15. Mata dan Tatapan
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Aku tidak pernah membenci hari Senin.
Kecuali Senin adalah hari pertama masuk sekolah. Pemandangan anak-anak manja yang diantar orangtuanya membuatku muak. Padahal sudah SMA. Ke sekolah sendiri saja tidak bisa.
Bukan, ini bukan iri. Aku terbiasa melakukan semuanya sendiri, berangkat sekolah sendiri, bahkan mendaftar ke Andalas pun sendiri. Saat SMP ketika semua teman-temanku diantar ayahnya menggunakan motor matic atau Supra mereka, aku jalan kaki keluar komplek perumahan dan naik angkot. Pun saat pulang ketika semua temanku dijemput dengan motor atau mobilnya, aku membawa diriku sendiri dengan angkutan umum agar bisa pulang. Urat sirikku sudah putus sejak lama. Aku hanya tidak suka orang-orang manja yang bisanya menyusahkan orang tua.
Tapi karena ini hari pertama dan bukan aku pemilik sekolah, aku tidak bisa mencegah orang-orang untuk mengantar jemput anak-anaknya. Lirikan sinisku adalah satu-satunya hal yang mentok bisa kulakukan sebagai protes kepada dunia bahwa diantar ke sekolah saat sudah besar itu menjijikan.
"Biasa aja matanya!"
Aku terperanjat mendengar sentakkan marah itu. Aku mencari asal suara, mataku menemukan seorang gadis berwajah kebarat-baratan dengan rambut Brunette memangku tangan seraya menatapku dari ujung matanya.
Aku mengamati sekitar. Lorong ini tidak sepi. Tapi sepertinya hanya aku yang peka terhadap hardikan itu. Seolah memang sengaja ditujukan padaku. Kontan, mataku kembali mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Lo ngomong sama gue?"
Aku bisa mendengar suara hatinya yang berkata, "wah, belagu amat ni anak," saat gadis itu membuka lebar mulutnya seolah terkejut dengan responku.
Dia pindah menghadapiku, "anak baru kok belagu?!"
"Sama-sama anak baru kok banyak bacot ?!"
Kami sama-sama terdiam. Menatap mata masing-masing dengan penuh permusuhan.
Setelah itu, tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana kacaunya suasana. Semua orang berkumpul melingkar untuk menyaksikan pertandingan gulat gratisan. Beberapa waktu yang terasa panjang berlalu sampai ketua OSIS Andalas yang sangat cantik datang dan memisahkan kami.
Disitu aku mengenal Teresa. Kami berdamai —atau lebih tepatnya melakukan gencatan senjata— ketika disidang berdua oleh Camila.
Sampai saat ini, aku tidak bisa melupakan momen itu. Karena setiap kali sedang bersama Teresa, dia selalu menjadikannya lelucon yang tidak pernah gagal membuatku tertawa.
Jadi kutahan dengan semua kekuatan yang kupunya agar tawaku tidak tiba-tiba meledak. Tidak akan lucu kalau aku sampai menghancurkan suasana yang tengah khidmat ini dengan suara tawaku yang tak beralasan.
Anya menjawil lenganku dengan gerakan yang minim dari jarinya. Kami sedang melakukan sikap sempurna. Haram untuk melakukan gerakan tambahan. Tapi sepertinya ada sesuatu yang harus dia sampaikan.
Aku berbisik kecil, "apa?"
"Kenapa senyum-senyum?"
Aku kira dia mau bilang apa.
"Nggak."
Upacara peresmian berlangsung khidmat. Aku memakai seragam keren yang diantarkan Fathah pagi-pagi sekali. Yakni, kemeja putih lengan pendek, rok rimpel sebatas paha berwarna hitam dan blazer berwarna biru dongker yang bergaris emas dan didesain agar ngepas pada bentuk tubuh. Di bagian pundaknya terdapat semacam sekat berkancing untuk memasang atribut. Kau tahu, seperti pada baju PDL paskibra atau Pramuka itu. Seragam kami ditunjang dengan baret hitam, dasi hitam, kaus kaki sepanjang betis dan sepatu pantofel.
