27. Galeri Wangsit

Bawah tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Baiklah, mungkin disini aku yang tidak peka. Aku yang terlalu Bar-bar. Atau apapun sebutannya yang menyatakan aku terlalu mendesak Kak Sancaka untuk cepat-cepat bertemu dengan ku setelah kejadian aneh bin memalukan di atas pohon subuh tadi.

Bagi siapapun yang pernah mengalaminya, kejadian dimana dua muda-mudi terlena akan suasana yang memang mendukung dan hampir khilaf diatas pohon memang bukan kejadian biasa. Aku tahu reaksi Kak Sancaka sudah benar. Dia malu, atau mungkin dia merasa bersalah. Aku juga malu, sebenarnya. Apalagi untuk bertemu dengannya lagi bahkan sebelum kejadian itu menguap dari pikiran ku. Tapi, masa aku harus jadi cewek alay yang kabur setiap kali melihat Kak Sancaka dimanapun aku berada, sembunyi di balik pilar dengan wajah bersemu merah dan Anya yang akan menertawakan ekspresi ku sembari mengingat-ingatnya untuk dijadikan kenangan sampai mati.

Tidak! tidak ada ceritanya seorang Aurora Bhayangkari kabur-kaburan hanya karena hampir ciuman dengan seorang anak lelaki. Maksudku, meskipun itu memang kejadian memalukan dan tak lazim (kalau ketahuan tetangga ku pasti sudah akan jadi gosip terpanas minggu ini), bukan berarti aku harus jadi cewek pemalu seperti cewek-cewek yang ada di kisah picisan. Aku memang malu. Tapi, menghadapinya dengan cara Kak Sancaka menghadapi ini hanya akan membuat hubungan kami berdua kian canggung dan itu merepotkan.

"Udah bel, Aurora. Kamu nggak ke kelas ? Ingat, poin akan dikurangi setiap kali kamu tidak masuk pelajaran, loh."

Kak Sancaka jelas berusaha menghindari ku. Cowok itu bahkan berbicara tanpa memandangi ku. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Lelaki ini berjalan dua langkah didepan ku dan sepertinya jarak kami kian merenggang. Dengan langkahnya yang super lebar itu, aku kewalahan mengejar kakinya.

"Bisa nggak, sih, berhenti dulu sebentar ?! Gue mau ngomong!" sergah ku. Kesal bukan main dengan sikap tidak laki nya ini.

Aku sendiri terkejut dengan reaksi Kak Sancaka tadi. Aku tidak mengira dia akan punya sisi malu-malu singa yang sangat merepotkan. Aku yang cewek saja tidak sebegitunya. Kenapa cowok ini alay sekali.

"Kak Caka, ih! tahu nggak, sih, gue habis dari pusat medis, loh. Gue ini lagi sakit!"

Aku berhenti berjalan. Bukan karena aku sedang merajuk hebat hingga harus berhenti untuk menghentak-hentakan kaki ke lantai. Tapi Kak Sancaka yang tiba-tiba berbalik dan menghampiri ku dengan wajahnya yang khawatir.

"Sakit apa ?"

"Memar-memar gue bekas jatuh dari tebing bengkak lagi gara-gara lo suruh gue manjat pohon!" kataku.

Seketika wajahnya seperti disambangi awan hitam. Redup tak bercahaya. Matanya memandang kebawah dengan sirat rasa bersalah yang sungguh kentara.

Aku jadi tidak enak.

"Ma-maaf," katanya. "Saya tanggung jawab, deh. Sini saya pijatin."

Aku melotot.

Cowok ini mau berniat baik atau mau apa sih ?!

"Nggak!" kataku, dengan nada yang terlampau kasar. Buru-buru aku merendahkan suaraku. "Gue bohong. Tadi habis berantem sama Velidsa."

Matanya naik menatap mataku. "Lagi ?!"

Aku tidak menjawabnya. Lantas berjalan mendahului cowok itu. Kuberi ia isyarat agar mengikuti ku. Ketika Kak Sancaka mengambil langkah untuk mensejajarkan tubuh dengan ku, ku beri dia isyarat lagi bahwa aku tidak mau disejajari. Aku tidak mau dia lihat wajah ku saat aku mengatakan ini.

"Yang subuh tadi," aku berhenti.

Sial!

Jantung ku bertalu-talu hebat. Wajahku mungkin bersemu. Aku bersyukur Anya tidak ikut mengejar karena dia pasti akan meledekku habis-habisan jika anak itu ada disini dan melihat ku.

"Yang subuh tadi ?"

"Pokoknya yang subuh tadi lupain!" akhirnya aku berhasil mengatakannya.

"Tapi ...," Kak Sancaka bergumam pelan. "kalau nggak bisa lupa ?"

"Ya, harus bisa!" tanpa sadar aku berteriak. "Yang subuh tadi itu ... itu kesalahan, kan ? Jadi harus dilupain!"

