18. Keistimewaan Bernama Kepemimpinan
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Ada sesuatu yang sedang terjadi, dan aku terlalu bingung untuk mencerna semuanya.
Ini semua karena anak cupu itu.
Anak cupu yang beberapa hari ini ku kenal sebagai orang aneh bergaya ondel-ondel taman Lawang yang kalau bertingkah tak pernah pakai otak sampai dianggap autis. Anak cupu yang beberapa saat lalu ku bela dari sekelompok perisaknya sampai harus dihukum Pak Frans, namun kini dia malah berdiri didepan ku dengan senyum yang aneh setelah bertransformasi dari si cupu taman Lawang menjadi si cantik dari Andalas.
Semua atribut-atribut anak cupu sudah luruh dari tubuhnya. Kepangannya dibuka dan rambutnya yang mengeriting dibiarkan tergerai kesamping. Kacamata bulatnya bersandar diatas kepalanya. Kemeja putih yang selalu rapi kini terbuka pada dua kancing teratas. Secara fisik perempuan ini adalah Camila. Tapi dengan banyak perbedaan. Rambutnya yang seingat ku panjang sepinggang kini hanya sebatas bahu saja. Senyumnya yang biasa ramah kini terlihat seperti senyum licik orang yang suka mempermainkan orang lain. Dan aura dominasi tak mengenakkan yang memancar dari dirinya membuatku ragu apakah dia benar-benar Camila yang itu. Camila yang telah merebut pacarku.
Pintu ruang kesiswaan terbuka. Kak Cempaka keluar dari sana.
"Dasar orang gila. Lihat, adik kelas kita yang manis itu sekarang tampak kebingungan," katanya, mengedipkan sebelah mata kearah ku.
Tiba-tiba aku merinding.
"Apa-apaan ini? Kamu—maksudnya, Kak Camil..."
Aku merasa tidak mampu menyelesaikan kata-kata ku.
"Hai, Aurora."
Suaranya bahkan berbeda. Apabila Camila identik dengan suaranya yang lembut, Clarence dengan suara bervolume kecil dan berlogat. Orang didepan ku ini punya gaya bicara yang aneh dengan selalu menyeringai dan nada yang lebih tegas dari dua kepribadiannya yang lain.
Camila, atau Clarence, atau siapalah dia berjalan mendekat padaku. Sontak aku mundur penuh waspada. Bukan aku takut, tapi Setelah melihat aksinya malang-melintang disekitar ku: berpura-pura menjadi Camila, berpura-pura menjadi Clarence, aku seribu persen yakin dia punya tujuan tertentu.
"Ja-jadi Kakak orang suruhan Bawah Tanah itu? Yang ngawasin gue sama Anya—"
"Mengawasi, menguji ... Mempelajari. Yes, baby. I know everything about you," mengejutkannya, dia mengatakan dua kalimat terakhirnya dengan nada menggoda yang setahuku tidak akan pernah dilakukan oleh gadis seanggun Camila. Atau sekikuk Clarence.
"Ja-jadi, selama ini Kakak menyamar jadi Camila, Clarence ..."
Dia maju selangkah, "Yup."
"Lalu, bom yang waktu itu ..."
"Oh, itu ujian masuk untuk mu," katanya enteng. Maju selangkah lagi. "Ada lagi yang mau kamu tanyakan?"
Aku diam. Mencari tanda-tanda apakah orang ini sedang bercanda atau tidak. Karena kalau sampai tidak, aku mungkin tidak akan bisa lagi menjadi adik kelas yang manis dan baik hati.
"Oh, jadi begitu. Jadi ini cara Bawah Tanah merekrut setiap anggotanya? Berapa banyak sekolah yang sudah kalian ledakkan, hah?"
Perempuan itu tampak menahan tawa. Ia melirik kearah Kak Cempaka disebelahnya, "lihat 'kan? Walau kelihatannya tenang, orang ini sebenarnya agak emosian."
"Hei!"
Ia kembali menatapku, "oh, maaf Sayang. Jangan khawatir. Hanya ujianmu saja yang pakai skenario bom dan teroris. Haha. Ngomong-ngomong, kamu keren lho waktu itu."
Aku tidak percaya ini.
