakah mereka menunggu sebentar saja. Aku merasakan hal yang tidak enak.
Aku mendengar sesuatu.
"Aurora."
"Ay, bentar dulu. Ada yang datang."
Aku melihat sekitar. Aku mendengar suara langkah kaki. Aku mendengar suara daun kering terinjak. Ada seseorang di sekitar kami. Entah jauh atau dekat. Aku memang bisa mendengarnya, tapi aku tidak bisa memperkirakan jaraknya.
Anya berdecak. Sepertinya ia tidak peduli. "Terserah lo. Lagian gue masih bisa nembak meski lo diam di situ."
Cewek keras kepala itu kemudian kembali mengangkat moncong senjatanya. Membuat Aren megap-megap ketakutan, namun tetap melakukan hal yang sama.
"Anya, diam dulu bisa nggak?!" bentakku.
Jantungku berpacu kencang. Bukan tanpa alasan. Bukan hanya karena aku tahu ada orang lain di sekitar kami. Melainkan, karena aku bisa mendengarnya, sesuatu yang selain langkah kaki.
"Aurora, gue bilang minggir!"
Aku bisa mendengar orang lain mengokang senjata.
"Ara!"
"Anya! Ada yang mau nembak—"
Dorr!
Napasku tercekat sedalam-dalamnya. Wajahku memias dilibas ketakutan yang hebat. Aku bahkan tak sanggup berteriak. Suaraku menghilang dibawa gamang.
"Ara ...."
Terlalu cepat, boleh kukatakan demikian. Waktu bahkan tidak terasa bergerak. Angin tidak terasa berhembus. Suara-suara dengan cepat tersekat oleh dinding kekalutan. Manakala peluru itu, peluru yang sungguhan itu, melibas udara dengan kecepatan yang tak mampu terkira. Meluncur tanpa mampu tertahan menembus pundak kanan Aren. Menciptakan noda merah yang perlahan menyebar di kaus olahraganya. Lalu mengalir hingga ke lengan bawah.
Aku, Aren dan Anya terpaku seketika. Seakan-akan waktu benar-benar berhenti dalam detik-detik itu. Aku baru bisa menarik napasku dengan berat ketika Aren mulai ambruk ke tanah. Lantas aku langsung menoleh ke belakang. Ke arah peluru itu datang.
"Bukan gue. Sumpah demi apapun bukan gue," kata Anya dengan wajah pucat. "Gue belum nembak."
"Gue tahu," kataku. "Ada orang, Anya. Gue bilang ada orang lain!"
Panik semerta-merta menyerangku. Napasku menjadi satu-satu. Aku berjalan cepat ke arah datangnya peluru. Mencoba menemukan pelaku penembakkan. Anya mengikutiku dengan masih sama paniknya. Kami menangkap siluet seseorang berlari. Sudah jauh. Tidak terlihat pakaiannya. Tidak terlihat rupanya.
"Hei!" seru Anya. Spontan berlari mengejar.
Aku masih terlalu lemas untuk menyusul. Terlebih kudengar Aren kini merintih kesakitan. Kuputuskan untuk kembali menghampirinya. Darahnya sudah membentuk genangan kecil di tanah. Tubuhku langsung bergetar.
"Oh, no. Oh, Aren ...."
Aku berlutut di samping Aren. Lemas bukan main aku dibuatnya. Sampai tanganku bergetar hebat. Aku melepaskan rompiku. Melepaskan kaus olahragaku dan menyisakan kaus putih yang kurangkap untuk kupakai. Sementara kaus olahraga kujadikan kain untuk membalutnya. Aku berusaha menekan luka dipundak Aren. Namun kekuatan seolah meninggalkan tubuhku. Tanganku tak dapat berhenti bergetar. Membuat mataku kini memburam karena gumpalan air mata.
"Aren," lirihku. "Tahan ya. Gue bakal selamatin lo. Lo tahan bentar, oke?"
"A-aurora."
"Ren, gue mohon tahan, ya? Please."
Aku berusaha menghentikan pendarahannya. Namun tanganku tak bisa berhenti bergetar. Kaus olahragaku bahkan kini sudah merah oleh darah. Aku mengepalkan tangan. Mencoba memberikan kekuatan untuk diriku sendiri.
"Please."
Namun meski demikian, meski aku memaksakan diriku dengan sekuat tenaga, rasa takut itu tak kunjung hilang. Meski kucoba menekan lukanya dengan segenap kekuatan yang tersisa, tanganku tetap merah oleh darah. Aren tetap merasakan sakitnya. Aku tetap lemah, tetap tak berdaya, tak bisa apa-apa.
Air matapun tak mampu lagi kutahan.
"Aren, maafin gue."
__________
Catatan Penulis
•
Yuhuuuu aku datang bawa bab baru 😆
Ada yang nungguin nggak? Ada kan ya 😌//kepedean.
Peringatan dini, mulai dari sini bakalan lebih complicated :""" so, tetap stay sampai tamat yaa.
Seperti biasa, Jan lupa vote dan komen yak 😉 komen kalian tuh mood booster banget. Kadang aku suka bacain ulang komen kalian biar semangat nulis 😚
Oke, sampai jumpa di bab selanjutnya 😘
•
_________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top