24. Membawamu Memetik Bintang

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

... dewan komite nggak bisa nutupin rahasia ini lama-lama. Pihak atas pasti bakal curiga ...

ssttt! Jangan keras-keras! ... sesuatu tentang Sarah, atau beliau, nggak boleh sampai ada yang tahu ...

Anak itu nggak siap!

Dia harus siap! Gimanapun caranya!

... Dia masih kurang segalanya ...

... Kita harus bertindak cepat! ... Kita nggak bisa menyia-nyiakan waktu lagi.

... Saya nggak setuju!

... Udah tujuh tahun lebih ... kasus ini harus tuntas!

Kita harus menyiapkannya!

Aku terbangun oleh ketukan pintu didepan kamar ku. Ku lirik jam di dinding, masih jam tiga pagi. Anya masih tidur seperti orang mati di ranjang sebelah. Mulutnya terbuka. Ada sungai buatan diujung bibirnya.

Aku ingin mengumpat. Siapa, sih, yang bertamu di pagi buta begini ?! Ku pindahkan bantal keatas kepalaku. Usaha meredam semua suara. Lalu mencoba untuk tidur.

"Ra ?"

Mata ku spontan terbuka. Itu bukan suara Anya. Suaranya terlalu berat. Itu lebih seperti suara laki-laki. Ku enyahkan bantal dari kepalaku dan mengambil posisi duduk. Pistol pemberian yang sepaket dengan seragam selalu ku taruh di laci nakas. Ku buka laci itu dan mengambil satu-satunya senjata yang ku miliki. Persetan dengan pelurunya cuma karet, kalau kena tembak pasti akan sakit juga. Langkah selanjutnya yang kuambil adalah berjalan mengendap menuju pintu. Lelaki manapun yang berani datang ke kamar perempuan jam tiga pagi, apapun alasannya, akan ku hadiahi setidaknya satu tonjokan diperut.

"Ra ? Buka pintunya. Ini saya—"

Klik

"Siapa lo, hah ?! Berani-beraninya—" mata ku melebar. "Caka ?"

"Yaampun, harus berapa kali, sih, aku bilang ? Sama orang yang lebih tua, tuh, yang sopan. Panggilnya harus pakai—"

"Ngapain lo disini ?"

Ku tutup pintu secepat mungkin. Mencegahnya melihat isi kamar ku. Ku dorong ia agar menjauh sedikit, cowok ini jadi terlalu dekat ketika aku melangkah keluar.

Aku bersandar di pintu. Meneliti penampilannya. Jambulnya yang biasa rapi keatas agak turun dan berubah jadi poni acak. Rambutnya agak masai, beberapa bagian mencuat keatas memberi kesan berantakan. Lelaki ini datang memakai celana bahan hitam dan kaus putih tipis yang dibalut sweter putih. Tudungnya ia biarkan menggantung dibelakang.

Cowok ini nyengir dengan muka bantal. Ada belek diujung matanya dan itu sangat menggangguku. Jadi ku peringati dia tentang keberadaan benda putih itu yang segera dia singkirkan dengan ujung jarinya. Kemudian dia melihat ku dan jarinya menunjuk mata ku. Ia bilang, "ada juga diujung mata mu."

Aku spontan memegang ujung mata ku. Ketika aku tidak menemukan apa-apa disana, ia nyengir dan berkata, "tapi bohong."

Aku memukul lengannya. "ngapain lo disini, jam tiga pagi, di asrama cewek ?!" cecar ku saat itu juga.

"Ikut saya, yuk ?" Ajaknya kelewat riang.

Aku segera menunjukkan pistol ku.

"Pergi nggak lo! Gue ngantuk."

"Sebentar aja. Saya mau ngomong."

"Dalam hitungan tiga, kalau lo nggak pergi dari sini ..."

"Kamu bakal teriak ?"

Aku hampir tersedak oleh tawa ku sendiri. Enak saja. Dia pikir aku cewek lemah gemulai yang suka teriak-teriak nyaring cuma gara-gara ada cowok bahlul mengetuk pintu kamar ku. Aku lebih tangguh daripada itu.

"Gue bakal Jambak kepala lo, terus gue tendang anu lo, Biar lo sendiri yang teriak dan ngundang guru-guru biar pada datang!"

Kak Sancaka meringis seolah aku sungguhan menendang anunya. Dasar cowok alay!