Aku melihat kakak-kakak tingkat punya seragam yang hampir sama. Bedanya, blazer mereka berwarna hitam untuk tingkat 2 atau setara kelas 2 SMA dan warna merah marun untuk tingkat akhir. Ngomong-ngomong, aku dan Anya harusnya berada ditingkat dua, mengingat kami sudah menghabiskan masa satu tahun pelajaran di Andalas. Kalau pindah ke sekolah biasa, harusnya kami tidak jadi turun kelas. Tapi sepertinya sistem Bawah Tanah tidak seperti itu. Kami mengulang kembali kelas satu. Dengar-dengar, Bawah Tanah tidak peduli saat direkrut kau kelas berapa. Begitu masuk murid baru tetap memulai dari awal. Itu kata Katrina yang katanya tahun ini harusnya dia sudah lulus.
"Ngapain, sih?"
Aku menoleh pada Anya, "apa?"
"Dari tadi celingak-celinguk. Nyari siapa?"
Aku tidak langsung menjawabnya. Mataku menyapu sekitar. Seorang pria berbadan besar di atas podium sedang memberikan pidato penyambutan. Guru-guru berdiri menjajar didepan. Sementara semua murid yang jumlahnya kutaksir tak lebih dari 200 orang ini tidak ada yang ribut dan diam memperhatikan kedepan.
Kalau aku bisik-bisik dengan Anya begini apakah akan kedengaran atau tidak, ya?
"Aku mencari seseorang," kataku.
Anya mengerutkan kening. Seolah bertanya "siapa?" Aku memilih untuk tidak menjawabnya.
Mataku menyapu sekitar. Barisan di sebelah kiri penuh oleh blazer hitam, sedang disamping kanan blazer merah berbaris rapih. Masing-masing anggotanya tidak banyak. Untuk sekolah sebesar ini, muridnya terhitung sangat sedikit.
Kendati demikian, mataku belum menemukan pelabuhannya. Orang yang kucari tak kunjung terlihat. Batang hidungnya pun tak terciri. Mungkinkah Zero berbohong padaku? Karena sejak tadi aku tidak menemukan sosok Teresa di antara kerumunan.
Atau mungkin aku yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Zero tidak mengiyakan tebakanku. Tapi juga tidak menyangkalnya. Dia hanya tersenyum, menatapku, kemudian berkata, "menurutmu?"
Cowok itu lalu pergi tanpa sepatah kata lanjutan.
"Janji siswa."
"Janji siswa."
Aku melihat podium. Seorang siswa blazer merah berada di depan sebuah standmic. Berdiri tegap sempurna dengan satu tangan mengepal diletakkan menyilang di atas dada. Oh, ini prosesi sakral yang diceritakan Sirin saat Makrab tadi malam. Siswa blazer merah mengucapkan tiga janji yang kemudian diikuti oleh semua peserta upacara.
"Satu, menjunjung tinggi nilai kebhinekaan serta menjaga persatuan dan kesatuan."
"Satu, menjunjung tinggi nilai kebhinekaan—"
Dengan tangan kiri, kusikut Anya di samping. Dia sedikit menoleh dan melotot padaku. Aku tahu bergerak ketika sedang sikap sempurna itu sangat dilarang. Tapi kali ini aku tidak bisa menahan hasrat untuk bertanya padanya.
"Kira-kira lo bakal percaya, nggak, kalau gue bilang Teresa itu mata-mata Bawah Tanah yang ngawasin kita selama ini?"
Alis Anya bertaut heran, "hah, Teresa mana?"
"Dua, menjadi siswa yang berbudi pekerti luhur, mentaati setiap peraturan dan menghargai persaudaraan."
"Yang agak bule itu. Temen sebangku gue."
