20. Conflict in Punishment

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••


Aku tidak pernah punya kecenderungan untuk terobsesi dengan siapapun dan apapun. Kecuali candu yang kurasakan dari kenikmatan hakiki dari rebahan bersama secangkir teh hijau, selimut dan juga film-film lawas Thailand. Tapi melihat Anya berbicara entah apa dengan musuh baruku membuatku berdebar-debar.

Ada urusan apa Velidsa dengan Anya. Atau Anya dengan Velidsa? Apa yang mereka bicarakan tanpa aku? Apa yang mereka rencanakan? Apa yang mereka lakukan berdua dan serentetan pertanyaan lain yang tiba-tiba datang membanjiri.

Aku ingin tahu. Aku ingin tahu dan aku tidak tahu kenapa aku begitu ingin tahu.

Mungkin, itu karena ketika Anya akhirnya menyadariku dan segera berpaling dari cewek sialan itu. Sementara Anya datang padaku dengan senyum tanpa beban, di belakang punggungnya, aku melihat Velidsa melirikku dan menyeringai aneh. Seolah-olah ia merencanakan sesuatu yang buruk.

Aku takut.

"Hai," sapanya ringan, "nggak ke kesiswaan?"

"Ini mau kesana, kok," ujar ku pelan. "Oh, ya. Lo kenapa tiba-tiba ngilang tadi? Gue nyariin dari tadi."

"Ya, Lo tiba-tiba sibuk sama temen lo yang tadi. Pas gue mau susulin, eh, si cewek yang kemarin berantem sama lo manggil."

Aku mengangguk, "dia ngomong apa sama lo?"

"Nggak tahu. Nggak jelas orangnya."

Tanpa penjelasan apa-apa lagi, dia menggiringku untuk berjalan. Kemudian kami berpisah di depan ruang kesiswaan. Aku lupa alasanku menemuinya jadi kubiarkan dia pergi. Anya meninggalkan ku. Punggungnya yang kian jauh membuatku dilema.

Velidsa sialan itu mau apa, sih?

...

Kami berempat dibawa oleh Pak Frans keluar gerbang. Mengarungi hutan Bogor bagian dalam hingga sampai pada sebuah bukaan dekat aliran sungai. Pohon-pohon Pinus tinggi menjulang di sekeliling kami. Gemericik aliran air berselang-seling dengan tonggeret dan jangkrik meramaikan hutan.

Kami sampai di sini tepat jam tiga setelah mengarungi perjalanan selama tiga puluh menit. Selama itu juga Velidsa si anak manja itu mengeluhkan banyak hal tentang keringat, perawatan yang sia-sia, kudis di kaki dan sebagainya. Tempat ini terletak lumayan jauh dari komplek pendidikan Bawah Tanah dan meskipun aku tidak bilang apa-apa, sebenarnya kakiku gempor bukan main.

Aku tidak tahu kenapa Pak Frans membawa kami kesini, pun hukuman macam apa yang akan dia berikan di tengah hutan. Tapi melihat Kak Selena dan Kak Cempaka masih tampak segar bugar setelah bermil-mil jalan kaki, aku menduga mungkin sistem hukuman Bawah Tanah yang sebenarnya adalah begini. Mungkin aku akan diasingkan di hutan selama tiga hari dan disuruh bertahan hidup sendiri.

"Baiklah, semuanya berkumpul!"

Kami segera mengelilingi Pak Frans. Pria berkulit eksotis itu menggenggam empat buah ikat kepala dengan dua warna berbeda. Kami disuruh memilih. Aku memilih warna putih, Velidsa merah, Kak Selena Merah dan Kak Cempaka putih. Kemudian kami disuruh mengikatkannya ke kepala. Aku menyingkap poniku sebelum mengikatkannya dan membiarkan helaian rambut kecoklatan menutupi dahiku yang terbalut kain putih.

Setelahnya, kami disuruh berkumpul sesuai warna ikat kepala. Aku dengan Kak Cempaka, sementara Velidsa dengan Kak Selena.

"Ikat kepala menunjukkan identitas kalian. Tim merah dan tim putih. Kalian harus bekerjasama sebagai anggota tim untuk menyelesaikan hukuman. Mekanismenya sederhana, ikuti aliran sungai, cari petunjuk disekitar, temukan sebuah bola warna hitam dan bawa kembali ke akademi. Tim yang menang akan diperbolehkan mengikuti kelas."