"Rora," suaranya melembut, "kenapa kamu nggak tendang hati kamu aja ? Dijamin, deh, pasti saya tangkap."

Aku cepat-cepat membuka pintu hendak kembali pada pelukan bantal dan guling dan mengenyahkan cowok sédéng ini dari hadapan ku. Tapi dia buru-buru mencekal tangan ku.

"Saya tahu kamu dengar pembicaraan saya sama Selena di tangga tadi siang," katanya.

Aku berhenti. Ingin rasanya mengelak. Tapi tahu tidak akan berguna. Ku tarik pintu kamar ku agar tertutup kembali. Mata ku memicing kearahnya. "Terus ?"

"Bisa ikut saya sebentar ? Kita ngomong sambil jalan."

...

Karena letaknya didalam hutan, jam tiga pagi di Bawah Tanah memiliki suhu dua kali lebih dingin dari suhu jam tiga pagi di Jakarta. Sancaka membawa ku keluar untuk berjalan-jalan mengelilingi kompleks tanpa mengingatkan aku untuk membawa jaket. Meski piyama yang ku kenakan berlengan panjang, kain tipisnya tentu tidak akan dapat mencegah bulu roma ku berdiri semua.

Kami menyusuri jalan paving blok di sekitaran arena olahraga yang dihiasi taman-taman kecil dibeberapa tempat. Disamping kami, adalah lapangan basket yang dibatas dengan pagar terali besi setinggi dua meter. Lampu-lampu jalan yang terpasang dibeberapa sudut membuat suasana menjadi temaram. Area ini begitu sepi. Sayup-sayup suara malam seperti iring-iringan musik pengantar acara jalan-jalan malam kami.

"Langitnya indah, ya ?" gumam Kak Sancaka.

Kepalanya tengadah pada mahakarya tuhan yang membentang megah diatas sana. Bulan sabit menggantung cerah dan bersinar. Taburan bintang kecil-kecil menerangi bagian-bagian gelap dan menghapus gulitanya.

"Iya," jawab ku.

Kami memelankan gerakan guna menikmati setiap inci dari lukisan violet raksasa itu.

"Seseorang," Kak Sancaka membuka suara, "seseorang harus punya tanggung jawab untuk menjaga keindahan itu agar tetap seindah yang kita lihat saat ini. Agar bulan tetap bersinar seterang ini. Agar bintang-bintang tetap menemani setiap manusia disetiap malam. Melipur lara dan luka yang didapat kala langit masih terang."

Aku memperhatikan garis wajah pinggirnya. Ia punya rahang yang tegas. Dari sisi ini, aku bisa melihat tulang hidungnya yang bangir, anak rambutnya yang tumbuh sampai bagian atas telinga, rambut tipis disekitar dagunya, dan matanya yang berbinar. Matanya memantulkan cahaya bulan dan bintang dengan cara berbeda. Aku mungkin sudah gila. Tapi tatapan Kak Sancaka seperti seseorang mengamati mimpi-mimpi kecilnya tumbuh dan hilang. Dan itu amat melarungkan.

"Kamu tahu apa yang kami —sebagai murid terbaik dan dewan komite siswa— emban, Aurora ?" aku terkejut manakala ia tiba-tiba menoleh padaku. Wajahku terasa panas. Buru-buru aku memalingkan muka kedepan dan membiarkan ia menjawab sendiri pertanyaannya. "Saya, Selena, Cempaka, dewan komite siswa, kami mengemban tugas itu. Disini, di Bawah Tanah, Kamilah yang bertanggungjawab memastikan agar semuanya tetap baik-baik saja. Iya, kami punya rahasia. Ada satu kasus. Kasus ini kasus besar. Kamu tahu cerita tentang seorang siswa yang meninggal ?"

Ingatan ku mengunjungi saat dimana Anya menceritakan padaku soal persaingan saat malam keakraban. "yang seangkatan Mas Raga ?"

Kak Sancaka mengangguk. "Namanya Sarah. Dulu, dia murid terbaik angkatan itu. Dan dia meninggal ... waktu menjalankan misinya." Dia menjeda kalimatnya. "Yah, ini sebenarnya rahasia, sih. Tapi karena kamu terlanjur tahu ..."

"Nggak papa," sebelum dia bicara lebih jauh, aku menghentikannya. Kak Sancaka menatap ku tidak mengerti. Aku tersenyum kecil. "Lo nggak perlu ngasih tahu gue. Asalkan itu nggak ada sangkut-pautnya sama gue, lo nggak perlu kasih tau gue."