Aku membiarkan Anya membuka ingatannya sejenak. Teresa itu masuk cewek populer karena sifat supelnya. Tidak mungkin dia tidak kenal karena sepengetahuanku Teresa hampir mengenal semua orang.
Tak berapa lama ia membulatkan matanya, "oh, si bule yang cerewet itu?"
Aku mengangguk samar. "Dia itu—"
"Dua, menjadi siswa yang berbudi pekerti luhur, mentaati setiap peraturan dan menghargai persaudaraan."
Aku menunggu untuk memastikan semua peserta selesai mengulang butir kedua janji siswa.
"Dia itu mata-mata Bawah Tanah."
Anya mengerutkan kening, "oh, gue nggak tahu soal itu. Tapi emang iya?"
"Nggak tahu juga."
Respon Zero yang serba misterius dan aneh itu benar-benar membuatku gemas. Padahal, aku sudah super penasaran dengan mata-mata Bawah Tanah itu. Maksudku, satu tahun aku hidup di Andalas, dan sama sekali tidak menyadari ada orang yang mengawasi setiap gerak-gerikku, menggali informasi tentang aku dan bahkan mungkin ia menghapal semua kebiasaan burukku seperti lempar batu sembunyi tangan —yang secara harfiah— untuk mengisi waktu ketika gabut melanda.
"Tiga."
"Tiga."
Aku memilih untuk kembali fokus pada prosesi upacara.
"Bersumpah setiap pada negara dan mematuhi semua kode etik mata-mata."
Bersama semua peserta, aku mengulangi butir ketiga, "bersumpah setia pada negara dan mematuhi semua kode etik mata-mata."
Kemudian pandanganku tertuju ke depan. Pada siswi ber-blazer merah yang menarik ujung-ujung bibirnya keatas.
Kemudian menatapku seraya berseru, "ASKARA CHAYA PAKSA."
...
"Permisi, bagian admistrasi dimana ya?"
Kakak kelas blazer hitam yang kuhampiri memandangku dari atas sampai bawah. Seketika itu juga aku merasa seperti sedang ditelanjangi. Inikah yang dirasakan Teresa ketika aku melakukan hal yang sama padanya sebelum kami berseteru dulu? Pantas saja dia mengamuk.
Awalnya, kupikir kata-kata sarkastik akan keluar dari bibirnya sejurus dengan matanya yang jelalatan di tubuhku. Tapi yang kudapat malah seuntai senyum manis, tawa geli, kemudian perempuan di depanku itu melirik temannya seraya berkata, "angkatan yang ini mukanya kaku-kaku semua, ya?"
"Hah ?"
Itu spontan.
"Ruang administrasi dekat aula pertama. Kamu tahu 'kan? Yang ada lukisan besar di dinding."
Aku mengangguk singkat.
"Dari sana, ikuti lorong timur, nanti ada petunjuknya yang mana ruang administrasi."
Aku mengangguk sekali lagi, "thanks."
Aku berjalan kembali ke aula pertama. Mengikuti lorong timur dan menyusuri papan nama di atas pintu dengan mataku. Ada banyak pintu di lorong timur. Tapi pintu ruang administrasi terlihat yang paling berbeda. Pintu nya berdaun dua dan terbuat dari kaca, alih-alih kayu seperti pintu yang lain. Dari kaca pintunya, aku dapat melihat meja resepsionis dan seorang wanita bersanggul tinggi menjaga meja tersebut.
"Permisi," kataku seraya membuka pintu. Wanita bersanggul melirik padaku dan tersenyum.
"Murid baru ,ya?"
"Iya."
Ia kemudian sibuk dengan sesuatu di balik mejanya. "siapa namamu?"
"Aurora Bhayangkari."
Tiba-tiba aktivitasnya berhenti. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan di balik meja setinggi dada yang memisahkan kami berdua, tapi apapun yang ia lakukan itu berhenti begitu saja begitu aku menyebut namaku.
Kenapa?
