17. Identitas Sebenarnya

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Aku, Aren dan Velidsa didudukkan disebuah ruangan yang terasa seperti ruangan interogasi. Dengan dinding berwarna dominan abu-abu. Untung saja kursi yang disediakan adalah kursi kayu dengan busa, alih-alih kursi tegak dari besi dan sebuah meja tinggi. Di depan kami Pak Frans dan antek-antek nya —dalam hal ini adalah Zero dan cewek janji siswa— menatap kami dengan alis ditekuk dan wajah yang sama sekali tidak bersahabat. Velidsa, di sisi yang jauh dariku, tepatnya di sebelah Aren yang duduk di tengah memisahkan kami berdua, berulang kali mendengus dengan hidungnya dan sumpah demi kacamata bulat Aren dia sangat berisik.

Sejenak semua ini mengingatkanku pada hari di mana aku bertemu Teresa, bermusuhan, kemudian bersahabat dan secara tidak terduga hari ini aku merindukan anak cerewet itu. Tapi kurasa hal yang sama tidak akan berlaku bagi aku dan Velidsa. Karena sedetik setelah dia berkoar-koar soal omnya dan menggunakan hal itu untuk berkuasa di sekolah ini, secara resmi dia masuk dalam daftar orang paling menjijikan versi Aurora Bhayangkari.

Aku berdeham setelah beberapa menit yang aneh dan saling diam ini. Pak Frans melirikku sebentar, sebelum akhirnya bersuara, "kenapa kalian bertengkar?"

"Dia yang mulai!"

Hening lagi sebelum Pak Frans kembali melirikku, "Benar itu, Aurora?"

"Benar, Pak! Dia tiba-tiba dateng terus jenggut rambut saya. Bapak tadi lihat sendiri kan? Anak sialan itu nabok muka gue!"

"Saya tidak bertanya pada kamu, Velidsa! Aurora, benar kamu yang memulai?"

Aku menghembuskan napas, mengurut hidung dan mencoba menguatkan diriku kenapa bisa-bisanya aku terjebak masalah dengan orang se-iuhhhh Velidsa. "Benar saya yang serang duluan, Pak. Tapi saya punya alasan."

"Tuh kan, Pak. Dia sendiri yang ngaku. Dia yang salah!" Sekonyong-konyong Velidsa menunjuk-nunjuk hidungku dengan mukanya yang nyolot itu.

Anak ini benar-benar ...

"Velidsa! Sekali lagi kamu bicara tanpa diminta, saya akan langsung beri kamu hukuman! Dengar kamu!" Bentak Pak Frans padanya. Urat-urat dikeningnya terlihat lagi. Menandakan dia sudah benar-benar muak dengan kelakuan muridnya itu. Jangankan Bapak, aku yang baru kenal saja muak pada tingkah sok putri kerajaannya itu. Kalau ada kesempatan untuk menggorok lehernya, aku akan maju sebagai kandidat pertama.

Setelah menetralkan urat-urat diwajahnya, Pak Frans —untuk ketiga kalinya— menatapku dengan matanya yang tajam itu, "kenapa kamu memukul dia, Aurora?"

"Saya bukan orang gila yang mukul orang tanpa alasan, Pak. Kalau dia tidak menggunakan keluarganya untuk berbuat seenaknya dan mengintimidasi Clarence, saya tidak akan memukul dia untuk memberi dia pelajaran kalau kita bukan rakyat jelata yang harus nurut semua kemauan dia."

Usai dengan penjelasanku, Pak Frans segera melirik Aren yang tiba-tiba saja ketar-ketir mendapat lirikan tajam dari guru olahraganya, "benar apa yang dikatakan Aurora, bahwa Velidsa menganggumu?"

Aku dapat merasakan lirikan tajam Velidsa di seberang yang seolah mengatakan "kalau kamu berani berkata macam-macam, aku akan membunuhmu!" Dan kurasa ketika aku yang berada dua kursi jauhnya dari anak manja itu saja bisa sadar, maka Aren yang berada tepat di sebelahnya juga bisa. Aren memang menyadari intimidasi itu. Gadis yang kepangannya sudah acak-kadut tak berbentuk itu tidak langsung menjawab. Alih-alih, mengulum bibirnya rapat ke dalam dan memainkan jari persis seperti kutu buku bodoh yang tidak punya keberanian untuk menyuarakan kebenaran.