"Bagaimana dengan yang kalah?"

Pak Frans melirikku, "skorsing tiga hari. Dan ingatlah, setiap kelas yang kalian ikuti kalian akan diberi penilaian dan skor. Skor itu akan dikurangi lima poin setiap kali kalian tidak mengikuti kelas, dan jika skor yang kalian miliki tidak sesuai standar penilaian, kalian akan tinggal kelas."

"What—"

Aku menelan bulat-bulat semua yang mau kukatakan. Tampaknya, hanya aku saja yang terkejut dan keberatan dengan apa yang baru saja ku dengar. Kak Selena yang punya julukan murid terbaik tentu saja tidak peduli, dan, kurasa jabatan ketua dalam organisasi intra sekolah yang Kak Cempaka pegang juga bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Velidsa yang berpikir bisa melakukan apa saja dengan status omnya tidak bereaksi apa-apa kecuali menggeliat risih karena merasa matahari telah membakar gosong semua perawatan kulit yang ia bubuhkan malam harinya.

Hanya aku yang tiba-tiba merasa khawatir akan nilaiku selama hampir seminggu disini. Aku murid baru yang tidak tahu menahu soal kebijakan skor dan tinggal kelas itu. Meskipun aku mencoba sekeras mungkin untuk percaya diri karena merasa selalu berkontribusi dengan baik dalam setiap pelajaran, tetap saja diantara kami berempat posisiku lah yang paling terancam. Aku tidak yakin nilai bagus akan menyelamatkanku. Aku pernah bertengkar di depan semua orang, aku tidak punya julukan yang keren seperti Kak Selena, aku tidak punya jabatan di organisasi apapun (aku bahkan belum sempat daftar kelas intensif), dan aku tidak punya koneksi orang dalam seperti Velidsa. Kalau aku di skors tiga hari dan lima poin di kurangi di setiap kelas yang tidak aku hadiri, ada berapa puluh poin yang aku buang gara-gara berurusan dengan keponakan kepala sekolah yang sumpah demi bunyi tonggeret yang berisik ingin aku lenyap kan.

Mood ku makin-makin hancur saja.

Yang lebih menyebalkannya, melihat aku panik begini, Velidsa sialan itu menyeringai licik padaku seolah dia sudah tahu tentang semua ini.

"Lo takut, heh?"

Aku memilih menahan diri hanya untuk semata-mata menjaga sikap di depan Pak Frans yang masih memperhatikan kami.

"Bagaimana kalau tidak ada tim yang menemukan bolanya?" tanyaku, mengalihkan perhatian dari tatapan menjijikan Velidsa.

"Sayangnya, kalian tidak bisa kembali tanpa bola itu. Cari sampai dapat meski harus sampai berhari-hari!"

Tuh, kan. Dugaanku benar. Kami sebenarnya dibuang sementara waktu untuk bertahan hidup di alam bebas.

Setelahnya, Pak Frans mulai menjelaskan apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Seperti jangan pernah menjauh dari aliran sungai, jangan berpisah dengan anggota tim, dan jangan coba-coba untuk lari dari tanggungjawab karena katanya sesungguhnya pihak sekolah mengawasi kami.

Kami ditinggalkan di tempat itu. Kak Selena dan Velidsa mulai melakukan pergerakan. Kak Cempaka mengajakku untuk segera beranjak dari sana. Aku sebenarnya ingin sekali protes kenapa hukumannya harus seberat ini padahal kami hanya bertengkar.  Aku memang menjambak dan menonjok Velidsa tetapi bahkan itu hanya satu kali. Hanya memar kebiruan yang membekas di ujung pipinya. Tidak ada kerusakan berarti seperti patah tulang atau kepala bocor. Tapi kenapa harus diperlakukan sebegininya. Kalau tahu begini, lebih baik mengerjakan seratus soal psikotes tiga kali saja.

Tetapi pada akhirnya semua racauanku hanya berakhir menjadi suara hati yang tidak akan pernah bisa aku katakan. Pak Frans sudah tidak terlihat dan kurasa tidak ada gunanya protes pada Kak Cempaka yang tampak tidak masalah dengan hukuman ini. Pada akhirnya pula, aku berakhir dengan mengikuti Kak Cempaka berjalan menyusuri aliran sungai. Mencari petunjuk entah apa untuk menemukan bola hitam tolol yang sepertinya akan sulit untuk ditemukan.

