25. Utara Sang Penuntun

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

"Kita sampai."

Kak Sancaka membawa ku ke sudut hutan kecil di timur kompleks, kedepan sebuah pohon pinus yang nampak besar dan tinggi. Memiliki banyak cabang-cabang kokoh dan daun-daunnya bergemerisik diterpa angin. Ketika aku melihat keatas, aku bisa melihat cahaya bulan memberikan Kilauan indah disela-sela helaian daunnya.

"Pohon ?" tanya ku.

Kak Sancaka mengangguk.

Apa yang istimewa dari sebuah pohon ? Pohon Pinus seperti ini ada banyak di hutan diluar komplek. Di sekeliling kami juga dipenuhi pohon pinus.

"Ngapain kita ke pohon ?"

Lelaki itu tidak menjawab. Ia berjalan ke bagian belakang pohon. Aku mengamatinya.

"Sini," katanya.

Aku berjalan mendekatinya. Tidak ada perbedaan apapun yang membedakan selain posisi kami yang berganti ke bagian belakang pohon itu.

"Lihat keatas."

Aku melihat keatas.

"Apa yang kau lihat?"

"Daun."

Aku bisa mendengar Kak Sancaka berdecak.

"Bukan itu," katanya. Tangannya memposisikan kepala ku untuk mendongak sedikit lebih rendah. Ia menunjuk sesuatu yang menempel di pohon dan meminta ku melihatnya.

Saat itu lah aku sadar ada gundukkan aneh yang menggantung diatas sana.

"Apa itu ?"

Mata ku memicing untuk melihat
Lebih jelas. Kegelapan yang mengelilingi kami membutakan segalanya.

"Coba kau tarik," pintanya. Aku memandanginya dengan dua alis terangkat.

"Hah ? Nggak mau. Kelihatan benda apa aja enggak. Main suruh tarik sembarangan. Jangan-jangan bom lagi."

"Ya Allah ... mentang-mentang saya yang minta, bom terus yang diingat-ingat. Udahan, sih, dendamnya," ia merutuk sewot.

Aku membalas tak kalah gusar, "ya udah, lo aja yang ambil! Kenapa nyuruh gue ?!"

Ia mengulum bibirnya. Menatapku dengan pandangan gemas. Tangannya terangkat hendak mencakar. Tapi seinci pun tidak bergerak dari sisi tubuhnya. Erangan kesal terdengar kemudian.

"Apa ?!" Kata ku garang. "maju sini kalau berani!"

Aku menatapnya galak.

Lelaki itu mendengus.

Tak lama matanya memejam erat. Sembari menarik napas dalam-dalam, ia mengepalkan jemarinya dan meremas udara. Sejenak kemudian wajahnya kembali melembut. Atau mungkin lebih cocok disebut pasrah.

Ia berkata, "yaudah, saya yang tarik. Apa, sih, yang enggak buat Princess  Aurora."

Aku memalingkan muka dan berpangku tangan. Ku bisikkan pada telinga ku, bahwa ia tidak mendengar kalimat terakhirnya.

Kak Sancaka menarik sesuatu diatas sana. Kakinya sudah jenjang, tangannya bertungkai panjang. Tapi lelaki itu masih perlu melompat untuk meraih benda apapun diatas sana. Dan tadi dia menyuruh ku yang hanya setinggi bahunya untuk melakukan itu.

Memang bangsat ini orang.

Kak Sancaka tidak menariknya. Ia lebih seperti menggeplak benda itu. Kemudian luruhlah benda yang ternyata kain sepanjang entah sepanjang apa membuka dan menurun hingga memperlihatkan ujungnya. Kain ini tidak jatuh. Ia tetap menggantung dari atas yang ujungnya  tidak bisa kulihat karena kegelapan.

Ada dua kain panjang yang menggantung dari atas. Aku memegang dan meraba permukaan kain dekil nan usang itu. "ini kain buat apaan ?"

Kak Sancaka membuka sweter putihnya dan menyampirkannya di pundak. Kaus putihnya langsung berkibar-kibar tersapu angin. lalu ia meraih kain satunya. Lelaki itu mengikat pinggangnya sendiri dengan kain sembari menjelaskan, "saya nemu waktu lagi jalan-jalan waktu masih kelas satu. Kayaknya, ada yang sengaja ninggalin ini disini buat orang-orang kayak kita."

