29. Sampai Jumpa Lagi

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Baru kali ini aku gemetaran dan hampir berkeringat dingin hanya dengan melihat sebuah sweter. Sweter itu memang putih dan tergantung di dinding. Kalau tidak melihatnya dengan benar bisa-bisa otak menerjemahkannya sebagai hantu yang melayang. Tapi bukan itu yang membuatku gemetaran. Alih-alih hantu, otakku justru didatangi ingatan-ingatan yang membuat jantungku berdebar kencang.

Aku teringat Kak Sancaka.

Dan janji yang kubuat untuk bertemu dengannya di Tembok Perang Bubat kemarin sore.

Dan aku baru ingat sekarang.

"Sial."

"Pagi-pagi udah ngumpat aja," tiba-tiba saja Anya sudah mondar-mandir dibelakangku sambil menghias dirinya. Padahal seingatku tadi dia baru masuk kamar mandi. "Ngapain, sih, lo ? Kayak orang gila, ya, lama-lama."

Aku mendengus. Mengambil sweter Kak Sancaka dan menentengnya keluar. Hari ini harus ku kembalikan.

"Tungguin gue, Ar!" Anya berseru ketika pintu tertutup.

...

Aku mencari Kak Sancaka. Di manapun aku bisa menemukannya. Tapi, anehnya pemuda itu sama sekali tidak terlihat hari ini. Tidak saat apel pagi. Tidak juga saat sarapan bersama di Pondok Arjuna.

Sesudah sesi olahraga aku langsung ke ruang ganti. Mengganti kaus penuh keringat dengan seragam Bawah Tanah. Anya berjalan di samping ku ketika aku keluar ruang ganti dan menuju kelas pertama kami, spionase. Kami melintasi koridor yang ramai tapi masih cukup lenggang untuk berjalan di tengah koridor tanpa menyandung bahu siapapun. Semuanya tampak sibuk dengan urusannya. Berjalan dengan menghentak-hentakan kaki ke arah yang berlawanan atau searah dengan kami. Kebanyakan menenteng buku di tangannya dan kebanyakan orang berwajah serius seolah-olah bercanda di koridor adalah sesuatu yang aneh.

Pada dasarnya, aku tidak pernah menjadi begitu menyenangkan sebagaimana Alto dan Ririn yang suka bercanda di setiap kesempatan. Tapi aku tidak pernah benar-benar berada dalam sebuah lingkungan dimana semua orang tampak sangat kaku dan canggung. Dengan cara bicara yang begitu formal, tatapan yang seolah-olah selalu merendahkan dan betapa seriusnya orang-orang di sini membuat Bawah Tanah memiliki lingkungan yang terkesan berat dan ... agak buruk.

Aku penasaran dengan bagaimana era Mas Raga berlangsung. Ketika semua hal buruk yang terjadi di angkatan itu telah menyadarkan pihak-pihak di atas Bawah Tanah bahwa pendidikan yang salah telah menyebabkan tragedi yang fatal. Karena ketika semua orang menilai Bawah Tanah sudah tampak lebih baik, bagiku, tempat ini tidak mengalami banyak perubahan. Meskipun aku belum pernah merasakan menjadi salah satu siswa di angkatan itu. Tahun dimana hari-hari gelap pernah menaungi Bawah Tanah.

"Itu mungkin saja benar," aku mendengar Anya bergumam tentang sesuatu.

Aku menoleh padanya. Anya tidak terlihat sedang berbicara dengan seseorang. Matanya menatap lurus kedepan dan tidak ada siapapun di sampingnya selain aku.

"Lo ngomong sama siapa ?"

Anya menoleh padaku dengan mata lebar. Bola matanya tampak seperti hendak keluar dari tempatnya. Mulutnya terbuka. Tapi tidak lama karena seketika gadis itu memicing dan tatapannya berubah kesal. "Lo dari tadi nggak dengerin gue ?!"

"Lo dari tadi ngomong ?"

Ia mendengus.

Pandangannya kembali lurus ke depan. Dari sisi wajahnya dia terlihat sangat marah. Kami hening sesaat. Kemudian Anya berpangku tangan, dengan dahi yang berkerut dia bertanya padaku, "kok lo jadi sering banget melamun ?"