"Tenang saja," tiba-tiba Kak Cempaka berujar, "pihak sekolah akan menjemput kita kalau setelah tiga hari kita tidak bisa menemukan bolanya."

"Tiga hari?!" Aku berteriak.

Walaupun aku sudah bilang aku bukan tipe cewek seperti Teresa yang kurasa sudah akan menangis kalau ada di posisiku, tetap saja, manusia mana yang akan betah tidur di hutan selama tiga hari?!

Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi.

"Kakak pernah dapat hukuman seperti ini sebelumnya?"

Kak Cempaka mengangguk, "ya, waktu tahun pertama," kemudian dia melirik blazer merahnya sebentar sebelum melirik blazer biru dongkerku dengan pandangan mengenang, "Aku setim dengan musuhku dan kami disuruh cari bola hitam. Tapi yang kami lakukan malah terus bertengkar dan akhirnya tidak berhasil menemukan apa-apa. Kau beruntung tidak satu tim dengan Velidsa, Aurora. Kalau tidak aku mungkin sudah membayangkan kalian berdua akan baku hantam."

Aku tersenyum sedikit mendengar penuturannya. "Lalu bagaimana cara kalian menyelesaikan hukumannya?"

Kak Cempaka memandangi aliran sungai di sebelah kami, "setelah lelah bertengkar, kami duduk dipinggir sungai. Musuhku itu sangat gila, saat itu aku hampir botak karena dijenggut olehnya. Waktu itu, aku berpikir kita tidak akan pernah bisa menemukan bola hitam itu. Tapi ketika kami duduk dipinggir sungai dan berdiam diri karena kelelahan. Mengamati aliran sungai yang tenang, mata kami seperti tertarik satu sama lain untuk saling memandang. Dan entah siapa yang memulai, kami mulai bicara. Meskipun kami masih saling mengejek dan menyumpahi satu sama lain, kami berhasil berdamai dan mulai bekerja sama menemukan bola hitam itu."

Ceritanya sedikit banyak mengingatkan aku dengan Teresa. Kalau dipikir-pikir, kisah kami agak mirip. Bertemu sebagai musuh kemudian berhasil menemukan jalan damai. Mendadak aku jadi merindukan anak itu. Kira-kira sedang apa dia sekarang? Aku tidak sempat berpamitan dengan anak itu sewaktu berangkat meninggalkan ibu kota. Karena ini masih minggu libur di Andalas, aku yakin dia belum tahu kalau aku sudah tidak bisa lagi jadi teman sebangkunya. Semoga di Senin mendatang dia tidak menangis mengetahui aku mendadak pindah sekolah.

"Ketika kamu menemukan bola hitam itu, Aurora, percayalah, kamu akan menyesal pernah melakukan kesalahan yang membuatmu mendapat hukuman ini."

Aku terdiam merenungi kata-katanya. Apakah setelah aku menemukan bola itu aku akan menyesal pernah menonjok Velidsa dengan mulut besarnya?

Kurasa tidak.

Aku mulai fokus mencari sesuatu. Bagaimanapun juga, aku tidak akan pernah rela kena skorsing dan membiarkan Anya menjadi bintang kelas seorang diri.

Di hutan ini tidak terlihat apa-apa. Hanya pohon-pohon Pinus yang tinggi menjulang dan meneduhi kami dari sengatan matahari. Biji-biji pohon Pinus berserakan di sepanjang jalan menyatu bersama tanah dan rumput liar. Satu-satunya pemandangan yang bagus hanya kudapat dari sepanjang aliran sungai yang dari suaranya saja sudah terasa menyegarkan. Kalau tidak sedang menjalani hukuman, mungkin aku akan tergoda untuk duduk di pinggiran sungai yang memiliki batu-batu besar dan membiarkan kakiku telanjang bermain-main di atas permukaan airnya yang tenang.

"Biasanya, petunjuk seperti apa, Kak?" Aku bertanya setelah cukup lama mengamati deretan pepohonan tanpa menemukan sesuatu yang berarti.