Ada hening yang hinggap setelah aku berkata begitu. Tidak ada jawaban apapun dari Kak Sancaka. Apa aku sudah salah bicara ? Tapi, tapi kejadian itu memang murni kesalahan.

Atau jangan-jangan ...

"Rora," aku tersentak.

Kak Sancaka menarik tangan ku. Mau tidak mau aku harus berhenti dan menghadapinya. Manakala kami bertatap muka, wajahnya sudah tidak lagi diliputi rasa panik, rasa bersalah dan juga malu. Hanya ada sesuatu yang aneh yang tidak terbaca didalam matanya yang memandang ku berat. Seperti biasa, mata Kak Sancaka adalah rahasia terbesar alam semesta yang tidak bisa ku ungkap.

"Saya ... saya minta maaf. Saya sudah kurang ajar sama kamu. Itu salah saya. Dan iya, itu ... itu kesalahan. Seperti yang kamu bilang."

Entah kenapa, aku merasa dia mengatakan itu dengan perasaan yang berat. Seolah-olah ia enggan mengatakannya.

"Bukan sepenuhnya salah lo, kok," kataku. Menunduk sedalam-dalamnya sembari berharap Kak Sancaka tidak menangkap wajah ku yang mungkin sudah merah. "Maksud gue, gue juga hampir khilaf waktu itu.

"Kamu ..."

Aku mengangkat kepalaku dan menantang matanya. Ku balas ia dengan sewot, "cewek juga bisa khilaf!"

"Oh, ya ?"

Wajah muramnya hilang. Digantikan oleh -lagi-lagi- senyum miring yang begitu khas dibibir cowok itu. Entah kenapa aku lebih suka melihat dia tersenyum seperti orang struk begitu ketimbang melihat dia menatapku dengan mata muram seolah-olah dia mau mengatakan bahwa besok adalah hari kiamat.

Kak Sancaka menuntunku untuk kembali berjalan. "Jadi yang subuh itu kamu khilaf ?"

"Apa, sih," aku mendelik kesal. "Nggak jadi, deh. Gue nggak khilaf. Ini semua salah lo. Lo yang bersalah sepenuhnya atas kejadian tadi subuh!"

"Iya, saya yang salah."

Cowok ini memang bilang begitu. Tapi senyum miring di bibirnya, kilat jahil dimatanya, serta deham-deham aneh yang keluar dari mulutnya, memberitahu ku bahwa ia tidak sedang menyesal.

Aku mempercepat langkah ku.

"Iya, lo yang salah," kataku. Sebelum ia sempat menyela, aku buru-buru berbalik menghadapnya dan melanjutkan, "pulang sekolah temuin gue di Tembok Perang Bubat."

Senyumnya memudar. Matanya menatapku penuh penasaran. Tapi sebelum ia berhasil bertanya, aku berlari meninggalkannya. Diam-diam, aku mengulas senyum ku sendiri.

Haha, aku terkikik dalam hati, mukanya lucu kalau lagi bingung.

...

"Hanya sebentar saja."

"Nggak!"

"Sekali aja. Ayo, Raaaa..."

"Gue bilang nggak!"

Ririn memandangi ku dengan kecewa.

Ah, kenapa, sih, semua orang di dunia ini tidak pernah berhenti membuat ku terlihat seperti orang jahat. Kenapa selalu saja ada orang yang senang merecoki ketenangan ku. Apa wajahku kurang dingin, mataku kurang sinis, atau aura ku kurang mengintimidasi hingga orang-orang seperti Ririn dan antek-antek cowoknya (minus Adam karena lelaki itu satu-satunya yang tenang dan damai diantara geng mereka) berani-beraninya mengganggu ku diwaktu senggang yang langka.

Sekarang adalah jam istirahat kedua. Dua puluh menit diberikan untuk malas-malasan, makan, tidur, ibadah, atau keliling gedung Bawah Tanah hanya untuk menjahili orang seperti yang dilakukan Ririn dan Alto sebelum memutuskan untuk merecoki ku setelah lelah jalan-jalan. Sementara aku memilih tetap dikelas dan tidur, Anya keluar entah kemana. Mungkin menyambangi teman-temannya dikelas sebelah, atau malah menguntit Mas Raga dikandang kuda. Persetan dengan anak itu. Aku senang-senang saja dia pergi karena itu artinya aku bisa tidur siang tanpa menanggapi segala bentuk curhatan penuh dramanya tentang cinta pertama bernama Wiraga. Satu-satunya yang ku sesali dari kepergian Anya adalah hilangnya tameng tak kasat mata antara aku dan anak-anak lain hingga si centil Ririn dan si tengil Alto tidak ragu mengajakku main lompat kodok.

Biasanya, orang-orang akan segan duluan untuk mendekati ku jika aku sedang bersama Anya (semua orang tapi tidak termasuk trio kakak kelas gila -Sancaka, Selena dan Cempaka- yang memang senang tiba-tiba datang dan mengganggu apapun aktivitas kami.) Alasannya, kami terlalu asik berdua hingga terlihat tidak mau didekati siapapun. Tapi Ririn pernah bilang, ketika aku dan Anya bersama, kami seperti memancarkan aura kuat yang membuat orang-orang rasanya ingin menjauh saja.

