12. Sebuah Undangan
Bawah Tanah:
the rumor Comes true
A novel by Zivia Zee
•••
Aku mempelajari kedewasaan itu penting diumurku yang dini. Aku memang tidak beruntung menjadi yatim piatu bahkan ketika usiaku tak genap sepuluh tahun. Kendati dari sanalah aku belajar mempertanggungjawabkan segala keputusan-keputusan besar dalam hidup ku. Dari sanalah aku belajar menggenggam hidup. Lepas dari tangan-tangan dewasa lain seperti Om Hardi. Untuk bertahan dengan tungkai kaki-ku sendiri.
Sewaktu pertama kali menerima surat pernyataan lulus dari SMA Andalas, aku telah berjanji untuk lulus dari sana dengan nilai sempurna. Aku benci menjadi penjilat kata-kata sendiri terlebih setelah aku sudah setengah jalan. Tapi dengan datangnya surat beasiswa Bawah Tanah, aku menyadari bahwa dirikupun tidak bisa terus-menerus membohongi diri. Aku memiliki kesempatan lain. Dan sesuatu di dalam diriku sangat berhasrat untuk mengambilnya.
Bawah Tanah mungkin adalah batu loncatan paling dekat yang bisa aku pijaki untuk mencapai cita-citaku. Om Hardi pun sudah memberi lampu hijau. Jadi kenapa aku masih bersiaga di bawah lampu kuning.
Jawabannya hanya satu.
"Itu karena ayah."
Anya menghela napas. Mungkin lelah dengan aku yang rumit dan plin-plan. Ku katakan padanya bahwa aku belum yakin. Meski lembar kesediaan siswa telah terbubuhi dengan tanda tanganku.
Sebertemunya kami di kamar asrama Bawah Tanah yang cukup mengesankan ini, ia langsung memarahiku begitu tahu aku menandatangani lembar itu tanpa pertimbangan yang benar-benar matang. Aku tahu dia khawatir. Karena seperti yang telah diperingati oleh Fathah, jikalau nanti aku berubah pikiran soal menerima surat beasiswa itu, aku tidak punya jalan kembali. Pendidikan mata-mata selama tiga tahun harus kutempuh hingga selesai. Atau denda dengan nominal yang cukup besar akan menjadi penggantinya.
"Terus gimana kalau tiba-tiba lo berubah pikiran?" Tanya Anya.
Perihal konsekuensi dan resiko sudah kupertimbangkan matang-matang. Aku tahu di mana kemampuan materiku berada. "Untungnya, warisan ayah masih mampu bayar denda dengan nominal segitu. Jadi, nggak papalah."
Anya berdecak. Ia bilang ia merasa bersalah karena turut mempengaruhiku agar mengambil keputusan yang egois. Segera kukatakan padanya bahwa meski Anya turut andil, tetapi keputusan mutlak pertanggungjawabanku sendiri. Aku sudah biasa mengambil keputusan yang cukup beresiko dan biasanya aku bisa bertanggungjawab dan menemukan jalan keluar ketika resiko yang kupertaruhkan mulai berbalik menyerangku. Jadi kemungkinan penyesalanku kurang dari lima puluh persen.
"Nggak papa, oke?" Kataku, berusaha menyemangatinya, "gini aja, deh. Kalau nanti gue berubah pikiran lagi, lo harus berusaha sekuat tenaga biar gue nggak jadi berubah pikiran. Pakai kemampuan manipulatif lo, tuh."
"Kalau lo tetap nggak terpengaruh gimana?"
"Ya sudah. Berarti keputusan gue udah bulat. Lo nggak bisa apa-apa, An. Kita harus terima kalau suatu saat nanti kita nggak jadi mata-mata bareng."
Anya cemberut ketika aku berkata begitu. Aku tahu dia teramat menginginkan aku menjadi mata-mata bersamanya. Beberapa menit setelah kami bertemu di kamar asrama ini, Anya langsung histeris mengetahui aku benar-benar menerima surat beasiswa itu. Ia membawaku duduk dan menceritakan semua pengalamannya bisa sampai ke gedung institusi ini yang kurang lebih sama seperti aku. Bedanya, alih-alih bingung, Anya justru kelewat senang ketika dihampiri oleh orang aneh berwajah datar dan sangat formal seperti Fathah.
