31. Rencana Bencana
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Bait demi bait lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan khidmat oleh seluruh peserta apel pagi hari ini. Aula Bawah Tanah menggaungkan nada-nada kebangkitan bangsa sampai pada ketukan terakhir. Hari ini, apel pagi tidak sebagaimana biasanya. Suasana terasa lebih ramai dan lebih menegangkan di waktu yang bersamaan. Pada apel biasa, tim pengibar sang saka bendera merah putih hanya akan dilakukan oleh tiga orang. Tetapi hari ini, aku melihat ada sepasukan orang yang mengawal bendera.
Keanehan sudah tercium sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di aula hari ini. Meskipun tidak begitu kentara, tapi aku sadar aula ini dihias. Setidaknya, kain-kain bercorak merah putih yang digantung di ujung-ujung atap podium membuat aula terlihat agak berbeda. Semua guru mengenakan seragam hitam-hitam resmi lengkap dengan seperangkat lencana. Juga pita merah yang dibentang tepat di depan podium cukup memberitahu kami bahwa apel pagi kali ini bukan sekedar apel biasa. Mungkin ada perayaan untuk sesuatu.
"Lo tahu ada apa hari ini, Ra?" Anya bertanya padaku saat pertama kali kami datang ke aula. Anya telah mencoba mencari jawabannya sendiri sejak sepuluh menit pertama ia berdiri di ruangan ini. Ia mencoba mencari Aren atau Ririn. Orang-orang yang biasanya paling tahu sesuatu yang terjadi di Bawah Tanah. Namun sayang, gadis itu baru menemukan keduanya ketika pemimpin apel sudah memulai upacara.
Pertanyaan Anya, dan mungkin sebagain besar orang-orang disini akhirnya akan terjawab ketika lagu kebangsaan selesai dikumandangkan. Pak Hendrik di atas podium maju ke depan standmic untuk memberikan amanat dan pengumuman. Pada apel biasa, amanat biasanya akan di isi oleh guru biasa.
"Sudah tiga bulan sejak Bawah Tanah mendapat rekan baru. Anak-anak terpilih dari seluruh Indonesia. Saya harap, kalian semua masih senantiasa mengemban diri sebagai aset bangsa untuk menjalankan pengabdian sebagai mata-mata."
Pak Hendrik memulai pidatonya dengan kalimat yang bisa dibilang sangat patriotis. Ia mengucapkannya dengan penuh kharisma seorang kepala sekolah berpangkat.
"Pada hari ini, genap tiga bulan sudah kalian, murid-murid baru yang terpilih mengemban pendidikan di sekolah ini. Dan saya harap, selama tiga bulan kalian di sini kalian dapat menunjukkan progres, sebuah peningkatan kemampuan setelah diasah oleh kami dalam kurun waktu demikian. Saya harap, Kalian bukan lagi bibit-bibit hijau seperti saat pertama kali kalian datang kesini. Saya harap, kalian sudah jauh berbeda.
"Beberapa di antara kalian mungkin sudah mengetahui sistem di Bawah Tanah. Bahwa setiap tiga bulan, kalian akan diberikan sebuah misi..."
Pak Hendrik menjelaskan sedikit gambaran tentang misi yang akan kami jalani. Kami akan dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok berisi lima orang dengan satu ketua tim. Kami juga akan diberikan satu pembimbing. Orang-orang berpakaian rapi yang berjejer di belakang kepala sekolah, yang berdiri bersama para guru, merekalah yang disebut pembimbing itu. Merekalah orang-orang BIN.
Aku mengamati orang-orang yang akan membimbing kami. Jantungku semakin berdegup kencang. Jantungku sudah berdegup kencang sejak aku menyadari pita merah yang membentang di atas podium sana. Malah, degupan itu sudah tak terkendali sejak terakhir kali aku berbicara dengan Kak Cempaka. Aku telah diperingatkan. Aku telah diperingatkan sejak lama.
Dan akupun sudah memikirkan ini semalaman.
Ketika kami melewati misi dan seseorang diputuskan menjadi murid terbaik. Apabila seseorang itu aku, maka tidak ada jalan untuk kembali. Tapi sebelum kepala sekolah mengetuk palu tentang siapa murid terbaik angkatan ini, banyak kesempatan terbuka untuk balik badan dan berubah pikiran. Aku menimbang-nimbang soal ini sangat lama. Kalau aku bilang aku mengundurkan diri sekarang, maka semuanya akan berhenti disini.