Aku telah mendengar banyak nama Sarah disebutkan dalam beberapa kesempatan. Dan namanya tidak pernah membawa kebahagiaan. Orang-orang yang menyebutkan dan mendengarnya, selalu memiliki mata yang redup dan bibir yang gemetar. Aku melihat kesedihan itu pada wajah Pak Hendrik yang terlihat kokoh, pada wajah Kak Sancaka yang tak ku sangka bisa begitu menyembilu, dan pada Velidsa yang bahkan gemetar tatkala ia menyebutkan namanya.

Aku tidak tahu bagaimana kisah hidup Sarah malang melintang di Bawah Tanah, sehingga kematiannya menjadi luka lama yang sulit dihapus. Tapi selagi aku hanyalah murid baru yang tidak tahu apa-apa, kurasa segala tentang Sarah tidak patut ku campuri. Mungkin rahasia tentangnya tidak perlu ku ketahui. Agar aku tidak membangkitkan luka orang-orang yang terlibat akan sosok Sarah itu.

"Emm ... 'anak itu' yang lo maksud waktu ngomong sama Kak Selena itu ... bukan gue, kan ?" tanya ku. Memastikan aku tidak ada hubungannya. "atau Anya ? Atau siapapun yang gue kenal ? 'anak itu' itu maksudnya bukan mereka, kan ?"

Kak Sancaka terdiam. Ia tersenyum menghangatkan. Ku anggap itu sebagai jawaban 'ya'.

"Tapi ... saya nggak masalah cerita sama kamu. Entah kenapa, saya punya firasat kamu bakal jadi murid terbaik angkatan kamu. Setiap murid terbaik, kita punya tanggung jawab untuk menyelesaikan sebuah misi. Dan karena misi ini belum rampung sejak tujuh tahun lalu, misi ini mungkin akan jadi salah satu misi yang kamu jalani nanti."

"Gimana kalau gue tahunya nggak jadi murid terbaik ?" tanya ku. Kak Sancaka menoleh. "Lo masih mau cerita ?"

Sekali lagi, ia tersenyum menghangatkan. Lesung pipi timbul di pipi di ujung bibirnya. "saya percaya kamu bisa jaga rahasia."

Kemudian Kak Sancaka menceritakan sedikit tentang seseorang bernama Sarah. Sarah Azhari Tahir, adalah putri sematawayang dari Hendrik Wiguna Tahir, kepala sekolah saat ini. Ia meninggal tujuh tahun lalu. Gugur saat menjalankan misi besar terakhirnya sebelum lulus dari Bawah Tanah. Misi itu adalah misi besar yang telah dimulai sejak 2009, empat tahun sebelum Sarah menerima misi dan gugur dalam tugasnya.

Tepatnya pada 15 Februari 2009, BIN mengeluarkan surat perintah pembersihan kelompok perdagangan ilegal yang diduga menjual organ manusia pada pasar gelap internasional. Awalnya, misi ini ditugaskan pada kelompok agen khusus. Tapi karena setelah empat tahun tidak menemukan titik temu, pihak BIN mulai merekrut siswa Bawah Tanah. Hanya murid terbaik diantara yang terbaik yang terpilih. Dan disinilah, awal mula tragedi persaingan yang menimbulkan kematian Sarah Azhari Tahir dimulai.

Singkatnya, ada dua kandidat dalam seleksi dan salah satunya akan membantu agen khusus menjalankan misi. Dua murid yang —seperti bagaimana legendanya mengatakan—  sangat ambisius itu, bersaing seperti dunia akan kiamat jika mereka tidak mendapatkan kehormatan itu. Seperti bagaimana telah diketahui, Sarah lah yang mendapatkan lencana kehormatan murid terbaik. Ia ditugaskan berangkat ke provinsi di timur yang tidak disebutkan jelas tempatnya untuk mencari bukti. Ia menerima data-data rahasia yang telah dikumpulkan selama empat tahun untuk membantu penyelidikan. Namun entah bagaimana data itu bisa bocor pada saingannya yang sama gila. Dilandaskan rasa tak terima, saingannya menjual sebagian kecil data tentang Sarah kepada kelompok target terkait. Sarah diculik dan dibunuh, organnya diambil untuk dijual, sementara sisa tubuhnya dikirimkan ke rumah Sarah sebagai peringatan. Tragedi hitam paling keji sepanjang sejarah Bawah Tanah, demikian mereka menyebutnya.