"Entahlah," ujarnya, "bentuknya mungkin akan berbeda dengan yang pernah aku dapatkan sewaktu aku masih kelas satu. Tapi coba saja amati sekelilingmu, mungkin kamu akan tiba-tiba menemukan seutas kain terikat disebuah pohon atau beberapa kertas keras terselip di antara bebatuan dan batang pohon."

Di saat yang sama dengan berakhirnya ucapan Kak Cempaka, mataku menemukan sebuah benda mengkilap terikat di salah satu batang pohon Pinus. Dan berdasarkan dengan fungsi yang aku tahu, seharusnya benda seperti itu tidak berada ditengah hutan begini.

Aku menghampiri pohon Pinus itu dan menunjukkan pisau yang kulihat pada Kak Cempaka. Masih belum Berani memegangnya tanpa konfirmasi keamanan dari kakak kelasku yang tentu saja lebih ahli.

"Ah, kau menemukannya lebih cepat dari yang aku duga. Kadang, petunjuknya bisa dalam bentuk benda juga. Biasanya benda yang diberikan memiliki fungsi tertentu. Kita harus mencari tahu lagi fungsi dari pisau lipat ini."

Kak Cempaka melepaskan ikatan di pisau itu dengan hati-hati. Sejurus dengan ikatan yang terlepas dan pisau itu beralih tergenggam ditangannya, tiba-tiba cewek itu menyodorkannya padaku dengan mata pisau di depan. Kontan aku berkelit dan memukul keras-keras tangannya hingga pisau itu terlempar ketanah.

"Hee ... refleksmu oke juga," ia menyeringai.

Aku ingin mendampratnya seandainya dia bukan ketua dewan komite siswa.

Pisau itu tidak begitu panjang. Hanya seukuran telapak tangan dalam kondisi tidak terlipat. Gagangnya terbuat dari besi cukup kokoh dan memiliki warna yang senada dengan mata pisaunya. Kak Cempaka memperhatikan benda itu sebentar sebelum memberikannya padaku. Kali ini ia melipat dulu pisaunya sebelum menyodorkannya dengan pelan.

"Katanya kau anak baru nomor satu di angkatan mu. Nah, coba gunakan intuisi mu untuk menebak petunjuknya."

Aku mengambil pisau dari tangan Kak Cempaka. Menekan saklar kecil di bagian samping pisau untuk menunjukan mata pisaunya. Dari kecepatan membukanya, pisau ini sepertinya masih baru. Aku menyentak benda itu kearah kiri sehingga mata pisaunya dapat membengkok dan kembali masuk ke sela-sela gagangnya. Tidak ada yang spesial. Mungkin ini hanya pisau lipat biasa.

"Pisau lipat," gumamku.

Kira-kira benda ini ditujukan untuk apa?

Aku memperhatikan tali tambang coklat yang mengikat benda ini di batang pohon Pinus. Kemudian memperhatikan langit-langit hutan yang hampir tertutupi oleh julangan pepohonan disini. Tali tambang itu masih melingkari pohon dengan berlapis-lapis. Hanya sedikit bagian diluar lapisan yang terbuka ketika Kak Cempaka membuka ikatan terluarnya untuk mengambil pisau. Aku meraih ujung tali yang mengambai pendek dan menariknya. Secara perlahan aku melepaskan lapisan demi lapisannya seiring aku mengeliling pohon tersebut. Setelah tiga atau mungkin empat keliling akhirnya batang pohon Pinus yang tinggi berhasil bebas dari ikatan. Tapi aku belum menemukan ujung tali yang ku pegang saat ini. Alih-alih ujung itu berakhir kedalam tanah.

"Petunjuk baru lagi," kata Kak Cempaka mengamati tanah yang menyembunyikan ujung tali yang ku pegang, "baiklah, sekarang bagaimana?"

"Kok Kakak tanya gue? Kenapa nggak Kakak bantuin mikir juga?"

"Karena hukuman ini sebenarnya hanya untuk kamu dan Velidsa," ia mengedikkan bahu tak peduli, "ayo, jadilah adik yang baik dan cepat selesaikan agar kita bisa cepat kembali."