Suaranya merendah. Aku tahu dia menginginkan penjelasan. Ya, aku sendiri tidak tahu. Aku tidak pernah benar-benar menyadari ketika aku mulai tenggelam dalam pikiranku hingga menyingkirkan eksistensi dunia nyata di dalam otakku. Tapi setidaknya aku tahu ini semua dimulai sejak aku selesai bicara dengan Kak Selena. Banyak sekali hal yang kupikirkan sejak aku tahu sedikit rahasia besar dari Bawah Tanah. Mengetahui hal yang tidak seharunya kutahu membawa sangat banyak beban di pundakku. Dan mungkin ketika aku benar-benar mendapat lencana murid terbaik, beban itu akan terasa semakin besar dan memusingkan.

"Ra! Tuh, kan ... lo melamun lagi," keluh Anya.

"Gue nggak melamun," kilahku.

"Ada apa, sih ?!" Suaranya terdengar gelisah.

"Gue..."

Kalimatku tergantung. Bukan karena aku menyegajakannya untuk membuat kesal Anya. Tapi arus di koridor ini tiba-tiba jadi sangat padat, cepat dan berisik. Aku tidak tahu kenapa semua orang begitu tergesa-gesa untuk sampai di ujung koridor. Atau teknisnya, ujung koridor ini adalah sebuah perempatan. Tempat bertemunya ujung dari tiga koridor lainnya.

Seseorang menyenggol bahuku. Seorang lagi menyenggol bahu Anya. Tapi tidak satupun dari keduanya mau repot berbalik dan memelas minta maaf. Kalau aku sedang tidak banyak pikiran, akan kukejar dia hingga ke ujung dunia sekalipun supaya aku bisa menyenggol balik bahunya.

"Aw, HEI!"

Anya mengaduh. Seseorang menyenggol bahunya lagi. Aku lihat mulutnya terbuka. Dia pasti mau mengumpat. Tapi belum sempat itu terjadi, ada segerombolan orang berdesak-desakan diantara kami. Memaksa lewat dengan cara yang tidak santai. Bahkan barbar. Aku heran, padahal koridor ini luas. Tapi kenapa mereka harus memilih berlari-lari ditengah dimana ada aku dan Anya sedang berdiri. Kenapa tidak ada yang inisiatif lewat pinggir dan menghindari kemungkinan tabrakan dengan kami.

"Aduh, minggir-minggir!" seru salah seorang yang dengan seenak jidat lewat ditengah-tengah kami. Wajah Anya merah padam. Tangannya terangkat ingin menjambak tapi orang itu dengan cepat menghilang dan membaurkan tubuhnya diantara tubuh-tubuh lain yang saling berdesakan.

Setelah berusaha begitu keras, akhirnya aku dan Anya berhasil pindah ke pinggir. Arus di koridor semakin memadat dan selama sesaat aku hanya bisa melihat semua orang tiba-tiba berubah menjadi flash yang berlari dengan meninggalkan bayangan.

"Damn, orang-orang makin gila akhir-akhir ini," gumam Anya.

Kucoba menghentikan salah satu diantara mereka. Dua orang yang coba kuhentikan lolos dengan mudahnya. Kemudian aku mencoba menghentikan seorang perempuan, berhasil, tapi ia kembali melesat saat aku baru mengucapkan "kenapa".

"Hei, bentar, tunggu-'misi gue mau nanya-"

Ini bukan hari dimana semua orang akan jingkrak-jingkrak di festival sekolah dan meneriaki nama gitaris bank rock seraya berharap sang gitaris akan mengedipkan sebelah matanya pada mereka -lagipula aku tidak yakin Bawah Tanah punya hal semacam itu. Tapi orang-orang tampaknya sangat bersemangat sampai aku tidak bisa menghentikan satupun dari mereka walaupun hanya sekedar untuk bertanya apa yang sedang terjadi.

Beruntungnya, ketika aku hanya seinci menuju masa-bodoh-dengan-apa-yang-
terjadi, Aren lewat didepan kami. Tanpa berpikir panjang, dengan secepat kilat aku meraih kepangan rambutnya yang naik turun saat ia berlari. Dengan secepat kilat juga Aren mengerang kesakitan sampai aku berpikir bahwa rambut kepangnya akan lepas dari kulit kepalanya.

"Maaf."

"It's okay," dia berbicara cepat sekali sampai aku tidak yakin apa yang Aren katakan. Sesudahnya, gadis itu langsung mengambil ancang-ancang untuk pergi. Sebelum itu terjadi aku kembali menarik rambut kepangnya.

"Aurora...," Ringisnya.

"Gue mau nanya."

Aren gelisah sekali. Seperti tidak rela meluangkan sedikit waktunya untukku. Butuh berulang kali untuk menengok ke ujung lorong seraya berlari ditempat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk meladeniku. "Baiklah, tapi cepat! Apa yang ingin kau tanyakan ?"

