28. Janji Kita

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel By Zivia Zee

•••

Tidak ada yang tahu kemana aku dan Kak Selena pergi. Semua orang mengatakan kepada Anya bahwa Aurora dibawa kabur oleh kakak cantik yang datang dengan aura diktator dan memiliki sifat yang sedikit-sebenarnya banyak-gila. Aku dan Kak Selena ternyata berbincang cukup lama. Setelah kami keluar dari Galeri Wangsit, aku menyadari bahwa sudah terlambat untuk kembali ke kelas. Jadi aku bolos satu mata pelajaran dan kembali di mata pelajaran berikutnya. Anya tidak berkata apa-apa ketika aku datang ke kelas dan duduk disebelahnya. Tapi tatapan matanya yang seolah memancarkan laser menyadarkanku bahwa dia sangat-sangat penasaran kemana saja aku pergi.

Ketika kelas berakhir, aku buru-buru pergi sebelum Anya berhasil mengatakan satu patah pertanyaanpun dan sebelum Ririn sanggup berdiri untuk menggelayuti lenganku seraya berkata, "Aurora, ayo main lompat kodok."

Sekarang sudah malam. Aku belum memberitahu apapun pada Anya dan tidak berniat memberitahunya apapun. Anya juga tidak bertanya. Dia menyibukkan diri dengan PR biologinya. Tapi aku sadar gadis itu berulang kali melirikku. Aku pura-pura tidak tahu dan kembali merenungi semua yang dikatakan Kak Selena di Galeri Wangsit.

Berusahalah untuk menjadi yang terbaik!

Kata-katanya terus terngiang dikepalaku. Bersamaan dengan itu, aku mulai mengingat kata-kata Kak Sancaka saat perbincangan kami di jam tiga pagi yang dingin.

Janji, kamu nggak akan menyerah akan apapun. Janji, kamu akan selesaikan semuanya.

Aku tidak mengerti kenapa mereka berdua seakan berusaha melibatkanku dengan kasus Sarah. Walau aku tahu semuanya berawal dariku. Berawal dari kesalahanku.

Kau mendengar apa yang tidak seharusnya kau dengar...

Membuatku tutup mulut harusnya sudah lebih dari cukup. Tapi mereka memilih untuk membuatku masuk kedalam lingkar rahasia itu. Kak Sancaka meminta janjiku, Kak Selena meminta tanggungjawabku. Apa yang sebenarnya mereka coba lakukan ?

Kami sudah kehabisan waktu, Aurora.

Apakah benar semuanya karena mereka berdua sebentar lagi akan lulus ? karena tidak ada waktu lagi untuk berjuang lebih keras ?

Kepala sekolah mengincarmu sejak kau masih kecil. Tanpa aku bicara beginipun, Pak Tahir sudah pasti punya rencana untukmu.

Tapi mengapa ada-

"Ara!"

Anya membuatku seperti dialiri kejut listrik. Semerta-merta tubuhku berjegit kaget. Bulu romaku meremang tiba-tiba.

"Apa ?!" sungutku. Dia tidak lihat apa kalau aku sedang melamun.

"Ada setan di samping lo."

Aku tahu dia bohong. Aku tahu Anya hanya sedang berada dalam mode mengganggu-Aurora-sampai-marah-adalah-tujuan-hidupnya. Tapi meskipun aku tahu mulutnya sama tidak bergunanya dengan orangnya, aku tetap tidak bisa menahan diriku untuk menoleh. Sialnya, aku menemukan wajahku berbalutkan figura tergantung tepat disampingku.

"Sialan!"

Anya buru-buru ngacir ke ranjangnya sendiri. Hih! Kalau aku tidak sedang banyak pikiran, akan kuladeni dia sampai bersujud memohon ampun di kakiku. Beruntungnya Anya, kali ini aku melepaskannya.

"Alto bilang ada putri yang hilang di kelas kimia tadi."

Aku yang tidak beruntung. Anya tidak mau melepaskanku.

Aku tahu cepat atau lambat Anya akan menanyakannya. Tapi, meskipun aku sudah memprediksi bahwa saat-saat ini akan datang juga, pikiranku tetap buntu. Aku tidak tahu harus bilang apa. Tidak mungkin aku bilang Kak Selena memintaku untuk meneruskan perjuangannya menjadi murid terbaik dengan seluruh kemampuanku. Nanti Anya akan bertanya lagi, "kenapa elo yang diminta Kak Selena ? Kenapa bukan gue ?"