Anya bercerita ia memimpikan bahwa kami berdua akan menjadi duo super agen seperti di film-film yang selalu ia tonton. Menjadi kebanggan negara walau harus dengan kerahasiaan identitas. Aku juga punya mimpi untuk menjadi kebanggan negara. Tapi jiwa patriotikku lebih menyukai ketika semua orang mengenalku sebagai jenderal militer ketimbang menjadi ksatria dalam bayangan. Bahkan ketika Anya mengkhayalkan begitu tinggi profesi mata-mata kami, aku masih begitu memimpikan menjadi seorang tentara.
Dan kurasa itu tidak akan pernah berubah.
"Ya sudah, nih, lo mau sedih-sedihan terus, atau mau meluk gue? Mumpung gue membuka tangan lebar-lebar buat lo," ucapku, memandanginya dengan senyum tulus yang jarang-jarang kubagi dengan siapapun kecuali Om Hardi.
Untuk kali ini, kami yang biasanya bersaing dalam segala hal untuk pertama kalinya membuka tangan masing-masing. Memeluk satu sama lain. Anya dan aku mungkin tidak terlalu dekat untuk menjadi sepasang sahabat. Tapi ada perasaan hangat ketika aku melihatnya disini. Mungkin karena dengan hadirnya aku tahu aku tidak akan sendirian. Atau kami berdua sama-sama menyadari bahwa kami akan menjadi rekan yang baik.
Dan hal itu dikonfirmasi ketika Anya berkata, "gue masih nggak nyangka bisa ketemu lo lagi di sini, Ar. Gue udah takut bakal ngejalanin ini semua sendirian."
Kami memang saling membutuhkan.
...
Ada yang mengetuk pintu kamar kami di tengah malam, di hening nan gulitanya asrama Bawah Tanah karena lebih dari jam sepuluh semua lampu dimatikan. Ketukan itu konstan dan pelan hingga aku tidak bisa pura-pura mengabaikannya.
Apa aku sudah pernah bilang telingaku agak sensitif?
Karena perihal demikian aku jadi sangat benci semua suara yang pelan, teratur dan tidak berhenti. Apalagi di tengah malam. Sangat menganggu tidur. Walaupun dengan sensitifnya indera dengarku, aku jadi lebih waspada. Karena meski hanya sedikit saja suara yang ditimbulkan bisa terdengar olehku.
Melupakan segala kelebihan dan kekurangan telingaku, suara ketukan konstan itu masih tidak berhenti. Jantungku berdebar-debar dan napasku berfrekuensi cepat karena menahan hasrat untuk melempar vas bunga di nakas kearah pintu. Aku memang seterganggu itu.
Tapi, kulihat sepertinya Anya baik-baik saja. Dadanya naik turun teratur dan matanya masih memejam. Wajahnya nampak sangat tenang. Anya lelap dalam tidur dan mimpi indah tanpa merasa terganggu sedikitpun. Itu aneh karena setahuku dia sangat peka. Kupikir kemampuan itu juga berlaku untuk alam bawah sadarnya.
Ternyata tidak.
"Anya," panggiku. Suaraku pelan dan serak. Aku ragu dia akan mendengarnya. Tapi mau bagaimana lagi, aku terlalu mengantuk untuk berteriak. "Anya, ada orang..."
"Hmm..." Gadis itu bergumam. Ia nampak tidak bangun sedikitpun.
Ketukkan itu masih tidak berhenti. Aku memanggil-manggil Anya agar dia membantuku membukakan siapapun orang kurang ajar di luar sana karena aku terlalu mengantuk dan malas untuk bergerak. Tapi bahkan dia sama sekali tidak bangun.
"Anya..." Panggilku lagi.
Sialnya, gadis itu kini mendengkur. Aku mendelik tidak percaya kearahnya. Aku tidak pernah mengira orang sepeka dia akan menjadi begitu kebo ketika tidur. Dan lagi mendengkur? Sumpah demi apapun Anya tidak terlihat seperti orang yang akan mendengkur ketika tidur dan menjadi sulit dibangunkan.
"Bentar!" Akhirnya aku yang turun tangan meladeni tamu tak diundang tersebut.
Ketika akhirnya kubuka pintu selebar tubuhku, belum sempat aku bertanya siapa, mataku sudah disuguhi oleh wajah dua orang gila yang sangat tidak ingin kutemui lagi. Katrina dan Sirin berdiri disana dengan senyum menyebalkan. Koridor asrama ini sangat gelap, wajah mereka hanya diterangi oleh lampu dari kamarku. Aku memandangi mereka berdua sinis. Rasanya, darahku kembali mendidih.
"Ngapain lo berdua?!"