Aku mengernyit heran. "Maksudnya ?"

"Buat kita yang suka kabur dari asrama malam-malam dan jalan-jalan keliling kompleks. Kain ini kayak harta Karun yang cuma bisa ditemuin oleh orang-orang yang beruntung."

"Ih, pede banget bilang kita," aku mendengus. "aku nggak suka kabur malam-malam, tuh."

Tangannya berhenti mengeratkan simpul yang melilit di sekitar pinggangnya. Matanya tertuju pada mataku. "Tapi kamu kelihatan menikmati banget saya ajak jalan-jalan, tuh. Sampe bengong liatin saya disepanjang perjalanan."

"Ap—"

Jadi dia sadar ?

Aku memalingkan muka. Pura-pura meneliti kain ditangan ku. Kak Sancaka kembali berkutat dengan talinya. Meskipun aku tidak melihat wajahnya secara langsung, aku bisa merasakan cowok itu sedang tersenyum miring. Mungkin dia juga sedang melihatku dengan sorot mata jahilnya. Mungkin juga didalam otaknya dia sedang cekikikan karena berhasil memergoki aku memandangnya lama sekali.

Ah, Aurora ... Kenapa bisa aku melakukan tindakan aneh bin menjijikan begitu, sih. Ini bukan seperti aku terpesona oleh wajah tampak sampingnya yang bersinar diterangi bulan. Bukan! ini hanya bagaimana aku menjadi bodoh dan aneh didekat cowok ini karena masih terlalu mengantuk untuk menjadi aku yang sebenar-benarnya aku. Kalau perlu diingatkan, kami keluar asrama jam tiga pagi. Sekarang mungkin sudah setengah empat subuh.

"Rora ..."

"Jangan ge'er. Gue nggak ngelihatin lo—"

Aku terkejut karena dia tiba-tiba menarik tubuhku untuk berhadapan. Ada sebaris senyum kecil yang manis diwajahnya. Senyumnya itu aneh karena entah bagaimana aku lebih terbiasa dengan Kak Sancaka yang tersenyum miring dan jenaka. kak Sancaka dengan senyum tulus seperti itu, membuat wajahnya terlihat muram dan kadang aku merasa dia adalah pria sedih yang berusaha menyembunyikan semua kebusukan duniawi dibalik seringai jahilnya.

"Bukan itu," katanya lembut. Ia mengambil sweter dipundaknya dan menyodorkannya padaku. "Kamu kedinginan, kan ?"

Aku menatapnya lama. Cukup lama sampai Kak Sancaka mengeryit heran dan melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

"Rora—"

"Lo kok pengin banget dekat sama gue ?"

Senyum di wajah Kak Sancaka sirna. Berganti kerut keheranan. Aku melanjutkan pertanyaan ku. "Dari awal gue ngerasa lo maksa banget biar kita bisa akrab. Lo bahkan rela bolos pelajaran buat jengukin gue di pusat medis. Kenapa ? Kenapa lo mau dekat sama gue ?"

Kemudian hening adalah apa yang menyambut kami setelahnya. Seperti biasa, pandangan Kak Sancaka padaku tidaklah terbaca. Iris kelamnya adalah sebuah rahasia besar dunia.

Kak Sancaka meraih tangan ku lalu menaruh sweternya diatas telapak tangan ku. Ia meraih kain yang menjuntai terabaikan, dan mengikatkannya di pinggang ku.

"Memangnya perlu ada alasan untuk bisa dekat dengan seseorang ?"

Aku membiarkannya menyelesaikan simpul dipinggang ku selagi aku mengamati setiap sisi wajahnya. Mencari petunjuk dari setiap ekspresi yang ia keluarkan. Sebenarnya apa yang ia inginkan dari ku ?

"Gue nggak yakin lo sungguh-sungguh nggak punya alasan," kata ku. Meragui semua orang adalah apa yang kulakukan sejak aku didorong dari atas tebing oleh musuhku yang ternyata punya niat membunuhku lebih besar dari siapapun. Juga sejak aku menyadari ada cewek berkepribadian ganda yang malang melintang disekitar hidup ku, menjadi tiga orang berbeda dalam tiga waktu, mengawasi ku, mengikuti ku, dan itu sangat mengerikan.

"Pakai sweternya, Ra."