"Seperti aura duo crazy girl yang nembakin orang pake panah di hari pertama aku masuk Bawah Tanah," kata gadis itu, merujuk pada Katrina dan Sirin. Ternyata, pasangan sahabat yang sama-sama gila itu tidak hanya melakukannya padaku seorang.

"Ah, bilang aja takut. Kamu waktu kecil nggak pernah main lompat kodok, kan ? makanya nggak mau. Takut kalah, kan ?" Seloroh Alto penuh provokasi.

"Sori, ya. Gue waktu kecil main lompat harimau. Beda level sama lo-lo semua yang cuma lompatin kodok doang," balas ku jutek.

Ekspresi laki-laki itu berubah meringis, "iiihh ... anak Jakarta ternyata pada norak, ya. Lompat kodok tuh nama permainannya, Tuan Putri. Tapi nggak lompatin kodok beneran."

"Heh, apa lo bilang ?!"

Kalau saja aku tidak ingat bahwa aku baru kembali dari pusat medis, baru saja di ronsen karena kemungkinan retak tulang, dan baru saja diperlihatkan bahwa memar-memar ku kembali membengkak karena terlalu banyak beraktivitas berat, aku sudah akan menghadang cowok itu dan menarik jambul khatulistiwa yang selalu ia banggakan itu sampai tak bersisa sedikitpun rambut untuk membentuk jambul yang sama.

"Nggak, nggak ada. Galak banget, deh. Yaudah, Rin, Tuan Putri lagi pusing, main sama yang lain aja."

Ririn tampak amat kecewa. Aku jadi tidak enak. Kalau saja gadis itu hanya mengajakku dan tidak mengajak Alto juga, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk ikut serta kedalam permainan lompat kodoknya. Entah kodok mana yang ia ingin lompati bersamaku.

Setelah dibujuk oleh Alto dengan kalimat yang sangat sewot dan penuh sindir- menyindir, Akhirnya Ririn bersedia pergi. Mereka mulai menyambangi anak lain dan merekrut pasukan lompat kodoknya. Aku memilih untuk melanjutkan sesi tidur dua puluh menit ku yang kini tinggal lima belas menit. Tapi memang pada dasarnya nasib baik sedang tidak berpihak padaku, baru saja aku merebahkan kepala di meja, sudah ada orang gila baru yang datang sambil menggebrak meja. Seakan semua itu belum cukup untuk membuat darah ku naik ke ubun-ubun, orang itu berteriak dengan amat nyaringnya.

Mengatakan, "AURORA!!"

Aku mengangkat kepalaku.

Ah.

"Kak Selena," panggil ku lemas. Kapan aku bisa terbebas dari semua personil trio kating* gila ini.

*Kating: akronim dari kakak tingkat.

"Hai!" sapanya kelewat riang. "Ikut aku, yuk ?"

Aku tersenyum masam.

"Mending jangan, Kak. Tuan Putri lagi mode harimau galak. Nanti dicakar, loh," celetuk Alto. Aku langsung memelototinya.

"Heh, diem nggak lo ?!"

"Tuh, kan," Alto menunjuk padaku. "Taringnya muncul."

Aku berdiri. Kaki ku sudah ancang-ancang melompat keatas meja untuk langsung menghadangnya. Tapi belum sempat aku naik ke meja, Alto sudah berlari keluar kelas.

"Kita juga, yuk," seru Kak Selena tiba-tiba.

Kemudian semuanya terjadi dengan begitu cepat. Tangan ku disambar dengan seenak jidat, lalu aku di geret untuk berlari-lari disepanjang lorong. Sempat kudengar Ririn mengerang dan berkata, "yah, kok semuanya pada pergi. ? terus ini lompat kodoknya gimana ?"

Perlu kuingat kan, aku baru keluar dari pusat medis. Sebelum Kak Selena membuat ku kembali lagi kesana dan mendapat wejangan panjang lebar dari Dokter Vina dan ledekan penuh hina dari Zero, aku harus memberitahu Kak Selena bahwa tubuhku sedang tidak berada dalam kondisi yang baik-baik saja untuk lari marathon.

Tapi ...

"Kak,"

...Tapi bagaimana aku bisa memberitahunya kalau dia membawa ku secepat citah berlari. Bahkan untuk bicara saja rasanya sulit.

"Kak, berhenti sebentar," aku terengah. Aku biasanya bukan orang yang cepat lelah. Tapi aku berlari dalam kondisi yang tidak siap, memar-memar ku bengkak, mataku lelah akibat kurang tidur (gara-gara Kak Sancaka) dan harga diriku terlalu tinggi untuk mengejar cowok cerewet modelan Alto itu. Harga diriku rasanya tercoreng sampai ke dasar-dasar.

