14. Pertanyaan dan Jawaban

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Lesatan panah membelah udara dengan kecepatan yang kuyakin tak begitu cepat. Karena anak panah itu memantul begitu saja di papan target sebelum akhirnya terjatuh mengenaskan kelantai.

Baiklah.

Aku akui kepercayaan diriku kali ini tidak berimbas baik. Lolongan heboh dan kecewa orang-orang di sekitarku membuatku benar-benar ingin menenggelamkan wajah ke tanah. Tapi tentu saja aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan melakukan hal yang membuat musuhku tertawa semakin lebar melihat kekalahanku.

Lagipula, aku belum benar-benar kalah. Aku masih punya dua anak panah.

Tapi Zero punya tiga.

Ah, siapa peduli! Tidak ada yang akan menjamin cowok ini akan hebat dalam permainan ini. Bisa saja dia lebih buruk dari aku, kan?

Tak

Itu bunyi yang solid dan terdengar meyakinkan. Kulihat sebuah panah sudah bertengger manis dilingkarkan ketiga pada papan target. Zero tersenyum menyebalkan ketika aku menoleh padanya.

Sialan.

"Ayo, Aurora! Kalahkan senior sombong itu!" Katrina dari samping berteriak.

Ah, ia cuma memanas-manasi aku saja. Katrina itu murid senior. Satu tahun di atasku. Mungkin seangkatan Zero. Aku yakin dia pasti tahu kalau Zero cukup baik dalam permainan panah.

Tak

Oh, aku salah. Dia sangat baik. Baru saja panah kedua miliknya meluncur indah membelah udara dan menancap sempurna di lingkaran kedua papan target. Aku ingin mengumpat. Gadis itu tahu kapabilitas temannya dan tetap membiarkan aku terserok-serok melawan Zero.

"Hei, harusnya gue dulu!" Protesku.

"Kamu terlalu lama berpikir," dia mengedikkan bahu tidak peduli, "baiklah, sekarang giliranmu."

Aku mencoba menahan hasrat untuk menjambak jambul hitamnya. Percayalah, tanganku sudah benar-benar gatal untuk melakukannya. Telingaku berdenging ingin mendengarnya menjerit kesakitan. Dan mataku berkedut haus akan pemandangan berdarah-darah dirinya. Semua itu diperparah dengan deru napasku yang mulai tidak bisa kukontrol. Aku benar-benar tidak hebat mengatur emosi.

Tak

Panah dariku menancap di papan target. Di lingkaran ke tiga, dekat dengan panah pertama milik Zero. Akhirnya! Tapi belum cukup bagus. Panah kedua milik Zero masih mengancam posisiku.

Zero berdecak, "lumayan."

Aku yakin itu sindiran.

Lelaki itu menghadap padaku dengan dua alis terangkat. Naik turun seakan menggodaku, "kamu boleh lebih dulu."

Aku memicingkan mata. Hidungku cukup alergi dengan sesuatu yang berbau janggal. Jadi ketika sesuatu terjadi tetapi aku merasa tidak seharusnya terjadi maka pasti sesuatu itu memang tidak harus terjadi tapi terjadi dan hal yang buruk akan dimulai dari sana. Omonganku berbelit-belit. Pikiranku memang sedang membelit. Aku tidak bisa membaca lelaki itu. Mata Zero menampilkan sorot persaingan namun juga menyebalkan seolah ia sedang main-main denganku. Tapi dari sana aku yakin dia sebenarnya sedang merencanakan sesuatu. Mungkin orang ini mau mempermalukan aku atau apa.

Mataku membidik target. Persetan dengan orang itu. Kalau dia mau aku lebih dulu, aku akan buat dia kalah dalam sekali tembakan. Itu artinya, panah ini harus berada di pusat lingkaran. Poin tertinggi berada di sana.

Aku membuat kuda-kuda seperti yang diajarkan Katrina. Menentukan target dengan tangan. Agar lebih mudah mata harus di picingkan. Setelah yakin, lalu melempar panah dengan lurus.

Panah ku melesak membelah udara.

Tak

"Hei!"

Aku mendelik murka. Bagaimana bisa Zero melempar ketika aku sedang melempar. Berkatnya, panah miliknya mengenai panahku yang hampir saja mengenai sasaran dan jatuh ke lantai begitu saja. Sementara panah Zero bertengger indah di titik paling tengah yang tadi kusasar.