"Intinya, kematian Sarah menyadarkan pihak-pihak Bawah Tanah bahwa sistem yang mereka anut saat itu amat sangat salah. Itu sebabnya kamu direkrut dengan cara istimewa oleh kami. Ujian mu dan Faradita bukan ujian biasa. Ujian-ujian itu ditujukan untuk membentuk sisi moral dan kepemimpinan kalian, agar tidak hanya diri sendiri yang kalian pedulikan. Tapi semua orang sebangsa dan setanah air. Kalian adalah bentuk perubahan Bawah Tanah menuju arah yang lebih baik."

Aku tersanjung dengan kata-katanya. Tapi demikian keraguan menyambangi ku. "lo sungguhan nggak papa nyeritain semua itu ke gue ?" tanya ku sangsi. Informasi itu sensitif untuk seorang mata-mata. Kami yang dididik sebagai calon mata-mata tentu saja tidak bisa asal membeberkan sesuatu pada seseorang.

"Yah, saya nggak bisa kasih tahu semua detailnya, sih. Tapi," ia menghentikan langkahnya. Tangannya memaut jemari ku agar aku berhenti juga. Aku berbalik dan menatap matanya. "Tapi ketika suatu saat nanti, kamu tahu semua kebenaran tentang ini, saya mau kamu janji bahwa kamu nggak akan menyerah, Rora."

Aku tercenung. "maksudnya ?"

"Janji, kamu nggak akan menyerah akan apapun. Janji, kamu akan selesaikan semuanya."

Aku memandang netra gelapnya. Sejak awal, mata Sancaka selalu memberi ku tatapan yang tidak pernah ku mengerti. Mata Sancaka adalah misteri. Didalam sana, mungkin jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang tak bisa aku lihat. Yang tidak pernah aku tahu.

"Gue nggak ngerti "

"Hanya, berjanjilah."

Aku tercenung lagi. Apa tujuannya ? Untuk apa janji ini ? Apa yang dia inginkan dari ku ? Semuanya sangat tidak terbaca. Sancaka tidak pernah bisa ku tebak. Tingkahnya adalah anomali untukku. Tapi, biar demikian lelaki ini tidak menyembunyikan sirat tulusnya. Matanya yang lembut memberikan ku tatapan bahwa dia serius. Aku tidak tahu dia serius untuk apa.

"Gue janji," kata ku Akhirnya. Kak Sancaka melegakan napasnya. Bahunya turun kebawah. Menyadarkan ku bahwa selama pembicaraan ini ia menegang.

"Gue nggak ngerti, deh, kak," kata ku. Kami lanjut berjalan. "Kenapa BIN mengandalkan anak-anak kayak kita buat misi negera yang jelas banget nggak boleh main-main ? Kenapa mereka nggak cukup sama agen profesional aja ? Kenapa harus anak-anak kayak kita ?"

Kak Sancaka mengulum senyum sejurus tatapannya yang mengarah kebawah, "jangan meremehkan murid-murid Bawah Tanah, Rora. Bahkan jangan meremehkan dirimu sendiri. Kita tidak dididik hanya dengan misi simulasi, kita merajut pengalaman dengan menjalankan misi sebenarnya. Kita semua lebih dari layak dan mampu untuk melakukan itu semua. Asal kau tahu."

Sekurang-kurangnya dua ratus anak terbaik ada didalam sekolah ini. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menjadi salah satu diantaranya. Tapi mungkin Kak Sancaka benar, aku tidak boleh meremehkan diriku sendiri. Dan sesungguhnya, aku memang layak bukan ?

Belakangan tingkat narsis ku menurun ke kadar dimana aku bahkan ragu akan potensi ku. Rasanya sudah lama tidak bilang: aku ini Aurora Bhayangkari, si anak genius, elitis paskibra, murid spesial Bawah Tanah, dan calon murid terbaik (kalau kata Kak Sancaka).

Ya ampun, kenapa aku pintar sekali ? Kenapa aku begitu spesial ?

Anya pasti iri dengan ku.

Oke, cukup sampai disana memuji diri sendirinya.