Walaupun aku memang sudah menduga sejak Anya menceritakan padaku soal seseorang bernama Black yang selalu mendatanginya dan meneror dengan pesan beruntun, kejadian Anya dan kejadian bom memang agak janggal. Bukan, malah, terlalu janggal. Aku ingin tahu siapa orang bodoh yang merancang skenario dibalik semua itu sehingga anak-anak sekalipun pasti akan tahu bahwa ada suatu konspirasi dibaliknya. Kalau sampai bertemu aku mungkin tidak akan bisa menahan diri. Tapi lebih dari pada itu, aku masih tidak habis pikir dengan orang-orang Bawah Tanah ini. Kenapa mereka bisa segila itu mengadakan ujian-ujian masuk aneh yang membuat calon murid mereka stres —tentu saja aku stres dengan teror bom yang kentara sekali hanya menyudutkan aku, terlebih setelah aku tahu bahwa semuanya hanya tipu muslihat belaka. Apa mereka benar-benar percaya bahwa kami-kami ini anak superior yang bisa menyelesaikan masalah dengan mudah seperti di film-film laga itu. Karena sepengamatan ku semua murid-murid Bawah Tanah lebih terlihat seperti manusia-manusia penuh ambisi yang mengincar peringkat pertama dengan segala cara.
"Kalian pikir itu lucu? Jadi ini semua hanya rekayasa, hah? Heh, kalian nggak tahu kan gue udah kayak orang bodoh nggak berdaya yang ditumbalin buat mati sama bom. Orang-orang Bawah Tanah itu gila, ya? Gimana bisa kalian nguji calon murid pake bom sampai ngeledakin gedung sekolah segala?! Asal lo-lo semua tahu ya, gara-gara kejadian itu gue sampai put—"
Aku menarik napas. Kalau aku ungkit kejadian dengan si mantan brengsek waktu itu, rasanya tidak akan keren. Harga diriku pasti akan jatuh banget. Nanti si cewek psikopat itu mengira kalau aku cinta mati banget sama cowok itu. Lalu dia akan tertawa kesenangan karena telah berhasil merebut pacarku dan membuat ku menderita. Dan lalu bisa saja setelah itu dia menyebarkan rumor tentang aku dan membuat aku dibilang bucin sama anak-anak tiga angkatan yang jumlahnya sangat sedikit itu. Jadi pasti semua orang bakal tahu karena muridnya bahkan nggak lebih dari dua ratus orang.
Enak saja. Nggak bisa, nggak bisa. Kejadian sebenarnya kan tidak seperti itu. Mana ada aku cinta mati banget sama dia. Aku bukan bucin kayak Anya yang dunianya hanya Mas Raga melulu. Nggak boleh. Aku nggak boleh bahas itu disini. Seenggaknya, nggak didepan Kak Cempaka.
Tahan Aurora. Tahan sebentar. Tarik napas mu dan tenanglah.
"Sudah marah-marahnya?"
Oh, aku yakin dia pasti sedang main-main. Karena setelah aku diam pun kemarahan ku padanya tidak berkurang sedikitpun. Apakah dia tidak bisa melihat itu dari mataku ? Aku yakin sudah menatap cewek itu setajam-tajamnya sampai rasanya mataku agak sakit.
Kak Cempaka yang kerjaannya cuma diam-diam tapi menghanyutkan itu tiba-tiba mendekatkan bibirnya ke telinga Camila, Clarence —aku mulai ragu harus memanggilnya apa. Kalau dia tidak cepat-cepat berkata sesuatu, aku kira dia mau menggigit telinga Camila, Clarence, terserahlah. "Benar katamu, dia lumayan galak, ya."
Oh, ternyata mulutnya itu cuma bisa bicara hal-hal menyebalkan.
Camila tersenyum menyeringai lagi.
"Baiklah, sekarang giliran ku bicara."
Dia berkata begitu, tapi setelahnya malah diam seperti orang tak punya mulut. Bahkan setelah ku tunggu berdetik-detik lamanya, orang itu tidak bicara juga. Dari tadi kerjaannya hanya senyum-senyum menyeringai aneh seraya menatapku seolah-olah aku akan jatuh cinta kalau ditatap sedemikian intensnya.
"Hei! Mau bacot aja pake senya—"
"Hehehe. Hehe. Hehehehehehehehehe. Marvelous-marvelous."
Tiba-tiba saja dia ketawa aneh sambil bertepuk tangan heboh. Aku ternganga saking kagetnya akan kelakuannya yang mirip orang gila. Aku sudah tahu bahwa ada yang salah dengan otak perempuan itu. Dia jelas bukan lagi Camila. Bahkan bukan Clarence —yang menurutku adalah orang paling aneh sedunia. Kalau dipikir-pikir lagi, kemampuannya itu yang bisa jadi dua orang berbeda, bahkan dengan suara dan penampilan yang berbeda, dia ini pasti orang gila.