Apa teman Zero juga bercerita pada resepsionis ini bahwa kepala sekolah sangat menginginkan aku?
"Aurora, ya?"
Aku tidak menjawab. Sepertinya aku harus menemui sendiri kepala sekolah itu dan bertanya secara pribadi Alasan ia begitu mengidolakan aku.
"Baiklah," kata resepsionis itu setelah beberapa saat. Dia meletakkan selembar kertas diatas meja, "ini jadwal pelajaranmu. Selamat bergabung dengan Bawah Tanah."
Aku menatapnya dengan aneh. Meneliti sesuatu diwajahnya. Mungkin aku bisa dapat jawaban dari anomali respon sebelumnya. Tapi semakin ditatap, wanita resepsionis itu malah jadi berwajah tidak enak dan bertingkah kian tak wajar.
"Kenapa?" Tanyanya, sambil menggaruk tengkuknya.
Oke, sepertinya tatapanku sudah berubah menjadi terlalu mengintimidasi. Aku mengambil jadwalku lalu melenggang pergi tanpa berkata apapun. Dan sebelum aku benar-benar keluar dari ruangan itu, aku bisa mendengar ia berkata, "sinis banget."
Kalau bukan karena aku adalah anak baru yang harus fokus mencari kelas, aku pasti sudah putar balik dan menjenggut sanggul tingginya.
Teknis pembelajaran Bawah Tanah mirip seperti sekolah biasa. Dengan tiga belas mata pelajaran, terdiri dari tujuh mata pelajaran pokok seperti kewarganegaraan, matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan sisanya adalah mata pelajaran kemata-mataan seperti pengantar mata-mata, spionase, kode dan persandian, dan lain-lain. Selain mata pelajaran yang sebagian tidak dihadirkan di sekolah biasa seperti Andalas, yang membedakan Bawah Tanah dengan SMA biasa adalah adanya kelas intensif dengan program studi pilihan. Setiap siswa bebas memilih dua sampai tiga kelas yang akan diikuti. Banyak program studi yang ditawarkan. Mulai dari bidang ilmu beladiri, bahasa, ilmu pemrograman dan teknologi, bahkan ada program studi yang mengajarkan soft skill seperti ilmu komunikasi, memasak, menjahit, hingga bersolek. Aku belum memutuskan akan memilih program studi apa saja.
Kalau di Andalas, kelas intensif ini mungkin satu kategori dengan ekstrakurikuler. Andai saja ada program studi paskibra. Aku pasti jadi pendaftar pertama. Lalu Anya akan jadi pendaftar kedua. Dan kami akan bersaing secara sengit untuk menjadi danton terbaik. Dan tentu saja aku yang akan selalu menang dalam setiap persaingan kami.
Berbeda pula dengan Andalas, di Bawah Tanah tidak ada pelajaran olahraga. Karena olahraga disini wajib dilakukan setiap pagi, satu jam sebelum memulai pelajaran. Namun karena ini hari pertama, siswa-siswi baru sibuk mengurus administrasi. Kegiatan jasmani sepenuhnya diisi oleh dua angkatan diatas kami.
Pelajaran pertama hari ini adalah pengantar mata-mata I —mapel ini dibagi menjadi dua dengan guru dan konteks pelajaran yang berbeda. Kelas pengantar mata-mata masih berada di lantai satu gedung yang memiliki empat lantai ke atas nya dan satu lantai di bawah permukaan ini. Untuk mencapainya, aku harus melewati koridor yang menghadap lapangan outdoor yang diselubungi oleh bangunan. Di sanalah aku melihat sekelompok siswa yang aku yakin adalah kakak kelasku sedang berlari-lari kecil mengelilingi lapangan dengan formasi barisan dua banjar.
