26. BUTET!!
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Aku berusaha menutup pintu kamar asramaku sepelan mungkin. Berharap bisa masuk tanpa diketahui, kemudian berbaring di tempat tidurku sendiri tanpa bersuara, dan pura-pura bangun dari delapan jam tidur nyenyak seolah-olah tidak pernah ada ketukan yang membangunkan di jam tiga pagi. Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi. Jam lima pagi Anya pasti sudah bangun. Aku tidak tahu bagaimana cara dia bangun karena selama ini selalu aku yang membangunkannya, tapi begitu tubuh ku masuk sepenuhnya dan pintu kamar tertutup serapatnya, aku lihat cewek itu sudah segar bugar. Ini mengejutkan buatku mendapati Anya sudah rapi dengan seragam olahraga. Sudah mandi, sudah membersihkan ranjangnya, dan saat ini sedang berdiri dengan berpangku tangan seraya menatapku penuh curiga.
"Darimana lo ?" tanyanya. Sejenak aku merasa seperti anak remaja labil yang kepergok pulang malam oleh ayahnya.
"Nggak dari mana-mana," jawab ku.
Cewek itu tertawa dengan dengusan mengejek. "nggak dari mana-mana ? Terus itu sweter punya siapa ?"
"Ap-"
Aku melihat diriku sendiri. Sweter Kak Sancaka masih melekat padaku. Ah, kenapa aku tidak kembalikan begitu kami turun. Kalau begini, masih ada alasan untuk kita berdua bertemu. Aku tidak mau lagi bertemu dengannya.
"Ini punyaku," bohong ku. Anya memicing kearah ku.
"Oh, ya ? Jadi ada mall ditengah hutan ini ? Coba kasih tahu dimana ? Gue juga mau beli sweter kayak lo."
Aku mengabaikannya. Sudah jam lima lewat. Aku belum mandi. Belum siap-siap. Kalau sampai terlambat sesi olahraga, hukuman dari Pak Frans akan menanti. Hukuman darinya tidak pernah tidak berat.
Ku buka sweter Kak Sancaka dan melemparnya ke kasur. Mengambil handuk lalu beranjak ke kamar mandi. Anya melotot karena ku abaikan.
"Beresin kasur gue, dong. Gue mau mandi," pinta ku.
"Ih seenak jidat lo. Beresin sendiri!"
"Ih, bantuin napa ? kalau telat gimana ?!"
Ia mencebik kesal. "Ih, Lo juga belum jawab pertanyaan gue. Kok tumben pagi-pagi udah ngilang ? darimana ?"
Aku membanting pintu kamar mandi. Dari dalam aku berteriak, "beresin kasur gue!"
Anya ikut berteriak, "jangan-jangan lo tadi ke rumah Mas Raga, ya ? lo diam-diam suka juga, kan, sama dia ? heh, gue kasih tahu ya. Mas Raga udah gue incar sejak pertama kali kita ketemu. Sebagai teman lo nggak boleh nikung, dong."
Aku membuka pintu kamar mandi. Kalau aku masih pakai baju, aku akan mendatanginya dan membenturkan kepalanya ke dinding agar dia jadi waras kembali. Tapi kali ini aku harus puas hanya dengan menjulurkan kepalaku keluar dan berkata, "bucin, tuh, pakai akal. Gue lebih baik diam-diam kekamar Pak Sukma dari pada jauh-jauh harus manjat dinding ke rumah Mas Raga."
"Jadi, sweter itu punya Pak Sukma ? gila lu, Ra. Mau dapat nilai gede nggak gitu juga caranya."
Aku menggerung kesal. "Bukan gitu maksudnya, Faradita! ah, capek gue. Nggak tahu, lah. Pokoknya beresin kasur gue!"
Aku menarik kepalaku dan kembali menutup pintu kamar mandi. Mulai menyalakan shower untuk ritual mandi.
"Eh, lo belum jawab pertanyaan gue. Tadi lo habis darimana, Ara ?"
Aku berteriak gusar, "main sama monyet!"
...