"Hahaha. Kamu hebat, Aurora. Kamu hebat! Berulang kali aku menguji mu dan kamu selalu memberikan aku kejutan. Marvelous."
Kak Cempaka tertawa geli. Mungkin karena melihat wajah syok ku yang sampai tidak bisa berkata-kata, dia menjelaskan, "ada alasan kenapa semua murid di Bawah Tanah di rekrut dalam waktu yang acak, Aurora. Seperti kamu yang harusnya direkrut tahun lalu, tapi baru sekarang ini kamu resmi menjadi murid Bawah Tanah. Semua calon murid diberi setidaknya satu pengawas untuk mencari informasi dan menguji apakah mereka layak atau tidak. Itu semua dimaksudkan agar institusi benar-benar menyaring orang-orang pilihan yang benar-benar istimewa."
"Dan apa hal istimewa yang kalian dapat dari gue?"
Kak Cempaka hanya tersenyum menatap ku. Karena jawabannya sudah dikatakan lebih dulu oleh Camila yang tiba-tiba menunjuk ku dengan jari telunjuknya, "it's your personality."
Camila mendekat ke arahku.
"Kepribadianmu yang berprinsip, tegas, bisa memimpin, sangat patriotik, sangat patuh aturan, baik dan tentu saja setia. Meskipun kamu agak fasis dan kasar karena dididik keras dengan cara militeris, meskipun kamu juga orang yang angkuh, narsis dan cenderung meremehkan orang lain, tapi semua itu berguna. Kamu orang yang baik, Aurora. Dan karenanya kamu adalah kandidat yang sempurna untuk menjadi seorang prajurit."
Camila berjalan kebelakang ku. Ia memegang kedua bahu ku dengan cara yang aneh. Entah kenapa aura orang ini membuat ku merinding —padahal aku tidak pernah merasakan apa-apa sewaktu menghadapi ia sebagai Camila atau Clarence. Saking anehnya hawa yang dibawa perempuan ini, aku sampai tidak berani melakukan apa-apa. Padahal biasanya aku tidak begini. Aku hanya bisa diam mendengarkan ketika dia mulai kembali bicara.
"Sayangnya, otaknya terlalu pintar untuk jadi pembawa senjata saja. Jadi, institusi menawarkan sesuatu yang lebih baik untuk memanfaatkan semua aset mu. Kepribadian, otak, fisik, semuanya akan berguna—"
"Dengan menjadi mata-mata," lanjutku.
Camila berpindah ke depan ku lagi, "yup."
Aku mendengus, "ya, Bawah Tanah ternyata emang gila. Mereka mencari keseluruh penjuru negeri ini permata-permata berharga. Kemudian memahatnya dengan cara-cara yang buruk. Bom teroris, pesan ancaman, kalian pikir sedang bermain-main dengan apa? Seseorang bisa saja terbunuh dengan ujian-ujian ekstrim seperti itu."
Untuk pertama kalinya, senyum menyeringai diwajahnya hilang. Berganti dengan kerutan-kerutan masam.
"Ini, ini salah satu dari sifat mu yang aku tidak suka. Kamu itu kaku. Terlalu lurus. Kalau bukan karena Bawah Tanah, kujamin hidupmu akan membosankan."
Alisku menukik tajam. Namun sebelum aku mencaci-maki kewarasannya, Kak Cempaka mendahuluiku, "ah, jangan dengarkan dia. Selena itu orang gila yang terobsesi dengan orang-orang seperti mu. Ini bukan kali pertamanya merepotkan dirinya sendiri dengan menyamar sebagai Clarence, padahal seharusnya tidak perlu karena tugasnya sudah selesai."
Ah, akhirnya kudapat identitas aslinya.
Selena.
Gadis itu memandang masam kearah Kak Cempaka, "kamu ini sama-sama membosankan."
Kak Cempaka hanya tersenyum.
Aku hendak bicara lagi. Tapi mataku menangkap tubuh seorang pria tinggi besar dibelakang Kak Selena dan Kak Cempaka sedang berjalan kearah kami.
"Kalian bertiga, sudah main dramanya?" Tanya Pak Frans.