Menanggapi pertanyaan galak dariku, dua orang itu segera menaruh telunjuknya di depan bibir. Menyuruhku diam. Sejenak kemudian aku sadar kalau Bawah Tanah tentunya punya aturan jam malam yang ketat. Tengah malam begini tidak ada yang berani keluar selain dua orang gila di depanku.
"Hai, Anya sudah tidur?" Katrina mencoba melongokkan kepalanya mengintip kamar ku. Aku buru-buru mengecilkan lebar pintu. "Sepertinya sudah, baiklah. Berarti kamu seorang diri malam ini yang harus ikut kami."
Aku tidak heran mereka sudah mengenal Anya. Anya memberitahuku dia sampai sehari lebih dulu daripada aku. Jadi ini adalah malam keduanya. Yang aku tidak mengerti adalah maksud dari kalimat terakhirnya. Apa yang meyakinkan dia bisa berkata aku harus ikut dengan mereka berdua setelah insiden di ruang ganti siang tadi.
"Apa? Gue mau tidur," tolakku saat itu juga.
"Tunggu dulu," Sirin menahan pintu ketika aku hendak menutupnya. Aku memelototi mereka berdua galak. Tapi tampaknya kami sama-sama keras kepala. "Ini akan menyenangkan. Aku dan Katrina mengadakan acara penyambutan murid baru malam ini. Kamu harus ikut!"
"Untuk apa? Penyambutan murid baru akan diadakan besok. Gue harus tidur untuk menghadiri itu."
"Maksudmu upacara formal yang basi? Acara kami akan jauh lebih seru. Kujamin, deh. Ayolah, semuanya sudah di sana."
Sebelum protes ke sekianku terucapkan, tiga kata terakhir Katrina membuatku tertarik. Aku berhenti sejenak, menimbang-nimbang apakah aku harus menanyakannya atau tidak. Tapi memang rasa penasaran itu sangat tidak tertahankan. Aku berakhir dengan bertanya padanya, "semuanya? Ada yang lain?"
Dan aku segera menyesali keputusanku ketika melihat wajah keduanya sumringah. Aku benci menyenangkan orang yang aku benci.
Katrina dengan kilat tiba-tiba di matanya segera berujar, "ada tiga belas murid baru lainnya. Juga para senior jangan lupa. Kami semua akan mengadakan upacara penyambutan adik-adik baru kami sendiri. Tentunya dengan lebih menyenangkan. Bagaimana, kamu ikut?"
Jujur saja, bantal dan selimutku seakan sudah memanggil-manggilku untuk kembali pada pelukan mereka. Tetapi aku juga penasaran dengan tiga belas murid baru lainnya. Sepanjang hari tadi aku tidak menemukan satu pun orang baru lainnya di sini selain Anya. Sepertinya kami dibawa kemari dalam waktu yang berbeda.
"Gue nggak akan pergi tanpa Anya."
"Kalau begitu bangunkan dia."
Aku menoleh sedikit. Anya masih sama pulasnya dengan tadi, "dia sulit dibangunkan."
"Kalau begitu biar kami yang bangunkan."
Tanpa menunggu persetujuan, dua orang kurang waras itu merangsek masuk ke dalam kamarku. Aku menghela napas. Segera menutup pintu rapat-rapat. Takut ada yang memergoki aksi keduanya di dalam sini.
...
Bangunan asrama berada terpisah dari gedung utama yang megah itu. Terbagi menjadi dua bagian, sayap kanan dan sayap kiri. Dengan pengaturan sayap kanan adalah asrama laki-laki, sedangkan sayap kiri asrama perempuan. Secara arsitektur gedung asrama hampir mirip dengan bangunan utama. Berwarna dominan hitam dan memiliki corak serta ornamen yang senada. Pada langit-langit nya berhiaskan lukisan batik Cirebon dan beberapa batik lain. Pada dinding tiap-tiap koridor masihlah kanvas pencerita sebuah kisah. Bedanya, bukan pewayangan yang dilukiskan. Melainkan mengisahkan drama roman klasik antara raja kerajaan Jawa dan putri dari raja Sunda. Kisah cinta tragis antara Prabu Hayam Wuruk dan Putri Diah Pitaloka yang memicu perang di Pegangsaan Bubat.
Kata Sirin, kisah tragis itu dilukiskan di dinding gedung asrama sebagai penganalogian antara asrama sayap kanan sebagai Jawa dan asrama sayap kiri sebagai Sunda. Dimana dimaksudkan kepada seluruh siswa dan siswi institusi ini untuk tidak saling menjalin kisah cinta. Alias dilarang pacaran.
