3. Terbenam

Bawah Tanah:
The Rising Sun

A novel by Zivia Zee

•••

Zero membuat jejak pengecoh untuk siapapun yang ia kira mengikuti kami. Membawaku ke tempat yang sangat jauh, berganti-ganti motor dengan alur ban yang berbeda hanya untuk kembali lagi ke rumah Airlangga. Cowok itu bilang kita sedang dalam persembunyian. Ada pihak-pihak luar yang memasang harga untuk sedikit informasi tentang murid-murid Bawah Tanah yang hilang. Karenanya Airlangga, Zero dan Selena dilarang keluar tanpa penyamaran. Sedang aku dikurung di tempat itu tanpa kesempatan melangkahkan kaki ke halamannya karena mereka menganggapku gila.

Selena memperhalusnya dengan berkata kalau aku sedang sakit. Tetapi saat seseorang marah padaku karena percobaan bunuh diri yang tidak pernah aku maksudkan, melarangku pergi ke manapun, memaksaku menjalani terapi kursi besi yang menakutkan, dan memandangku dengan cara yang berbeda, siapa yang tidak akan berpikir kalau aku ini sakit jiwa?

"Setelah semua yang aku lakukan, kamu malah kabur dan bahkan bunuh diri. Kamu sadar tidak di luar sana banyak yang mau membunuhmu tanpa kamu harus mencoba?!"

Sekembalinya aku ke Rumah Neraka itu, Airlangga langsung meneriakiku di pintu. Marah besar saat Zero memberitahunya detail-detail perjalanan panjang kami. Aku yang masih kedinginan, hanya berbalut piyama tipis dan jaket Zero memilih untuk melewatinya tanpa repot-repot menoleh.

"Of course dia nggak sadar." Anya yang duduk bersedekap tangan di sofa. menyahut, "Ara lagi sibuk nyariin pacarnya."

"Diam," kataku dingin.

"Aurora!"

Bentakkan Airlangga menghentikan langkahku. Aku menunggu apapun yang ingin ia ocehkan. Tapi lelaki itu malah menghela napas dan beralih bertanya pada Zero.

"Ada yang ngikutin kalian?"

"Harusnya nggak ada. Kalaupun ada, aku yakin nggak ada yang bisa ngikutin kami sampai ke sini. Tapi banyak warga yang liat wajah Aurora. Aku nggak bisa yakin nggak ada informan atau mata-matanya Hendrik di sana."

Airlangga mendesah frustasi. "Kita harus pindah malam ini."

Selena yang sedari tadi diam memperhatikan di dekat Anya akhirnya bangkit dan ambil suara. "Gue siapin Aurora."

Cewek itu menghampiriku. "Ayo."

"Aurora nggak ikut." Airlangga mengejutkan kami semua.

"Apa? Kamu mau ninggalin dia sendirian di sini?!" Selena membentak.

Tidak ada jawaban dari Airlangga, tapi aku mendengar suara kokangan senjata. Sepersekian detik kemudian Selena mendorong tubuhku hingga tersungkur di lantai dan Zero berteriak panik.

"Airlangga!"

"Hari ini kamu membahayakan nyawa kita semua, Nak." Tatapan Airlangga menyalang padaku. Selena mencoba menghadang pria itu saat Airlangga berjalan cepat ke arahku, tapi tubuhnya dengan mudah disingkirkan dari jalannya.

Aku tidak sempat berdiri atau melakukan apapun, atau memproses apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tahu-tahu kerah jaket Zero yang ada padaku ditarik kencang oleh Airlangga, memaksaku untuk berdiri. Tahu-tahu aku sudah terdorong, tersudut ke dinding dengan moncong pistol bertengger di dahiku tanpa bisa melakukan apa-apa.

"Airlangga! Stop!" Zero buru-buru merangsek ke antara kami. Berusaha melepaskanku dari pria gila itu, tapi cengkeraman Airlangga sekeras baja.

"Kamu mengalami hal yang berat, Nak, dan sudah jadi tugas saya untuk melindungimu. Tapi, sayangnya bukan nyawamu saja yang harus saya lindungi. Ada lebih banyak hal yang perlu kita selesaikan di luar sana. Jika kamu terus membahayakan nyawa semua orang seperti tadi, maka saya tidak punya pilihan."