Aku membelalak lagi. Jadi Pak Frans juga tahu kalau Clarence itu adalah Kak Selena yang sedang menyamar?
Ya, kalau guru sih tidak heran juga.
"Yup," sahut Kak Selena seraya hormat pada guru olahraga kami. "Aku sudah menyelesaikan semua pengamatanku."
"Kalau begitu cepat pergi keruang kepala sekolah. Pak Hendrik memanggil kalian."
...
Memang pada dasarnya gedung Bawah Tanah itu luar biasa artistik. Jadi aku tidak lagi heran ketika aku menemukan ruangan kepala sekolah yang berada di lantai dua dipenuhi oleh corak warna-warni dari komik yang dilukis di dinding. Dari gambar dan dialognya, aku tahu komik itu bercerita tentang sejarah Bandung lautan api. Aku terkesan dengan gambar rakyat-rakyat Bandung yang membawa obor dan merelakan kotanya dibumihanguskan demi melawan tentara sekutu yang hendak mengambil alih. Meskipun hanya gambar, aku dapat merasakan emosi dari setiap dialognya.
Di ruangan yang lebih mirip galeri seni ini, aku menemukan dua orang. Satu, seorang pria berpakaian rapi yang duduk dibalik meja ditengah-tengah ruangan. Wajahnya tegas tapi senyumnya ramah. Kerutan disekitar dahi dan matanya memberitahuku usia yang tidak lagi muda. Mungkin sekitar empat puluhan. Yang kedua, duduk didepan menghadap si pria yang ku yakini adalah Pak Hendrik alias kepala sekolah itu. Dari postur dan bagian belakang tubuhnya, aku mengenalnya sebagai Velidsa.
Pak Hendrik mengangkat kepalanya ketika kami memasuki ruangan. Langsung tersenyum ramah begitu saja. "Silahkan duduk."
Kami bertiga kemudian duduk di kursi yang disediakan menghadap pria itu. Aku ingin duduk di ujung lainnya, tapi terlanjur ditempati Kak Cempaka. Kemudian Kak Selena yang dengan sigap mengambil tempat disebelah temannya. Terpaksa aku duduk disebelah Velidsa.
Aku bisa merasakan tatapan sinisnya begitu aku duduk, "hish."
Tuh, kan. Belum apa-apa dia sudah bersuara-suara menyebalkan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak memelototinya.
"Apa?!" Sentak nya.
Dia ini sama sekali tidak ada etikanya. Didepan Pak Frans dia begitu, didepan kepala sekolahpun sikapnya tak jauh berbeda. Aku tahu semua orang memandangku sombong dan angkuh. Bahkan Kak Selena memandangku begitu. Tapi aku masih punya etika untuk menghormati orang lain. Aku tidak pernah merasa superior dari yang lain terlebih di depanku ada kepala sekolah yang dari papan nama diatas mejanya tertulis berpangkat jenderal besar TNI.
"Velidsa, kamu ini apa-apaan?" Pak Hendrik menegurnya.
Ajaibnya, cewek sinis itu langsung diam. Menutup rapat mulutnya. Aku sih senang-senang saja dia tutup mulut. Tidak ada yang berisik. Mungkin Velidsa takut dengan omnya yang memang dari segi badan agak menakutkan itu. Tapi karena dia tidak bisa berisik itulah matanya semakin gencar memelototiku seolah-olah aku duduk disini tanpa pakai baju.
"Selena, bagaimana laporan mu?"
"Sudah selesai, Pak," jawab perempuan di sebelahku. Yang mengejutkan —lagi— nada bicaranya terdengar lebih berwibawa dan serius dari yang tadi. Ku pikir dia menyeringai pada semua orang. Ternyata hanya padaku. "Sekarang, saya dapat memastikan bahwa Aurora memang layak menjadi bagian dari kita. Ini semua berkat Bapak mengizinkan saya untuk mengawasi dia beberapa hari lebih lama."
"Ya, tapi karena ulahmu terjadi keributan disini. Padahal tidak pernah ada keributan lagi setelah angkatan Wiraga."
Kak Selena menunduk sebelum mengangkat kepalanya lagi, "untuk masalah itu, saya mengakui sepenuhnya adalah kesalahan saya. Saya siap menerima hukuman apapun."
Pak Hendrik tersenyum kecil, "tanggung jawabmu bagus. Tapi saya tidak bisa menempatkan semua kesalahan padamu. Saya sudah mendengar semuanya dari Pak Frans. Kamu bertengkar dengan Velidsa, Aurora ?"