Aku menyikutnya gemas, "katakan saja!"

"Hei, jangan provokasi dia!" Velidsa berteriak padaku. Namun segera membungkam mulut busuknya rapat-rapat ketika guru atletis kami melayangkan ancaman tersirat dengan matanya.

Butuh waktu yang lama sekali untuk Aren memberanikan dirinya. Tapi di bawah tatapan menuntut kami semua, anak itu akhirnya menganggukkan kepalanya. Dengan kondisi dan penampilan Aren yang bahkan lebih buruk dari orang gila taman Lawang, Pak Frans memilih untuk tidak meminta penjelasan kronologi kejadian dan langsung mempercayai tanggapan tersebut.

Iapun berucap tegas, "Bawah Tanah adalah sekolah elit mata-mata. Di sini kami menjunjung tinggi nilai persatuan, kebersamaan dan kekeluargaan. Sikap perpeloncoan yang kamu tunjukkan itu sangat menyalahi aturan, Velidsa. Ingat butir pertama janji siswa?"

Ketika tidak ada jawaban dari Velidsa yang mukanya kentara masam, Pak Frans meminta cewek janji siswa untuk menyebutkannya.

Ah, jadi itu gunanya ia ada disini.

"Sebutkan dengan lantang, Cempaka!"

Cewek janji siswa —Cempaka— segera meletakkan kepalan tangannya di atas dada. Persis seperti apa yang ia lakukan di upacara penerimaan waktu itu. Dengan lantang kemudian menyebutkan butir pertama janji siswa.

Ada sesuatu yang menggangguku sejak aku melihat Kak Cempaka ini di upacara penerimaan. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak asing dalam dirinya, tapi otakku menghilangkan memori itu hingga membuatnya terlihat asing. Setiap kami tidak sengaja bertemu tatap, dan dia tersenyum ramah, aku selalu merasa bahwa ada maksud lain dari caranya menatap dan tersenyum padaku. Aku juga selalu merasa bahwa dia terus-terusan melakukan hal itu.

"Kalian tahu apa artinya janji siswa itu?" Tanya Pak Frans setelah Kak Cempaka selesai. Kali ini suaranya tidak menyentak seperti tadi. Masih tegas tapi lebih pada maksud untuk memberikan kami pengertian, "semua siswa di Bawah Tanah memiliki tempat dan hak yang sama. Tidak ada yang dibeda-bedakan apalagi diistimewakan hanya karena kerabat kepala sekolah."

aku bisa merasakan tatapan Pak Frans pada Velidsa dan orang yang ditatap mendengus sambil memalingkan wajah.

"Kamu juga, Aurora. Meskipun niatmu baik, tapi tingkahmu tidak bisa dibenarkan. Kekerasan bukan cara terbaik untuk memberi pelajaran."

Aku membuang muka. Mungkin orang yang bertugas memata-matai aku lupa mencantumkan kalau aku terbiasa dengan pola didik militerisme yang keras dan penuh tekanan.

"Clarence, meskipun di sini posisimu adalah korban, saya akan tetap memberi hukuman padamu. Seluruh siswa Bawah Tanah harus memiliki kepribadian yang kuat, berani dan tidak pengecut. Kalau kamu diam saja saat seseorang menindasmu, itu sama saja dengan menerima kekalahan dengan lapang dada. Di lapangan, ketika menjalani misi dan mengemban tugas negara sebagai mata-mata, sikap pengecut seperti itu hanya akan mengantarkanmu pada kematian. Mengerti?!"

"Siap, mengerti!"

Hanya suaraku yang bergaung lantang di ruangan ini. Aku melirik Aren dan Velidsa yang seketika memandangiku heran. Ah, aku lupa aku bukan anggota paskibra lagi.

"Ma-maaf-"

"Apa hanya Aurora saja yang punya mulut disini?"

Kami bertiga tersentak. Kupikir aku yang akan dimarahi karena berteriak lantang begitu. Tapi rupanya, memang itu yang diharapkan oleh Pak Frans.