"Putri yang hilang itu pasti cantik banget, ya ? Sampai ditanyain sama seorang Anya," sahutku.

Anya berdecak. "Iya, cantik banget! Kulitnya putih, rambutnya coklat, ponian lagi. Kayak anak penjajah. Sayang aja, orangnya jutek, kasar, nggak peka, nyebelin!"

Anak ini ...

"Lo juga putih, ya! Nggak sadar diri banget, sih! Dasar keriting!"

Anya melotot. "Heh, ini namanya kuning langsat! Rambut lo sendiri juga keriting. Nggak usah ngatain rambut gue!"

"Ini bergelombang!" seruku, "lagian, Kak Selena juga putih, Kak Caka juga putih, kenapa lo cuma julid sama kulit gue doang, sih ?!"

"Kak Sanca jelas-jelas blasteran timur. Kak Selena kakak kelas, jadi nggak boleh julid. Emang cuma lo doang yang pantes kena julid disini!"

Kulempar bantal kearah mukanya. Anya menghempas bantal itu sebelum sempat mencium wajahnya.

Ia memeletkan lidahnya sebelum kembali berdecak dan berkata, "serius sekarang! Lo dari mana aja tadi ?"

Aku menatapnya dengan wajah tercengang. "Ya ampun, Ay ... sejak kapan mata lo kena katarak ? Gue disini dari tadi!"

"Ara!" dia membentak. Aku berjegit kaget. "Capek gue ngomong sama lo."

Kalau gitu jangan ngomong sama gue, Jubaedah!

Aku mendelik. "Ketemu sama Kak Selena."

"Udah tahu."

"Terus kenapa lo nanya, Jubaedah ?!" aku sudah tidak tahan lagi.

"Maksud gue itu, ngapain Kak Selena ketemuan sama lo, Maemunah ?!"

"Ya, ngomong, lah, Jubaedah. Ngapain lagi ?!"

"Iya, ngomong apa, Maemunah ?!"

Aku menyelubungi tubuhku dengan selimut. Memunggunginya. Lalu berkata, "kepo!"

"ARA!" bantal yang tadi kulempar kini berbalik terlempar padaku dan mendarat dipunggungku.

"Hih!" aku mendesis kesal. "Kak Selena cuma bilang ..."

"Bilang apa ?!"

Aku menatap langit-langit. Bohong tidak, ya ? Kayaknya, Anya akan tahu kalau aku bohong. Tapi masa aku harus bilang yang sebenarnya.

"Bilang kalau gue-"

"Kalau lo apa ?"

Aku menghela napas berat.

"Dia bilang kalau gue sebisa mungkin jangan bertengkar sama Velidsa. Pak Sas ngadu ke dewan komite soal yang dikelas waktu itu, terus gue ditegur dan dikasih peringatan," kataku, pada akhirnya. Itu tidak sepenuhnya bohong. Aku memang ditegur. Tapi bukan oleh Kak Selena, tapi oleh Kak Cempaka.

Anya tidak bereaksi apa-apa. Hening yang tiba-tiba singgah ini terasa begitu mengganggu karena dia diam saja. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya. Aku tidak berani lihat. Aku takut melihat dia menyadari kebohonganku lantas menatapku dengan ekspresi terluka seperti di kafetaria waktu itu.

Kukira, kecanggungan itu akan berlangsung sepanjang malam. Tapi semuanya dengan mudah terpecahkan manakala Anya mengumbar tawa geli yang menyebalkan. Aku mengangkat wajahku. Mata Anya menyipit ketika bahunya bergerak naik-turun seperti orang kejang dan rambut ikalnya bergetar. Sekali lagi, bantal malang ini harus menjadi korban.

Headshot!

"Kenapa lo ketawa ?!"

Bantal malang kembali melayang.

Kembali headshot!

"Kirain apaan! Tahunya cuma kena tegur doang. Lebay banget, sih, lo! Pakai sok sembunyi-sembunyi dari gue," Anya menarik selimut dan berbaring. "Gue udah khawatir. Kampret emang!"

Aku menahan tanganku untuk melempar bantal kewajahnya dan ikut berbaring. Menarik selimut hingga sebatas dada. Lalu kutatap langit-langit kamar seraya memeluk bantal.

"Lain kali, kalau ada apa-apa tuh cerita, oke ? Gue khawatir, lho."

Aku bergumam mengiyakan. "Sorry."

Anya, tidak perlu tahu yang sebenarnya. Tidak untuk saat ini. Mungkin nanti.

Tiba-tiba, aku terpikir sesuatu.