Aku memakai sweter putih Kak Sancaka. Ini kebesaran. Tapi bukan waktunya mempermasalahkan itu sekarang.

"Kak Selena mungkin lupa ngasih tahu, gue sebenarnya punya seseorang—"

"Saya tahu," potongnya. Dia mengarahkan ku untuk menghadap pohon. Lelaki itu berdiri dibelakang ku. Meraih tangan ku untuk dituntunnya berpegangan pada cabang pohon terdekat. "Saya tahu tentang Djanuar. Saran saya, lupain dia."

Aku mengerutkan alis. Ketersinggungan menghampiri benak ku. Tatkala aku mencari wajahnya dibelakang, kudapati dia tengah menunduk memperhatikan ku. Wajahnya serius.

"Kita harus manjat sekarang. Sebentar lagi matahari terbit. Nanti bintangnya hilang."

Aku menghadap pohon lagi. Kemudian memandang keatas. "Ini sangat tinggi."

"Tenang saja," ia menuntun kaki ku untuk memijak bagian cekung dibatang pohon. "aku dibelakang mu."

Perlahan, kami mulai memanjat. Aku seperti anak monyet yang dilindungi ayah monyet dibelakang tubuh ku. Beberapa kali aku hampir terpeleset, Kak Sancaka selalu sigap menahan tubuh ku agar tetap menempel pada pohon. Ia mengarahkan ku untuk menarik tubuhku dengan bertumpu pada dua cabang. Kadang juga meminta ku untuk menarik tubuh ku dengan menarik tali yang terikat ditubuh kami. Aku meneladani semua perkataannya. Pohon ini sangat tinggi. Aku tidak mau mati karena jatuh dari atas pohon.

Lalu aku teringat sesuatu. "Kak ?"

"Hmm," Aku bisa mendengar napasnya terengah.

"Tiga minggu lalu gue baru jatuh dari atas tebing. Lo nggak mikirin gue kena trauma ketinggian atau apaa gitu ?"

Ia hening. Gerakannya terhenti. Aku juga berhenti. Kami terdiam diketinggian —mungkin— dua meter dari permukaan.

"Oh, iya, ya ? saya lupa. Hehe."

Ah, sudah terlambat untuk gemetaran sekarang juga. Puncaknya sudah terlihat. Puncak pohon ini lebih dekat daripada permukaan tanah itu sendiri.

"Kita manjat sampai mana ?"

"Sampai puncak," jawabnya, "Ayo."

Kami melanjutkan mendaki batang panjang bercabang-cabang dengan daun teramat rindang. Dari kejauhan tubuh kami yang menggelantung bak orang utan tentu tidak akan kelihatan. Tersamar sepenuhnya oleh daun-daun hijau yang merindang disekitaran. Aku sudah tidak bisa lagi menerka jarak tatkala dimata ku puncak pohon yang mengerucut keatas hanya terlihat sepanjang dua tangan orang dewasa. Kami berhenti disini. Kak Sancaka berusaha memindahkan tubuhnya sendiri berdiri diantara dua cabang besar yang kokoh. Ia kemudian mengulurkan tangan untuk menuntunku kearahnya.

Disinilah ketidaksengajaan yang teramat tolol terjadi. Aku sempat-sempatnya melihat kebawah.

"Rora, cepat!" Kak Sancaka menyentak-nyentak tangannya di udara. Meminta tangan ku yang tak kunjung bergerak. Kalau tidak salah taksir pohon ini mungkin dua kali tinggi gerbang masuk Bawah Tanah. Kalau jatuh, aku mungkin akan terasuk-saruk ranting pohon sepanjang perjalanan menggauli gravitas, mematahkan dua sampai tiga tulang penting, membuat banyak memar dan luka, hingga yang paling buruk, tubuhku mungkin akan mendarat dengan terpotong dua.

Aku menelan liur ku susah payah. Tubuh ini rasanya semakin kaku. Tapi juga semakin lemas. Aku tidak bisa bergerak dari ranting cabang yang aku jejaki menuju cabang yang Kak Sancaka pijaki. Rasanya jarak dua jengkal itu telah melebar menjadi berhektar-hektar tanah.

"Apa yang kau lakukan ? Ayo!" desak cowok itu.

Ih! Jadi cowok kok nggak peka, sih ?!

"Nggak bisa," aku terkejut mendengar suara ku sendiri. Padahal, rencananya aku mau membentak. Tapi entah kenapa yang keluar malah rengekan macam budak minta permen sama ayahnya.