Aku tersentak ketika nama ku tiba-tiba disebut. "Siap, iya."
"Saya sudah dengar di Andalas kamu anak Paskibra. Tapi kali ini kamu boleh santai saja dengan saya. Kita tidak sedang berada di lapangan atau misi, mengerti?"
"Siap, mengerti," aku menggaruk tengkukku, "maksudnya, ngerti, Pak."
"Saya bangga karena kamu tidak abai dengan orang-orang disekitarmu. Meskipun caramu salah, tapi setidaknya kamu peduli. Kedepannya, kamu harus bisa mengontrol emosi, mengerti ?"
Aku mengangguk singkat, "ngerti, Pak."
Pak Hendrik memalingkan pandangan dari ku ke arah keponakannya. Ketika mereka bersitatap, raut wajahnya berubah keras, "sebaliknya Velidsa, saya kecewa karena tindakanmu yang sangat kekanakan dan tidak bertanggung jawab. Beruntung korbanmu hanya Selena yang sedang menyamar. Bagaimana kalau itu Clarence yang sesungguhnya? Kamu akan menghancurkan mental seseorang. Apa kamu mengerti dengan kesalahanmu?!"
Velidsa tidak menjawab.
"Saya juga dengar kamu tidak melaksanakan hukuman yang diberikan Pak Frans. Saya tidak tahu lagi harus bilang apa pada ayahmu, Nak."
Ketika Pak Hendrik menyebut ayahnya, seketika Velidsa mengangkat kepalanya. Menatap Pak Hendrik panik. Ada sirat ketakutan dimatanya. Tapi dengan cepat anak itu menghilangkannya ketika dia tiba-tiba saja menatapku penuh amarah.
"Kalian semua akan dihukum."
Seketika getir menyambangi seluruh tubuhku. Bulu kudukku meremang tak tertahankan. Apakah Kami akan mengisi ratusan soal psikotes lagi? Oh, tidak. Jangan lagi. Aku mohon jangan lagi soal-soal merepotkan itu. Aku siap untuk hukuman apapun selain itu. Seperti yang sudah kubilang, aku akan lebih berterimakasih kalau dikasih push up 10 seri, atau berendam dialiran sungai berlumpur, atau sikap sempurna di lapangan. Setidaknya, aku lebih terbiasa dengan hukuman fisik.
Yang gentar bukan hanya aku. Tapi Velidsa tampak berekspresi terluka seolah-olah dia sudah dikhianati. Aku tidak mengerti kenapa dia begitu angkuhnya sampai merasa sangat benar dan tidak pantas dihukum. Kalau ada kontes orang-orang paling angkuh sedunia, aku yakin dia akan memenangkan juara satu dan aku juara dua. Untuk yang satu ini, aku harus mengaku kalah karena jujur saja aku tidak begitu angkuh sampai hilang kewarasan seperti dia.
"Om kok gitu, sih? Om sadar nggak, sih, sama apa yang udah om lakuin ke aku? Om inget Kak Sarah—"
"Jangan bawa-bawa Sarah!" Suaranya meninggi. Tiba-tiba saja wajah Pak Hendrik menggelap. Matanya turun kebawah, tapi ada kilat kemarahan dibalik tatapannya. Kami semua diam. Terkejut sekaligus merinding. Mungkin Inilah figur sesungguhnya dari seorang jendral besar. Tidak peduli betapa dia terlihat bijaksana dan ramah sebelumnya, Pak Hendrik detik ini benar-benar membuatku takut. Aku hampir mengira bahwa kami semua akan kena gertaknya ketika dia justru membiarkan keheningan menggantung lebih lama. Hingga akhirnya Pak Hendrik kembali bersuara, yang anehnya lebih lirih dan sedih dari sebelumnya, "jangan bawa-bawa Sarah."
Kami semua masih diam. Velidsa tampak memucat. Kak Cempaka dan Kak Selena terlihat tegas. Namun matanya yang membuka lebar tidak bisa membohongiku bahwa keduanya juga sama-sama terkejut dan bingung harus berbuat apa.
Setelah beberapa saat yang menegangkan itu, akhirnya Pak Hendrik kembali mengangkat kepalanya. Ada rekahan kecil dibibirnya yang walaupun tidak selebar sebelumnya, tapi cukup untuk mengusir semua emosi-emosi negatif diwajahnya. Ia memandangi kami semua satu persatu.