Dan itulah yang aku inginkan sekarang.
Maaf, Anya. Harapanmu menjadi mata-mata bersamaku mungkin akan terkabul apabila aku bertahan. Tapi aku tidak ingin menghilang. Aku tidak ingin menghilang dari dunia dan keluargaku. Aku tidak ingin menghilang seperti bagaimana Kak Selena dan Kak Sancaka menghilang bagai debu tertiup angin karena misi yang mereka jalani. Dan dengan tidak satupun kabar datang dari mereka. Membuatku takut. Kalau kabar dari mereka memang tidak akan pernah datang lagi.
"... Berhasil tidak dipuji, gagal dicaci-maki, hilang tak dicari, mati tak diakui. Saya yakin kalian semua telah familiar dengan kalimat itu. Kalimat yang menjadi semboyan bagi seorang mata-mata. Kalian memang tidak akan di puji ketika kalian berhasil. Tapi tentu saja kalian akan mendapat penghargaan. Di Bawah Tanah, siapapun dua murid yang berhasil menyelesaikan misi dengan sempurna," Pak Hendrik menatap kami. Mengulas senyum penuh ambisi manakala ia berkata, "akan mendapat lencana kehormatan sebagai murid terbaik angkatan ini."
Inilah saatnya...
Aku meremas ujung rok.
...untuk membatalkan semua yang telah terjadi.
...
Jadi, begini rencananya. Aku tidak akan tiba-tiba mengangkat tanganku dan mengejutkan semua orang dengan tiba-tiba berkata aku mengundurkan diri.
Aku hanya akan diam, mengikuti alur, menjalankan misiku dengan baik, namun pada saat yang sama mengacaukannya.
Aku mungkin bukan perempuan paling bermurah hati di dunia, tapi aku juga tidak setega itu memupus harapan sahabatku —ralat, maksudnya rivalku, dengan mengumumkan pengunduran diriku didepan tiga angkatan beserta semua guru kami. Kalau aku melakukan itu, Anya mungkin akan lupa tentang apel peresmian misi dan meneriakiku bodoh di tengah-tengah semua orang. Anya akan bilang aku gila, pecundang, plin-plan dan segala hal-hal jelek lainnya karena menyusun rencana yang hanya akan menjadi bencana untukku. Tapi ia tidak mengerti. Maksudku, sejak awal tujuan kami sudah berbeda.
"Ini saatnya," Anya bergumam di sampingku. Kami sedang berjalan menuju ruang ganti untuk bersiap-siap menghadiri sesi olahraga.
"Saatnya apa?" Tanyaku. Membuatnya menoleh kebingungan.
"Apa lagi? Bersaing memperebutkan posisi pertama? Lo nggak ingat janji kita kemarin itu? Jadi murid terbaik sama-sama. Gue di posisi pertama. Lo kedua," katanya pongah. Seolah-olah dia sudah memegang lencana murid terbaik yang dia idam-idamkan itu.
"Dih, mana ada. Semua orang tahu gue lebih pintar. Lagian, gue udah tahu siapa yang bakal ada di posisi pertama."
Itu lo, Ay, tambahku, dalam hati.
"Maksudnya lo? Nyeh..." ejeknya, "selama gue masih disini, hal itu gak akan terjadi."
"Tadinya gue mau bilang Clarence. Tapi karena lo udah mikirnya gue, yaudah gue terima aja."
Anya mendelik ke arahku dengan alis bertaut. Kemudian tawanya menyembur ke udara. Keras sekali. Sampai semua orang yang berada di ruang ganti melihat ke arah kami saat kami memasuki ruangan itu. Aku tergoda untuk menyumpal mulutnya dengan kaus kaki yang kulihat tergeletak di sudut bangku. Namun urung mengingat ini mungkin saja saat-saat terakhir aku menghabiskan waktu dengannya.
"Nggak ada yang lebih bagus lagi apa?" Ia masih tergelak. Loker kami terletak berhadap-hadapan. Dia di sisi kiri sementara aku di kanan. Dia masih menoleh padaku ketika dia sudah mencapai lokernya dan mencoba membuka kunci dengan tawa cekikikan.
"Heh, dia pintar lho," kataku. Aku mulai mengganti seragamku dengan kaus olahraga berlengan pendek.