Aku ingin bilang aku bukan adiknya. Tapi Kak Cempaka sudah berlalu pergi dan memilih melihat-lihat bunga kuning kecil-kecil dipinggiran sungai. Seingat ku, Pak Frans bilang dia mengawasi kami di suatu tempat yang jauh yang tidak kami ketahui. Kalau itu benar, ketika dia melihat tingkah Kak Cempaka yang justru menimpakan semuanya padaku, kuharap beliau menurunkan poinnya tak peduli Kak Cempaka adalah murid paling penting di akademi mata-mata ini.

Dasar ketua dewan sialan!

Menyampingkan semua kekesalan ku, aku mulai berpikir apa yang harus aku lakukan dengan kedua benda ini. Pisau lipat sih sudah jelas untuk memotong sesuatu. Tidak mungkin juga untuk menusuk seseorang 'kan?

Aku menarik-narik tali itu keatas. Tali sebesar jari itu sepertinya tertanam cukup dalam karena setiap kali aku menariknya, hanya mampu menerbangkan jutaan partikel debu yang membuatku pengin bersin. Kalau di film-film, tali-tali yang tertanam kedalam tanah begini biasanya akan memunculkan sesuatu tak terduga ketika kita menariknya. Seperti jebakan yang akan membuat kita bergelantungan setinggi lima meter, jaring perangkap yang muncul secara tiba-tiba dari atas langit, atau kurungan yang akan muncul dari tanah dan memerangkap kita keatas. Aku menatap kembali ujung-ujung pohon Pinus yang mengerucut dan kecil. Masalahnya, tidak ada anomali apa-apa yang bisa kulihat diatas sana. Memang sih kalau semisalnya beneran ada perangkap, apalagi dipasang oleh orang-orang dari Bawah Tanah, penampakan langit bersih nan menenangkan seperti ini bukan sesuatu yang mengherankan. Tetapi bersihnya langit ini justru yang membuatku kian was-was. Jangan-jangan, bukan perangkap yang akan muncul, melainkan ranjau darat yang akan sewaktu-waktu meledak salah-salah aku memperlakukan tali misterius ini.

Sungguh, aku benar-benar tidak ingin mendengar suara ledakan apapun sepanjang sisa hidupku. Lagi.

"Kak! Ini kalau gue tarik kira-kira aman nggak, ya?" Teriakku. Kak Cempaka sedang entah apa dipinggir sungai sana. Aku hanya dapat melihat punggungnya dari jarak yang agak jauh begini.

"Coba aja!" Katanya tak acuh.

Aku mendengus.

Karena dia bilang coba saja, aku pun mulai menariknya kuat-kuat.

Tali itu mulai menyentak tanah yang ada diatasnya. Kemudian sedikit demi sedikit keluar meninggalkan bekas seperti belahan di tanah. Semakin ku tarik, rekahan di tanah itu semakin panjang. Sampai akhirnya berhenti kurang lebih dua setengah meter dari tempat asal tersambung kebawah sebuah beton yang tertancap ditanah. Dari beton itu, tali masih tersambung panjang keatas pohon Pinus hingga jarak yang tak dapat kukira karena tidak terlihat. Tali itu tegang dan keras. Aku menariknya sekuat mungkin untuk menjatuhkan apapun yang menahannya diatas sana. Tapi tidak muncul reaksi apa-apa.

Aku mendesah. Tidak mungkin menarik ujung tali yang tertahan dibawah beton. Tidak mungkin juga memanjat pohon Pinus yang tingginya bermeter-meter diatas permukaan.

Apa yang harus kulakukan?

Mungkin ada sesuatu diatas sana yang dapat menjadi petunjuk keberadaan bola hitam itu. Tapi aku tidak dapat mengambilnya.

Disaat-saat seperti ini, dimana Kak Cempaka yang seharusnya membantu ku, sih?

Aku menoleh kearah sungai, area itu kosong melompong seolah tidak pernah dijejaki.

"KAK!" Teriakku.

Hening.

Hanya suara nyaring jangkrik dan riak air yang merespons panggilan ku.

Aku berdecak kesal.

Setidaknya, bereskan dulu soal tali-temali ini. Aku menggenggamnya. Tali itu menegang keatas dan ujungnya menembus dedaunan sehingga aku tidak dapat melihat apa yang ada dibaliknya. Aku mencoba menariknya tetapi hasilnya tetap saja nihil.