Semenjak aku mengenal Ririn dan dua antek-antek cowoknya, kehidupan ku di Bawah Tanah terasa sedikit lebih normal ketimbang ketika aku hanya bergantung pada Anya, memasang muka jutek setiap hari dan mencurigai semua orang. Setidaknya, aku akan menemukan teriakkan Ririn yang menyambut ku dikelas dan Alto dengan cengengesan anehnya berusaha menarik rambutku agar aku murka di pagi hari. Walau tetap, intensitas interaksi ku bersama mereka tidak lebih besar dengan interaksi ku bersama Anya. Tapi itu semua sudah cukup bagiku untuk merasa bahwa ini masih disekolah. Semua konflik yang terjadi terkadang membuat ku lupa bahwa Bawah Tanah itu sekolah SMA.
Tapi pagi ini rasanya lebih berbeda dari biasanya. Suasana kelas tidak sama. Bila biasanya aku akan mendengar Ririn berteriak "pagi, Aurora!", Kali ini aku hanya melihatnya duduk diam ditempat ia duduk. Alto disebelahnya berwajah tegang. Adam disebelahnya lagi berwajah waspada. Ketika aku memandang seluruh isi kelas, semua orang bereskpresi sama.
Aku baru hendak bertanya pada Anya apa ada gosip aneh tentang ku yang baru saja disebar orang tak bertanggung jawab saat gadis itu telah lebih dulu memegang pundak ku. Matanya menajam kedepan.
Ku ikuti arah pandang matanya. Menemukan seseorang yang tidak asing, kepala ku terasa memanas dan mau meledak. Kaki ku bergerak sendiri maju kedepan ketika kulihat Velidsa berdiri didepan sana. Masih memakai tas nya dan sepertinya ia juga baru datang. Anya sekuat tenaga menahan aku tetap ditempat. Itu berhasil. Aku memang tidak jadi menghadang kearah psikopat itu, tapi hasrat ku untuk melakukannya tetap tidak hilang.
"Jangan," bisik Anya. Aku masih menajamkan mata kearah Velidsa.
Aku tahu. Jangan. Jangan membuat masalah lagi. Jangan berurusan dengan Velidsa lagi. Tapi rasanya susah sekali untuk mengabaikan kehadiran cewek sial itu dan menelan kembali bulat-bulat pertanyaan 'kenapa dia mendorongku' yang ingin ku teriakkan tepat didepan wajahnya. Rasanya kaki ku bisa saja bergerak melayang kearahnya, bahkan tanpa kuasa ku. Rasanya tubuhku bisa berlari menerjangnya meski aku tidak ingin. Rasanya kepalan tangan ku bisa bergerak ke wajahnya, meski aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan itu.
Rasanya, aku bisa menyakiti orang lain.
Aku ingin menyakiti orang lain.
"BUTEEEEETTTTT ..."
Bangs-
Siapa, sih, yang ...
"Di pangungsiang do amang Mu ale Butet ..."
... Tiba-tiba teriak butet ?
Aku dan Anya menyampir ke sisi manakala sosok pria berperawakan sedang dengan rambut ikal dan topi seni berjalan memasuki kelas. Rompi abu, kemeja putih, serta celana motif kotak-kotak yang ia kenakan sudah cukup membuatku tahu bahwa beliau adalah Pak Sastra. Bukan, aku menyebutnya Pak Sastra bukan karena aku lupa namanya sehingga menamai ia dengan mata pelajaran yang ia ajarkan. Tetapi namanya sungguhan Sastra, Sastra Handoko, dan kami biasa menyebutnya Pak Sas. Sebenarnya aku ingin memanggil dia dengan nama Pak Sus karena aku suka kue sus. Tapi nanti poin ku berkurang.
Langkah Pak Sas pelan mengiringi lagu yang ia nyanyikan. Matanya tertutup menikmati lantunan nada. Ketika dia melewati ku, tangannya dengan lembut menyampir dipundak ku dan Anya, kemudian mengajak kami untuk masuk ruangan.
Aku melirik Anya. Anya ikut melirik ku.
Apa yang sedang terjadi ?
Anya menggeleng. Mungkin ia sedang berkata, mana gue tahu!
"...Da Margurilla da Mardarurat ale butet ..."
Kami mengikutinya naik ke podium. Velidsa dan seluruh isi kelas memandang dengan keheranan yang sama. Mata ku masih terpaut dengan Anya. Ku lirik deretan bangku didepan sebagai isyarat.