"Lo curang!" Sentakku.

"Kamu akan tetap kalah meski aku tidak melempar panahku. Lemparanmu terlalu lemah untuk bisa menancap di sana. Kalau tidak percaya, kamu boleh coba lagi."

Zero berlutut untuk mengambil anak panahku yang jatuh dan menyodorkannya padaku. Aku mengambilnya dengan kasar dan melemparnya. Dia benar. Lemparanku terlalu lemah. Seperti sebelumnya, anak panah itu jatuh ke lantai. Aku berdecak kesal.

"Aku bilang, kan?"

Aku tak mau melihat wajahnya, atau mendengar suaranya, bahkan mengingat namanya. Dia laki-laki menyebalkan yang berani-beraninya membuat aku terlihat remeh. Jadi aku meninggalkannya. Kuambil satu tarcis telur, sepiring kecil klepon dan sebuah minuman soda lalu kubawa ke teras depan rumah Mas Raga. Persetan dengan perjanjian sebelumnya. Aku benci dia.

Tak berselang lama setelah aku duduk di kursi bambu yang terlihat klasik, Anya menghampiri ku duduk di kursi sebelah.

"Banyak amat bawaannya, marah apa laper?"

"Dia tuh rese banget, Ay," aduku begitu saja. Anya menatapku seolah ingin aku melanjutkan, "gue padahal lagi diem. Dia tiba-tiba nyamperin gue, nanya-nanya nggak jelas. Bilang gue calon murid paling diinginkan kepala sekolah, lah. Tahu dari mana coba?! Gue kan jadi curiga jangan-jangan dia si Black-Black itu. Terus yang tadi, dia tuh apaan banget, sih. Lagaknya kayak atlet panah paling hebat satu bumi aja."

Anya menghela napas, "jadi, lo tuh sebenarnya marah karena dia gangguin lo atau karena dia mempermalukan lo di depan banyak orang setelah sebelumnya lo dengan yakinnya bilang 'gue bakal menang'."

Anya mengikuti gaya bicaraku. Ah, aku makin kesal saja. Mengingatnya membuat aku malu dan marah. Keduanya sama-sama menyiksa. Aku ingin cepat-cepat hari ini berlalu.

Padahal, tadinya mungkin aku akan menikmati pesta keakraban ini andai saja dia tidak merusak moodku. Walaupun aku benci keramaian dan segala hal bising, sebenarnya makrab disini tidak terlalu buruk juga. Masih bisa masuk batas toleranku, seenggaknya. Makanan suguhannya enak-enak. Mungkin karena kebanyak adalah jajanan pasar dan beberapa pastry luar yang membuat penasaran. Orangnya pun ramah-ramah. Meskipun ada beberapa yang menyebalkan seperti halnya Zero. Dan yang paling membuatku betah sebenarnya adalah suasana persatuan yang dibangun sejak Mas Raga berpidato di depan kami semua, kemudian seruan slogan yang membuat aku merasa tersambut.

Bukan hanya aku saja. Bahkan mungkin semua anak baru. Kami berlima belas yang notabenenya berasal dari daerah yang berbeda-beda, sama sekali tidak merasakan aura perbedaan dan asing yang membuat tegang sebagaimana yang pernah kami pikirkan. Semboyan negara Bhineka Tunggal Ika benar-beran terasa bekerja disini.

"Kita sebenarnya ngapain, sih,? Ini ilegal kan?"

"Pastinya," Anya mengaduk-aduk pelan minuman soda nya sendiri. Ia memperhatikan air yang beriak dan busa yang timbul ketika melakukannya. Membuat aku tertular untuk melakukan yang sama.

"Gue pikir Bawah Tanah bakalan jadi sekolah formal yang penuh persaingan dan salah sedikit hukumannya seberat gentong. Tapi, kok, kayaknya nggak gitu, ya?"

"Bawah Tanah emang kayak gitu," aku menoleh pada Anya. Matanya menangkap sirat penasaran dariku. Tanpa perlu disuruh lagi gadis itu menjelaskan.

"Mas Raga bilang, dulu Bawah Tanah nggak sehangat ini. Nggak ada yang namanya makrab di rumah pelatih berkuda. Nggak ada main-main kayak gini. Semuanya dingin. Penuh persaingan. Bahkan sampai terasa permusuhan."

