19. Satu-satu Tersingkap
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
"Percaya, nggak?"
"Apa?"
"Si Aren itu Kak Camil. Kak Camil itu nama aslinya kak Selena. Mereka orang yang sama. Ternyata, selama ini Kak Camil yang ngawasin kita. Dia mata-mata Bawah Tanah. Gila, nggak?"
Anya memandangi ku. Menautkan alisnya penuh heran. Barang sesaat dari itu, mulutnya terbuka dan matanya membola. "Lo masih nyari tahu soal itu?" Katanya tertegun.
Sekarang aku yang tercengang mendengar responnya. "Lo enggak? Emangnya enggak penasaran?"
Dia mengedikkan bahu tak acuh, "enggak. Lagian alasan gue waktu itu kan buat nyari bukti Bawah Tanah itu beneran ada. Sekarang, bodoh amatlah mau siapa mata-mata, siapa Black. Bukan urusan gue lagi."
Mengangguk paham. Aku lupa satu hal dari anak ini. Dia itu sangat cuek. Sangat tidak peduli pada apapun atau siapapun. Kalau bukan sesuatu yang berharga baginya, atau sesuatu yang akan mengacaukan rencana liciknya, atau sesuatu yang akan berimbas buruk atau baik baginya, dia tidak akan peduli. Sejauh yang kutahu, dia hanya peduli pada tiga hal: peringkat, keluarga dan teman. Untuk teman, dia klasifikasi kan lagi menjadi teman yang berharga, teman yang berguna dan teman yang pantas dibuang atau dilupakan. Aku tidak tahu aku masuk kategori yang mana (karena dia tidak pernah mau memberitahu ku setiap kali aku bertanya). Dan walaupun kita lebih sering berinteraksi sebagai rival, setidaknya aku beruntung dia masih peduli padaku. Setidak-tidaknya, Anya menghargai hubungan kita.
Kami sedang berjalan dikoridor. Jam 8 pagi suasana Bawah Tanah masih dingin. Mungkin karena letaknya cukup dalam di jantung hutan. Terselimuti rerindang pepohonan yang menyamarkan. Kendati udara masih begitu dingin, sebenarnya institusi ini sudah ramai akan aktivitas. Kegiatan belajar mengajar dimulai pada pukul 6. Apel pagi dilapangan bersama-sama, kemudian dilanjutkan dengan sarapan bersama di ruang makan super besar bernama Pondok Arjuna. Katanya, namanya terinspirasi dari nama seorang chef yang cukup kondang. Selesai makan, kami akan mulai digiring ketengah lapangan untuk pemanasan kemudian lari tiga putaran. Setelah itu sesi olahraga kami diisi oleh sesi bela diri sampai jam 8.
Jadwal untuk tingkat pertama hari ini adalah taktik dan perencanaan. Kelasnya terletak dilantai dua dibagian gedung selatan. Karena pelajaran dimulai jam setengah sembilan, guru yang mengajar belum datang. Tetapi semua murid sudah lengkap berada dikelas, 25 orang. Sebenarnya, jumlah murid tingkat satu secara keseluruhan adalah delapan puluh. Kami direkrut dalam tiga gelombang berbeda. Aku dan Anya berada di gelombang terakhir dengan jumlah lulus 15 orang. Dua gelombang sebelumnya memiliki jumlah lulus yang lebih tinggi, 30 dan 35 orang. Kami dibagi kedalam tiga kelas dengan jumlah murid sekitar 25 sampai 30. Dilihat dari jumlah muridnya, awalnya aku berpikir ini bertentangan dengan kata-kata mereka disurat beasiswa yang hanya membuka kesempatan pada tiga puluh orang. Tapi aku dapat informasi dari Anya yang dapat informasi dari teman barunya dari kelas sebelah kalau 30 orang yang dimaksud adalah tiga puluh untuk gelombang pertama, tiga puluh untuk gelombang kedua, dan tiga puluh untuk gelombang ketiga.
"Uh, Ra?"
Anya tiba-tiba menarik siku lengan blazer ku.
"Hmm?"
"Tadi kamu bilang Aren itu kak Camil?"
"Uh-huh."