Kira-kira Bawah Tanah ingin aku melakukan apa dengan tali ini ?

Tiba-tiba aku ingat dengan pisau lipat yang kutemukan tadi. Pisau itu masih ku genggam ditangan kiri. Apakah aku harus memotong talinya?

Tapi bagaimana kalau sesuatu yang berbahaya tiba-tiba muncul setelah itu?

Ah, aku kesal bukan main. Kenapa Kak Cempaka harus menghilang disaat aku butuh dia untuk mengkonfirmasi tindakan yang benar dan tidak.

Aku menimang-nimang pisau lipat ditangan ku. Karena ini Bawah Tanah, dan karena Bawah Tanah adalah sebuah sekolah, tidak mungkin mereka akan membahayakan nyawa anak muridnya, kan ? Mungkin yang keluar tidak akan seberbahaya yang kupikirkan.

Tapi kalau mau diingat lagi proses ujian seleksi calon murid baru sekolah ini pakai serangkaian skenario mengerikan seperti bom dan teroris. Dan kalau mau lebih diingat-ingat lagi, sambutan pertama ku sampai disini adalah sebuah panah melayang kedepan hidung ku dari anak-anak murid mereka yang nyentrik dan bar-bar. Bisa saja kan kelakuan Kat dan Sirin begitu karena sistem pendidikannya memang semengerikan itu ?

Apa aku serius menganggap ini tidak akan berbahaya?

Arrgg! Masa bodoh sajalah. Bahaya ataupun tidak, setidaknya sekolah dibawah naungan pemerintah tidak akan sampai berani merenggut nyawa muridnya. Dengan begitu, aku memilih untuk memotong saja tali itu dalam sekali tebasan.

Buk!

Sialan!

Aku kaget bukan main. Ada sesuatu yang jatuh dibelakang pohon Pinus dihadapan ku. Jantung ku seketika berdebar memikirkan benda apa yang mungkin jatuh dengan suara sekeras itu.

Apakah itu kotak bom?

"Waw, Aurora. Kamu berhasil menemukan petunjuk kita!"

Untuk kesekian kalinya, tubuhku berjegit dan darahku berdesir dua kali lebih kencang. Kak Cempaka ini punya bakat jadi setan apa bagaimana, sih? Bisa-bisanya dia tiba-tiba sudah ada disebelahku tanpa menimbulkan suara langkah kaki atau hawa-hawa kehadiran. Padahal, meskipun aku tidak sesensitif Anya, aku biasanya akan sadar dengan cepat kalau ada seseorang yang mengendap-endap dibelakang ku.

"Kakak ngagetin, tau nggak?!" Dengus ku kesal.

Ia hanya tersenyum.

"Nanti, kamu akan mendengar kata-kata yang sama dari orang lain ketika kamu sudah belajar bagaimana caranya menghilang."

Entah kenapa, ketika dia bilang begitu, aku seperti mendengar nenekku berbicara.

Kak Cempaka menghampiri sesuatu dibalik pohon Pinus. Aku mengikutinya. Ada sebuah gundukan berbungkuskan kain dan jaring yang tergeletak di atas tanah. Dari bentuknya, aku sudah tahu apa isi didalamnya.

"I-itu bom! Ayo pergi dari sini!" Jerit ku.

"Ngaco, kamu," sanggahnya, "itu petunjuk kita."

Aku berusaha menariknya untuk pergi, tapi Kak Cempaka menepis tangan ku. Ah, dasar! Kalau bom sungguhan bagaimana?

"Kak!"

Cewek itu tidak menghiraukan aku. Dengan santainya dia melepaskan jaring tersebut dan membuka ikatan pada kainnya. Dadaku berdebar hebat ketika dia mengeluarkan sebuah pecahan tanah liat keras berwarna jingga kemerahan.

"Lihat!" Titahnya sembari menyodorkan benda itu padaku, "isinya cuma kendi pecah."

Kak Cempaka menumpahkan semua isinya. Diantara pecahan-pecahan itu, ada sebuah gulungan berwarna usang yang digulung oleh tali yang sama. Kak Cempaka mengambil benda itu dan membersihkannya sejenak dari debu-debu. Tangannya terjulur memberikan gulungan usang itu padaku.

"Nah," katanya, "bukalah!"