"ayo cepat!," Kak Selena jelas tidak mendengar ku -atau ia memilih untuk tidak mendengarnya. "Nanti teman mu hilang."

Oh, aku akan sangat bersyukur kalau hal itu sungguhan terjadi.

Aku menahan tangannya agar ia melambatkan langkahnya. Aku berhasil. Cewek itu melambat.

"Gue tahu kakak nggak lagi ngejar Alto," kata ku. "Please, kak. Jangan lari-lari. Badan gue lagi nggak fit."

Kak Selena mengamati ku sebentar. Lantas ia nyengir kuda. "Maaf."

Ia melanjutkan dengan berjalan. Seperti sebelumnya, aku masih mengikuti ia dibelakang. Melihat punggungnya dengan seribu tanda tanya.

"Kita mau kemana ?"

Kak Selena tidak menjawab.

Aku memilih diam. Makin lama kami berjalan, lorong yang kami lalui makin sepi. Jam istirahat kedua memang tidak seramai jam istirahat pertama. Murid-murid cenderung memilih untuk berdiam diri dikelas. Hanya sedikit orang seperti Anya yang memilih berkelana kemana-mana.

Kak Selena mengajakku menaiki lift. Ia menekan tombol lantai 5. Aku melirik kearahnya. Lantai 5 adalah ranah untuk berbagai fasilitas pelengkap. Disana ada ruang rapat, gym, kolam renang, lapangan indoor, ballroom, dan entah ada apa lagi aku belum hapal seluruhnya. Intinya, di jam intensif belajar, lantai 5 sebagai lantai fasilitas pelengkap dan lantai 3 sebagai lantai kelas intensif akan mengalami sedikit aktivitas. Bahkan tidak ada.

Mau apa Kak Selena membawa ku ke tempat sepi seperti itu ?

"Kita mau ngapain, kak ?" aku bertanya lagi. Kali ini, Kak Selena melirik ku.

"Menjelajah masa lalu."

"Hah ?"

"Kita akan menuju mesin waktu Bawah Tanah."

...

Mesin waktu yang dimaksud Kak Selena adalah sebuah ruangan dengan pintu besar dan papan kayu yang mejeng diatasnya bertuliskan 'GALERI WANGSIT'. Seperti namanya, Galeri Wangsit adalah sebuah galeri berisi pesan, kenangan, sejarah, silsilah, apapun namanya yang menggambarkan perjalanan Bawah Tanah sejak pertama kali dibentuk hingga sekarang. Berbeda dari ruangan lain yang kebannyakan dihiasi oleh ornamen lukisan wayang, komik sejarah, atau mural tentang kebangsaan, dinding Galeri Wangsit hanya dicat polos dengan warna krem. Langit-langit dan lantai marmernya pun bersih, tidak ada ornamen batik apapun yang menghiasi seperti langit-langit ruangan lain. Dengan lampu yang agak redup, Galeri Wangsit memberi kesan mistis yang aneh.

Ruangannya sangat sunyi. Dipenuhi oleh lemari kaca yang menyimpan banyak benda-benda dan hampir seluruh dindingnya dipenuhi oleh figura-figura yang memuat foto orang-orang berseragam. Galeri Wangsit punya luas dua buah ruang kelas yang disatukan. Setiap lemari kaca yang dipasang membentuk lorong-lorong sekaligus menjadi penyekat bagian-bagian dari ruangan.

"Banyak cerita yang tersimpan diruangan ini," ujar Kak Selena.

Kami berdua menyusuri lorong-lorong kaca yang melindungi banyak sekali benda yang dianggap bersejarah bagi Bawah Tanah. Tidak ada keterangan penjelasan pada setiap benda karena memang tidak dimaksudkan sebagai museum yang bisa dilihat oleh orang-orang. Kak Selena bilang akses menuju ruangan ini terbatas. Diantara murid, hanya petinggi Dewan Komite seperti Kak Cempaka yang punya izin masuk. Kak Selena tidak punya izin masuk sebagai anggota Dewan Komite Siswa, jabatannya tidak cukup tinggi untuk diberi hak istimewa sebagaimana Kak Cempaka. Tapi dia punya akses karena dia punya lencana kehormatan murid terbaik. Yang artinya, akulah yang masuk secara ilegal disini.

Kalau sampai ketahuan, aku akan langsung menyalahkan Kak Selena bagaimanapun caranya.

"Seragam-seragam ini," Kak Selena menunjuk sederetan manekin tanpa kepala yang memakai banyak seragam. "Semua seragam ini adalah evolusi desain seragam Bawah Tanah dari yang pertama sampai yang kita kenakan saat ini. Lalu pistol yang dipajang diatas itu, pistol dari misi besar tahun 2003. Ada sejarah panjang dibaliknya."

Kak Selena menceritakan banyak hal. Selama ia beralih profesi menjadi tour guide pribadiku, Kak Selena memperlihatkan aku banyak hal dan menjelaskan semuanya. Benar apa yang ia katakan sebelumnya. Galeri Wangsit adalah mesin waktu Bawah Tanah yang membuat kita menjelajah jauh ke masa lalu.