Mata Anya terpaut ke deretan bangku-bangku. Telunjuknya mengacung ke salah satu orang diantara deretan teman sekelas ku. "maksudmu ... Aren yang itu?"
Aku mendelik kearah yang dimaksud.
Ini seperti tidak bisa dipercaya.
Seperti yang dia bilang. Aku memang melihat seorang perempuan dengan gaya cupu dan kuno khas bagaimana Aren yang kami kenal. Kacamata bulat berantai, rambut kepang dua, tetapi untungnya dia tidak pakai kaus kaki polkadot dan anting bulat warna-warni. Setidaknya, penampilannya lebih manusiawi dari kemarin. Kendati demikian, wajahnya ini asing. Bilamana kak Selena punya kulit putih, anak ini agak kecoklatan. Rambutnya lebih ikal dan lebih merah. Garis wajahnya tidak setegas Kak Selena dan tubuhnya jauh lebih pendek darinya. Bahkan lebih pendek dari ku. Kak Selena, setidaknya, berbeda beberapa senti diatas ku dan akan terlihat belasan senti diatasnya.
Heh, jadi aren itu nyata?!
Aku masih tidak bergerak ketika Anya tiba-tiba berjalan dan duduk disebelah anak itu. Aku diam mengikutinya. Mataku tak bisa lepas dari sosok Aren ini. Barangkali kejadian dengan Kak Selena mengundang trauma untuk kesekian kalinya. Ada setumpuk curiga yang mengganggu ku ketika aku melihat dirinya. Atau mungkin, bukan hanya dia saja. Mungkin aku akan terus curiga setiap kali melihat anak cupu berkacamata bulat berantai.
Ketika melihatnya, batin ku tidak bisa untuk tidak mengatakan,
Mungkinkah ini sosok Black yang sedang menyamar?
Tapi tentu saja tidak mungkin. Terlalu berbeda.
"Hai, Aren," sapa Anya ketika ia mengambil tempat duduk disampingnya. Aku mengambil duduk disamping Anya dan memperhatikan mereka berdua. "Gue denger Lo kemaren main-main konspirasi sama kakak kelas yang namanya Selena, ya?"
Anak disebelah Anya mendelik tajam, "kalian mau apa? Asalkan ada duit, semua bisa kuberikan."
Kami berdua melongo.
Buset!
Aren yang ini sih tidak ada mirip-mirip nya dengan yang kemarin. 180 derajat berbeda. Entahlah, sepertinya aku akan lebih menyukai anak cupu berlogat yang kalau bicara suka malu-malu. Ketimbang anak cupu mata duitan yang sangat pendiam dan terlihat tidak ramah.
"Hei, mau nanya dong. Kok Lo bisa kenal sih sama Kak Selen? Kenal dimana?" tanya Anya.
Aren memperlihatkan pada kami telapak tangannya. "Satu pertanyaan lima puluh ribu."
"Ah, jangan begitu dong. Kita kan teman ..." tukas Anya. Aku lihat dahinya mengkerut.
Ah, ini tidak akan bagus.
"Kau tak punya uang?" Aren memandangi kami remeh, "Kalau begitu pergi sana! Aku tidak mau berteman dengan orang yang tidak berguna."
Anya masih menempatkan mata padanya. Begitu juga aku. Kami sama-sama terdiam.
Waw! Itu adalah kata-kata paling berani yang pernah ditujukan orang asing pada kami berdua. Reputasi ku di Andalas cukup disegani karena statusku sebagai elitis paskibra yang sering terekspos marah besar pada anggota pasukan ku ditengah lapangan setiap kali kami menjalani dispensasi. Gara-gara itu aku jadi dicap sebagai orang paling sangar, paling tegas dan paling tidak boleh diajak ribut. Tidak ada yang berani padaku bahkan hanya untuk mencari muka.
Itu juga yang menyebabkan aku tidak begitu punya banyak teman. Orang-orang sudah takut duluan sebelum mereka mengenal aku.
