2. Sebuah Ledakan

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Kutinggalkan segala euforia hari kelulusan yang luar biasa ini. Toh, ini bukan hari kelulusanku. Ini hari kelulusan pacarku dan seharusnya kita berdua merayakannya dengan touring ke sekitar Jakarta pada malam hari. Aku bahkan membawa makanan ringan untuk acara tersebut. Tapi sepertinya bayangan touring berdua dengan Djanuar harus kandas ketika kulihat cowok itu sedang berbicara serius dengan Camila. Entah apa yang dibicarakannya. Barangkali topiknya adalah bagaimana caranya memutuskanku tanpa rasa sakit, saking serius dan dekatnya dua orang itu.

"Ra, lo mau nyamperin Kak Djanu? Disana ada Camila lho."

Aku bersumpah mataku masih sangat bagus untuk melihat sosok cantik nan langsing yang kakinya menjulang semampai itu. Lalu kenapa? Aku adalah pacarnya Kak Djanuar. Terlepas dari bagaimana sikap Kak Djanuar padaku beberapa menit lalu.

"Gue harus nyamperin dia, Sa. Gue datang kesini buat dia," tegasku. Berusaha menebalkan muka terhadap tatapan dingin kak Djanuar yang kini terarah padaku. Lorong yang kami lewati sangat sepi. Derap langkahku yang saat ini memakai sepatu ber-hak menggema di udara. Memberi sinyal pada dua orang di depan bahwa ada seseorang yang akan menginterupsi waktu berduaan mereka.

"Itu Kak Djanuar kok kayak sinis banget natap lo nya? Udah yuk, Ra. Nanti aja ketemunya. Mungkin dia lagi pengen sama teman-temannya," aku berhenti untuk menghadap Teresa yang wajahnya antara bingung dan terkejut karena aku tiba-tiba menghadapnya dengan wajah super bete.

"Lo pulang duluan aja, Teresa. Gue mau ketemu Kak Djanuar," kataku. Sama sekali tidak bermaksud mengusirnya, namun aku juga tidak ingin terus terdistraksi oleh ocehan-ocehannya.

Teresa menatapku keberatan. Namun aku sama sekali tidak merubah raut kerasku. Saat ini bukan saatnya memikirkan perasaan teman yang terus menganggu. Akhirnya, ia berbalik dan berjalan pergi. Aku melanjutkan langkahku menghampiri Kak Djanuar.

"Sekali lagi selamat ya atas kelulusan lo," kata Camila ketika aku berdiri bersebelahan dengan Kak Djanuar. Aku yakin itu hanya basa-basi untuk menutupi topik sebenarnya.

" Gue tinggal dulu ya, Aurora?"

"Iya kak, selamat ya." Ia tersenyum padaku kemudian berjalan pergi. Tersisa kami berdua. Derap langkah Camila perlahan memudar hingga hanya tersisa keheningan belaka. Lorong itu begitu sepi.

"Selamat ya, kak!" ujarku, tersenyum manis dan menggandeng lengannya. Kak Djanuar langsung melepaskan tautan yang baru terjalin itu.

Sekali lagi, rasa perih itu merayapi dadaku. Kutebalkan muka, sekeras mungkin bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kita jadikan mau rayain kelulusan kamu sambil touring keliling Jakarta? Aku udah bawa cemilan buat nanti malem. Aku juga udah siapin kamera buat foto-foto. Nanti kita mau mampir kemana dulu? Taman yang dekat perumahan kamu itu kayaknya bagus. Katanya disana ada—"

"Ra, gue nggak bisa."

Aku terpaku sejenak menyadari perubahan gaya bicaranya padaku.

"Oh, kakak nggak bisa touring. Mau ada acara sama temen-temen, ya? Yaudah, kita rayain nya siang aja. Mau kemana gitu? Aku sih nyaraninnya ke—"

"Aurora!"

Dua tahun berpacaran dengan Kak Djanuar, aku mengenalnya sebagai sosok lembut yang selalu tersenyum manis. Cowok baik yang selalu menghargai perempuan, terlebih aku yang adalah pacarnya. Belum pernah aku mendengarnya berbicara sekasar dan sekeras itu padaku. Dengan mata sedingin es yang rasa dinginnya mulai menjalari ujung-ujung jari.

Aku menurunkan kedua ujung bibir yang tadi tertarik keatas. Mundur sedikit untuk memberi jarak diantara kita. Tatapan itu terasa amat sangat menusuk. Aku sakit hati sekali dibegitukan olehnya.

"Kamu kenapa sih? Kok kasar gitu sama aku?!" tanyaku, mulai kesal dengan sikapnya yang aneh ini.

Kak Djanuar seakan tidak terdistraksi oleh amarahku. Dia tetap menatapku dingin. " Kita udahan aja," katanya.

"Maksud kamu?"

Aku bukan cewek bodoh yang tidak mengerti kalau kekasihnya minta putus tapi tidak dengan kata putus. Yang aku tidak mengerti adalah tingkah seenak jidat Djanuar untuk mengakhiri hubungan ini. Maksudku, dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk diakhiri dengan alasan yang tidak ada. Siapa yang akan terima diputuskan begitu saja tanpa tahu apa penyebabnya?

Tidak seorang pun, terutama aku!