Disini, aku melihat evolusi desain bangunan Bawah Tanah berupa miniatur. Melihat patung simbol bawah tanah seukuran piala yang terbuat dari lapisan perak. Melihat perkamen besar yang dipajang didinding yang berisi tentang silsilah semboyan Bawah Tanah; Askara Chaya Paksa, Akcaya! diambil dari bahasa sansekerta dan Jawa kuno yang artinya ksatria yang bersinar dibalik bayangan, tak mudah binasa! arti yang persis dipaparkan oleh Pak Hendrik padaku sewaktu kami berbincang diruangannya. Disini juga, aku melihat sejarah panjang tentang Bawah Tanah. Tentang mengapa nama Bawah Tanah ada dan dicetuskan sebagai nama dari sekolah mata-mata yang sifatnya sangat rahasia.

"Bawah Tanah lahir pada masa orde lama dari sebuah organisasi yang dinamakan Pergerakan Bawah Tanah. Dibentuk oleh BIN pada 1962, Pergerakan Bawah Tanah dibentuk sebagai wadah pelatihan calon agen rahasia yang bergerak secara rahasia dan tertutup. Ya, kalau mau diceritakan bakalan panjang banget. Intinya, setelah orde baru Pergerakan Bawah Tanah berubah menjadi sebuah instansi pendidikan resmi, tapi sifatnya tetap rahasia. Nama Bawah Tanah kemudian diambil menjadi nama besar sekolah," jelas Kak Selena.

Kami menelusuri area galeri foto. Figura-figura berbingkai hitam dipajang memenuhi dinding. Aku melihat banyak wajah-wajah mulai dari foto yang masih hitam putih sampai berwarna. Semuanya memakai seragam yang berbeda-beda, namun terdapat logo yang sama. Ku duga mereka orang-orang penting Bawah Tanah.

"Ada juga foto-foto siswa Bawah Tanah dari angkatan pertama. Kebanyakan foto-foto murid terbaik yang diabadikan dalam galeri ini," kak Selena menghela napas. "Ada foto Sarah juga."

Aku menatap punggungnya. Dia masih berjalan didepan ku. Dengan aura dominasi yang pekat hingga aku tak berani membalas apapun. Terkadang aku merasa tak nyaman dengannya. Kak Selena adalah pribadi yang aneh. Dia misterius. Dia bisa menjadi sangat introver tapi tiba-tiba kepribadiannya bisa berpindah menjadi sangat ceria, bahkan cenderung gila. Setiap kali aku bersamanya, aku selalu merasakan aura intimidasi yang kuat. Kharisma Kak Selena jauh lebih besar dari Kak Cempaka dan bahkan sangat jauh lebih besar dari Anya. Dia pasti salah satu murid paling berpengaruh.

"Aurora," panggilnya. Aku tidak menjawab. "Kamu tahu, semua yang ada disini adalah rahasia. Tidak ada siapapun yang tidak diperkenankan untuk tahu boleh masuk dan menjamah ruangan ini barang seujung jari pun."

Lalu, mengapa dia mengajakku kemari ?

"Aurora," panggilnya lagi.

"Ya ?"

"Sekarang, jujurlah padaku," suaranya terdengar dingin. Ia berhenti didepan sebuah foto hitam putih. Ditengah-tengah lorong yang dipenuhi foto-foto manusia lawas, suasana disini membuatku kian merinding.

"Kak-"

"Aurora," ia berbalik menghadap ku. Aku seolah tak lagi terkejut oleh tatapannya yang menyorot dingin. Seakan mengasingkan. Amat mengintimidasi. "Kamu mendengar ku berbicara dengan Sancaka, kan ?"

Ini masih tentang itu ?

"Ya," kataku, "dan Kak Sancaka udah-"

"I know," potongnya, "tapi aku mengajakmu kemari bukan untuk menjelaskan tentang apa yang kamu dengar. Apa yang akan ku sampaikan padamu, ini jauh lebih besar dari apa yang Sancaka katakan. Jadi pastikanlah sekarang juga sebelum aku mengatakannya. Galeri Wangsit adalah ruang istimewa dan bahkan dikeramatkan, segala hal yang berada disini dan segala hal yang terjadi disini, semuanya adalah rahasia. Karena itu, berjanjilah atas nama mu, bahwa kau akan menyimpan semua yang aku katakan padamu disini hanya untuk dirimu sendiri."

Aku tercenung dalam keheningan. Menelisik jauh kedalam matanya, kedalam ekspresinya yang menampilkan keseriusan. Aku memikirkannya. Apa yang ingin Kak Selena sampaikan. Apakah tentang Sarah ? Kak Sancaka sudah memberitahumu garis besarnya. Apalagi yang harus ku tahu ? Mungkin dia mau mengancam ku untuk tutup mulut soal urusan Dewan Komite yang tak sengaja kudengar. Tapi, bahkan aku tidak peduli. Asal tidak ada sangkut-pautnya dengan ku, aku tidak peduli.