Sedangkan Anya, dari rumor-rumor yang beredar diantara kelompok gosip di Andalas, katanya, anak itu lebih mengerikan dari yang terlihat. Katanya lagi, dia punya semacam gangguan mental. Ingat aku pernah mengatakan bahwa mungkin saja dia ini psikopat? Itu semua berdasar dari rumor-rumor tersebut. Aku tidak begitu tahu bagaimana reputasi menakutkannya malang melintang di Andalas. Dia tidak pernah terlibat masalah. Dia tidak pernah terlihat marah-marah atau menghajar orang sampai punya image seburuk itu. Tapi setiap kali dia punya masalah dengan seseorang, masalahnya selalu selesai hanya dengan bicara. Tiap kali dia latihan paskibra dan berembuk bersama pasukannya, pasukannya selalu menampilkan raut ketakutan yang aneh. Semua orang yang bermasalah dengan Anya selalu berdamai dengan bicara. Tapi setiap kali mereka selesai bicara, wajah orang itu pasti akan memucat setiap kali dia bertemu dengan Anya.
Tidak ada yang berani padanya. Kecuali aku yang tidak pernah merasa terancam akan kehadirannya. Entahlah, orang bilang ketika dua orang dengan kemiripan kepribadian disatukan, mereka akan menjadi teman.
"Tidak dengar yang kubilang? Kalau kalian tidak punya uang pergi saja!"
Bentakan Aren mengalihkan pikiran ku.
Anya bersandar malas kemudian menghadap kearah ku. "Kalau gue bully ni anak lo jangan jadi pahlawan kayak kemaren bisa, nggak?"
Aku bangkit sembari mengacungkan jempol tangan. "Asal jangan bawa-bawa gue kalau dia ngadu ke Pak Frans."
Anya mengacungkan jempol tangannya juga. Aku melangkahkan kaki ku keluar dari barisan tempat duduk Anya dan Aren dan turun ke barisan tempat duduk depan yang lebih rendah. Ada tiga orang yang sedang duduk berjajar. Satu perempuan dan dua laki-laki. Ku hampiri mereka dan duduk disebelah yang perempuan.
Aku tidak tahu sih apa yang mau dilakukan Anya pada Aren dibelakang sana. Asal tidak bawa-bawa aku —karena aku sudah terlalu banyak dihukum karena membela orang lain— maka tidak masalah. Hari ini, aku mau cari teman saja.
"Hai, boleh gabung nggak?"
...
Guru-guru di Bawah Tanah itu menarik. Kebanyakan dari mereka berlatar belakang militer untuk mata pelajaran kemata-mataan dan ahli untuk mata pelajaran umum. Contohnya saja, Pak Frans. Badannya yang besar mengindikasikan dia adalah anggota kesatuan militer. Tapi karena tampangnya yang agak bule, aku tidak tahu dia kesatuan militer negara mana. Guru biologi ku, punya latar belakang seorang dokter. Dan —mungkin saja— karena latar belakangnya seorang dokter, kami diajarkan pelajaran biologi yang agak berbeda dari pelajaran biologi di sekolah biasa. Seperti apa yang terjadi jika organ ini terkena luka tusuk, bagaimana cara melakukan pertolongan pertama, bagaimana cara memperlakukan luka tusuk dan tembak, pembedahan sederhana, tanaman obat dan sederet materi lainnya yang membantu dalam misi. Itu baru guru biologi, guru bahasaku adalah seorang penyair dan sejauh ini hanya dia satu-satunya guru yang menyenangkan (karena suka berpuisi).
Masih banyak sederet ahli lainnya yang menjadi guru disekolah ini. Membawa berbagai karakter dan pelajaran yang menarik karena setiap pelajaran selalu memiliki materi yang agak berbeda dari materi yang diajarkan disekolah biasa.
Lain halnya dengan guru kemata-mataan kami, seperti Pak Frans, mereka cenderung galak dan tegas. Walaupun ada beberapa yang menyenangkan atau bahkan nyeleneh. Seperti yang satu ini.
"Bagaimana? Ada yang mau mencoba?"
Tanya beliau. Namanya Pak Sukma. Dari penampilannya, usianya mungkin tidak lebih dari kepala tiga. Masih muda dan tampan. Cewek yang duduk di sebelahku, Ririn, bahkan sampai berbinar-binar melihat dia masuk kelas. Sejenak eskpresi nya ini mengingatkan ku pada Anya ketika dia melihat Mas Raga.