"Selena, karena semua ini berawal darimu, maka kamu harus bertanggung jawab dan menerima hukuman. Begitu juga dengan kamu Cempaka, saya dengar kamu membantu Selena mengelabuhi Aurora."
Kedua kakak kelas ku ini menjawab dengan serentak, "kami siap dengan hukuman apapun."
Mata Pak Hendrik kemudian pindah padaku dan Velidsa, "kalian tentu saja akan dihukum. Saya tidak perlu menjelaskan kesalahan kalian. Saya yakin kalian sudah cukup dewasa untuk menyadari kesalahan sendiri."
Velidsa masih memalingkan muka. Jadi aku menyahut sendiri, "saya siap menerima hukuman apapun."
Pak Hendrik mengangguk, "hukumannya akan diberikan oleh Pak Frans besok ketika jam pelajaran sudah selesai. Pertemuan ini selesai. Kalian boleh kembali kekelas."
Velidsa yang pertama beranjak dari kursinya. Meninggalkan ruangan begitu saja. Kemudian disusul oleh Kak Selena dan Kak Cempaka yang bergantian menyalami Pak Hendrik kemudian keluar ruangan. Tersisa aku sendiri yang masih duduk bersama Pak Hendrik diruangan ini.
"Kamu juga boleh kekelas, Aurora," Pak Hendrik mengerutkan keningnya ketika aku tak juga beranjak. Dia pun memutuskan untuk bertanya, "ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan?"
Aku mengangguk kecil, "saya ingin tanya kenapa Bapak memilih saya? Maksudnya, kata Kak Zero—"
"Kata Kak Zero saya pengin banget kamu jadi salah satu murid disini?" Pak Hendrik menanyaiku dengan alis mata terangkat.
Tiba-tiba Aku jadi malu sendiri. Aku menggaruk tengkukku. Ini bukan seperti aku menanyai seorang fans mengapa ia mengidolakan aku. Lagipula Pak Hendrik bukan fans-ku. Tapi mendengarnya menanyaiku begitu —walau sebenarnya dia hanya memperjelas maksudku saja— terasa seperti aku terlalu percaya diri dan itu tidak nyaman.
"I-iya.
Beliau mengulas senyum tipis dan menatapku. "Apakah Selena tidak bilang padamu, Aurora?"
Sejenak aku menatapnya heran. Tidak menemukan kemana arah pembicaraan ini. Namun sekejap kemudian aku sadar dan lantas berucap, "hah? Oh, iya. Kak Selena bilang kepribadian ku bagus untuk jadi mata-mata. Jadi ... Hanya itu?"
"Hanya itu?" Pak Hendrik menatapku terkejut. "itu bukan sekedar hanya itu, Aurora."
Ia berdiri dan berjalan kearah dinding disamping kami. Menatap sejenak lukisan komik Bandung lautan api yang terlihat maha megah. Kemudian berbalik padaku dan merentangkan kedua tangannya seolah-olah mempersembahkan gambar itu padaku.
Aku ikut berdiri.
"Kamu tahu kisah ini?"
Aku mengangguk.
"Saya selalu mengagumi ketika Mayor Rukana dengan gebrakan emosinya mencetuskan agar membumihanguskan kota tercinta mereka. Membuat Bandung menjadi lautan api," ujarnya, dengan mata penuh binar ketakjuban. "Lalu pengorbanan heroik Muhammad Toha dalam misi penghancuran gudang senjata Agar sekutu hanya menerima abunya. Semua aksi itu terdengar gila oleh kita, kan? Tapi siapa yang menyangka bahwa hari ini kegilaan itu dituliskan oleh sejarah sebagai tonggak yang mempertahankan keutuhan bangsa kita. Hari ini, dimasa dimana kita tidak lagi harus berperang ini, jarang saya bisa menemukan orang dengan kegilaan-kegilaan yang sama. Kegilaan yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya jiwa pemimpin. Jiwa penggerak dan pendobrak.
"Sejak berdiri tahun 1962, Bawah Tanah selalu mencari murid-murid dengan hanya satu kriteria: jenius. Setidaknya, untuk masuk sini kamu harus punya IQ minimal 130. Ngomong-ngomong, apa kamu tahu hasil tes IQ mu, Aurora?"
"131," jawab ku. Aku menerima hasil tes IQ sewaktu ujian masuk Andalas dan jadi salah satu yang terendah. Rata-rata anak Andalas punya skor IQ sekitar 135 sampai 140.