Kak Sancaka mengernyit. "Kenapa ?"

"Takut ..."

Shit!

Sejak kapan suaraku jadi melambai dan bernada.

"Nggak papa, aku pegangin."

Ia mencondongkan tubuhnya agar bisa meraih tangan ku. Sontak aku megap-megap. Sekuat mungkin berpegangan pada batang pohon dan menjauh dari raihan tangannya.

"Nggak papa."

Aku menggeleng. Menolak berbicara kalau harus dengan suara yang menjijikan.

Kak Sancaka tampaknya punya minus satu juta. Sampai-sampai wajah pucatku dari jarak sedekat ini saja tidak berhasil dia lihat. Cowok itu menyambar tangan ku dan menariknya secara tiba-tiba. Aku terkejut bukan main. Keseimbangan ku hilang dan kaki ku memijak udara. Seandainya aku ninja Konoha, aku tidak akan senam jantung mendadak. Tapi sayangnya aku bukan. Aku berteriak sekeras-kerasnya ketika tubuhku tertarik gravitasi. Lalu menahan napas sekuat-kuatnya manakala badan ku kembali tertarik keatas.

Kak Sancaka memegangi pergelangan ku keras sampai rasanya seperti terkilir ketika ia menarik ku keatas. Cowok itu memelukku secepat kilat kemudian merebahkan dirinya sendiri yang limbung bersandar pada batang pohon menghindari terjatuh kebelakang. Lalu waktu pun seolah dipaksa berhenti setelah diguncang dengan mahadahsyat.

Kami berdua hening. Terengah masing-masing. Tubuh kami tidak berjarak. Kak Sancaka masih menahan punggungku agar tidak bergerak menjauh. Kurasa ia juga terkejut akan apa yang baru saja terjadi. Dari jarak yang tidak berjarak ini, aku bisa merasakan jantungnya berdentum hebat. Dadanya naik-turun menubruk dadaku. Tubuhnya menegang. Sama hal nya dengan aku.

Sebelah lengannya masih melingkari leherku. Kini pelukan itu semakin mengerat. Ia melemaskan sedikit tubuhnya tetapi pelukannya masih erat. Kepalanya bersandar ke batang pohon. Tangan satunya berpegangan pada cabang pohon disisi tubuh kami. Aku melepaskan semua ketegangan dan beristirahat dibahunya.

"Gue ..." Napas ku belum cukup membaik. "Terlalu lemas untuk nampar lo."

"Syukurlah."

Pelukannya kian mengerat.

"Kau tidak papa ?"

"Gue 'tidak' tidak papa."

"Saya akan membayar mu dengan pantas," katanya, "kamu masih ingat kata-kata saya?"

"Memetik bintang ?"

Kak Sancaka hening. Angin berhembus lebih kuat. Gemerisik dahan terdengar begitu ribut. Aku bersyukur menerima sweternya. Diatas sini rupanya bersuhu lebih dingin.

Tapi bagaimana dengan dia ?

"Lo nggak kedinginan ?"

"Saya hangat dipeluk cewek cantik."

Spontan aku menarik diriku darinya. Wajahnya seketika dilanda panik. Tapi berubah ketakutan ketika melihat mata ku sudah setajam keris antik koleksi dukun gadungan. Ia akhirnya membiarkan ku berdiri sendiri setelah melihatku berhasil mengokohkan pijakan ku disela-sela cabang pohon. Aku berpegangan pada cabang sisi tubuh kami. Tangan ku agak terangkat meraih letak cabang yang agak tinggi. Kami berdiri berhadapan.

"Lo kedinginan aja, nggak papa. Gue nggak jadi khawatir."

Ia menegakkan badannya. Wajahnya condong pada wajah ku. Senyum miring yang khas itu kembali terbit. Matanya berkilat manakala ia berkata, "kamu khawatir sama saya ?"

"Gak usah ge'er—"

"Aurora," ia memotong. Matanya memandang jauh kebelakang tubuhku. "Kenapa kamu nggak berbalik ?"