Haruskah kita lari ke bangku ?
Anya mengangguk, ayo!
"Jangan kemana-mana. Tolong, sebentar saja," kami berdua tersentak mendengar bisikan penuh tekanan Pak Sas pada kami. Matanya melirik kami berdua penuh permohonan. Seolah ia akan jatuh apabila kami meninggalkannya berdiri sendirian diatas podium ini.
"Buteeeettt ..." Dia teriak lagi. Aku kagum dengan bagaimana raut wajahnya begitu cepat berubah dan kembali menghayati lagu seolah ia tidak pernah menatap kami dengan wajah memelasnya yang menyedihkan.
"Sotung ngolngolan ro, hamuna ale ... Butet ...
Pai..ma to..na ma..nang Surat ale ... Butet ..."
Kita harus apa ?!
Nggak tahu. Emang ini sebenarnya lagi ngapain, sih ?
Nggak tahu. Pak Sas kenapa, sih ? gue nggak paham. Ini kita nggak lagi dihukum, kan ?
Mungkin dia lihat pas muka lo kayak banteng ngamuk gitu. Jadi dia nyanyi biar lo tenang. Lo, sih, gue bilang juga apa ?! Nggak usah cari masalah lagi sama si kerabat kepsek!
Gue nggak cari masalah, Fa-ra-di-ta. Lagian, masa gue dinyanyiin lagu Butet ?!
Oh, mungkin lagunya buat Velidsa. Dia orang Batak bukan, sih ?
Otot wajah ku rasanya mulai keram. Berdebat dengan Anya sembari menggoyang-goyangkan pipi, meneleng-nelengkan kepala, bibir mencong-mencong dan melotot sampai rasanya bola mata mau copot itu melelahkan.
"... I dogei doge doge ..."
Pak Sas sepertinya salah mengira bahwa podium yang sedang kita pijaki saat ini adalah podium ballroom, alih-alih podium kelas dimana para muridnya sedang menonton dirinya yang entah kemasukan jin riang mana tiba-tiba nyanyi lagu butet.
Pak Sas bernyanyi tanpa peduli raut kebingungan semua muridnya. Tangannya bergerak kesana-kemari penuh penghayatan. Kadang pula beliau ini menyertakan aku dan Anya dengan tiba-tiba mengelus rambut kami seolah kami adalah dua putrinya yang sudah lama tidak berjumpa dengan ayahanda tercinta. Aku menangkap ketidaknyamanan Anya saat gadis itu berulang kali berusaha menjauh saat tangan Pak Sas berusaha menggapai dirinya. Aku juga tidak nyaman. Anya berusaha keras memberiku kode untuk menghentikan Pak Sas dan tingkah anehnya. Aku sebenarnya sangat mengerti. Sangat-sangat mengerti. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Tapi ketika aku baru hendak menegurnya, "Pak—"
"Buteeeettt ..."
Beliau berteriak begitu kencang. Kuping ku sakit. Sungguh, kalau bukan guru sudah aku gampar mukanya agar dia diam.
Pada akhirnya, kami mendengarkan Pak Sas bernyanyi hingga pria akhir empat puluhah itu puas dan menyelesaikan lagunya. Sampai akhir pun, aku dan Anya masih disuruh berpartisipasi dalam penampilan mendadaknya. Ia mencolek tangan kami untuk dilebarkan seolah kami bertiga habis melakukan penampilan besar. Padahal dia seorang lah yang suaranya menggelegar diseluruh ruangan.
"... I dogei doge doge ..."
Lagu pun selesai. Ada keheningan dalam jeda yang tercipta begitu saja. Namun repih tak lama setelah Alto dengan gerakan yang kikuk bertepuk tangan pelan. Semerta-merta saja semua langsung mengikuti. Aku dan Anya berpandangan sejenak sebelum memilih mengikuti yang lain.
"Terimakasih, terimakasih," Pak Sas menunduk berulang kali laiknya seorang penampil yang baru saja menyelesaikan pertunjukan. Wajahnya riang bukan main. Ketika riuh tepuk tangan mereda, ia berkacak pinggang dan memperhatikan kami semua. Tanpa terduga beliau berkata, "sepertinya, ketegangan dalam kelas ini telah mereda, ya ?"