Pak Sukma datang lima belas menit yang lalu dan tanpa berbasa-basi ia memperkenalkan diri sambil menggambar sesuatu di papan tulis. "Hai, saya Sukma. Hari ini kita belajar menjadi seorang perencana."
Bersamaan dengan berakhirnya perkenalan diri singkat itu, gambarnya pun ikut selesai. Beliau membuat sebuah rumah. Gambarnya, persis gambar ku ketika masih SD. Bangunan segiempat dengan segitiga dibagian atas sebagai atap, satu pintu disebelah kanan dan satu jendela disebelah kiri. Disamping gambar rumah, ia membuat gambar orang yang juga persis gambar ku ketika masih SD. Diatas orang tersebut, dia menuliskan kata 'maling'
"Anggap ini kalian," katanya, menunjuk gambar maling. "Jika kalian adalah maling, bagaimana cara kalian masuk kedalam rumah tanpa ketahuan?"
Kami semua diam memandangi Pak Sukma. Sampai lima belas menit berikutnya tidak ada satupun yang mengacungkan tangannya untuk menjawab. Bahkan Anya yang biasanya paling ingin menjadi nomor satu dalam setiap kelas. Dia hanya duduk tenang tiga baris dibelakang ku. Disebelahnya, Aren bermuka pucat.
Dia habis apa, sih?
Aku tidak dengar keributan apapun. Itu yang selalu terjadi kalau Anya bilang dia mau mem-bully seseorang. Sama sekali tidak menarik perhatian, tahu-tahu sudah jatuh korban. Kadang-kadang, Anya memang semengerikan itu.
"Baiklah," ujar Pak Sukma, "bagaimana kalau kalian menjawab, lalu aku akan memberikan kalian hadiah bagi siapapun dengan logika paling baik."
Itu adalah pancingannya.
Hadiah memang selalu menjadi sesuatu yang menggiurkan. Cowok disebelah Ririn yang bernama Alto langsung mengacungkan tangan.
"Lewat pintu belakang," serunya.
Pak Sukma bergumam tak yakin, "hmmm ... Boleh. Tapi apakah rumah ini terlihat punya pintu belakang?"
"Kan itu cuma bagian depan, pak. Dibelakangnya ada pintu."
"Tapi saya tidak menggambar bagian belakangnya. Coba kamu cari taktik lain yang sesuai dengan gambar yang ada. Lagipula, kebanyakan rumah di Indonesia itu berdempet dengan rumah lain. Tidak ada halaman yang mengelilingi rumah dan pintu belakang. Ada lagi yang lain?"
Pak Hendrik menyebar pandangan keseluruh kelas. Kemudian mempersilahkan seseorang di baris belakang bicara.
Aku bisa dengar Alto bergumam, "ah, shit."
"Tidak papa," kata Ririn, "tapi dia benar, Al. Mengapa kamu selalu mencari jalan yang tidak ada?"
Alto mendelik padanya. Kemudian mengubah arah matanya padaku, "hei, Tuan Putri. Aku dengar kau pintar. Coba katakan apa strategimu."
Aku mendengus tak suka. Kami baru berkenalan sekitar 25 menit yang lalu. Ririn adalah 180 derajat kebalikan dari ku. Ibaratnya, kalau aku orang jahat maka dia orang baik. Dia baik, periang, ramah, dan tentu saja tidak punya image orang sangar nan berbahaya. Cowok yang duduk paling ujung, yang punya badan paling berotot dan besar diantara ketiganya, namanya Adam. Anak pendiam yang selalu cuek tapi kata Ririn diam-diam dia itu peduli. Seharusnya mereka menjadi teman baru yang aku sukai. Tapi ada satu curut menyebalkan bernama Alto yang tidak pernah mau berhenti memanggilku tuan putri sejak aku mengatakan nama ku. Kebalikan dari temannya, dia ini banyak cingcong, nyeleneh, dan luar biasa aneh.
"Heh, kok jadi ke gue?" Sergah ku, "lagian semua orang yang masuk sini itu pintar. Mungkin cuma elo yang bego sendiri."
"Wah, tuan putri mulutnya kotor banget. Bilang aja kamu nggak tahu harus bilang apa, kan?"