Aku mengambil gulungan kertas agak tebal itu. Memperhatikan permukaannya sejenak. Memutarnya perlahan dengan jari-jari ku. Mataku memicing. Ini nampak tidak asing. Pikiran ku tertarik pada satu pintas nostalgia singkat. Yang ku redam cepat-cepat sebelum perhatian ku kian teralihkan.

Ku tarik simpul tali itu hingga terlepas. Membuka gulungannya.

"Apa isinya?"

Kertas itu berukuran tidak terlalu besar dan cukup panjang. Didalamnya, ada sekumpulan tanda strip dan titik juga garis miring yang tidak ku mengerti maksudnya.

Aku memandangi wajah penasaran Kak Cempaka, "morse."

"Apa?"

"Isinya sandi morse," jelas ku. Menunjukkan permukaan kertas yang berisi tulisan bulat dan strip itu.

Kak Cempaka bergumam 'oh' dengan ringan, "yasudah, tunggu apa lagi? Terjemahkan!" Titahnya.

Aku menekuk alisku. Dia ini tidak peka atau bagaimana?

"Gue nggak bisa morse!" Seru ku kesal. Tapi Kak Cempaka nampak lebih kesal. Ia tercengang hebat begitu mendengar kata-kata ku. Seolah-olah dulu aku pernah bilang padanya aku menjuarai lomba morse tingkat nasional dan sekarang aku mengakui bahwa semua itu adalah kebohongan.

"Apa?! Bagaimana bisa? Katanya kau ini elit organisasi Andalas. Tapi morse saja tidak bisa?!"

Seketika darahku naik dan mendidih.

"Gue anak Paskibra. Morse itu cuma ada di Pramuka!"

"Oh, pantas orang fasis kayak kamu cuma bisa bentak-bentak," matanya menyipit memandangku remeh, "dari awal emang cuma diajarin buat jadi prajurit nggak punya otak."

Dia mendesis dan berpaling dariku.

Aku menarik napas kuat-kuat. Memandangnya lekat. Sesuatu didalam dadaku berdenyut hebat seiring dengan terlukanya harga diri yang ku puncaki paling tinggi dalam piramida tahta di kepalaku. Harga diriku adalah sesuatu yang sakral. Lebih penting dari segala sesuatu. Orang-orang boleh berkata apa saja dan menghina sikap ku. Tapi tidak ada yang boleh mencoreng harga diriku. Tidak boleh ada yang mencelanya. Barang sejengkal saja.

"Lo pikir lo berguna, hah?!" amarah ku tak bisa ku pendam lagi. Aku maju selangkah menantangnya. "Lo bahkan nggak ngapa-ngapain. Lo cuma diam dan nyerahin semua ke gue. Lo pikir lo lebih berotak dari pada gue?!"

Aku mendorongnya hingga ia terpaksa mundur beberapa langkah. Sejenak matanya membelalak terkejut mendapati aku menjadi kurang ajar. Tetapi itu hanya bertahan sesaat, karena setelah nya ku dapati wajahnya justru mengeras dan matanya menyalang seiring dengan aura dominasi yang kuat ku rasakan darinya secara tiba-tiba.

Ia mencengkram pundak ku kuat, bahkan hampir melukai, dan dengan sekuat tenaga  mendorong aku kebelakang hingga punggung ku menyentuh permukaan batang pinus dengan kasar. Kepalanya menunduk dan wajahnya maju beberapa inci. Mendesis tepat didepan wajahku, "hei! yang sopan sama kakak mu!"

Kata-kata itu, tak alang, hanya membuatku kian berang. Hingga tak bisa ku tahan tangan ku untuk menghempas cengkeramannya.

"Dari awal gue emang muak sama tingkah sok senioritas lo," lantas ku lempar kertas usang itu kehadapannya. Kemudian menyalak dengan gelegak kemurkaan, "cari aja sendiri! Gue nggak peduli!"

Aku pun berlalu dari hadapannya. Tak lupa menyandung bahunya kuat-kuat. Sebagai upaya untuk menunjukkan kalau aku tidak akan pernah berlaku hormat sekalipun dia mengemis untuk itu.