Zero mengeraskan rahang. "Kamu tahu apa yang baru saja dia alami. Kamu harusnya paling tahu apa yang paling menyakitinya. Nodongin dia pistol cuma bikin traumanya makin parah!"

"Zero benar." Selena di belakang Airlangga berujar. "Airlangga, dia cuma anak-anak. Bocah itu bahkan belum cukup umur. Kita nggak bisa terlalu keras sama dia!"

"Kalian semua juga masih anak-anak saat membahayakan nyawa kalian untuk pertama kali." Airlangga menatap mataku dingin. "Kamu tidak bisa dibiarkan. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan semua orang adalah dengan kamu jadi waras lagi. Maaf, Nak, tapi kamu tidak diizinkan untuk sakit. Sekarang, kamu cuma punya dua pilihan.

Airlangga menekan ujung pistolnya ke dahiku. "Tetap hidup dan selesaikan semua yang sudah kamu mulai, atau kamu terpaksa saya bungkam selamanya."

"Airlangga!"

Seluruh tubuhku tremor berat. Napasku tercekat satu-satu. Semua yang Zero, Selena dan Airlangga katakan seperti mengambang di udara. Aku tidak bisa berpikir seakan-akan sekrup di otakku berhenti bekerja.

"Aku ... aku ...."

"Ini sudah keterlaluan." Kudengar Selena mengeram kesal dan ada suara kokangan senjata lainnya. Selena menodongkan pistol itu ke punggung Airlangga. "Airlangga, lepaskan dia atau kamu juga ikut mati."

Airlangga bergeming. "12 Agustus 2019, ingat hari itu. Resapi dan terima, lalu katakan pada saya semua yang kamu tahu."

"Lepaskan dia dalam hitungan ketiga atau kita semua akan mati di sini." Selena memberikan peringatan. "Satu!"

Airlangga masih tidak menghiraukannya.

"12 Agustus 2019, Aurora!"

Bola mataku berlarian tak fokus. Ketegangan yang naik membuat jantungku bertalu-talu tak keruan.

"Dua!"

"Airlangga!" Zero menjerit panik. Melihat Airlangga yang kian keras wajahnya, ia pun beralih menatapku. "Aurora, ingat yang aku bilang. Kamu nggak sendirian. Kamu harus kuat."

"Kamu harus bisa, Nak." Airlangga menekanku.

Di belakang punggungnya, Selena memberikan peringatan terakhirnya.

"Tiga."

"Dua belas!" jeritku panik. Semua orang terdiam, membolakan mata masing-masing. Airlangga mengangkat ujung pistolnya dari dahiku, Selena menurunkan bidikannya. Aku pun melanjutkan dengan terbata. "Du-dua belas Agustus 2019. Aku, Kak Selena, dan Kak Sancaka dikirim ke Bali untuk menjalankan misi rahasia, yaitu menemukan salah satu markas Dandelion dan mencari petunjuk keberadaanya. Namun, kepala sekolah kami, Hendrik sialan Tahir, punya agenda rahasia tersendiri."

Hanya sampai pada batas itu aku sanggup mengatakannya. Kebenaran yang aku ungkapkan segera mengundang ingatan-ingatan yang coba aku lupakan. Bagaikan kaset rusak, mereka berjejalan di otakku. Bertumpuk-tumpuk dan berputar dalam waktu yang sama. Aku mengingat apa-apa yang tidak pernah ingin aku ingat. Aku melihat kilas balik menyakitkan yang selalu aku takutkan. Suara teriakkan, ledakan ... tembakkan, semua bersatu padu baknya gema kematian.

Lantas aku diruntuhkan untuk kesekian kalinya. Mimpi burukku yang kini terasa begitu nyata. Ingatan-ingatan itu membawa kembali rasa tenggelam yang selalu aku rasakan dalam tidur, dan aku menemukan diriku--sekali lagi-- dibenamkan oleh rasa sakitku sendiri.