"Mana suaranya?!"

Kami —atau lebih tepatnya aku dan Velidsa, karena Aren hanya bergumam tidak jelas— serentak menjawab, "siap, mengerti!"

...

Ketika aku berpikir tentang Bawah Tanah, sekolah elit mata-mata di mana kami —yang tentu saja— akan dididik secara keras demi persiapan mental dan fisik untuk pekerjaan yang tidak mudah, biasanya di otakku akan terlintas sesuatu yang lebih keras dari bagaimana cara aku dididik di Andalas. Seperti bentakan jam tiga pagi untuk membangunkan kami semua. Olahraga pagi yang berat seperti memanjat dinding, merangkak di atas genangan lumpur, meluncur dari atas bukit dan lainnya lagi yang pernah aku lakukan sewaktu pelantikan paskibra. Ketika aku memikirkan tentang Bawah Tanah, aku selalu merasa bahwa hari-hariku akan berjalan sekeras ketika aku latihan paskibra atau saat latihan militer tahunan yang diterapkan di Andalas. Penuh oleh bentakan para senior yang menerapkan hukum dua pasal tidak tertulis. Pasal satu, senior selalu benar. Pasal dua, apabila senior salah, kembali pada pasal satu -yang mana hal ini juga diterapkan di paskibra Andalas.

Tapi nyatanya, iya, Bawah Tanah memang sekeras itu. Selama empat hari, setiap jam lima pagi aku selalu mendengar suara sirine bahaya. Hari pertama, aku terlonjak panik, menggulingkan Anya dari kasurnya, kemudian mengetuk pintu hampir semua kamar sambil berteriak ada kebakaran. Yang kemudian kutahu sirine itu hanya peringatan bangun pagi. Jangan tanya bagaimana malunya aku saat itu. Kami harus sudah berada di lapangan dan melakukan apel pagi, kemudian berganti baju olahraga dan lari keliling lapangan. Semua jadwal kedisiplinan itu setidaknya dapat kumaklumi. Yang aku tidak mengerti, adalah hukuman-hukuman yang diterapkan disini. Hukuman yang sama kerasnya, hanya saja dengan cara yang berbeda. Atau lebih tepatnya, dengan caranya yang ekstrim dan tidak masuk akal.

Aku terbiasa dengan hukuman push up yang diiringi dengan bentakan dan sepatu pantofel yang menginjak punggungku. Aku juga terbiasa dengan hukuman lari, menulis ucapan penyesalan dua lembar penuh dan macam-macamnya. Tapi ketika Pak Frans menyebutkan hukuman kami, aku tidak menduga kalau hukumannya hanya sekedar mengerjakan seratus soal psikotes.

"Heh, mau kemana?" Kata Zero.

Pak Frans sudah keluar lima belas menit lalu. Kak Cempaka dan Zero duduk di depan kami mengawasi.

"Kemana lagi? Kafetaria, lah! Gue belum makan gara-gara si putri tidur."

Zero bangkit dengan alis menyatu, "kamu pikir kamu bisa kabur dari hukuman?"

"Bacot," kata Velidsa dengan langkah gontai keluar dari ruangan. Zero dengan napasnya yang berbunyi segera menyusul tanpa berbicara apapun.

Hening kemudian melingkupi ruangan ini lagi. Aren tampak mencoba untuk kembali fokus pada lembar soal-soal miliknya. Begitupun dengan aku. Aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh Kak Cempaka karena —sebisa mungkin— aku menghindari untuk melihatnya sejak aku menyadari dia terus menatapku dengan senyumnya yang aneh.

"Ehm," aku menoleh pada Aren yang tiba-tiba saja jadi terlihat gelisah, "boleh aku izin ke toilet?"

"Silahkan," Kak Cempaka menggunakan gestur tangannya yang diarahkan ke pintu untuk mempersilahkan Aren. Gadis itu cepat-cepat keluar dan menutup pintu dengan suara sedikit keras. Begitu terburu-buru.