Jantung ku berdentum dua kali lebih kencang. Lantas melirik Anya yang sudah melirikku duluan dengan pandangan, tuh, kan.
"Aurora, Faradita dan Velidsa, kalian boleh duduk," kata Pak Sas dengan senyuman penuh arti. Kami bertiga berjalan ke tempat duduk dengan kaku. "Jangan lupa untuk biasakan diri saling bersapa ramah ketika berpapasan, ya. Hindari untuk saling pandang dengan tatapan membunuh karena itu bisa meregangkan hubungan antar teman, mengerti ?"
Ketika yang lain menjawab mengerti, aku hanya bisa menundukkan kepalaku.
Sungguh memalukan.
Disaat-saat seperti ini, terkadang, aku menyesal pernah menjadi sok pahlawan dan membela Kak Selena dengan bakat aktingnya. Aku menyesal pernah terlibat dengan Velidsa, atau lebih tepatnya aku menyesal pernah terlibat dengan gadis itu dengan semua mata memandang kami. Aku benci jadi pusat perhatian. Aku benci eksistensi ku di Bawah Tanah yang terkenal gara-gara bertengkar dengan kerabat kepala sekolah.
Pak Sas menyetir topik lagu Butet yang ia nyanyikan dengan menyinggungnya kedalam pelajaran. Ia menyatukan tangan lalu memandang kami semua dan bertanya, "jadi, siapa yang tahu makna dari lagu BUTEEEETTT... ?"
Kami semua tersentak mendengar suaranya yang tiba-tiba menggelegar.
"Ayo, acungkan tangan kalian."
Aku dan Velidsa mengacungkan tangan.
...
Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Berulang kali ku jelaskan pun Anya dan semua orang tidak mau mengerti bahwa pada dasarnya aku dan Velidsa memang tidak cocok satu sama lain. Kami sangat bertolak belakang. Aku pintar, ia bodoh. Aku mandiri, ia manja. Aku percaya diri, ia narsis. Aku protagonis cantik yang keren dan heroik, ia antagonis jelek tak berempati yang keberadaannya hanya menjadi parasit disemua keadaan. Dengan semua keburukannya, bukan salahku bahwa setiap kali kami bertemu akan selalu ada baku hantam yang terjadi.
"Wah, keren! jadi, bagaimana bisa ini semua terjadi ?"
"Iya, karena cewek bar-bar ini dan gadis psikopat itu, mereka berdua merusak kelas sastra kami!"
Aku mengabaikan tatapan Zero yang menelaah penampilan ku yang sekarang sudah acak-acakan. Rambut kusut, muka masam, kancing blazer terbuka, serta lengan yang tersingkap sampai atas siku. Anya didepan ku memandangi ku dengan tatapan sengit yang mematikan.
Saat ini kami sedang berada dipusat medis. Dengan aku yang menjadi orang pesakitan, Anya sebagai keluarga pasien dan —yang sangat tidak terduga— Zero sebagai petugas medisnya. Rupa-rupanya, lelaki itu sudah menjadi bagian dari unit kesehatan sejak dia berada ditingkat pertama.
"Padahal gue udah peringatin nggak usah ladenin si Velidsa lagi!" Anya masih tampak murka.
Zero tampak semakin penasaran. Akhirnya, Anya menceritakan semua kronologi bagaimana aku bisa sampai berakhir disini dengan tulang yang hampir retak.
Ini semua bermula dari pelajaran Pak Sastra. Kami belajar tentang karisma. Pak Sastra menyuruh aku dan Velidsa maju kedepan untuk saling berinteraksi. Kami disuruh memerankan sebuah peran. Aku menjadi Bawang Putih, dan Velidsa adalah Bawang merah.
Singkatnya, dalam Skenario, Bawang putih melakukan sebuah kesalahan saat mencuci pakaian, tugas ku adalah membuat Bawang Merah memaafkan ku. Sedangkan tugas Bawang Merah adalah membuat Bawang Putih tidak bisa berargumen dan menyesal dengan kesalahannya. Kami pun mulai berdebat. Semua tampak baik-baik saja sebelum Velidsa secara tiba-tiba mengatakan, "cuci baju aja nggak becus! Nggak punya otak tuh nggak usah sok-sokan masuk sekolah mata-mata!"