Jangan bilang pada Anya kalau aku sebenarnya tidak benar-benar mendengarkannya. aku salpok dengan bagaimana ia menceritakan itu dan menyebut bahwa semua informasi yang ia dapat berasal dari Mas Raga. Sudah sedekat apa mereka? Bagaimana bisa? Padahal belum genap semalam saling tahu nama.

Aku tahu Anya itu manipulatif, sifatnya itu didukung dengan bagaimana pintar nya ia bergaul dengan banyak orang. Berbeda dengan aku yang baru sebentar saja sudah terlibat ribut dengan salah satu senior. Aku akui, hubungan antar manusia itu bukan keahlianku. Tapi semahir-mahirnya Anya mengambil hati orang, masa ia bisa-bisanya PDKT-an sama pelatih berkuda yang artinya adalah seorang guru di sini. Walaupun hanya pembimbing ekskul saja, ya, tapi kan?

"Emang, separah itu?"

Aku mencoba tertarik dengan ceritanya. Wajah Anya serius sekali memandang pada kejauhan —gelap hutan— di depan sana. Seolah sedang memikirkan bagaimana jadinya jika dia disambut disini tetapi dengan keadaan yang penuh dengan hawa persaingan. Anya yang benar-benar menginginkan untuk bisa menjadi bagian dari institusi ini pasti tidak menginginkan hal itu.

"Jaman Mas Raga sekolah katanya yang paling parah. Ada kejadian waktu itu sampai regang nyawa. Mas Raga yang muak akhirnya ngumpulin anak-anak baru bikin acara Makrab sebelum resmi jadi bagian dari Bawah Tanah. Katanya, ia ingin angkatan di bawahnya nggak ngerasain apa yang angkatan dia alamin."

Regang nyawa ?

Ada yang meninggal karena sebuah persaingan? Sekarang aku mengerti kenapa Anya berwajah sangat serius sekarang. Aku pun tidak boleh menanggapinya dengan ogah-ogahan. Ini gila! Kalau benar ceritanya begitu, permusuhan yang timbul akibat persaingan itu pasti sudah sangat parah.

Aku jadi berwajah muram juga. Bagaimana kalau hal itu terjadi pada masa ku?

"Berarti waktu itu Mas Raga jadi kayak pahlawan kesiangan gitu, ya? Yang mengubah sekolah ini menjadi lebih baik," tanyaku. Tidak benar-benar untuk tahu karena niatku hanya menghiburnya.

Anya mengerang. Matanya terpejam seolah ada beban berat yang menghampiri pundaknya, "kenapa harus Mas Raga, sih? Gue kan jadi makin suka. Dia keren banget coba."

Sekonyong-konyong rasa simpatiku hilang. Terus terang saja, aku tidak pernah melihat Anya jatuh cinta sebelumnya. Dan kalau tahu akan semenjijikan begini, aku lebih memilih untuk tidak pernah tahu.

"Bangsul dasar! Gue udah serius juga," makiku kesal. Anya nyengir membuatku gemas ingin melemparinya dengan apapun yang menyakitkan. Tapi karena tidak ingin percakapan ini berakhir dengan permusuhan, aku menepuk tangannya yang membentuk huruf V di depan hidungku.

Anya tertawa kecil sebelum akhirnya reda dan kembali menggali kegelapan dengan netra coklatnya, "sadar nggak sih kita udah ngambil keputusan yang berani banget?"

"Kita emang pemberani," sahutku kecil.

"Oh, iya. Lo kan anak baru yang dengan beraninya ngajak ribut tiga senior di sini bahkan sebelum lo melewati upacara peresmian. Setelah Katrina, Sirin dan Zero, siapa lagi, Aurora?"

"Bukan gue yang ngajak ribut!" Sanggahku.

"Iya, iya bercanda," Anya berdeham. Mencoba mengembalikan nada suaranya dari sisa-sisa gurau, "gue dengan keadaan keluarga gue dan lo yang nanggung warisan ayah lo. Gue nggak pernah ngira kita berdua bisa ada di sini sama-sama, Ra. Makasih ya lo mau terjun ke Bawah Tanah sama gue."