Aku mengabaikannya dan kembali fokus pada pelajaran. Di depan, Pak Sukma sedang berdebat sengit dengan Anya. Ah, akhirnya anak itu menunjukkan taringnya.
"Menurut saya, Strategi yang paling baik ya lewat pintu depan, tinggal dibuka paksa pakai linggis. Dilakukan pada tengah malam. Penghuni rumah tidur, tetangga tidur. Tidak akan ada orang berjalan-jalan tengah malam. Tidak akan ada yang memergoki," argumennya.
"Bagus sekali. Tapi pintu yang di buka paksa pastinya akan menimbulkan suara. Kita tidak tahu apa si pemilik rumah akan terbangun atau tidak. Kalau terbangun, bagaimana cara kamu mengatasinya?"
Seseorang diujung ruangan mendahului Anya menjawab, "hipnotis."
"Kamu bisa hipnotis?"
Lelaki itu menggaruk tengkuknya sebelum nyengir aneh dan menggeleng pelan.
"Kalau begitu tidak bisa," cetus Pak Hendrik, "ketika saya bilang membayangkan sebagai diri kalian, itu artinya bayangkan menjadi sebenar-benarnya diri kalian. Tidak kurang, tidak lebih. Ada yang lain?"
"Lewat genteng, pak," seru Ririn tiba-tiba.
"Dan bagaimana kamu akan melakukannya, Nak?"
Ririn bergumam panjang. Setelah satu menit tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Ide lewat genteng itu akan berhasil kalau rumahnya punya halaman yang mengelilingi seperti di luar negeri. Kalau tipe rumah model Indonesia yang saling berdempet, mau manjat lewat mana?
Karena bosan, akhirnya aku mengacungkan tangan juga.
"Ya, yang disana. Kamu mau menjelaskan bagaimana masuk lewat genteng?"
"Hah? Enggak, Pak. Saya pikir ... Masuk lewat genteng bukan ide yang bagus."
"Jadi kamu punya ide yang lebih bagus? Coba katakan."
Kemudian Pak Hendrik diam memandangiku dengan mata penasaran. Ririn, Alto, Adam, dan semua penghuni kelas ini melakukan hal yang sama.
Aku berdeham sebelum menjawab, "saya cuma mau menambahkan mungkin ide Anya lebih bisa digunakan kalau waktunya berbeda. Rumah itu punya satu pintu dan satu jendela tanpa tirai, kita bisa memanfaatkan jendela untuk mencari tahu informasi seperti berapa orang yang ada dirumah, letak barang berharga, dan kapan saja rumah ditinggal kosong. Rencana ku adalah melakukannya ketika si penghuni rumah pergi atau ketika rumah sedang kosong. Orang biasanya meletakkan kunci cadangan mereka di halaman rumahnya. Kita bisa mencari kunci cadangannya kemudian membuka pintu tanpa perlu terlihat seperti maling."
"Bagaimana kalau tetangganya memergoki mu?"
"Tinggal bilang saja kita saudara si pemilik rumah dari kota sebelah atau pulau sebelah."
"Bagaimana kalau si tetangga curiga dan menanyakan nama si pemilik rumah? Kamu akan jawab apa?"
"Karena itulah penting nya mencari informasi terlebih dahulu. Menurutku, mengetahui target kita terlebih dahulu adalah strategi yang bagus."
"Lalu bagaimana kalau ternyata tidak ada kunci cadangan?"
"Buka paksa pakai linggis. Karena tidak ada orang dirumah jadi tidak perlu khawatir."
"Jika si tetangga melihat?"
Aku terdiam. Pak Hendrik yang sedari tadi mendebat ku akhirnya menemukan celah dari rencana sederhana ku. Ia hampir menyeringai ketika aku kembali berkata, "kalau begitu latihan sebelum aksi adalah sesuatu yang penting. Kita bisa mengasah kemampuan membuka paksa pintu agar bisa dilakukan dengan cepat tanpa terlihat orang."
Kami semua terdiam lagi. Tak lama karena Pak Hendrik segera berkata, "bagaimana kalau sudah terlanjur terlihat?"