"What's going on ? Kenapa semua orang lari-lari ?"

"Ya tuhan! Aurora, kau ini- oke, satu pertanyaan lima puluh ribu."

Anya mendengus keras. Ia mencengkeram lengan atas Aren dengan begitu erat. Mengguncang-guncang tubuh kurus nan malang itu dengan penuh emosi ketika ia berkata, "shut. Your damn. Clever mouth up! Jawab dia!"

Aren meringis sebelum berkata, "sesuatu yang penting...sedang terjadi...di Bawah Tanah."

"Apa itu ?"

"Sesuatu yang berhubungan dengan Selena Marie Fransiska dan Sancaka Tirtayasa," matanya menatapku dalam dan serius, "sesuatu yang berhubungan dengan-dan hanya dengan-para murid terbaik."

Jantungku seketika mencelos. Seperti ada sesuatu yang berdentum lebih hebat dari apapun. Seketika aku tahu bahwa ada keganjilan yang terjadi. Keganjilan yang membuatku sangat sulit untuk menemukan Kak Sancaka.

Melupakan segalanya, aku pun berlari menuju ujung koridor. Aku harus menerobos banyak lapisan manusia untuk sampai ke bagian paling depan. Orang-orang membentuk barikade tak teratur dan membiarkan lorong koridor lenggang. Semua memandang penasaran ke lorong timur. Bibir mereka tak bisa berhenti berbisik dan bergumam tentang murid terbaik dan misi baru.

Aku menengadah ke lorong timur untuk melihat apa yang jadi pusat perhatian. Namun tiba-tiba sebuah kepala menghalangi pandanganku.

Itu Anya.

"Cepet banget, sih. Lagi pada liatin apa ?"

Ia dan Aren, entah bagaimana caranya bisa menemukan tempat aku berdiri diantara kerumunan orang. Dua-duanya berdiri mengapit tubuhku di kanan dan kiri.

Aku berusaha menemukan titik lenggang agar bisa melihat apa yang terjadi. Saat itu juga, segerombolan orang datang dari lorong timur seperti pasukan perang. Termasuk diantaranya, Pak Hendrik sang kepala sekolah, beberapa guru yang aku lupa namanya, Pak Frans, Pak Sukma, tiga orang bersetelan formal mahal yang sangat asing, dan dua murid terbaik angkatan 2017, Kak Selena dan Kak Sancaka. Mereka lewat dengan aura yang bukan main kuatnya. Berjalan cepat dengan wajah serius seolah mereka baru saja mendapat kabar bahwa hari esok akan ada nuklir yang menyambangi Indonesia. Semua orang berbisik-bisik tentang parade menegangkan yang sedang terjadi. Dan karenanya, aku tidak bisa menghentikan diriku untuk merasa khawatir.

"Siapa mereka ?" tanyaku pada Aren. Merujuk pada tiga orang berjas yang bersama gerombolan orang penting itu.

"Orang pemerintah," jawab Aren singkat. Matanya masih senantiasa fokus pada mereka.

"Apa yang mereka lakukan disini ? Kenapa kak Selena sama Kak Caka bersama orang-orang itu ?"

"Urusan pemerintah, Aurora," Aren menoleh padaku, "kalau orang pemerintah ada di Bawah Tanah, berjalan dengan kepala sekolah dan murid terbaik, itu artinya hanya satu. Ada misi yang harus dijalankan."

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Bukannya misinya nanti semester dua ?"

Aku ingat Kak Selena mengatakannya padaku di Galeri Wangsit hari itu. Ia akan menjalankan misi besar terakhirnya bersama Kak Sancaka di semester dua. Setelah itu, akulah yang harus melanjutkan apapun yang sedang ia perjuangkan.

"Apa ?"

Tepat ketika kumpulan petinggi Bawah Tanah lewat didepan mataku, aku tidak bisa menahan diriku untuk memanggil Kak Sancaka. Lelaki itu menoleh. Kak Selena yang berada disampingnya ikut menoleh. Matanya melebar selama dua detik ketika melihatku. Mulutnya terbuka seolah hendak menyampaikan sesuatu. Tapi tidak lama kemudian ia memilih kembali berpaling dan bertingkah seolah aku tidak ada.

"Kak Caka, Tunggu-"

Saat itu juga bel berbunyi. Orang-orang langsung menghambur di depanku. Menutup pandangan. Sungguh, kenapa bel sialan itu harus berbunyi sekarang.