"Gue janji," dibawah tatapannya. Aku akan mengaku kalau aku merasa kecil. Tolong jangan bilang-bilang Anya. Tapi semua orang yang berhadapan dengan Kak Selena -kurasa- mereka akan menyadarinya. Cewek ini punya aura yang terlalu kuat dan mengintimidasi untuk ditolak, dibantah, atau apapun bentuk sanggahannya. Tapi disisi lain juga, aku merasa Kak Selena tidak seberbahaya itu.

Terkadang, aku punya hasrat untuk menantangnya.

"Bagus, pegang janji mu. Karena kalau tidak," ia maju selangkah, "aku tidak tahu harus bagaimana lagi dengan mu."

Tapi, tentu bukan sekarang.

Kak Selena berbalik menghadap foto hitam putih yang terpajang di dinding, memunggungi ku.

"Aku dan Sancaka," ia memulai, "kami sedang bertanggungjawab akan hal yang besar. Misi kami tahun lalu memang sukses besar. Tapi kesuksesan itu bahkan hanya sebagian kecil dari keberhasilan yang sebenarnya. Aku tak akan muluk-muluk seperti Sancaka, membawamu jalan-jalan jam tiga pagi untuk bercerita panjang lebar soal Sarah. Aku akan langsung memberitahu mu. Karena kau sudah terlanjur tahu, ya, misi kami berhubungan dengan Sarah."

Aku terperanjat. Dari mana dia tahu aku dan Kak Sancaka keluar asrama jam tiga pagi ? Mendadak pikiran ku kembali menyambangi adegan laknat diatas pohon.

Apa dia juga tahu soal ...

"Ee ... Kak, i-itu-"

"Aku tahu segalanya. Bahkan yang diatas pohon. Jadi skip itu dari list pertanyaan mu kalau itu yang ingin kau tanyakan."

Napas ku memberat. Wajahku rasanya kembali memanas. Gila! Sancaka sialan itu pasti menceritakannya. Atau Kak Selena memang seperti apa kata teman-temannya. Dia cukup gila untuk membuntuti kami memanjat salah satu pohon didekat kami, dan mengintai kami dengan teropong.

"Itu, itu tidak seperti yang yang kakak pikirkan. Gue khilaf. Maksudnya, Kak Caka yang khilaf," berkatnya, aku jadi mondar-mandir tak keruan. Rasa gugup menyerangku dengan hebat. Aku tak bisa berhenti menggigiti kuku jari ku.

Kak Selena hanya menoleh pada ku sambil tersenyum jahil. Senyumnya mengingatkan aku pada Kak Sancaka. Dan pada senyumannya yang cemerlang diatas pohon itu. Dan pada matanya yang berkilau. Kulitnya yang memancarkan sinar bulan. Surainya yang tertiup angin malam-

Sial!

"Pokoknya jangan bilang siapa-siapa. Itu hanya kesalahan," tegas ku. Enggan soal ini bocor ke telinga siapapun. Apalagi Anya.

"Aku tahu. Lagipula...kurasa, Djanuar sulit kau lupakan."

Kegugupan ku mendadak hilang. "Kak Djanu-ah, kakak mau ngomong apa ke gue ? Cepat!"

Ia menghadap sepenuhnya padaku. Tidak, ia menghampiri ku. Ada kilat ambisi dimatanya ketika ia mengatakan, "yang ingin ku katakan padamu adalah ... nyatanya, sehebat apapun kami, aku dan Sancaka, kami kehabisan waktu, Aurora. Dan kami membutuhkan mu."

Mataku kian membeliak. Apa maksud dari yang ia katakan itu ?"

"Maksudnya ?"

"Bertanggungjawab lah," ia berdiri dihadapan ku. Matanya mengunci tatapan ku. Tangannya menggenggam kedua bahu ku. Diwajahnya, terukir senyum penuh keyakinan. "kau terlanjur mendengarnya. Kau terlanjur tahu. Karena itu bertanggungjawab lah. Apa yang kau tahu, mulai sekarang akan menjadi beban mu. Harus kau jaga dan ... harus kau lanjutkan."

Mendadak kepalaku seperti diterjang badai yang hebat. Begitu carut-marut hingga aku sulit memahami. "Kak, Aurora nggak ngerti. Maksudnya ini, gue-"

"Iya, kamu," matanya kian berkilat cemerlang. "Jadilah murid terbaik!"

Badai didalam kepalaku berhenti. Keheningan Galeri ini kembali menyeruak. Melenggangkan segala hal yang tadi terasa bertumpuk dan bertubi-tubi. Sekarang aku tahu. Aku tahu kemana semua ini mengarah. Aku tahu muara apa yang Kak Selena coba tuju dengan berbicara dengan ku. Dan aku tidak menyukai muara itu.