Tinggal aku dan Kak Cempaka di ruangan kesiswaan yang tidak terlalu besar ini. Ditemani sepi dan kecanggungan yang barangkali hanya aku yang merasakannya, sebab aku tak yakin apa yang sedang dipikirkan Kak Cempaka dengan ekspresi dan senyumnya yang seperti itu. Guratan-guratan pensilku terdengar berserak dan hanya itu satu-satunya pemecah keheningan yang ada. Selain suara napasku yang agak berat karena perasaan tidak nyaman.

Sedetik setelah aku mencoret jawaban nomor terakhir, aku segera berdiri dengan terburu membuat kursi kayu yang kududuki berderak ke belakang. Kukatakan pada Kak Cempaka bahwa aku sudah selesai dan tanpa peduli dengan mulutnya yang baru saja terbuka, aku melenggang pergi keluar ruangan.

Lorong-lorong Bawah Tanah sepi. Murid-murid yang lain sudah masuk ke kelas. Jam ini aku harusnya masuk kelas kode dan persandian. Dari lorong yang aku susuri kelas kode dan persandian berada di lorong lain di sebelah kanan perempatan di depan. Tapi dengan segala keterpaksaan aku memilih belok ke lorong kiri. Kearah kafetaria.

Aku berjalan cepat ketika mata kumelihat seorang lelaki ber-blazer merah dengan rambut undercut yang berjalan di depan. Hampir-hampir saja berlari. Memposisikan diri tepat di belakangnya kemudian menarik lengannya agar tubuhnya memutar menghadapiku.

Tanpa menunggu respon apapun dari Zero, segera aku mengacungkan benda terlarang yang hanya bisa kupegang setelah menjadi murid resmi Bawah Tanah. Kutatap ia tepat di mata, tajam, sembari menjaga pelatuknya dengan telunjukku.

Zero tidak berkutik ketika moncong pistolku berada tepat di matanya.

Wajahnya memucat ketika aku menangkapnya basah dengan berkata, "itu Lo 'kan? Black The Terrorist."

...

Setelah semua yang terjadi, asumsiku adalah kejadian bom Andalas waktu itu adalah rekayasa. Teori yang menguatkan adalah pernyataan Zero tentang beberapa sekolah yang bekerja sama dengan Bawah Tanah, dia bilang Andalas termasuk. Kemudian isu-isu Bawah Tanah yang tidak pernah mati di sekolah lamaku, dan betapa janggalnya kejadian bom waktu itu. Aren bilang dua murid terbaik dikerahkan dalam perekrutanku. Itu artinya ada dua orang. Satu mengawasiku, satu —berdasarkan tebakan ku semata— mengujiku. Aku ingat Zero pernah menanyaiku soal ujian. Waktu itu aku berpikir 'ujian' yang dia maksud adalah serangkaian tes membosankan yang aku lakukan bersama Fathah. Tapi setelah kupikir-pikir, semuanya akan menjadi jelas dengan janggalnya kejadian bom Andalas, kalau ujian yang dimaksud adalah teror Black dan bomnya.

Zero bilang dia bukan orang yang mengawasiku, berarti kemungkinan besar dia adalah Black. Aku yakin Zero yang berperan sebagai Black untuk mengujiku apakah aku layak atau tidak. Satunya lagi mungkin saja seseorang yang tidak pernah aku sadari keberadaannya yang bertugas untuk mengawasiku, mencari semua informasi tentang aku dan melaporkan semua informasi itu pada pihaknya. Mungkin anak kutu buku di kelasku. Aku ingat ada seorang anak laki-laki dengan gaya klimis yang selalu memperhatikan tingkah semua orang. Dia membuat catatan tentang semua teman sekelasnya. Dengan alasan agar mudah bersosialisasi karena karakteristiknya yang tidak mendukung, mungkin saja dia hanya mengatakan alibi untuk menutupi tujuan sebenarnya.