Rutinitas pagi itu sebentar lagi akan jadi rutinitasku. Kalau ini Andalas mungkin bolos sekali dua bisa saja. Tapi sepertinya Bawah Tanah akan lebih keras, tegas dan disiplin dari sekolah biasa. Sebenarnya aku masih belum terlalu paham bagaimana sistem di sini. Kemarin malam Katrina dan Sirin mengajakku untuk berpesta ilegal. Tapi hari ini orang-orang itu —semua senior yang kemarin ada di rumah kayu Mas Raga— seakan-akan berubah menjadi Manusia paling taat peraturan dengan wajah keras mereka, yang tidak seluwes
dan sebersahabat malam itu. Aku bahkan melihat Kak Lian —yang kemarin senyumnya masih manis-manis saja— tampak kaku dengan sejumput kerut dan segenggam keringat di dahinya.
Melihat bagaimana kakunya orang-orang disini, mungkin inilah yang dimaksud Anya dengan hawa persaingan Bawah Tanah yang menyeramkan. Sama sekali tidak ada canda tawa atau jahil menjahili antar teman sebagaimana yang kulihat di sekolah lamaku.
Aneh sekali.
Aku akhirnya menemukan kelas pengantar mata-mata. Ruangan kelasnya mirip dengan ruang kelas di perguruan tinggi yang sering kulihat di televisi. Ada platform rendah di bagian depan tempat guru menjelaskan, dan tempat duduk para murid dibuat seperti tangga berundak yang semakin tinggi ke belakang. Untuk sebuah ruangan seluas ini, jumlah muridnya terlalu sedikit. Hanya ada sepuluh orang termasuk aku. Anya —cewek manipulatif yang sejak berakhirnya upacara penerimaan tidak terlihat itu— masih belum datang. Mungkin ia belum selesai dengan administrasinya.
Kuperhatikan murid-murid itu. Semuanya mengambil duduk berjarak satu sama lain. Ada beberapa yang bersebelahan dan terlihat saling mengobrol, tapi kebanyakan berpisah-pisah.
Salah-satu yang terlihat berkumpul adalah seorang anak perempuan berambut panjang, berkulit putih, duduk di bagian tengah barisan. Mataku tertarik memperhatikannya, anak yang tengah berbisik-bisik dengan temannya sambil sesekali melirikku.
Sepertinya banyak sekali orang yang tertarik untuk bisik-bisik tentangku hari ini.
Aku tidak terlalu ingat apa ia ada di pesta malam kemarin itu. Karena harusnya aku sadar bahwa ada orang yang memperhatikanku dengan sesinis ini. Tapi berkenalan sekarang mungkin tidak akan terlambat. Aku akan duduk di sebelahnya.
"Kenapa? Kok lihat-lihat?" Tanyaku, mengambil duduk di sebelahnya yang menatapku ternganga.
Gadis itu segera menormalkan ekspresinya. Mata sinisnya kembali lagi. Kupikir dia akan menjawabku dengan segala hardikan dan ejekan. Tapi rupanya hanya berdiri dan pergi. Mengambil tempat duduk lain jauh di belakang. Aku memperhatikannya sampai ia duduk di bangku paling belakang.
Tadinya ingin kususuli dia kesana dan memaksanya menjawab pertanyaanku, tapi ada orang gila yang tiba-tiba memukul keras pundakku hingga berdenyut nyeri.
"Ara! Gue capek banget sumpah. Gedung ini keterlaluan luasnya. Gila!"
"Sakit, bangsat!" Makiku. Tapi Anya yang berkeringat bersikap seolah tangannya tidak pernah berdosa dan sibuk menetralkan napasnya yang satu-satu.
Aku menaruh tatapan pada gadis di belakang sana lagi. Cewek sinis yang kini menatapku seolah-olah punya banyak dendam itu. Selagi Anya mengeluh banyak hal dan bercerita panjang lebar soal ia yang tersesat dan segala macam. Di bawah tatapan penuh kemarahan yang bertubrukan dengan mataku, aku berpikir mungkin Anya benar. Aku terlalu berani sampai-sampai berhasil menciptakan banyak permusuhan di hari-hari pertamaku.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top