"Nggak," kataku dingin. Ku lepas kedua tangannya dibahu ku. Kemudian berjalan menjauh.

Kak Selena menatapku dengan keterkejutan yang kentara. Senyumnya hilang. Kilat dimatanya pun meredup. Berganti oleh kejut akan jawaban yang tak ia duga-duga. Ia menyusulku. Menarik tangan ku. Ekspresinya mendesak ku untuk memberikan penjelasan.

"Nggak, kak," kataku lagi. "Aurora nggak mau jadi murid terbaik."

"Kenapa ?" Suaranya pecah. Tidak semeyakinkan sebelumnya. Bahkan cenderung bergetar.

Aku menatapnya dimata. Menghela napas. "hanya karena gue tahu satu hal, dan lo mencoba untuk memanfaatkan gue, melimpahkan semua masalah tentang Sarah ke gue ? Nggak, kak. Aurora nggak mau!"

Aku menghempas tangannya dan menjauh.

"Kamu salah, Aurora," ia berseru. Aku berhenti berjalan. "Aku bukan orang jahat. Aku nggak mencoba memanfaatkan adik kelas ku yang melakukan kesalahan dengan mendengar sebuah pembicaraan penting, lantas mencoba membuatnya menanggung apa yang seharusnya menjadi tanggungannya ku. Kalau itu yang kamu pikirkan, ku beritahu padamu, aku nggak sedang begitu. Aku mengatakan ini ... Karena aku membutuhkan mu."

"Kalau kakak khawatir aku bakal bocorin soal Sarah, aku udah bilang ke Kak Caka-"

"Kami kehabisan waktu, Aurora. Aku dan Sanca sudah tingkat akhir. Tidak ada waktu lagi. Semester dua nanti, kami akan berangkat untuk misi terakhir. Tapi meskipun misi itu berhasil pun nggak akan menuntaskan kasus yang sebenarnya. Selanjutnya, kau lah yang akan melanjutkannya."

Aku mendengus, "kenapa harus aku ?"

"Karena memang kau lah yang pantas," ia menjawab dengan cepat. Keyakinan mengiringi suara dan tatapannya padaku.

"Karena aku tahu soal Sarah ?"

"Bukan."

"Lalu, kenapa aku yang pantas-"

"Kepala sekolah mengincarmu..."

"Itu-"

"...sejak kau masih kecil."

Aku terdiam. Keheningan ini lagi. Keheningan yang menandakan ribuan tanda tanya baru.

"Apa ?"

Kak Selena mendekat. "Kau, anak yang paling diinginkan untuk bergabung dengan kami. Tanpa aku bicara begini, pun, Pak Tahir sudah pasti punya rencana untuk mu."

"Tunggu, tunggu, sejak aku masih kecil ? Kalian sudah mengawasi ku sejak aku masih kecil ?!"

"Kau," suaranya merendah, "punya otak yang terlalu jenius. Dan kau ... Kau juga punya sifat yang terlalu sombong untuk menutupinya. Mana mungkin pihak Bawah Tanah tidak tahu ada anak sepintar itu tersembunyi dibalik salah satu dinding rumah di Citra Residence. Beberapa anak-anak Bawah Tanah memang sudah ditargetkan sejak mereka masih kecil. Biasanya yang punya bakat menonjol sejak dini. Dan kamu menggemparkan kami dengan menguasai ilmu dan soal-soal logika rumit sebelum masuk SD."

Aku tidak begitu ingat masa kecilku. Memori ku terpotong-potong. Aku sadar, sih, aku pintar sejak dini. Tapi, apakah aku se sombong itu ?

"Hanya kau yang bisa melanjutkan perjuangan kami, Aurora," Kak Selena mencoba meyakinkan ku.

"Tapi-"

"Disamping itu, kau tetap harus bertanggung jawab, Aurora. Kau sudah terlanjur tahu. Semua ini sudah menjadi tanggungan mu sejak kau melakukan kesalahan itu. Kau mendengar apa yang tidak seharusnya kau dengar."

"Oke, gue salah. Gue tahu gue salah. Tapi kakak mau berlaku curang dengan menjadikan gue murid terbaik hanya karena gue tahu satu hal ? Gimana sama yang lain ? Yang juga mungkin sekarang lagi berjuang buat dapat lencana yang sama kayak kakak. Gimana sama Anya ? Mata-mata adalah mimpi Anya. Dia mungkin lagi berusaha keras buat lencana yang sama dengan yang kakak pakai saat ini."

Mata ku melirik lencana yang tersemat di dada kirinya. Lencana berbentuk bendera merah putih yang dibawahnya terdapat liontin berwarna emas berbentuk dua pedang disilangkan. Aku pernah sekali menangkap mata Anya memandangi lencana itu dengan penuh damba. Dia menginginkannya. Aku tak bisa membayangkan diriku memakai benda itu dengan hasil curang dan wajah Anya yang akan melihat ku dengan senyum getirnya. Dengan wajah kecewa yang akan ia coba sembunyikan dengan senyumnya.