"Berbohong lah kalau kita adalah teman si pemilik rumah dari RT sebelah yang mau mengembalikan linggis. Dan karena aku perempuan, si tetangga akan merasa kalau dia salah lihat dan mengabaikan kita. Biasanya, stereotip masyarakat tentang perempuan tidak begitu keras."
"Dan siapa namamu, Nak?"
Aku tersenyum miring, "Aurora Bhayangkari."
"Semuanya, give applaus to Aurora."
Dalam sekejap seluruh ruangan ini dipenuhi tepuk tepuk tangan selama beberapa menit. Aku menoleh dan menatap penuh kemenangan pada Anya yang —seperti kuduga— tidak sudi untuk memberikan apresiasinya dan lebih memilih untuk diam-diam mengacungkan jari tengahnya padaku. Pak Hendrik berjalan ke sudut kiri podium dimana kursi dan meja guru berada. Menggali sesuatu didalam tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak hitam seukuran telapak tangan.
"Sesuai janji ku, ini hadiah mu, smart girl," katanya, menghampiri meja ku dan meletakkan benda yang ia bawa disana. Aku bergumam terimakasih. Ririn disebelah ku memandang penuh iri. Tangan gatalnya melayang untuk mencari tahu benda apa yang menjadi hadiah ku. Tapi segera ku tepis ia sebelum berhasil meraihnya.
"Jangan pegang-pegang," sergah ku. Segera mengamankan benda hitam itu kedalam tas.
Dengan muka cemberut, Ririn berdecih, "cih, palingan gelang murah."
Aku tidak menggubrisnya. Menurutku, gelang murah tidak akan di kemas dalam kotak hitam elegan dan solid seperti ini. Lagipula, benda itu tampak berat ketika aku menimangnya.
"Pada dasarnya, semua rencana yang telah disebutkan seharusnya dapat menjadi rencana yang bagus. Sayangnya kalian kurang detail. Seperti Anya, strateginya bisa saja digunakan seandainya dia mampu menambal celah-celah dalam rencananya. Coba pikir-pikir lagi. Taktik yang diterangkan Aurora sebenarnya itu klise, kan ? Banyak maling-maling diluar sana yang menggunakan. Mengintai untuk mendapat informasi terlebih dahulu, lalu menunggu rumah kosong dan bergerak. Yang membedakan adalah Aurora punya Alibi untuk sesuatu yang tidak terduga. Aurora tidak hanya membuat rencana, tetapi menyiapkan rencans b dari rencananya.
"Dalam misi seorang mata-mata, rencana adalah sesuatu yang penting. Tolak ukur keberhasilan dalam sebuah misi ada pada rencana. Strategi apa yang digunakan. Taktik apa yang dilancarkan. Karena itu kita harus dapat membuat rencana menjadi sesempurna mungkin. Pertanyakan 'bagaimana' dan 'jika' kemudian buat strategi cadangan. Tambal semua celah dengan berbagai taktik. Lihat sekitar dan gunakan semua kelebihan dan kekurangan menjadi sesuatu yang menguntungkan. Disini, Aurora memanfaatkan stereotip masyarakat terhadap perempuan dan sebuah jendela. Langkah yang pintar. Tapi itu hanya contoh sederhana dari bagaimana membuat rencana. Misi seorang mata-mata tentu tidak akan sesederhana yang kalian kira. Karena itu catatlah baik-baik. Pelajaran pertama kalian menjadi seorang perencana hari ini, buatlah rencana dengan sempurna."
...
Pelajaran selesai pukul dua lebih tiga puluh. Aku segera membereskan buku-buku ku. Pelajaran fisika di jam terakhir itu sangat rumit. Lebih rumit dari fisika di Andalas. Rasanya aku ingin segera kembali ke rumah dan berendam untuk mendinginkan kepalaku. Tapi aku tahu aku tidak bisa.
Sesuai janji ku dengan Pak Hendrik, pulang sekolah aku harus menjalani hukuman. Aku bergegas keruang kesiswaan. Sayangnya, ada sebuah tangan dan sebuah badan yang menghalangi langkah ku.