"Meskipun begitu, tidak sedikit dari murid-murid disini yang bebal dan tetap berpacaran. Walau harus secara diam-diam," Sirin menoleh ke arahku dan Anya yang berjalan di belakangnya sebelum kembali melanjutkan, "gejolak masa muda memang sulit ditahan."
Katrina bereaksi menyuarakan muntahan palsu, "bicaramu seperti nenek-nenek, Sirin."
Aku dan Anya terdiam. Baru menyadari bahwa sejak pertama bertemu hingga detik ini, mereka selalu berbicara dengan bahasa yang formal.
Kami sedang berjalan di koridor luar gedung asrama. Disini sangat gelap dan dingin. Sehingga kami diharuskan untuk berjalan dengan sangat hati-hati kalau tidak mau dipergoki penjaga keamanan. Katrina dan Sirin yang berjalan di depan menuntun kami melewati gedung asrama. Aku dapat melihat gedung utama dengan jarak tidak terlalu jauh didepan. Sama-sama gelap. Kami berjalan melewati celah jalan di antara kedua gedung yang hampir berdampingan namun tidak sejajar ini. Menuju ke belakang, melewati lapangan lari, terus ke belakang gedung utama.
Agak jauh dari lapangan lari, penerangan sudah benar-benar minim. Aku hanya dapat melihat siluet dinding beton yang membatasi komplek pendidikan Bawah Tanah dengan hutan diluar. Dan dua orang ini sepertinya menuju dinding pembatas itu.
"Mau kemana kita, Kat?" Kutanyakan itu sembari mengamati sekitar. Gedung utama sudah menjelma siluet gelap dibelakang sana. Rasa penasaran semakin mendorongku kuat ketika kami sampai di dinding pembatas.
Katrina dan Sirin tidak menjawab pertanyaanku. Fokus keduanya tertuju pada tali tambang yang menjuntai dari atas dinding. Katrina bergerak duluan memanjat dinding dengan bantuan tambang.
"Lo ngapain?" Aku agak panik melihatnya bergelantungan disana.
Sebenarnya perasaanku sudah tidak enak sejak mereka mendatangi kamarku. Se seru apapun pesta yang mereka tawarkan pastilah melanggar aturan. Aku dan Anya orang baru. Kami belum tahu guru seperti apa yang akan menghukum ketika pelanggaran beruntun ini terendus. Dan dikarenakan kami orang baru, tidakkah pelanggaran ini terlalu dini untuk kami lakukan. Kami bahkan belum melewati upacara penerimaan. Aku tidak ingin punya image buruk di lingkungan baru di mana aku belum beradaptasi di dalamnya.
Sirin menepuk pundakku. Menarikku dari pergulatan panjang dengan batinku. "Tenang saja. Kita akan menuju ke tempat di mana kamu bisa bersenang-senang. Kita akan berpesta."
Aku melihatnya dengan sangsi, "di luar sana itu hutan. Do you even know that?"
"Memang hutan," Katrina membalasku. Dia sudah berdiri di atas dinding. "Ayo, cepat naik."
Aku memandang ke belakang sekali lagi. Kemudian menatap Anya. Dia tampaknya terlalu mengantuk untuk mengerti maksud dari tatapanku. Gadis itu diam seakan pasrah saja kemanapun dua gadis yang sama gilanya ini membawa kami. Netraku kemudian berganti memandangi tali tambang itu, kemudian pada Katrina, lalu senyum Sirin yang tampak berusaha untuk meyakinkanku.
Dengan penuh keraguan, kuambil tali tambang tebal itu. Kupegang erat-erat dengan kedua tanganku. Sekali lagi kupandangi gedung utama Bawah Tanah di belakang kami.
Malam semakin larut. Bawah tanah kian sunyi. Suara jangkrik memenuhi telinga tumpang tindih dengan suara napasku yang kian memburu. Aku selalu takut untuk melanggar peraturan. Tapi malam ini aku akan melakukannya. Dengan bujuk rayu Katrina dan Sirin yang tidak dapat kutolak. Serta musabab lain yang lebih bersifat pribadi dan tidak dapat kusingkir. Acara pelanggaran peraturanku tidak boleh menjadi sia-sia.
Dengan anggukan mantap guna meyakinkan diriku sendiri, sebelum benar-benar menembus dinding kokoh ini, kukatakan pada dua teman baruku dengan penuh tuntutan, "ini harus menyenangkan!"
Katrina dan Sirin mengangguk penuh semangat, "kamu tidak akan pernah melupakan malam ini!"
Aku pun mulai memanjat.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top