Kak Sancaka mengalami perubahan suasana hati yang begitu drastis. Anak ini tiba-tiba berdiri menghalangi jalan ku, kemudian mengulurkan tangannya. Lalu dengan senyum miring khas nya, Dia berkata, "ikut saya, yuk ?"

Ini kedua kalinya dia mengajakku ikut dengannya.

"Kemana ?"

Tanpa izin, tanpa basa-basi, tanpa bilang sepatah kata pun, Kak Sancaka dengan tatapan sendu dan raut muka halus berubah menjadi Kak Sancaka si cowok tengil kurang ajar yang semena-mena menggenggam tanganku. Belum cukup sampai disana, orang bahlul ini menarikkku lari-lari.

Aku sontak melotot dan berusaha menahannya. Tapi dia menarikkku dengan kekuatan ninja Konoha hingga aku terseret-seret mengikuti langkahnya yang besar dan lebar.

"Heh, orang gila taman Lawang! Lepasin nggak, lo ?! Sakit tahu! Heh, ular Sanca, buaya darat, kutu loncat, anj—"

Ia tiba-tiba berhenti. Menarikkku untuk berdiri satu inci darinya. Berujar, "cantik-cantik mulutnya kotor banget, ya. Diem dulu, napa ? nggak bakal saya bawa lari ke KUA, kok. Khawatir banget, sih."

Aku menarik tangan kami yang bergenggaman keatas sampai hampir menonjok keningnya. "Makanya lepasin! Apa-apaan, sih, lo ?! main pegang-pegang aja."

Ia nyegir kuda. "iya, iya, ini dilepasin. Galak banget, sih, ya Allah ..."

"Sekali lagi lo pegang-pegang gue,"aku membuat isyarat 'tamat riwayat mu' dengan menggaris leher ku dengan jari telunjuk. "Gue umpanin lo ke orang gila taman Lawang!"

"Iya, iya, sini ikut makanya."

"Kemana ?" tanya ku sewot.

Memang pada dasarnya cowok burik bernama Sancaka Tirtayasa ini terlahir dari setetes air mani setan dan liur iblis, ia sama sekali tidak menangkap apa yang ku katakan sebelumnya. Kedua kalinya dalam lima menit, orang ini dengan lancangnya menaruh tangannya pada tangan ku dan menariknya kesetanan. Ia membawa ku lari-lari seolah dibelakang kami sungguhan ada orang gila taman Lawang.

"Heh, gue potong juga tangan lo, ya—"

Aku mungkin sudah gila.

Sudah berapa kali aku mengatakan itu ?

Aku mungkin sudah gila. Karena dimata ku Kak Sancaka tiba-tiba terlihat begitu berbeda. Mungkin karena cahaya bulan yang memantul di kulit putih gading dan rambut kelamnya. Mungkin karena aku mengantuk hingga apa yang kulihat dengan apa yang aku pikir aku lihat agak melenceng dari seharusnya. Tapi tatkala dia menoleh pada ku disela-sela lari kami. Ketika aku bisa melihat jambul depannya naik turun berguncang-guncang oleh langkah kami. Ketika mata kami saling bersitemu dan memaut satu sama lain dalam sepersekian sekon yang singkat namun tiba-tiba terasa begitu lambat dan membeku. Ketika ia menyungging sebaris senyum miring hingga timbul lesung pipi diujung-ujung bibirnya. Dan ketika suaranya yang rendah dan dalam mengalir di indera dengar ku.

Mengatakan, "ikut aku! Aku akan membawamu memetik bintang!"

Aku seperti tersihir oleh kata-kata bak mantra yang ia utarakan. Aku terpaut pada mata beriris kelamnya yang berbinar dan teduh. Kemudian semuanya terasa begitu mengambang dan tak nyata. Dada ku berdentum tak keruan seolah memaksa ruang rongga terbuka untuk membiarkannya meloncat keluar. Aku tidak bisa menghentikan satu rasa euforia yang hadir begitu saja. Merambati setiap sel saraf dan membuat ku merinding. Detik ini, Kami berlarian ke satu titik entah dimana namun aku merelakan tangan ku ia genggam untuk ia bawa pada peraduan asing yang tak kutahu. Membiarkannya melarikan ku dan membiarkannya memenuhi janjinya untuk membawa ku memetik bintang.

Malam tidak lagi panjang. Satu jam dari sekarang matahari akan terbit di ufuk timur. Dan kami sedang menuju kearahnya.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top