Dadaku seperti ditekan oleh tangan besar. Mengempiskan paru-paruku hingga aku tidak bisa bernapas. Aku megap-megap. Seiring kemudian penglihatanku mulai membayang. Semuanya terasa begitu kabur.

Aku jatuh di kakiku kala rasa tercekik itu membuatku benar-benar tak bisa menghirup udara. Zero di depanku dengan sigap menangkapku. Dengan suara yang kalut berteriak pada Selena untuk mengambil tabung oksigen. Kemudian suara mereka mulai menghilang. Saat aku direbahkan di pangkuan Zero dan masker oksigen terpasang di wajahku, suara Airlangga adalah yang terakhir aku dengar.

Dengan senyum tipisnya yang terlihat samar, lelaki itu berkata, "Kerja bagus, Nak. Kamu sudah melewati yang paling buruk."

•••

Aku terbangun dengan keringat membanjir di sekujur tubuh di kursi belakang mobil van berkaca gelap yang sedang parkir. Selimut tipis dan jaket Zero menutupi tubuhku yang kini sudah berganti pakaian kering. Tidak ada siapapun di dalam. Airlangga dan yang lainnya tidak terlihat di manapun.

Aku bangun perlahan seraya memegang dahi, mencoba menepis rasa sakit yang berkedut di bagian itu. Dari jendela mobil, rupanya kami berada di parkiran sebuah tempat seperti rest area. Hanya saja ini jelas-jelas bukan rest area di dalam tol. Di belakang dan sekitar pondok-pondok rumah makan, aku bisa melihat siluet pohon-pohon. Hutan melatarbelakangi sepanjang mata memandang.

jam di mobil menunjukkan pukul sembilan malam. Selain semburat cahaya dari lampu rumah makan, keadaan sekitar cukup gelap. Sial, berapa lama aku pingsan? Kalau menghitung dari waktu aku dan Zero sampai di rumah Airlangga, aku sudah pingsan seharian.

"Sudah bangun?"

Jantungku melonjak kaget. Aku menoleh ke kursi depan dan menemukan Anya tengah duduk santai dengan kaki terangkat ke dashboard. Dasar! Lama-lama kebiasaan ngagetinnya itu membuatku ingin menempeleng kepalanya.

"Bisa nggak sih nggak usah ngagetin?!"

"Lo sendiri yang kaget kenapa gua yang salah?" Cewek menyebalkan itu kadang memang perlu dipukul.

"Yang lain ke mana?"

"Pergi. Lo dibuang di sini," katanya tanpa beban.

Aku mulai naik pitam. "Anya!"

"Bercanda elah. Sejak bangun dari koma kerjaan lo nangis-nangis, marah-marah. Gitu aja terus sampe monyet berevolusi jadi homo sapiens," sungutnya sebal. "Yang lain paling cari makan."

"Lo kok nggak ikut?"

Cewek itu menjulurkan kepalanya menghadapku. "Gue sebagai sahabat dan rival lo satu-satunya yang setia kawan dan baik hati berbesar hati jagain lo yang ngorok dari pagi. Sungkem lo sama gue!"

Aku mendecih sebal. "Setia kawan apaan?! Gue hanyut di sungai lo diem-diem aja, ya. Bukannya nolongin!"

"Gue bukannya nggak mau nolongin, tapi gue nggak bisa! Makanya Zero yang dateng," tampiknya.

Aku memutar bola mata. Tidak bisa bagaimana? Jangan-jangan titisan ular itu memang berharap aku hanyut di sungai, lagi. Anak manusia satu itu 'kan memang begitu. Sudah licik dan manipulatif sejak masih jadi zigot.

Berdebat dengan Anya membuat sakit kepalaku kian menjadi-jadi. Aku menarik napas panjang mencoba menenangkan diri.

"Tapi, lo hebat, Ra," kata Anya tiba-tiba. Mataku naik ke kaca spion tengah yang memantulkan mata Anya. Gadis itu tersenyum tipis. "Lo berhasil menghadapi sebagian dari ketakutan lo hari ini. Well, walau perlu waktu lama plus ditekan pake drama pistol-pistolan."