Aku bingung kenapa dia tiba-tiba mengubah arah pembicaraan. Tapi, akhirnya aku mengikuti katanya. Aku berbalik dengan perlahan. Mata ku menyapu sekitaran. Pemandangan yang baru kusadari lebih indah pada letak ketinggian. Rasanya, segala rasa takut akan tertarik oleh gravitasi memudar dan menghilang. Rasanya, semua ketakutan itu terbayar oleh harga yang pantas. Rasanya seperti baru saja memenangkan alam. Lima belas kaki diatas permukaan. Rasanya aku seperti melayang. Dari atas sini, semua terlihat dengan begitu jelas. Hamparan hutan lindung Bogor yang diselimuti gulita dan temaram cahaya bulan. Langit malam menaungi kami seperti selimut violet memaparkan bintang-bintang.

Angin berdesir lebih lembut. Suara desingnya bagai alunan musik malam. Bila perlu sebuah deklarasi, maka aku akan mendeklarasikan. Ini adalah pemandangan maha agung paling tak terdefinisikan yang pernah mata ini abadikan. Lebih indah dari temaram lampu kota yang kulihat dari ketinggian gedung dua puluh lima kaki. Kak Sancaka menawarkan alam malam dengan kemolekan sesungguhnya. Bibir ku tak kuat mengulas sebuah senyum ketenangan.

Aku bisa merasakan pergerakan Kak Sancaka dibelakang. Ia menuntunku bergerak ke dahan demi dahan. Berpindah kesatu pijakan ke pijakan yang lain hingga kami menemukan sisi yang pas dimana langit malam dapat terpandang tanpa satupun halangan.

"Apakah ini cukup untuk membayar mu ?"tanyanya. Suaranya rendah tepat ditelinga ku. Aku bisa merasakan ia menghembus napas didekat sana. Kak Sancaka memijak dahan yang sedikit lebih tinggi dari dahan ku. Ia bertumpu pada dahan lain di sisi tubuh kami dimana tangan ku juga berada disana. Dengan tingginya, posisinya yang mencondongkan kepala ke samping kepalaku membuat ku merasa dia seperti tengah menaungi ku.

"Ini indah," kata ku.

"Kamu tahu, nggak, Selena ngomong apa waktu pertama kali dia laporan soal kamu ?"

Aku menggeleng.

"Aurora Bhayangkari, 15 tahun, lahir 3 November 2004 di Jakarta. Gadis ini yatim piatu, dia sombong, angkuh, kasar, nggak punya banyak teman,  sering dilabeli sebagai orang jahat, dan semua orang takut padanya. "

"Semua tentang ku buruk, ya ?" kata ku masam.

"Tapi, anak ini spesial," aku terdiam, "dan orang-orang nggak bisa melihat itu karena anak ini pandai menyembunyikan segalanya. Anak ini yatim piatu, hidupnya sulit sejak kecil, perusahaan ayahnya hampir bangkrut. Kalau bukan karena omnya mau mengambil alih, anak ini nggak akan punya apa-apa."

Kak Sancaka menarik napas. Aku masih terdiam.

"Tapi anak ini mandiri, anak ini nggak pernah menangis meskipun dia kesakitan. Alih-alih, dia melampiaskan semuanya dengan marah-marah. Anak ini bukan siapa-siapa. Tapi dia jenius, dia punya bakat memimpin.  Dia dilantik jadi komandan paskibra, karakternya dibentuk disana. Orang-orang bilang anak ini jahat, anak ini nggak punya hati, tapi nggak pernah ada yang tahu bahwa anak ini selalu datang paling pagi kesekolah. Mengerjakan piket meski itu bukan hari piketnya. Nggak ada yang tahu anak ini yang pulang paling akhir karena dia mau nemenin satpam sekolah nutup pagar biar satpam sekolahnya nggak pulang sendirian. Nggak ada yang tahu setiap kali anak ini melihat teman-temannya dijemput orang tuanya, anak ini selalu merasa iri. Anak ini menginginkan hal yang sama—"

"Cukup," ku remas tangannya agar ia berhenti. Aku tidak pernah benar-benar terbiasa mendengar seseorang dapat membaca ku sedemikian akurat. Aku tidak pernah benar-benar terbiasa mengetahui seseorang mengenaliku sedemikian dalam. "Kelihatannya, lo tahu banyak tentang gue, ya ?"

Aku menahan napas. "Apa yang sebenarnya lo mau bilang ke gue, Kak ?"