"Hah? Bukankah sudah saya bilang—"

"Lo pikir gue bakal percaya itu?" Potongku, masih dengan pistol mengacung, "dari awal, pertama kali lo datang ke gue, itu aja udah mencurigakan. Lo bilang lo bukan orang yang ngawasin gue sana Anya. Berarti lo orang yang nguji kita berdua. Lagipula, Aren bilang kalau lo itu salah satu murid terbaik yang ditugasin buat ngerekrut gue"

Zero diam. Memandangiku dengan tatapan menerawang. Aku tidak bisa membaca apa yang sedang dia pikirkan. Zero kentara sedang berpikir. Tapi matanya menyembunyikan dengan baik semua yang ia rasakan dan pikirkan. Mendapati wajahnya yang seakan tengah tercenung begitu, mendadak aku jadi ragu-ragu.

Apa aku sudah salah menebak?

Kalau dipikir-pikir, iya, teoriku sebenarnya masih memiliki banyak celah. Dengan fakta yang aku dapat dari pernyataan Aren dan Zero, aku tidak bisa menarik kesimpulan bahwa asumsiku adalah benar. Ditambah, suara Zero yang terdengar berbeda dari suara Black yang kuingat. Tapi aku berpikir suara bisa saja disamarkan. Kalau soal teror bom Andalas yang rekaan semata itu, sebenarnya aku hanya asal tebak saja. Habisnya, mau dipikir sebagaimana pun kejadian itu memang aneh. Sudah jelas-jelas letak bom meledak di podium tetapi tidak ada satupun guru yang tewas. Bukan berarti aku menginginkan hal itu terjadi juga. Tapi tetap saja kan?

Tiba-tiba Zero tergelak. Aku mengeratkan peganganku pada pistolku sembari diam-diam berpikir kenapa aku menodongkan senjata padanya. Memang nya apa gunanya tindakanku ini?

Sebelum aku sempat menurunkan lenganku, Zero sudah lebih dulu berkata, "sepertinya Clarence memberimu informasi yang salah, Aurora."

Tanganku turun sedikit.

"Bukan aku murid terbaik yang ia maksud."

Kini tanganku benar-benar sudah turun ke bawah. Memandanginya dengan lebih tajam daripada sebelumnya.

"Dan bukankah aku sudah bilang padamu?

"Orang yang mengawasimu, sudah bersamamu sejak kamu memasuki sekolah itu."

Seperti ada gemuruh yang tiba-tiba meledak-ledak di sekitarku saat itu. Saat nalarku menebak kembali identitas sebenarnya, dan kali ini tidak mungkin salah. Aku tidak tahu seberapa cepat aku melangkah dan berbalik, tapi aku merasakan gesekan angin dipermukaan pipiku ketika napasku beralih menjadi tidak teratur. Seiring dengan visi lorong estetikal Bawah Tanah yang terlewati tanpa sempat kukagumi seperti biasa, lengkap dengan deruan langkah sepatuku yang menggempur lantai keramik mahal, darah terpompa cepat ke seluruh tubuhku hingga aku merasakan ada sesuatu yang akan keluar dari ruang rusukku.

Sejenak ini semua terasa seperti malam itu. Malam di mana aku dan Anya berlarian di bawah terang rembulan, berbalutkan udara dingin. Di sela-sela gang sempit daerah kumuh ibu kota. Saat itu jantungku juga memompa dengan frekuensi yang sama. Terpacu rasa lelah dan keraguan yang semakin berat di setiap langkah, karena aku tidak yakin dengan siapa orang yang sedang kukejar.

Tapi kali ini, suasana yang hampir sama itu terjadi lagi. Namun dengan rasa yang berlainan. Sebab Zero benar. Sebab aku yakin Zero benar. Lantas aku teringat kembali akan hari wisuda di mana ini semua bermula. Dan bagaimana orang itu selalu hadir di setiap keputusan dan kejadian. Aku semakin yakin.

Hingga kakiku berhenti melangkah. Menyisakan jarak yang cukup. Dia baru saja keluar dari ruangan kesiswaan bersama setumpuk berkas. Tertarik dengan kehadiranku yang tiba-tiba, lantas menoleh namun seperti yang kuduga, tidak ada raut terkejut yang ia tampilkan. Alih-alih sebuah senyum yang seakan berkata bahwa ia sudah menduga bahwa ini akan terjadi.

"Aku bertanya-tanya kapan kamu akan mengenaliku, Aurora?"

Kata Camila —atau yang selama ini kukenal sebagai Clarence— seraya melepas kacamata bulatnya.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top