4. Bertemu

Bawah Tanah:
The Rising Sun

A novel by Zivia Zee

•••

Playlist #3
Now Playing || Jeda - For Revenge

Sancaka masih hidup.

Hanya itu yang penting. Meski Airlangga menceritakan lebih banyak detail dari yang aku tanyakan. Kejadian di Bali yang membuat sebuah gedung pencakar langit runtuh menggemparkan satu negara. Ada banyak korban jiwa termasuk CEO PT. Arca Mentari. Pak Hendrik berhasil kabur dengan helikopternya, sedang aku dan Sancaka ditemukan di atas reruntuhan dengan trauma kepala dan patah tulang.

Aku mengalami koma selama dua bulan dan bangun dengan defisit memori yang lumayan parah. Namun Airlangga mengatakan itu bukan karena trauma kepala yang kualami, melainkan karena kondisi mentalku. Di sisi lain, Sancaka punya nasib yang lebih buruk. Airlangga mengatakan Sancaka tidak bisa bangun. Kondisi komanya diprediksi akan lebih panjang dari yang kualami. Airlangga bilang, harapan hidupnya kecil.

Namun, aku tidak peduli.

Sancaka masih hidup dan akan terus begitu. Dia akan bangun.

"Saya sudah tahu akan ke mana arah misi itu jika Aurora dikirim pergi," jelas Airlangga saat ia menjelaskan soal keterlibatannya di Bali. "Hendrik melakukan hal ilegal. Pemerintah atas sebenarnya sudah menutup kasus ini dari Bawah Tanah sejak lama. Sejak kejadian tahun 2009 itu, murid Bawah Tanah hanya boleh dilibatkan dalam misi skala kecil dan menengah saja. Misi skala besar seperti ini tidak boleh ditangani oleh anak-anak seperti kalian.

"Hendrik tentu saja tidak bisa terima dan dia bergerak sendiri. Saya sudah menyelidiki ini sejak lama. Karena itu saya mendekati murid-murid terbaik, karena Hendrik pasti akan memanfaatkan kalian. Tapi karena misi besarnya gagal dan banyak murid Bawah Tanah yang tidak kembali dari misi itu, kamu pasti sudah bisa menebak bagaimana situasi sekarang"

Sekarang, kami adalah buronan rahasia Bawah Tanah. Pak Hendrik melakukan segalanya untuk mempertahankan posisinya, ia membuat aku, Selena dan semua yang tidak kembali dari misi dianggap kabur. Sebenarnya, sanksi paling berat yang akan kami dapatkan jika tertangkap hanya dikeluarkan dan membayar denda serta menandatangani surat perjanjian tutup mulut. Namun Airlangga menduga bahwa yang memburu kami bukan hanya pihak legal Bawah Tanah. Melainkan jaringan tidak resmi Hendrik dan siapapun di luar sana yang dirugikan karena kasus PT. Arca Mentari.

Sejak aku koma, Airlangga lah yang mengurus kami para buronan negara. Dia membawa kami empat kali pindah dari ujung pulang Jawa sampai pulau Sumatera saat aku koma demi menghindari mata-mata yang memburu kami. Ini adalah perjalanan kepindahan kami yang kelima.

"Tapi kali ini lebih mudah sih, Ra," oceh Selena saat ia bercerita kisah panjang kepindahan kami sebelumnya. "Seenggaknya kamu udah bangun. Kamu nggak tahu 'kan betapa sulitnya pindah lewat jalur belakang dan jalan alternatif sambil bawa-bawa orang koma. Apalagi kami harus menjagamu tetap hidup sampai tujuan. Well, aku cuma bilang saja karena kamu penasaran."

Aku memilih untuk pura-pura tak dengar. Entah kenapa, alih-alih bercerita, aku merasa dia sedang misuh-misuh dan menyindir minta balas budi.

Kami berkendara sepanjang malam melewati Jalur Lintas Sumatera, sebuah jalan raya sepi nan gelap yang diapit hutan dan perkebunan. Airlangga bilang, selama mobilnya membawa sekelompok buronan, ia tak bisa membawa kami melewati jalur utama. Kami sampai subuh hari di sebuah desa amat terpencil di Palembang. Di sekelilingnya hanya ada hutan, sungai, sawah dan kebun warga. Rumahnya berjarak jarang-jarang dan masih bertipe rumah panggung tradisional yang masih berdinding dan lantai kayu.