"Eh, Ay," aku berbaring miring menghadapnya. "Keren nggak, sih, kalau kita berdua bisa kayak Kak Selena sama Kak Caka ? Jadi murid terbaik!"

"Anya memandangiku heran, "emm...ya, keren, sih-"

"Gimana, gimana kalau kita jadi kayak mereka berdua ? Jadi murid terbaik berdua. Jalanin misi sama-sama. Gue pikir ... pasti bakal seru kalau sama lo."

Anya menghadapku. "Kok tiba-tiba ? Gak mau saingan aja ?"

"Ya, saingan lah," kataku, "you're always be my best rival!"

Anya terkekeh. "oke. Kita harus jadi murid terbaik berdua. Nggak boleh gagal, ya ?"

Aku mengulurkan jari kelingkingku. "Janji ?"

Anya ikut mengulurkan jari kelingkingnya. Tangan kami terbentang di udara. Ada jarak yang cukup jauh sehingga mencegahnya bertaut. Posisi ranjangku dan Anya memang cukup jauh. Masing-masing menempel di bagian dinding kanan dan kiri. Kendati demikian, tidak ada jarak yang tak bisa ditempuh. Aku berusaha mengulurkan tanganku lebih panjang. Anya melakukan hal yang sama. Ketika rasanya sudah tak mungkin lagi memanjangkan tangan, kami memanjangkannya dengan badan kami hingga rasanya setengah tubuhku melayang di udara.

Dalam sepersekian sekon kemudian waktu berubah menjadi detik-detik dramatis. Ada mata yang saling memandang dan mengunci. Ada janji yang berusaha saling meraih. Napasku tertahan ketika aku merasakan jarak itu mulai habis. Kemudian ruahlah semua euforia manakala tautan kelingking saling menggenapkan. Saling mengikat janji kita yang terlahir di dalam empat dinding di malam yang dingin.

"Janji."

Ya, tautan itu tidak berlangsung lama, tidak sempat ku foto sebagai bukti fisik karena dua detik kemudian kami sama-sama terjatuh kelantai. Aku dan Anya berbaring bersisian. Menatap langit-langit dalam keremangan. Menelisik keheningan yang singgah. Kemudian mata kami saling bertaut. Dan pecahlah tawa kami sepanjang malam itu. Memikirkan betapa konyolnya tingkah kami, karena alih-alih saling menghampiri, kami justru menetap di ranjang masing-masing sambil berusaha saling meraih bak adegan-adegan dramatis ala telenovela.

Lalu euforia itu berhenti ketika tiba-tiba pintu kamar kami di ketuk tiga kali dan terdengar suara galak yang mempertanyakan kenapa kami belum tidur. Aku dan Anya terdiam sampai suara itu berhenti. Masih terdiam ketika suara itu sudah tidak terdengar. Lalu semuanya terhenti disana. Tanpa sadar kami tertidur dilantai yang untungnya dilapisi karpet bulu.

Bersisian.

Dan saling menggenggam.

__________

Catatan Penulis

Adakah yang masih setia menunggu Aurora dan kawan-kawan berpetualang di Bawah Tanah ?? Semoga ada , yaa 😔

Setelah sekian lama tidak update, akhirnya aku bisa mengeposkan bab ini 😩

Sejak selesai nulis bab sebelumnya, aku bener2 kesulitan untuk lanjut dan untuk nulis ini aku bener2 berusaha keras. Entah kenapa, lalu lintas inspirasi menuju otakku jadi sangat macet. Aku bahkan berhenti nulis dua minggu lebih. Aku coba baca bab2 sebelumnya dengan harapan dapat mood dan feel untuk nulis lagi, tapi malah berakhir dengan jijik sama tulisan sendiri.

Masa-masa dimana aku insecure itu bener2 kayak nerakanya semua penulis. Sama sekali nggak ada inspirasi dan motivasi untuk lanjut. Apa ini yang dinamakan writer block ?

Tapi, setelah aku paksakan akhirnya aku berhasil menyelesaikan bab ini. Walau babnya pendek banget. Cuma 1000-an kata. Bab selanjutnya semoga bisa lebih panjang.

So, gimana guys menurut kalian tentang bab ini ?? Komen yaak. Aku menunggu kritik dan saran atau cuma sekedar cuap-cuap dari kalian 😘

Kalau kalian suka sama bab ini, boleh tekan tombol 🌟

Nantikan selalu kelanjutan Bawah Tanah 🤗

Sampai bertemu di bab selanjutnya 😉


_________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top