Aku rada-rada geli mendengar Anya dengan topik pembicaraannya yang melankolis begini. Ini sama sekali bukan gaya gadis itu. Dan tentu saja bukan gaya ku. Kita tidak terbiasa berbicara melalui hati. Kita terbiasa berbicara dengan akal dan emosi.

Tapi melihat Anya sepertinya sedang mencoba pendekatan batin denganku, dan betapa seriusnya wajahnya, betapa matanya menatapku sungguh-sungguh seolah ia benar-benar berterimakasih aku ada di sini, aku tidak bisa pura-pura mengoloknya agar atmosfer aneh ini menghilang. Sebagai gantinya, aku menarik ujung-ujung bibirku keatas. Senyum tipis mungkin cukup untuknya.

"Setelah kita masuk bar dan lari-lari di gang becek, gue kayaknya ketagihan petualang sama lo."

Anya mengangkat alisnya, "berarti ada nih kesempatan kita jadi mata-mata bareng?"

"Lo pengin banget, kayaknya."

"Itu mimpi gue saat ini."

Setelah Anya berkata begitu, gadis itu bangkit dan berdiri di hadapanku. Seperti waktu di rumahku, ketika ia membujukku untuk menerima beasiswa itu, Anya kembali mengulurkan tangannya ke hadapanku. Dia tersenyum, "udah nggak bete, kan? Yuk, senang-senang lagi. Besok peresmian, setelahnya mungkin kita nggak bisa leha-leha kayak gini."

Detik itu aku sadar, Anya sedang mencoba membuat aku lupa akan emosiku. Mungkin dia ingin aku juga bisa bersenang-senang, karena hari esok belum tentu akan semenyenangkan ini.

Bawah Tanah itu institusi pendidikan mata-mata, tidak mungkin tidak berat.

Setelahnya, aku meraih tangannya. Kami masuk kembali ke rumah kayu Mas Raga. Anya berhenti menempeli pria tinggi itu dan setia berada di dekatku. Mengajakku melakukan permainan kekanakan dengan murid-murid lainnya juga para senior. Tapi tentu saja bukan Zero. Lagipula, cowok itu tidak terlihat sejak aku masuk lagi.

Katrina dan Sirin mendatangiku, meminta maaf, dan sebelum aku berkata "oke, aku maafkan," mereka sudah menyeretku pada kegaduhan musik yang berirama cepat. Tangan ku digoyang-goyangkan kesana kemari. Memaksaku untuk menari-nari bersama mereka. Semula Aku memberenggut risih. Namun ketika melihat Anya yang juga sedang menari-nari bersama siswi baru lain, aku mencoba untuk membaur dan menikmati lagu.

Menyadari tatapanku, Anya menoleh padaku seraya tersenyum. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu. Tapi karena kerasnya musik suaranya tidak terdengar. Dari gerakan bibir aku tahu dia berucap, "be fun."

Aku mengangguk dan mulai ikut melompat-lompat kecil. Malam itu, aku merasa seperti menaiki rollercoaster. Ada sensasi memabukkan yang aneh ketika aku membiarkan diriku mengikuti arus kegembiraan. Ini bukan gayaku. Berapa kali aku bilang begitu malam ini? Aku tidak suka keramaian, aku benci suara keras, apalagi berjoget-joget di sebuah pesta di mana semua orang seakan menggila. Tapi malam ini aku mencoba menyingkirkan segala risih dan membiarkan diriku 'menggila'. Rasanya tidak buruk. Mungkin karena hampir semua orang di ruangan ini tidak kenal baik denganku. Jelas saja kalau aku melompat-lompat kegirangan di Andalas, aku akan jadi topik panas majalah sekolah dengan headlines 'BERITA TERKINI: AURORA BHAYANGKARI, KOMANDAN PASKIBRA YANG TERKENAL SERIUS DAN KAKU TERCIDUK SEDANG BERJOGET-JOGET DI SEBUAH PESTA.'

Aku bergidik ngeri membayangkannya.

Hampir jam satu pagi ketika semua orang mulai lelah. Seluruh camilan di meja habis dan musik hip-hop yang tadi berdendang kencang diganti oleh lagu akustik yang mengalun pelan. Anya sedang bermain kartu dengan tiga orang senior. Aku memilih untuk menyingkir ke dapur sebentar untuk mencari cairan asam yang awal-awal dibagikan pada semua orang.