Pak Hendrik menggeleng, "yang benar adalah 143."
Aku tercengang. Tapi tetap membiarkan Pak Hendrik untuk melanjutkan.
"Lalu hasil temanmu, Faradita Anya, adalah 141. Yang diberikan Andalas padamu itu adalah hasil yang palsu. Hasil yang asli, dari tiga murid dengan skor tertinggi, diberikan pada institusi ini sebagai rekomendasi dari kepala sekolahmu. Jangan marah, itu dilakukan supaya kau tidak merasa pintar dan jadi malas. Itu alasan kenapa meskipun anak-anak Andalas punya skor IQ rata-rata 131 keatas atau superior, banyak dari mereka yang terlihat seperti anak biasa. Mereka sudah malas duluan. Merasa pintar, jadi menganggap tidak perlu belajar. Tugas Kamilah untuk menjaga agar skor tertinggi tidak berubah menjadi demikian. Itu sebabnya kalian diberikan hasil yang salah."
"Karena menjadi salah satu yang terendah mungkin akan membuat kami rajin belajar?"
Pak Hendrik mengangguk.
Aku agak ragu dengan semua teorinya karena, mungkin ini luput dari perhatian kak Selena, sebenarnya, walaupun skorku terendah aku tetap merasa pintar. Aku percaya diri dan yang jelas metode seperti itu tidak membuatku rajin belajar. Kemungkinannya hanya dua, antara aku yang terlalu angkuh atau metodenya yang memang tidak bekerja. Aku harus tanya Anya apakah dia jadi rajin belajar setelah tahu hasil IQ palsunya.
"Intinya, kamu harus pintar kalau mau masuk Bawah Tanah. Itu yang ditanamkan pada setiap siswa kami. Sayangnya, hal itu justru memberi dampak negatif. Murid-murid Bawah Tanah jadi merasa sangat superior. Metode pendidikan yang mengedepankan persaingan tanpa diimbangi dengan pelajaran moral dan etiket membawa persaingan disekolah ini berujung pada persaingan yang tidak sehat . Semua mementingkan diri sendiri. Memang, dengan begitu semua siswa akan terdorong untuk mengembangkan diri mereka dan menjadi yang terbaik. Tapi dengan begitu pula, hasil yang didapat hanyalah orang-orang jenius tanpa pendidikan moral yang baik. Mereka dilatih untuk mengabdi dan hanya itu yang bisa mereka lakukan.
"Sayangnya, dalam misi seorang mata-mata, tidak melulu soal diri sendiri. Tidak melulu soal perintah dari atasan. Terkadang, mata-mata harus bekerja secara tim, terkadang mata-mata harus kehilangan komando dari pusat dan harus bisa mengambil keputusan sendiri. Mengomando pasukannya sendiri. Ketika kerja lapangan dan situasi tidak sesuai prediksi, seorang mata-mata harus mampu memperbaiki situasi tersebut. Sementara yang dihasilkan oleh Bawah Tanah tidak dibekali kemampuan untuk mengomandoi diri atau tim mereka sendiri. Mereka dilatih hanya untuk menjadi prajurit yang menerima perintah. Sedangkan mata-mata sesungguhnya tidak seperti itu.
"Mulailah pada era baru ini. Abad 21. Kami mulai mencari sesuatu yang lain. Bibit-bibit unggul yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mempunyai jiwa kepemimpinan. Untuk itulah kami butuh orang segila mayor Rukana ataupun Muhammad Toha. Secerdas Ir. Soekarno dan sepatriot Bung Tomo. Kami butuh mereka yang tidak hanya cerdas, tapi punya moral baik dan peduli terhadap sesama. Mereka yang memiliki jiwa yang haus akan cinta tanah air. Mereka yang berjiwa pemimpin. Jiwa pendobrak. Jiwa seorang ksatria. Seperti semboyan kita, 'ASKARA CHAYA PAKSA, AKCAYA'. 'Ksatria yang bersinar dibalik bayangan, tak mudah binasa'.
"Dan aku melihatnya didalam dirimu," dia menunjukku. Kemudian berjalan menyebrangi ruangan dan memunggungi ku sementara dirinya melihat keluar jendela. "Katakan padaku, Aurora. Bagaimana kamu bisa membiarkan dirimu tetap didalam sekolah mu ketika kamu tahu bahwa jalan keluar bukan hanya lewat pagar, katakan padaku, bagaimana kamu bisa menebak bahwa Clarence adalah Camila. Sedangkan aku tahu Cempaka berusaha untuk mengelabuhi dirimu. Bagaimana kamu bisa menjelaskan semua itu ?"