"Kak Caka!" teriakku.

Aku melihat siluet tubuhnya yang samar-samar terus bergerak menjauh. Susah payah aku mencoba menerobos kerumunan orang didepanku. Tapi rasanya keramaian ini semakin memadat. Tubuhku terdesak-desak. Sulit sekali untuk bergerak maju. Kupanggil namanya sekali lagi. Kak Sancaka tidak menoleh.

"Aduh, minggir!"

Setelah mendorong, menyikut, bahkan menjambak rambut seseorang akhirnya aku berhasil keluar dari kerumunan pengap itu. Aku berlari di lorong. Menerobos orang-orang yang berjalan berlawanan arah. Parade orang penting itu belum begitu jauh. Dan meskipun lorong masih ramai, tidak sulit membedakan sekumpulan orang yang terlihat mencolok itu diantara murid-murid berseragam Bawah Tanah.

"Sancaka!" teriakku.

Kak Sancaka menoleh dan seperti sebelumnya ekspresinya terkejut sekali ketika melihat aku berlari-lari kearahnya. Lelaki itu bertingkah panik, ia berulang kali melihat ke depan-ke punggung orang-orang dewasa yang membawanya. Kak Selena menyadari kegelisahannya dan berbalik untuk menoleh padaku. Matanya melotot. Bergantian kearah aku dan Kak Sancaka. Mulutnya berbisik sesuatu yang aku tidak bisa dengar. Kelihatannya dia berbisik sembari marah-marah. Aku tak tahu Kak Selena berbicara apa. Tapi beberapa detik setelah Kak Selena selesai berbisik, Kak Sancaka berhenti mengikuti kerumunan itu dan mulai berlari ke arahku.

"Sancaka!" aku berseru saking girangnya ia memilih menemuiku dulu.

Kak Sancaka tidak bisa berhenti mengumpat ketika dia berbisik-bisik marah padaku. "Gadis gila! Gadis gila! Apa yang sedang kau lakukan ?! Sana kembali ke kelasmu dan panggil aku dengan sebutan kak!"

Aku tidak bisa menahan diriku untuk memutar bola mataku.

"Ada apa ? Kenapa ada orang pemerintah ?"

"Bukan urusanmu," dia mendesis. Berusaha sekali untuk membuat aku berhenti bertanya.

"Well, sebentar lagi akan jadi urusan gue," aku menukasnya. Kak Sancaka tampak tidak begitu ingin mendebatku. Meski mulutnya membuka tutup berulang kali ingin menimpali.

"Dengar, Aurora, saya sedang sibuk. Kita bicara lain kali, ya ? Dah..." Kak Sancaka berbicara begitu cepat ketika tubuhnya sudah ambil ancang-ancang untuk menyusul parade orang pentingnya.

"Tunggu dulu!" aku nyaris berteriak. "Mau pergi, kan ? Misi rahasia itu ? Bukannya semester dua ? Kenapa sekarang ?"

Diluar dugaanku, ia memandangku aneh. Wajahnya yang panik seketika disambangi pucat. Bukan, bukan pucat. Tapi lebih pada keruh. Ia terlihat tidak senang.

"Darimana kau tahu ?" tanyanya. Aku bergidik. Baru kali ini aku dengar dia berbicara serius. Kak Sancaka tidak pernah menggunakan nada itu ketika dia tahu aku mendengar pembicaraan rahasianya dengan Kak Selena. Tapi dia terlihat amat sangat terganggu dan tidak senang saat tahu aku tahu dia akan menjalankan misi di semester dua. Memangnya apa yang berbeda ? Semuanya sama-sama rahasia. Kenapa dia tampak panik sekarang ?

"Kak Selena yang bilang," kataku sembari memandang matanya. Kemudian aku menceritakan padanya secara singkat tentang apa yang terjadi di Galeri Wangsit kemarin hari itu.

"Dia memintamu jadi murid terbaik ?"

"Ya, katanya gue harus tanggung jawab karena sudah terlanjur tahu."

"Lalu kau jawab apa ?"

"Emm..." Aku tidak pernah benar-benar menjawab Kak Selena atau secara spesifik menerima atau menolaknya. Aku sebenarnya tidak menjawab. Pembicaraan kami berakhir begitu saja teralihkan oleh topik lain. Tapi meskipun begitu, aku juga tidak benar-benar menolaknya. Maksudku, aku memikirkan kata-katanya. "Gue nggak-"

"Kau jawab apa, Aurora ?!"