Tangan itu milik Ririn. Badan yang menjulang didepan ku diatasnamakan oleh Anya. Kalau sedang berhadapan begini. Kadang aku suka kesal karena fakta bahwa dia lebih tinggi beberapa senti dari ku.
"Mau kemana, Aurora?"
"Gue bakal kalahin lo di kelas Pak Sukma selanjutnya!"
Mereka berbicara berbarengan. Tiba-tiba aku geli dan segera melepaskan diri dari mereka. Ku tepis tangan Ririn dan ku singkirkan Anya dari hadapan ku.
"Mau ke ruang kesiswaan. See you later," jawab ku. Kemudian mata ku berpindah kearah Anya. "Are you sure?"
Sebelum Anya jadi murka, aku buru-buru keluar ruangan. Di lorong, aku bisa dengar ia mengumpati nama ku. Kemudian kudengar langkah kaki dibelakang ku.
"I'm serious, now. Ra, Gue bakal ngalahin Lo!"
Ah, kebiasaan Anya yang sangat tidak aku sukai. Dia itu suka marah-marah kalau sudah kalah. Marah padaku, marah pada dirinya, marah pada semua orang. Jadi aku hanya iya-iya saja sewaktu dia bilang begitu. Kenyataanya, seperti di Andalas, dia jarang bisa mengalahkan aku.
"Aurora! Gue serius!"
Aku kaget.
Bukan karena dia tiba-tiba berteriak. Tapi karena anak itu tiba-tiba menyentak ku hingga tubuh ku berbalik menghadapinya. Melihat wajahnya yang dingin, dahi ku mengeryit heran. Anak ini kenapa sih. Tidak biasanya begini. Maksudku, ini bukan pertama kalinya dia kalah dan aku menang.
"Iya, Ay," kata ku lembut. Mencoba mengerti dirinya. Mungkin dia sedang kedatangan tamu merah.
Kami bertatapan lama. Ekspresi Anya sulit ku mengerti. Untungnya, wajahnya mengendur tak lama kemudian. Dia bergumam minta maaf. Kemudian merangkul ku untuk kembali berjalan.
"Kemarin Lo belum cerita. Gimana pak kepsek? Dia bilang apa sama lo?"
Wajahnya ceria lagi. Beban-beban yang tadi bergelayut dimatanya memudar. Sebagai gantinya, sebaris senyum timbul diwajahnya.
"Gue—"
"Aurora!"
Aku menoleh kebelakang. Seseorang berhenti disampingku dengan terengah.
"Ririn?"
Gadis itu tersenyum lalu merangkul lengan ku. "Ngapain keruang kesiswaan? Aku boleh ikut?"
Ririn menggiring ku kembali berjalan. Lorong mulai ramai oleh lalu lalang siswa. Mau tak mau aku melangkahkan kaki ku untuk melanjutkan perjalanan. Ku katakan padanya aku harus menjalani hukuman. Jadi sebaiknya dia jangan mengekori ku.
"Ah, gara-gara yang kemaren ya?"
Tampaknya, semua orang tahu kasus ku.
Ya, waktu itu memang banyak saksi yang melihat. Aku tidak bisa mencegah kalau setelah kejadian itu namaku mungkin akan dikenal dengan image buruk lagi.
"Hei, Aurora. Sebenarnya aku penasaran. Kok kau bisa sih sampai dilirik secara istimewa oleh kepala sekolah? Apa kemampuan mu? Apa kau bisa hipnotis? Apa kau punya Indra keenam? Apa? Apa?"
Sesungguhnya, aku agak risih dengan dia yang menggelayut ditangan ku. Tapi aku tidak enak hati untuk mengusirnya. Dibandingkan dengan yang lain, Ririn mungkin tipe gadis berhati lembut yang akan terluka kalau aku mengusirnya.
"Kenapa lo mikir gitu?"
Ia bergumam, "yaa ... dengar-dengar, sih. Katanya, dua murid terbaik di angkatan terakhir dikirim buat memastikan kamu benar-benar sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Karena yang nguji adalah yang terbaik, berarti ujiannya susah, ya? Gimana? Kamu disuruh ngapain aja?"
Aku disuruh mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan semua kakak kelasku dengan menjinakkan dua bom yang mau meledak. Apa kau tahu bagaimana rasanya, Ririn? Rasanya, seperti aku akan meledak karena adrenalin.