Dengan kesumat yang makin-makin memuncak, cepat-cepat aku menjauhi Kak Cempaka. Berlari kearah manapun yang ku lihat tanpa memedulikan utara ataupun selatan. Tanpa mengindahkan teriakkan Kak Cempaka dibelakang yang berusaha menyusul ku. Menyerukan kalimat-kalimat penuh umpatan seperti, "dasar adik sialan tak tahu diuntung! Kembali kesini dan dengarkan aku! Ku bilang jangan menjauh! Bahaya! Sialan kau dengar aku atau tidak, hah ?!" Setelah beberapa meter, aku tidak mendengar lagi suaranya. Tidak juga mendengar derap langkahnya.

Aku berhenti ketika menyadari keheningan hutan yang seakan-akan menyergap ku. Kaki ku melambat dan mata ku memandangi sekitar. Secepat sirkulasi napas ku yang memburuk aku menyadari bahwa aku tidak lagi berada dekat dengan aliran sungai. Deretan pinus berganti menjadi pohon-pohon besar berdaun rindang yang tak ku kenali. Bebunyian alam tak lagi bisa ku dengar. Hanya satu kesunyian yang menenggelamkan aku dalam rasa keterasingan.

Ku perhatikan, langit mulai sedikit meredup. Deru angin mengencang dan menerpaku habis-habisan. Ketika mataku menyapu sekitar, memperhatikan batang-batang pohon yang memenuhi ruang bebas, saat itu aku melihatnya. Sebuah bayangan. Diantara celah pepohonan yang lebih gelap daripada yang lain. Memperhatikan aku dari balik balutan hitam-hitam yang perlahan tertelan kegelapan sekitar.

__________

Catatan Penulis

.

Halo, pembaca!! Ini Vay, disini aku mau menyampaikan beberapa hal.

Aku tahu yang baca ini belum banyak, jadi aku menulis ini dengan berharap suatu saat nanti akan ada banyak dari kalian yang bisa sampai pada bab ini dan membaca catatan ini.

Tidak terasa, ya, perjalanan Aurora di Bawah Tanah sudah sampai bab 20. Artinya, sudah setengah bagian (atau mungkin satu perempat) dari cerita ini dirampungkan. Sebagai penulis amatir aku nggak menyangka bisa membuat bab sebanyak ini. Perkiraan awal sih Bawah Tanah rencananya akan memiliki 30-40 an chapter. Tapi karena aku nulisnya tanpa outline dan alurnya sangat lambat, mungkin bisa lebih dari itu. Iya, aku nulis ini hanya bermodal kenekatan dan semangat yang menggebu-gebu buat debut jadi penulis. Persiapan dan riset pun seadanya dan belum maksimal. Karena itu, maafkan ya kalau hasilnya agak kurang memuaskan. Bahkan cenderung jelek.

Karena ini adalah karya pertama ku, aku butuh banget kritik dan saran dari kakak-kakak sekalian. Jadi kalau ada yang mau disampaikan jangan sungkan untuk memberi komentar. Aku akan sangat-sangat menghargainya.

Disini, aku juga mau memberi pertanyaan kepada para pembaca yang benar-benar membaca karya ini (bukan yang cuma mampir terus ngasih vote terus komen minta feedback, alias vote trading. Jujur, aku sedih setiap kali ada yang begini huhu :'( ) pertanyaan itu buat instrospeksi buat ku sekaligus buat aku tahu apakah aku sudah menulis dengan benar atau belum.

Jadi, mohon dijawab yaaa;-)

1. Bagaimana pendapat kalian tentang cerita ini ?

2. Bagaimana pendapat kalian tentang alur cerita ini. Apakah membosankan atau tidak ?

3. Bagaimana pendapat kalian tentang Karakter Aurora Bhayangkari ?

4. Bagaimana pendapat kalian tentang karakter yang lain. (Kalian boleh komen pendapat kalian tentang karakter yang lain kayak Anya, Selena, Cempaka, dll)

5. Kritik, saran dan harapan kalian untuk cerita ini.

Udah segitu aja:-)

Mungkin cuma ini yang bisa aku sampaikan di catatan penulis pertama ku ini. Tentunya selain ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua yang telah membaca dan memberikan dukungan.

Ingatlah, setiap dukungan, kritik dan saran dari kalian sangat berarti besar buatku;-)

Sampai bertemu di bab selanjutnya😘...

.

__________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top