Sulit untuk tidak merasa terkejut ketika seseorang tiba-tiba mengguncang-guncang tubuhmu sambil berteriak penuh tuntutan. Dan itulah yang persis dilakukan cowok ini padaku.

"Gue nggak jawab apa-apa. Lepasin tangan lo!"

Kak Sancaka menyingkirkan tangannya dari kedua pundakku. Kudengar ia bergumam kata maaf sebelum matanya mulai melirik kesana-kemari seperti orang linglung.

"Lo belum jawab pertanyaan gue," kataku.

"Ah, iya...saya ada urusan," garis wajahnya melembut, "Rora, kita bicara lagi nanti, ya ? Saya harus pergi."

"Kak," aku menarik tangannya sebelum ia berlari pergi.

"Sampai nanti, oke ?"

"Tapi kenapa sekarang ? Kenapa waktunya berubah ?"

Lelaki itu menghela napas. Matanya memandangku dengan penuh pengertian. "Tidak ada yang pasti dalam dunia kita -dunia mata-mata. Harusnya kamu tahu itu ketika memutuskan untuk menerima beasiswa itu. Sekarang, dengar," ia menatapku lembut. Tubuhnya sedikit membungkuk rendah agar matanya bisa memandang tepat ke mataku, "saya, mungkin akan pergi lama. saya juga, tidak bisa menjanjikan saya akan kembali. Tapi mari berharap kita berjumpa lagi. Oke ?"

Aku mengingat bagaimana kesan pertamanya sangat tidak aku sukai. Aku mengingat bagaimana sifat nyelenehnya begitu mengganggu. Kak Sancaka adalah lelaki yang menyebalkan. Tapi disaat yang sama, ia lelaki yang hangat. Yang memiliki senyum manis menenangkan dan mata kelam nan dalam. Koridor sudah sepi ketika aku dan dia bertatapan. Ketika aku memikirkan dua sisi kontra sosok didepanku ini. Dan meskipun pada saat-saat tertentu aku berharap Kak Sancaka tidak pernah ada dalam hidupku, untuk kali ini, untuk saat ini, aku berharap kita berjumpa lagi.

Hanya agar aku bisa menanyainya banyak hal dan memuaskan rasa penasaranku.

Tentu saja.

"sweter lo..."

Ia melepaskan tanganku dengan lembut. Kemudian berseru seraya berlalu pergi, "taruh aja di kamar!"

"Hah ?!"

Tidak mungkin aku berjalan ke wilayah asrama cowok dan memasuki kamar orang begitu saja sambil membawa sweternya. Kak Sancaka tampak menyadari itu sesaat kemudian. Ia kembali berteriak, "uh...maksudnya, titipkan pada Zero!"

Kemudian aku membiarkan punggungnya menjauh. Sulit untuk tidak tersenyum melihat cara larinya yang seperti anak kecil mengejar layangan. Aku pun berbalik pergi.

"AURORA!"

"Ya ?"

Itu Kak Sancaka yang kembali berbalik. Dan kini dia memasang senyum lima jari dan miring khas-nya yang membuat wajahnya lebih cerah ketimbang ketika ia secara menegangkan mengerutkan alis dan menanyaiku soal darimana aku tahu tentang misi semester dua.

Lelaki itu melambai seraya berteriak, "sampai jumpa lagi!"

Aku melakukan hal yang sama. Dan kali ini, aku membiarkan diriku tersenyum selebar dirinya.

"Sampai jumpa lagi."

__________

Catatan Penulis

Lama tidak berjumpa!!

Ya, setelah jadi Maba, aku benar-benar jadi sibuk. Sampai gak ada waktu ngurusin BT. so, ini bab baru aku publis sekarang. Padahal maunya publis seminggu setelah bab sebelumnya meluncur. Huhu...maafkan aku 😔

Ya, meskipun baru up sekarang. Kabar baiknya, sepertinya aku mulai sembuh dari writer block dan insecurity. Karena aku mulai dapat wangsit2 untuk nulis BT lagi. Yeay. So, doain aja biar aku bisa cepet update oke 😉 aku gak sabar pengen tamatin ini cerita dan nulis cerita baru 😣

And, seperti biasa, boleh tekan tombol 🌟 kalau suka sama bab ini. Jangan lupa kasih komentar kritik, saran, atau cuma sekedar curcol karena aku suka banget bacain komentar dari pembaca 😚

Nantikan selalu bab baru bawah tanah!!
Sampai jumpa di bab selanjutnya 😘


__________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top