Huft! Sebal rasanya kalau ada yang mengungkit tentang kejadian itu. Otakku tidak bisa berhenti memikirkannya dan terus terbayang-bayang. Apalagi setelah tahu kalau itu semua hanyalah rekayasa. Hanyalah skenario untuk mengujiku. Mengingat kejadian itu dan sosok Black yang sampai sekarang belum kutemui, dendam kesumatku padanya kian waktu kian mengguncang jiwaku.
Aku tidak sabar untuk mengetahui identitas aslinya.
Ah, tunggu dulu. Ririn dan Kak Selena bilang dua murid terbaik yang menguji ku. Bukankah itu berarti Black itu murid disini yang seangkatan dengan Kak Selena? Dan bukankah itu berarti Ririn tahu siapa dia? Maksudku, kalau rumor tentangku saja dia tahu. Apalagi pentolan Bawah Tanah yang digadang-gadang sebagai yang terbaik?
"Emm ... Rin?"
"Ya?" Gadis itu memandang ku dengan mata bulat penuh sirat penasaran.
Sial! Aku deg-degan karena sebentar lagi semuanya akan terungkap.
"Dua murid terbaik itu ... lo tahu siapa aja selain Kak Selena?"
Debar jantungku semakin membuncah melihat Ririn menatapku heran. Tatapannya itu seakan bilang 'apa kau serius bertanya padaku, Aurora? Kau tidak tahu siapa pentolan sekolah kita yang legendaris itu? Bagaimana bisa kau jadi murid baru nomor satu disekolah ini kalau hal yang seperti itu saja masih bertanya pada seseorang?'
Ah, aku jadi gregetan. Ririn menatapku lama sekali. Aku ingin mendesaknya tapi dia tiba-tiba tersenyum padaku.
"Lo tahu?" Aku semakin berdebar-debar.
"Enn...nggak."
Hah?
Aku pasti salah dengar, kan?
"A-apa? Tadi lo bilang apa?"
Ririn menggeleng pelan.
"Enggak. Aku nggak tahu siapa. Kakak-kakak senior nggak pernah nyebut namanya kalau lagi gosip."
Ya ampun.
Jadi dia nggak tahu?
Gimana bisa dia nggak tahu? Dadaku seperti terbakar saking emosinya. Orang-orang seperti Ririn yang responnya lambat ini yang paling aku benci. Terlebih setelah bilang begitu dia malah menampilkan wajah bodohnya dengan senyuman yang bodoh juga. Kali ini aku tidak tahan. Aku akan mengusirnya.
Aku memegang tangannya berniat untuk melepaskan tautan itu. Namun detik itu kurasakan genggamannya justru kian mengerat. Ririn mendekatkan wajahnya padaku. Menatap ku dengan penuh binar. Kemudian tanpa dapat aku hindari, kurasakan hawa dingin merayapi sekujur tubuhku dengan seketika, menyekat jalur napas yang barang sesaat, namun adrenalin yang terpacu membuatku terserang tremor ringan tatkala ia berucap, "tapi katanya, salah satu dari murid terbaik itu punya misi rahasia yang membuat ia tidak bisa kembali ke Bawah Tanah bersama Kakak yang satunya. Katanya juga, misi rahasia itu selesai hari ini. Aku penasaran deh yang mana orangnya. Katanya, dia jago—"
Aku tidak mendengar sisa penuturannya karena seperti ketika aku menyadari identitas Clarence, tubuhku juga terasa mengambang di udara sesaat setelah berbalik dan berlari secepat yang aku bisa. Menyusuri lorong-lorong demi mencari keberadaan Anya yang baru kusadari sudah tidak berada disisiku. Mataku menyapu satu persatu orang yang ku temui. Meneliti dengan tergesa ruang demi ruang yang ku lewati.
Sampai kaki ku seolah dipaksa berhenti beberapa meter dari tujuan. Aku tak sanggup lagi untuk melangkah. Terhenti disana. Tercenung disana. Mataku membola dan tremor ku memarah tatkala kulihat Anya dan Velidsa sedang terlibat suatu perbincangan didepan sana.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top