"Oh, ya? Pintar ngitung duit?" Cemoohnya.
"Bukan," sanggahku, "pintar nyari duit! lima puluh ribu satu pertanyaan. Bayar seratus dua pertanyaan bonus satu pertanyaan." Kataku, mengikuti nada menyebalkan Aren setiap kali gadis itu menagih bayaran untuk satu pertanyaan remeh.
"Jangan gitu, dong. Kita kan teman," sahut Anya. Me-reka ulang saat pertama kali kami dimintai bayaran olehnya.
"Oke, tapi nggak ada harga temen, ya," ia tergelak lagi. Aku hanya terkekeh kecil.
Kami berdua memutuskan untuk saling menutup mulut sejenak. Butuh fokus lebih untuk melipat seragam dan memasukkannya ke loker dengan rapi.
"Lo udah beres?" Tanyaku sambil menutup loker. Aku mendengar bunyi kelontang di belakangku. Tanda bahwa Anya juga sudah selesai.
"Sudah."
Kami keluar mengikuti yang lain menuju lapangan. Pak Frans sudah menunggu kami dengan tubuh berototnya yang tercetak dibalik kasus ketat. Disinari matahari pagi, kulit eksotisnya terlihat mengkilap. Namun bukan itu yang menjadi pusat perhatian kami semua hari ini. Pak Frans rupanya tidak sendiri. Di sebelahnya, ada seorang laki-laki tampan yang sejak pertama kali bertemu telah menjadi idola dari hampir semua anak perempuan di Bawah Tanah. Termasuk aku.
Siapa lagi kalau bukan Pak Sukma.
"Heh, kenapa lu? Senyam-senyum kek orang sawan," Anya mengikut pinggangku. Aku mendelik dan menjauh darinya.
Anya mungkin sudah terbutakan oleh pesona Mas Raga yang menurutku tidak ada apa-apanya dibanding Pak Sukma dengan setelannya saat ini. Di kelas, kami selalu melihatnya dengan setelan kemeja lengan panjang yang kerap kali di gulung sampai sikut. Dipasangkan dengan celana bahan dan sepatu kulit yang disemir. Hanya dengan pakaian se formal itu saja, dia sudah nampak sangat menawan dan menggoda. Namun tunggu sampai kau melihat bagaimana penampilannya di lapangan hari ini. Tidak ada lagi kemeja dan celana bahan, Pak Sukma menggantinya dengan kaos ketat dan celana joger berwarna hitam. Wajahnya yang punya senyum manis itu terlindungi oleh bayangan dari lidah topi baseball berwarna biru Dongker yang ia kenakan. Di dadanya terkalung peluit yang sama dengan milik Pak Frans. Namun sensasinya tentu saja akan berbeda ketika melihat Pak Frans dan Pak Sukma meniup-niup benda itu.
Kutebak, semua orang lebih suka melihat Pak Sukma yang melakukannya.
"Fantastik," aku bahkan mengiyakan dalam hati saat Ririn —yang aku yakin dengan setengah sadar— menggumamkan hal itu. Pak Sukma memang fantastik.
"Pak Sukma ngajar olahraga juga? Kok, gue baru tahu? Lu tau nggak, Ra?"
"Nggak," kataku, "tapi semoga benar."
Anya mendelik padaku. Kemudian tangannya yang bau krim pelindung matahari tiba-tiba saja mendarat di wajahku, menggosok-gosokkannya, kemudian menempeleng kepalaku hingga aku hampir oleng kebelakang.
"Yee..." Sengaknya, "muka lo kayak orang yang nggak pernah lihat cowok ganteng aja!"
Aku butuh menarik napas lebih dari dua kali untuk mempertahankan kesabaran. Tapi ternyata tidak bisa. Tadinya, aku ingin diam saja, menjauh perlahan, dan melupakan hasrat untuk membalas. Terlebih ada Pak Frans yang super galak dan Pak Sukma yang super tampan tetapi bisa jadi super sadis juga. Tapi apa boleh buat, tanganku bergerak sendiri mengacak-acak wajah dan rambutnya. Setelah rambutnya kacau balau, wajahnya berantakan dan napasnya memburu kesal, aku cepat-cepat menarik tanganku. Lantas menatapnya seraya berdecak.
"Waw, Ay," gumamku, "lo cantik banget kalau gini."