"Gue nggak mau curang!"

"Aku tahu kau akan bilang begitu. Aku tahu kamu anak yang baik. Kamu selalu menjadi anak yang baik. Karena itu aku meminta mu menjadi murid terbaik, Aurora," ia mendekat padaku. Kemudian dilakukannya lagi apa yang ia lakukan padaku sebelumnya. Menatapku dengan tatapan yang mengunci mataku. Menggenggam kedua bahuku erat. "Benar, Aurora. Jangan curang. Tapi berusahalah. Berusahalah dengan segenap kemampuan mu."

Ia meremas bahuku, "berusahalah untuk menjadi yang terbaik!"

Kemudian aku tenggelam dalam kegamangan.

__________

Catatan Penulis

Belum satu Minggu dari bab sebelumnya aku sudah update lagi. Cepet, kan ????

Ya, karena imajinasi ku yang kemarin tersendat sudah lancar jaya, dan karena aku punya hasrat besar untuk menamatkan cerita ini, so, aku nggak tunggu satu Minggu untuk update lagi.

Tapi, meskipun begitu bukan berarti kedepannya bakal terus fast update begini. Soalnya........

Aku punya karya baru!!!!

Bagi yang penasaran dan belum tahu, begini penampakannya:

Judul: Rajapati
Genre: Mystery/Thriller, Teenfiction
Status: ongoing

Blurb:

Bermula dari razia dan ditemukannya selinting ganja di Senin pagi itu, Bhaga, Alin dan Randu berakhir dengan terlibat suatu konspirasi. Hubungan pertemanan yang telah lama terjalin disentuh curiga. Ada sesuatu yang salah dengan mereka. Seiring dengan peristiwa yang berangkaian terjadi, serta satu-satu nyawa yang tumbang dan hilang, terungkap sebuah rahasia.

Bahwa ada sesuatu.

Ada beribu genggam lara,

Dan ada pengorbanan yang dilakukan karenanya.

Lantas, siapakah dalang dibalik tragedi Rajapati ?

Rajapati ini novel misteri yang dikemas dengan Teenfiction. Sebagaimana Bawah Tanah yang merupakan novel Action Yang dikemas dengan Teenfiction. Jadi, meskipun temanya agak berat, tapi pembawaan aku sangat mengusahakan agar tetap ringan sebagaimana ranah Teenfiction. Walau memang cerita satu ini lebih serius pembawaannya dari pada Bawah Tanah.

Karena novel misteri, so, kalian akan ku porak-porandakan dengan berbagai misteri dan clue-clue tersembunyi. Yang pasti, nggak kalah seru dari Bawah Tanah!!

So, tunggu apa lagi ?? Langsung cek Profilku dan langsung aja baca "Rajapati" 😉😁😁

________________________________________________________________________

Baiklah, selesai promosinya. Hehe 😁

Balik lagi ke cerita ini.

So, gimana menurut kalian guys tentang bab ini ?

Aku pribadi senang banget bisa mencapai bab ini karena, bentar lagi, hanya beberapa bab lagi, kita akan mulai masuk ke awal konflik. Iya, awal konflik. Belum konfliknya, hehe 😁

Sabar dulu ya bagi yang udah nungguin bom!! Nya. Karena ini temanya sekolahan, aku nggak bisa langsung memasuki konfliknya. Harus ada perantaraan dulu yang sangat panjang, belum lagi disini Aurora adalah murid angkatan baru Bawah Tanah. Harus belajar dulu, makanya ku masuki beberapa adegan belajar. Selagi menunggu Aurora beres belajar, nikmati aja dulu selingan-selingan Romance antara Rora-Caka yang ku selipkan kadang-kadang, hehe. Walaupun aku sendiri greget banget udah pengen nulis konflik. Bahkan bayang-bayang ending itu sudah terbentuk jelas di otakku.

Satu lagi, aku mau nanya. Rata-rata bab di Bawah Tanah itu memiliki kisaran 2500 sampai 4000 kata. Bab ini saja, tanpa note yang panjang lebar ini, sudah terhitung 4000 kata. Menurut kalian, ini kepanjangan nggak ?

Aku ngerasa ini kepanjangan banget. Tapi apa daya, gaya tulisan ku mungkin memang begini 😔 entah kenapa aku paling nggak bisa nulis pendek. Pasti selaluuuu aja jadi panjang lebar kali tinggi.

So, kalau kalian ngerasa setiap babnya terlalu panjang, komen aja ya. Aku akan berusaha di bab selanjutnya agar nggak panjang lebar kali tinggi.

Oke, karena note nya udah kepanjangan banget, udah lebih 500 kata. Aku akan cepat aja.

Kritik dan saran boleh langsung tulis di komen. Apresiasi bisa dengan cara tekan tombol 🌟 dan follow penulis. Mari berteman!! 😊😊

Hari ini sampai disini.

Sampai bertemu di bab selanjutnya 😉😘😘

_________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top