Dapur Mas Raga sederhana, tidak terlalu luas dan rapi. Aku menemukan satu teko berisi air berwarna kuning keruh memenuhi setengah bagiannya. Dari aromanya aku tahu ini air lemon. Aku mencari gelas untuk menuangkan cairan asam itu. Belum sempat aku membuka laci dapur, dua buah gelas kecil yang sama dengan gelas yang tadi sudah mendarat di samping teko.

"Bawah Tanah itu institusi pendidikan mata-mata dengan standar yang sangat tinggi. Berada di bawah naungan Badan Intelijen Negara. Tidak sembarang orang bisa masuk. Mereka bekerjasama dengan beberapa sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Merekrut calon murid mereka dengan surat undangan dan surat beasiswa tertutup. Tidak ada tes terbuka, apalagi pengumuman di media massa tentang penerimaan calon murid baru. Itu sebabnya orang-orang hanya tahu Bawah Tanah sebagai rumor yang hampir tak mungkin nyata. Setiap tahun hanya enam puluh sampai 100 orang yang dapat kesempatan emas untuk bisa menerima surat beasiswa Bawah Tanah melalui tiga gelombang. Dan semuanya pasti bukan orang biasa. Kamu penasaran kenapa Bawah Tanah bisa memilihmu, kenapa Bawah Tanah bisa mengirim surat beasiswa itu padamu, dan kenapa Bawah Tanah bisa tahu soal kamu."

Aku menuangkan air kuning keruh di teko ke salah satu gelas, lantas menegaknya hingga tandas, "pasti ada yang mengawasi."

"Memang ada."

Aku menatap Zero dengan sengit. "Sebenarnya, apa tujuan lo gangguin gue dari tadi? Lo penasaran kenapa kepala sekolah di sini sangat menginginkan gue? Mana gue tahu. Tanya aja sama temen lo itu!"

Zero tertawa menanggapi rutukkanku. Dia mengambil alih teko besi di tanganku dan menuangkan air lemon ke gelas satunya yang belum terpakai. "Kamu benar. Saya memang penasaran denganmu. Tapi, saya pikir kamu lebih penasaran kenapa kamu bisa ada disini."

"Kalau cuma mau buat gue penasaran, mending lo pergi sana!" Aku merebut teko di tangannya dan kembali menuangkan air lemon ke gelasku sendiri.

"Kamu tahu sistem perekrutan Bawah Tanah? Pertama, mereka akan mencari informasi tentang bibit-bibit unggul negeri ini. Caranya, adalah bekerja sama dengan sekolah-sekolah. Sekolahmu salah satunya, kalau kamu mau tahu."

Di Andalas, isu-isu Bawah Tanah memang sudah jadi gosip abadi yang tidak pernah lekang oleh masa. Rumor itu melintasi banyak generasi Andalas seakan tidak pernah mati. Aku sendiri pernah mendengar beberapa. Tapi kebanyakan gosip-gosip yang beredar berisi isu buruk yang telah di dramatisasi oleh bumbu-bumbu hoax sehingga aku lebih sering mengabaikannya daripada peduli.

Well, penjelasan Zero setidaknya menjelaskan kenapa Bawah Tanah begitu eksis di sekolah lamaku.

"Begitu terdeteksi, mereka biasanya akan melakukan pencarian informasi. Untuk memastikan calon murid sesuai dengan kriteria. Penasaran bagaimana mereka mencari informasi tentangmu?"

Aku menaruh gelasku yang kosong di atas meja, "dengan mengirim orang untuk memata-matai gue. Jujur saja, lo itu orang yang mata-matain gue dan Anya, kan?"

Zero tersenyum. Menatapku dengan sorot mata aneh. Sejenak matanya berbinar sebelum ia berkata, "saya memang ditugaskan untuk mencari informasi soal calon murid baru. Tapi bukan kamu dan temanmu. Orang yang memata-mataimu, sudah bersamamu sejak kamu memasuki SMA itu."

Alisku mengkerut bingung. Tapi ketika aku mengingat-ingat lagi hari pertamaku di Andalas satu tahun yang lalu. Garis wajahku berubah keras, jantungku kembali berdebar karena menyadari satu hal.

"Maksud lo Teresa?"

Zero hanya tersenyum tipis.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top