Karena Pak Frans tiba-tiba meniup peluit yang menandakan kami harus segera berbaris dengan sikap sempurna, Anya jadi tidak bisa membalasku. Aku menyeringai lebar. Tak kusangka aku akan sesenang ini mendengar tiupan peluit darinya. Tapi karena tiupan peluit dari Pak Frans, ekpresi Anya jadi kacau sekali. Kerutan menumpuk di dahinya dan aura aneh keluar dari tubuhnya. Ririn yang berada di dekatku saja sampai menjauh saking seramnya wajah gadis itu. Ia pasti memendam sejuta kesumat untukku. Hah, suruh siapa menggangguku. Sudah tahu aku pendendam
"Baik, semuanya, karena misi rutin tiga bulan sekali kalian yang pertama sudah diturunkan, mulai sekarang, Pak Sukma akan membantu saya melatih fisik kalian selama seminggu sebelum kalian akan dikirim ke luar untuk menjalankan misi. Ingat, latihan ini akan menjadi bekal yang sangat penting untuk menjalani misi kalian di luar sana. Kalian akan dilatih lebih keras, lebih lama dan lebih banyak dari sebelumnya."
Pembukaan yang sangat menegangkan datang dari orang yang paling membuat tegang. Memang terdengar seperti Pak Frans. Lidahnya tidak pernah halus. Selalu langsung pada intinya, memaparkan segalanya tanpa filter agar setidaknya mental kami tidak jatuh duluan sebelum misi datang. Pak Frans sekali.
"MENGERTI TIDAK?!"
"SIAP, MENGERTI!" serentak kami menjawab.
Kemudian kami mulai melakukan pemanasan di komandoi oleh Alto. Mungkin karena ada Pak Frans yang mengawasi, hanya pada kesempatan ini aku bisa melihat lelaki itu melakukan sesuatu secara serius.
Usai pemanasan, kedua guru kami membawa kami ke lantai 5. Segera setelah sampai aku langsung teringat Galeri Wangsit. Kami bahkan tidak melewati area itu. Sepertinya Bawah Tanah benar-benar menjaga agar hanya sedikit orang yang tahu. Lantai 5 jarang di kunjungi. Seluruh teman sekelasku, termasuk Anya, langsung menganga seperti orang kampung baru pertama kali melihat kota. Kepala mereka menoleh kesana-kemari, penasaran dengan tulisan di setiap papan nama di atas pintu.
Melewati ruangan-ruangan tertutup yang tidak berpapan nama, ruang kebutuhan, kolam berenang, serta mushola, akhirnya kami berhenti di satu pintu dengan papan nama bertuliskan "ARENA". Arena adalah sebuah ruangan cukup gelap dengan nuansa hitam. Pertama kali memasuki ruangan kami disuguhi pagar besi yang menyekat ruangan dan membentuk lorong. Lorong itu kemudian membawa kami ke sebuah bukaan. Seperti aula dengan lantai kayu. Namun yang berbeda, terdapat sekitar delapan panggung rendah berbentuk persegi yang terbuat dari beton. Di dekat panggung-panggung itu, ada papan penunjuk waktu.
Pak Sukma berhenti di tengah-tengah ruangan. Ia berbalik ke arah kami. Senyumnya terlihat sangat manis ketika ia berkata, "Selamat datang di Arena! Pelajaran pertama kalian hari ini adalah..."
Aku menelan ludah. Mendadak merasakan sesuatu yang janggal.
"... Bertarung!"
Sudah kuduga.
__________
Catatan Penulis
•
Haiiiii 👋🏻 sudah lama tidak bersapa disini.
Aku datang bawa bab baru, nih. Maaf ya updatenya lama. Real life sedang manjah 😔
Belakangan banyak pembaca baru disini nih. Selamat datang untuk para pembaca baru ya. Semoga kalian suka ceritanya 😁
Btw... Aku selalu ngakak setiap kali bacain komen kalian yang selaku curigaan sama Anya 🤣 kenapa pada curiga ma Anya sii, dia kan cuma pengen jadi mata-mata bareng Aurora wkwkw 😆😆
Oke, segitu aja dari aku.
Makasih untuk yang udah ngikutin bawah tanah sampai sini, terimakasih juga untuk yang sudah memberikan dukungannya. Tunggu selalu kisah Aurora ya 😆😆
Sampai bertemu di bab selanjutnya 😘
•
__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top