Aku terpancing emosi dan membalas, "tolong berkaca! yang masuk sekolah mata-mata pakai jalur orang dalam siapa, ya ? Pakai umbar-umbar status keponakan kepsek. Eh, tahu nya statusnya nggak berguna buat kabur dari skorsing. Ha-ha."
"Eh, apa lo bilang ?! Nggak usah sok merasa spesial, ya! cuci baju aja nggak bener."
"Gue bener, kok, cuci bajunya. Cuma baju lo aja yang kayak gembel. Jadi gue buang. Kirain kain pel bekas, sih, saking jeleknya. Ma-af, ya, Bawang Merah!"
"Heh, cari nggak baju gue! Cari!"
"Baju gembel, kok, dicari!"
"Kenapa lo nggak mati aja, sih!"
Aku membelalak, "Dasar psikopat!"
Aku menjambak rambutnya. Velidsa balik menjambak rambutku. Kemudian gaduh lah drama yang sedang kami perankan. Anak-anak sekelas berteriak heboh. Tapi yang paling heboh adalah teriakkan Pak Sas.
Beliau berseru, "alamak! macam mana pula bisa jadi macam ini. Heh, BUTET!!*"
*Butet : anak perempuan dalam bahasa Batak.
Aku tidak tahu bagaimana cara kami berhenti dari tragedi penjambakkan itu. Pokoknya, setelah aku dan Velidsa saling melepaskan diri. Sekujur tubuhku tiba-tiba dilanda sakit yang hebat. Semua orang tiba-tiba panik dan aku dilarikan ke pusat medis.
"Nanti gue daftarin ke kelas intensif dansa. Biar agak lembut dikit kelakuan lo. Dikit-dikit jambak orang, dikit-dikit gampar orang. Cewek apa gorila, sih!" gerutu Anya.
"Dih," aku berdecih. "Lo sendiri nggak lebih lembut daripada gue. Apa-apaan, tuh, Ririn bahkan sampai nggak berkutik waktu debat sama lo. Dasar Bawang Merah!"
"Ya, kan, gue cuma kasar verbal doang," Anya berkilah. "Lo nggak fisik nggak verbal sama-sama bar-bar."
Pertengkaran kami diakhiri ketika pintu ruang kamar yang sedang aku tempati terbuka. Muncul Dokter Vina membawa foto ronsen.
"Sejauh ini nggak papa," ujarnya. Kemudian duduk didepan brankar yang sedang aku duduki. "Sebenarnya, saya agak heran. Karena sudah tiga minggu lebih, harusnya tubuhmu sudah baik-baik saja. Tapi karena sekarang kamu kembali ... kamu sepertinya melakukan sesuatu yang berat-berat, ya, tiga minggu ini ?"
"Oh, iya, Dok. Aurora anaknya emang susah dibilangin. Dia tarung silat sama Kak Cempaka, baku hantam sama Velidsa, ikut sesi olahraga, bahkan sampai kayang ditengah lapang saking nggak bisa diamnya ini anak."
Anya dengan kemurkaannya yang belum reda menjawab seenak jidat. Kontan aku memelototinya. Tidak cukupkah Anya mempermalukan aku dengan bercerita panjang lebar kepada Zero bahwa seorang Aurora Bhayangkari pernah terlibat adu Jambak sambil teriak-teriak nyaring kayak dua perawan rebutan cowok yang sering kulihat di televisi Teresa (tentu saja televisi Teresa, kalau televisi ku mana ada siaran begituan)
"Heh, fitnah! Nggak, gue nggak kayang ditengah lapang."
"Tapi yang lain benar, kan ?"
Dokter Vina dan Zero terkekeh geli melihat perdebatan kami yang tak ada habisnya. Dokter Vina memberiku salep baru untuk memar-memar ku yang kembali membiru. Ia juga memberi wejangan panjang lebar tentang harus istirahat cukup dan jangan dulu olah fisik karena bisa jadi berbahaya. Ia juga menitipkan Anya pesan agar gadis itu senantiasa menjagaku dari kegiatan yang terlalu melelahkan. Zero yang bertugas menjadi asisten Dokter Vina mencatat nama ku di buku pasien sebagai data.