"Gue udah nggak bisa ngelanjutin hubungan ini. Kita selesai sampai disini," betapa aku ingin melabelinya cowok brengsek. Kalau saja aku tidak ingat bagaimana kita bertemu pertama kali dulu.

"Tapi kenapa?" tanyaku, selembut mungkin. Kugigit bibir bagian dalamku agar tidak kelepasan emosional. Aku sangat membenci bagaimana kacaunya pikiranku ketika emosi menguasai kepala.

Tiba-tiba saja tatapannya berubah, aku tidak bisa menebak emosi apa yang tengah berkecamuk dalam kepalanya. Tapi aku melihat sedikit sirat ... sedih?

"Maafin gue karena udah datang ke kehidupan lo waktu itu. Seandainya aja gue tahu diri dan nggak nurutin ego gue, lo nggak akan ngehadapin ini."

Sekarang nada bicaranya yang berbumbu duka. Raut kebingunganku rasanya sudah sangat mentok untuk dikejutkan dengan perubahan suasana yang mendadak melow ini. Serius, ada apa sih dengan pacarku hari ini?

"Gue nggak ngerti, Kak. Lo kenapa sih?"

"Selamat tinggal, Aurora. Gue sayang lo."

Hanya itu. Benar-benar hanya itu. Dan ia pergi begitu saja tanpa menjelaskan apapun. Aku memandangi punggungnya yang menjauh. Kalau saja ini adalah tanggal satu April, aku akan meneriakkan cecak yang nyimak diatas dinding sana bahwa prank putusnya ini sangat-sangat lucu.

Sayangnya tidak.

"Djanuar Adidarma!" seruku lantang. Tidak peduli setan apa yang tengah merasuki otak kekasihku itu. Pernyataan putusnya itu beneran. Dan aku tidak terima diputuskan sepihak tanpa alasan yang tidak jelas begini.

"Aku nggak ngerti apa yang ada dipikiran kamu hari ini. Judes-judes sama aku, minta putus, whatever! Tapi kalau kamu kayak gini cuma buat cari perhatian aku aja, kamu tahukan aku bukan cewek yang bakal nangis-nangis tujuh hari tujuh malam cuma karena soal beginian. Aku nggak akan nyamperin kamu sambil ngerengek-rengek kayak orang stress. Kamu tahu itu kan?"

Kak Djanuar menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh sedikit menandakan bahwa ia mendengarkan kata-kataku. Satu detik. Dua detik. Tidak ada tanggapan apapun darinya. Aku masih mengatur napas. Berbicara dengan kecepatan diatas rata-rata sambil teriak-teriak itu melelahkan. Sumpah.

Tidak lama, dia menoleh. Dia tersenyum tipis. Sangat tipis. Aku tidak bisa mengatakan itu adalah sinisme karena memang tidak terlihat seperti itu. Bagiku, ia terlihat seperti sedang menahan sesuatu.

"Aku tahu kok. Goodbye, Ara."

Kali ini aku membiarkannya benar-benar pergi. Otakku seperti dipenuhi oleh kode smaphore yang tidak pernah bisa aku kuasai. Terlalu banyak hal aneh yang dilakukan cowokku sampai aku tidak bisa menemukan dirinya disetiap kalimat yang ia ucapkan. Terkecuali untuk kalimat terakhir yang kukenali sebagai Djanuar. Selebihnya, aku seperti berhadapan dengan dua manusia yang memiliki suasana hati berbeda. Dua alter ego yang sangat asing bagiku. Saking asingnya aku sampai tidak merasa sedih meskipun diputuskan secara sepihak. Pernyataan putus Kak Djanuar sulit sekali untuk diproses akal.

Ya, terlepas dari itu, aku benar-benar putus dengan Kak Djanuar. Hatiku terlampau kacau balau untuk merasakan satu perasaan dominan seperti sedih atau marah. Aku perlu waktu untuk memilah perasaanku. Karena bagaimanapun, dua tahun kebelakang adalah masa-masa paling indahku sebagai remaja. Sulit buatku untuk menelan bulat-bulat kenyataan bahwa kami tidak lagi bersama. Walaupun dengan cara putus yang luar biasa absurd—menurutku.

Ah! keheningan lorong ini baru saja membuatku merasakan sesuatu yang buruk. Seperti ada setumpuk bom yang meledak didalam kepalaku ketika aku mengingat kata-kata Kak Djanuar.

BOOM!!!

Suaranya terlampau nyata untuk sesuatu yang hanya ada dalam pikiranku.

Tunggu dulu.

Aku mengernyit heran. Suaranya dari arah belakang. Aku berbalik badan. Ada sebuah anomali dilangit yang tertangkap oleh mataku. Segumpal asap hitam mengepul di udara dari arah Aula. Tak lama kemudian, aku mendengar sayup-sayup keramaian. Kegaduhan masa yang panik akan sesuatu bersahut-sahutan dengan suara sirine pertanda bahaya.

Air mukaku langsung berubah begitu menyadari apa yang baru saja terjadi. Lantas berlari cepat menuju aula. Teresa, Kak Djanuar, Camila, dan kepala sekolah berkepala plontos yang sampai saat ini belum bisa kuingat namanya, siapapun yang mungkin saja berada di dalam aula, aku mohon dengan sangat.

Jangan mati dulu!

Aku butuh penjelasan mengapa ada suara ledakan bom dan asap hitam disekolah yang penuh oleh tunas bangsa ini.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top