Kak Sancaka berdeham. Aku merasakan tubuhnya kian merapati ku. "Orang-orang nggak akan pernah benar-benar melihat bahwa sebuah batu bisa terkikis juga. Orang-orang nggak akan pernah benar-benar menyadari bahwa sebuah batu jelek kusam yang diabaikan di pinggiran jalan bisa menjadi sesuatu yang indah dan bernilai. Tapi Bawah Tanah bisa melihat semuanya. Bawah Tanah bisa menyadari bahwa batu itu bisa saja sebuah berlian yang tersamarkan. Bawah Tanah mungkin tempat kita bisa bersinar tanpa beban sosial.

"Tapi apakah kamu tahu, Rora ? Pada akhirnya, beban sosial yang kita rasakan hanya akan berganti dengan beban kehampaan yang sulit hilang. Melangkah ke dunia mata-mata bukanlah sebuah keputusan yang bisa diambil dengan mudah. Di dunia ini, kita akan ditarik untuk menghilang dari semua peradaban. Kita mungkin tidak akan pernah bisa bertemu dengan teman-teman semasa kecil kita lagi. Kita mungkin akan semakin menjauh dan menjarak dengan keluarga kita. Apakah menurut mu ini adalah harga yang pantas, Aurora ?"

Aku tidak menjawab.

"Semua anak yang ada disini datang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tapi masa depan kami semua sama. Kami adalah bibit berlian. Kami diasah agar dapat bersinar. Bawah tanah mungkin melihat potensi pada setiap anak spesial. Tapi Bawah Tanah tidak pernah benar-benar menyadari bahwa berlian yang terus menerus diasah tidak pernah menjamin akan menjadi lebih bersinar. Berlian itu bisa rusak," ia menghela napas. "Kita semua bisa rusak."

Aku memandangi kehampaan nun jauh disana. Kak Sancaka tidak butuh waktu lama untuk kembali bersuara. "Cara kita bersinar mungkin bukan sesuatu yang bisa diterima orang-orang. Karena itu anak-anak yang spesial terkadang mendapat banyak diskriminasi dari lingkungannya. Tapi bukan berarti kita tidak membutuhkan manusia lain. Suatu saat nanti ketika kita merasa hilang arah, ketika kita merasa hampa, kita tetap butuh seseorang. Kita butuh penuntun agar kita tidak rusak. Dari sejak pertama kali aku melihat mu ..."

"Waktu bom meledak itu ?"

Kak Sancaka terkekeh kecil. "Aku sudah melihat mu jauh sebelum hari itu, Rora," katanya lembut. Ia meneruskan, "sejak pertama kali aku melihatmu, aku selalu ingin agar kamu tidak pernah rusak. Ini, adalah salah satu caraku mewujudkan hal itu."

Tangannya terulur disamping kepalaku. Ia menunjuk sesuatu diatas langit. "Kamu lihat bintang paling terang itu ?"

Aku mendongak menyesuaikan pandangan ku dengan apa yang ditunjuknya. Bintang paling terang yang Kak Sancaka maksud berada tepat didepan kami. Bintang paling bersinar yang terlihat paling besar. Meskipun paling besar disini adalah sebuah titik kecil yang kami lihat diatas langit.

"Eh-hem," aku mengangguk.

"Kamu tahu sesuatu tentang bintang utara ?"

"Polaris ? Bintang yang jadi penunjuk arah itu ?" aku menunjuk bintang terang yang ditunjuk Kak Sancaka. "Bintang itu bukan polaris. Polaris hanya bisa dilihat dari bumi Utara. Indonesia ada di bumi timur."

"Kau benar. Itu memang bukan polaris. Tapi, menurutku kita bisa menemukan Polaris kita sendiri. Dulu, seseorang pernah berkata padaku, 'akan ada saat dimana kamu hilang arah, Sancaka. Dan saat itu tiba, kamu hanya perlu melihat ke langit. Bintang pertama yang kamu lihat, itu adalah polaris mu.' sekarang, disaat yang sama, aku akan mengatakan ini padamu, Rora. Sekuat apapun kita, sepintar apapun kita, akan ada saat dimana kita tidak tahu harus berbuat apa. Akan ada saat dimana kita tidak lagi bisa mempercayai diri kita dan seisi dunia. Dan saat itu tiba, saat dimana kamu kehilangan arah, kamu hanya perlu melihat ke langit. Bintang pertama yang kamu lihat, itu adalah polaris mu."