Itu semua mudah saja. Jalan keluar dari Andalas ada dua. Pertama gerbang, kedua bagian belakang sekolah dimana timbunan meja dan kursi bertumpuk dan bisa dipanjat untuk melompat dari dinding pembatas. Semua murid Andalas yang pernah bolos pasti tahu jalan itu (iya, aku pernah melakukannya beberapa kali, tolong jangan hakimi). Mengenai alasannya, kenapa aku tidak melarikan diri saja alih-alih repot-repot mencari bom kesana-kemari, itu semua karena ... Tentu saja aku tidak bisa! Maksudku, sudah jelas Black bilang ada dua bom dan ledakannya akan menghancurkannya sekolah. Saat itu, ada sekitar dua ratus lebih manusia dan kalau aku pergi begitu saja, aku tidak tahu apakah aku bisa menanggung rasa bersalah karena telah mengorbankan kakak-kakak kelas tercintaku. Setidaknya, harus ada orang gila yang berani menghentikan semuanya.
Perihal Clarence, aku sendiri tidak menyangka bahwa dia benar-benar Camila. Tapi kalau ditanya bagaimana aku menebaknya, aku hanya memikirkan kata-kata Zero. Dia bilang orang yang mengawasiku sudah ada sejak hari pertama aku menjadi siswa Andalas, dan orang yang pertama kali aku lihat selain Teresa adalah Camila. Dia kakak OSIS cantik yang menyidang kami berdua. Lalu kenapa bukan kak Cempaka, itu karena aku merasa selain ia dan Camila tidak mirip, aku juga berpikir kalau orang yang mengawasiku tidak mungkin memperhatikanku secara terang-terangan hanya untuk bilang bahwa dia adalah orangnya. Dan karena tidak ada satupun yang mirip Teresa atau Camila, aku menebak bagaimana kalau orang sebenarnya menyamarkan penampilannya agar wajahnya tidak dapat kukenali. Dan satu-satunya orang dengan penampilan yang mungkin hanyalah sebuah penyamaran adalah Clarence. Kenapa Clarence, itu karena aku tidak percaya ada murid Bawah Tanah seaneh dia.
Itu saja. Kuncinya adalah bagaimana cara aku berpikir untuk menanggapi berbagai situasi. Apakah itu bisa disebut sebagai jiwa pemimpin?
"Tapi, mayor Rukana menggerakkan pemuda-pemuda Bandung. Bung Tomo dengan pidatonya menggerakkan arek-arek Surabaya. Ir. Soekarno tidak perlu ditanya, mengantarkan Indonesia pada pintu gerbang kemerdekaan," kilah ku, "saya, saya bekerja sendiri dan tidak menggerakkan siapa-siapa. Saya rasa itu hal yang berbeda."
Pak Hendrik tersenyum, "itu hanya satu kekuranganmu. Ya, kamu Cenderung individual padahal sebenarnya kamu bisa memimpin," katanya, "dan jangan mengelak, Selena melaporkan semua sepak terjangmu selama menjadi salah satu elit paskibraka. Saya tahu kamu dan Faradita adalah yang terbaik dalam memimpin."
Semua kata-katanya membuatku tidak bisa memberikan sanggahan apapun. Usai percakapan itu, aku langsung kembali kekelas dengan pikiran mengambang. Anya memborbardirku dengan ribuan pertanyaan tapi tidak satupun dapat kutanggapi. Penjelasan panjang lebar guru pengantar mata-mata II didepan kelasku dan suara-suara lainnya terasa tenggelam dan menghilang. Aku tidak bisa fokus. Aku hanya bisa berpikir dan meresapi semua kata-kata Pak Hendrik. Membuatku mengerti bahwa mungkin benar aku ini memang pantas. Orang-orang menganggap aku istimewa karena aku calon murid paling diinginkan kepala sekolah. Kepala sekolah membuatku mengerti bahwa aku ini memang benar adanya. Aku istimewa. Aku istimewa dengan caraku sendiri dan keistimewaan itu membawaku kesini.
Inilah alasan sebenarnya kenapa surat aneh dari Bawah Tanah ada dimeja belajar ku.
Sekarang aku bisa tidur dengan nyenyak.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top