"Mana Sancaka?" tanyaku, begitu kami menginjak rumput halaman.

Airlangga menunjuk ke sebuah bangunan berdinding bata seukuran satu petak ruangan yang tidak terlalu besar tepat di sebelah rumah panggung. Aku mau bergegas menghampiri gedung itu, tapi Selena menahan tanganku.

"Kamu yakin udah siap ketemu dia?" tanyanya. "Aku nggak mau ya kamu tiba-tiba kena mental breakdown dan kabur kayak kemarin."

Aku menarik tanganku melepaskan cengkeramannya. "Gue kabur gara-gara kalian maksa terapi kursi itu. Bukan karena tiba-tiba gila! Lagian udah dibilangin gue nggak bunuh diri."

"Tapi progresnya kerasa 'kan?" Selena mengadu argumen. "Sejak kamu nggak takut ingat kejadian itu, kamu jadi berani misuh-misuh dan mulai menyebalkan bin nggak tau diri seperti semula. Itu lebih baik dari pada kerjaanmu bengong dan nangis-nangis kayak kemarin."

Aku misuh-misuh sendiri, yang membuatku semakin kesal karena menyadari Selena ada benarnya.

"Lagian bukan kamu doang yang pernah ngalamin terapi kursi itu," gumam Selena kecil. Aku hampir tidak mendengarnya jika suasana desa subuh-subuh tidak sehening ini.

"Sancaka belum menyerah, Aurora," kata Selena. Tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi serius. "Dia nggak akan pernah menyerah baik buat dirinya sendiri, atau buat kamu. Jadi, kamu juga nggak boleh nyerah sama diri kamu sendiri. Sekali lagi kamu berani nyoba bunuh diri, aku sendiri yang bakal buat kematianmu terasa seratus kali lipat lebih sakit dari bunuh diri."

Gila! Gadis itu benar-benar membuatku merinding. Sekilas, tatapannya tadi seperti orang yang memang menahan dendam kesumat dan menunggu-nunggu waktu untuk membalaskannya.

Selena menyusul Airlangga naik ke rumah panggung. Aku melanjutkan langkahku ke gedung sebelahnya.

•••

Tidak pernah dalam seumur hidupku merasa demikian takut untuk membuka sebuah pintu. Memangnya apa yang bisa salah dari menemui orang yang terbaring koma di dalam sana? Otakku segera menjawab, yang bisa salah adalah aku. Selena benar, aku bisa saja tiba-tiba gila dan membahayakan Sancaka seperti aku membahayakan semua orang kemarin. Aku seperti bom waktu. Manusia cacat yang tidak bisa kembali lagi seperti semula, tidak peduli sekeras apapun aku berkata pada Airlangga bahwa aku tidak gila lagi.

Pintu di depanku kini terasa bagai pagar tinggi yang tidak mungkin kutembus. Tanganku tidak bisa berhenti gemetar hanya dengan memegang kenop pintunya. Manakala aku berhasil memutar dan mencipta sedikit celah, detak jantungku semakin memburu dan aku mulai merasakan sesak yang sama seperti saat sebelum aku pingsan kemarin.

Aku tidak bisa bernapas!

Buru-buru aku melangkah mundur dan berbalik menjauhi gedung. Langkahku goyah, pandanganku berputar tak fokus. Baru lima langkah ke depan, tubuhku menabrak seseorang.

Itu Zero yang dengan sigap menyangga tubuhku agar tidak oleng ke tanah. Tanpa ba-bi-bu cowok itu segera menjejalkan sesuatu ke mulutku dan menyuruhku menghisapnya. Ternyata itu inhaler.

"Selama kamu punya gangguan panik, selalu simpen ini di saku. Jangan sampai ketinggalan," katanya saat napasku mulai kembali teratur.

"Kok kakak baru dateng?" Zero masih menggendong ranselnya. Motornya juga masih terparkir acak di halaman.