Aku memandangi bintang dengan cahaya paling terang di langit. Polaris, sejak berabad-abad lalu telah dipercaya menjadi penunjuk arah manusia. Manusia telah mempercayai bintang utara sebagai pedoman dari kesesatan. Utara adalah sang penuntun.

"Sudahkah Kakak menemukan polaris Kakak sendiri ?" tanya ku.

"Aku ..."

Kak Sancaka tida melanjutkan. Aku menoleh padanya hanya untuk terkejut tatkala menemukan matanya yang selama ini ku kira tengah memandang langit rupanya tengah tertuju padaku. Ia membelalak ketika aku menoleh. Tapi ekspresinya terkontrol dengan cepat.

"Kak—"

"Aurora, apakah kamu sadar ?" Matanya memaku padaku hingga kurasakan seluruh sendi ku mengeras dalam tatapannya. "Kamu bersinar."

Aku bersinar ?

Angin berhembus menerbangkan rambut kita. Ku hidu aroma kelembapan subuh hari. Kak Sancaka memandangi aku dengan binar kekaguman yang menyala dimatanya. Mata kami saling memaku dalam kebekuan waktu yang tetiba. Sampai tak tersadari langit mulai menyala.

"Kamu seperti bintang."

Pelik. Jantung ku berdesir lebih kencang dari yang pernah aku bayangkan. Lebih hebat berdetak dari yang terakhir kali aku rasakan. Labirin kelam netra lelaki ini memerangkap ku. Kata-katanya memantrai ku.

"Kamu cantik."

Gaduh gelisah bukan hanya milik angin. Melainkan milik sanubari ku yang tiba-tiba porak-poranda. Seperti ada suara yang lebih berdentam daripada jatuhnya realitas dan akal pada saat yang sama. Lalu kurasai, cahaya hangat yang datang dari ufuk timur. Menerbitkan semburat jingga menyertai rembasnya gulita pada pergantian fase hari. Merepih dinginnya udara dengan sorot-sorot cahaya kehangatan.

Lalu kulihat mata kelam itu lebih bercahaya dari sang polaris. Kulihat kepalanya yang berangsur mendekat dan matanya yang merendah. Jingga melatar belakangi kami. Pohon setinggi lima belas kaki menyaksikan kami. Saat-saat luruhnya akal oleh silabus rasa asing yang begitu memabukkan. Saat-saat terepihnya segala arogansi oleh euforia menyaksikan matahari terbit yang cahayanya terpancar pula dari mata seseorang di atas ketinggian yang sudah tak terdefinisi. Hanya ada pemikiran bahwa semua ini indah yang terlintas didalam kepalaku. Detak demi detak yang menghambur dan membuncah ruah kan akal sehat mendorong ku. Lalu perlahan wajah ku turut ku majukan. Bersama dengan mentari yang beranjak kian mengangkasa. Sinarnya membutakan kami.

Kak Sancaka, bukan hanya kamu yang melihat ku bersinar. Aku ... Juga melihat hal yang sama.

__________

Catatan Penulis

Baiklah, bab ini sungguh bab paling sulit yang pernah ku tulis. Nulisnya butuh mood yang bagus, butuh sambil dengerin lagu, butuh membayangkan sesuatu dan suasana yang berbeda. Jauh berbeda dari bab-bab sebelumnya.

So, bagaimana pendapat kalian soal bab ini ?

Sebenarnya, bab ini harusnya menjadi bab yang uwu-uwu gemay, sedikit baper, drama, and little bit mellow. Tapi, gatau, nih, gimana feel dikalian yang baca. Apakah kurang uwu ? Apakah kurang baper ? Apakah terlalu mellow ? Please comment about what you're thinking.

Romantisme memang bukanlah ranah ku. Kalau masih terkesan weird, mungkin aku masih harus lebih banyak belajar lagi soal itu. Ada yang mau rekomend cerita teen fiction romance yang baper and uwu-uwu ? Kalau ada please komen 🙏🥺🥺

Oke, segitu aja cuap-cuapnya. Terakhir, kalau ada yang mau ngasih kritik dan saran, boleh banget tulis di komentar. Kalau suka sama bab ini, boleh banget pencet tombol 🌟

And, please follow me to appreciate my hard work and to become my friend in this oranges world 😉

Sampai jumpa di bab berikutnya ... ❤️❤️

__________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top