Kami keluar dari pusat medis beberapa menit kemudian. Tentu saja setelah memastikan penampilan ku kembali rapi; rambut tertata, blazer terkancing dan lengan yang tidak digulung.
Kami berjalan dalam diam menuju kelas. Anya mungkin sudah terlalu lelah marah-marah. Aku juga lelah. Karena masih jam pelajaran koridor sepi. Tanpa perdebatan kami bersepakat membiarkan suasana tenang sejenak oleh hening yang hinggap. Namun tanpa tersadari, kami juga membiarkan kecanggungan turut menyeruak disela-sela kediaman.
Aku merasa tak nyaman.
Belum pernah aku dan Anya terjebak di suasana se canggung dan se hening ini. Kemudian aku teringat akan semua yang kami alami tiga minggu kebelakang. Sejak aku jatuh dari tebing, sejak aku kembali dengan berdarah-darah, Anya memang tampak berbeda. Anya menjadi lebih khawatir, lebih memperhatikan. Bahkan, pagi ini ia menungguku yang menghilang dari kasur sejak jam tiga pagi. Anya yang selalu marah setiap aku mencampuri urusan orang lain seperti saat aku mencampuri urusan Velidsa. Anya yang selalu mencoba menahan ku setiap aku hendak membuat masalah baru sebagaimana ia menahan ku ketika hampir saja aku menerjang Velidsa pagi ini. Anya yang selalu menjagaku.
"Far," aku berhenti berjalan. Ku raih tangannya agar ia berbalik kearah ku. Anya memandangi ku dengan raut heran. Aku tersenyum. "makasih, ya."
Wajahnya kian kebingungan.
"Makasih, ya. Lo selalu jagain gue."
Detik berikutnya, ku lihat ekspresi keterkejutan menghiasi wajahnya. Mulutnya terbuka sedikit. Matanya memandang ku lekat. Matanya memandangi ku dengan sorot yang tidak dapat ku terka. Mata Anya terkadang sulit ku baca. Ketika ku berpikir dia akan mengatakan sesuatu, aku hanya mendapatinya tersenyum juga.
"Not a big deal," ujarnya. Kemudian tangannya melayang kebelakang tubuh ku. Kami saling merangkul.
Kecanggungan itu repih seketika.
"Gue bersyukur kita bisa sama-sama disini," kata ku.
"Lo emang harus bersyukur. Gue ini—" Anya melambatkan jalannya. Matanya terpaku kedepan. "Eh, bentar, itu Kak Sanca bukan, sih ? Eh, iya itu Kak Sanca. Eh, eh, itu kok, itu kok Kak Sancaka kabur, sih, ngelihat kita ?"
Aku terpaku. Jantung ku mulai berdegup tak keruan. Segala hal tentang apa yang terjadi diatas pohon itu kembali membayangi pikiran ku. Tentang hal bodoh yang ku lakukan.
Tentang aku dan dia yang...
"Kak Caka!" Teriakku.
Kak Sancaka menoleh sebentar. Seketika wajahnya kembali disambangi panik dan kembali berlari dengan kecepatan cahaya. Aku mengejarnya.
...sumpah demi apapun, kami hanya hampir berciuman. Kenapa dia harus selebay itu ?!
__________
Catatan Penulis
•
Wakakakakakak... So, disini terungkap ya kawan-kawan. Aurora dan Sancaka tidak berciuman 😆 di bab sebelumnya itu, hanya hampir.
Apakah penonton kecewa ? Komen ya. Siapa tahu nanti saya jadiin beneran, hehe.
Jadi, gimana guys pendapat kalian tentang bab ini ?
Komen apapun yang kalian pikirkan, oke 😉
Sebenarnya, aku lagi mumet2 nya buat ngelanjutin cerita ini. Banyak hal yang terjadi di real life dan wangsit untuk nulis lagi macet-macet nya. Makanya, di bab ini aku ngerasa alurnya agak maksa dan aku nggak terlalu puas dengan hasilnya.
So, kalau ada yang mau ngasih kritik dan saran tentang bab ini bisa langsung komen yap 😊 atau kalau kalian suka-suka aja bisa kasih apresiasi dengan tekan tombol 🌟
Hari ini cukup sampai disini.
Sampai bertemu di bab selanjutnya 😘
•
__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top