"Aku ambil jalan beda yang lebih jauh buat bikin jejak palsu. Sekalian ke kota, mampir ke apotek buat beli obat kamu, nih." Ternyata itu alasannya lanjut pakai motor. Ia menyerahkan Tote bag berisi berbotol-botol obat asma, inhaler serta tabung oksigen. "Buat persediaan lama. Jangan keseringan kambuh, ya! Jauh belinya."

"Iya," sungutku sebal. Sejak aku bangun dari koma, semua orang memperlakukanku seperti barang rapuh. Aku benci sekali melihat mereka memandangku lemah dan berbeda. Meski pads kenyataannya aku memang lemah dan berbeda.

Sial!

"Mau ketemu pacar 'kan? Sana, gih. Kasian tuh nggak dijengukin dua bulan." Zero mendorongku pelan. Terkekeh-kekeh mengejekku. Aku balas mendorongnya sampai dia hampir tersandung kakinya sendiri. Sebelum cowok petakilan itu bisa membalas, aku buru-buru kembali ke depan pintu.

Menarik napas dalam, pelan-pelan aku membuka pintu. Aroma disinfektan dan alkohol langsung menyambut hidung saat aku memasuki ruangan. Di ujung ruangan, sederet alat medis penunjang hidup berderet untuk menunjang hidup seseorang yang berbaring di ranjang.

Langkahku lunglai. Terasa seperti menarik beban berat di setiap derap. Aku menjatuhkan kantung obat yang diberikan Zero kala sosok Sancaka mulai memasuki penglihatanku. Kulitnya yang kian pucat, rambutnya yang mulai memanjang, badannya yang tampak lebih kurus dari yang terakhir kali aku ingat, lalu matanya yang tertutup damai. Sekilas, Sancaka seperti orang yang tertidur lelap.

Tanganku gemetar mencoba menyentuh jemarinya yang terkulai lemas di ranjang. Tangan Sancaka terasa begitu dingin seolah lama tidak pernah digenggam. Aku mencoba menahan sekuat tenaga air mata yang mulai berkumpul di pelupuk.

Kugenggam tangan besar yang sudah lama tidak kusentuh. Kukatakan padanya, "kita telah berusaha semampu kita untuk menyelesaikan apa yang tidak kita mulai. aku dan kamu, kita mengorbankan hampir segalanya agar semuanya jadi benar.

"Tapi dunia jahat, Caka. Dunia mengkhianati kita sejuta kali dan memaksa kita berdiri sendiri. Tapi, aku nggak bisa berdiri sendiri. Jadi tolong ... tolong jangan paksa aku melalui semua ini tanpa kamu. Sancaka, kamu harus bangun. Kalau aku bisa bangun, artinya kamu juga bisa. Aku bakal tungguin kamu selama apapun waktu yang kamu butuhkan, tapi kamu harus janji kamu bakal pulang ke aku."

Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya luruh juga. Aku memejamkan mata, mencium punggung tangannya agar dia tahu aku di sini.

"Kamu harus bangun."

Kisah ini tak hanya jeda
Tak menyala hanya untuk sementara
Jangan memaksaku untuk melupakan
Dan jangan memaksaku 'tuk merelakan
Jika mereda

Lekaslah pulang

- For Revenge, Wika Salim

Hiyahiyahiyaaa Mas Caka sudah muncul tuchhh 😙

Btw, aku banyak mengutip lirik-lirik lagu for revenge di akhir bab. Jujur lagi suka banget sama lagu2 for revenge dan bebeberapa potongan liriknya nyambung dengan nuansa emosi di beberapa bab. Fun fact, lagu Serana aku putar puluhan kali pas nulis bab-bab awal bawah tanah 2 karena nada musiknya cocok untuk nuansa dan suasana cerita phase awal bawah tanah. Kalau aku lagi stuck nulis bawah tanah, biasanya aku putar2 lagu for revenge biar ada inspirasi lagi.

Kalau kalian, siapa penyanyi atau band Indonesia favorite kalian, nih?

Jangan lupa komen dan vote beztiee~~~ see you on the other side huehehehe🥨🥨🤟

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top