Aku mendengus sebal. Meski Anya jarang memuji, kata-katanya sama sekali tidak membuatku bungah. Ditodong pistol untuk yang ke ... entah keberapa kalinya aku bahkan tidak ingat, jelas-jelas bukan pengalaman mengasyikan. Apalagi sebelumnya aku kena gampar Zero. Berani-beraninya cowok begundal satu itu! Jika dia datang akan kubalas dua kali lipat lebih keras.

Ah! Semakin dipikirkan semakin membuatku kesal. Sudah kena gampar, dimarahi habis-habisan, didorong Selena sampai jatuh, diancam pakai pistol dan sekarang aku dibiarkan kelaparan di dalam mobil. Kalau dipikir-pikir, mereka memperlakukanku lebih buruk dari pada memperlakukan hewan pengerat.

Sial! Aku harus balas dendam.

"Pokoknya stay waras ya, Ra." Anya berkata secepat pintu mobil terbuka. Gadis itu bangkit dan keluar.

"Ay, mau ke mana?" seruku. Tapi Anya tidak menjawab dan berlalu pergi begitu saja.

Ketika pintu depan tertutup, pintu mobil di belakangku kini gantian terbuka. Selena muncul di ambang pintu, menunduk untuk melihatku.

"Udah bangun? Baguslah. Makan dulu, Ra."

"Anya nyebelin banget, sih," gumamku pelan.

Aku bergegas keluar dari mobil. Selena langsung memakaikan topi dan menaikkan tudung jaketku. Ia membawaku ke rumah makan Padang yang sepi sekali. Di dalamnya hanya satu meja yang terisi. Itupun diisi oleh Airlangga.

"Saya tidak tahu kamu sukanya apa, jadi saya pesankan semua. Makan yang kamu suka," tutur Airlangga begitu aku duduk di depannya.

Di meja sudah tersaji sepiring nasi, ayam pop, rendang dan berbagai masakan Padang lainnya. Meski perutku saat ini sudah berdemo minta diisi, apalagi dengan harum gurih ayam pop yang tersaji di sebelah piring nasi menggodaku habis-habisan, aku memilih untuk menelan ludah dan menatap nyalang orang yang telah membuatku menderita selama ini.

"Haruskah gue makan makanan yang dipesan sama orang yang mau ngebunuh gue?"

Airlangga terkekeh kecil.

Sial. Bisa-bisanya pria itu ketawa-ketawa di depan wajahku setelah hampir membunuhku.

"Emm ... saya lebih suka menyebutnya stimulus yang mempercepat proses kesembuhanmu. Kadang seseorang memang perlu berada dalam keadaan terdesak untuk berhasil mencapai sesuatu. Saya sudah membuktikannya, kamu salah satunya. Kamu perlu terdesak untuk akhirnya berhasil menaklukkan ketakutanmu. Saya tidak berusaha membunuh kamu, Aurora."

Aku bersedekap tangan. Terdiam sejenak meneliti raut wajahnya yang kini terlihat tenang, bijak, dan menyebalkan di saat yang bersamaan. Tidak peduli betapa setengah bagian dari diriku membenarkannya, pada akhirnya aku berkata, "Bacot! Lo berusaha bunuh gue."

"Ayam popnya nggak beracun dan rasanya enak. Makan dulu, Aurora."

"Gue nggak laper."

Tepat setelah aku mengatakan itu, perutku mengkhianatiku dengan berbunyi keras-keras. Cukup keras untuk didengar semua orang di meja itu. Bahkan mungkin suaranya terdengar sampai meja resepsionis di depan sana, saking kerasnya. Selena mendengus keras, hampir menyemburkan tawa yang ia tahan mati-matian dengan menutup rapat mulutnya. Airlangga tak jauh berbeda.

Sial. Sial. Sial!

"Makan dulu. Nanti kita bisa bicara lagi," kata pria itu setengah tertawa. Tangannya mendorong pelan piring ayam pop ke arahku.

Aku diam. Tidak punya nyali untuk mendebat lagi. Akhirnya aku mengambil sendok dan mulai makan dengan kepala menunduk.

"Oh, iya." Aku teringat sesuatu. "Anya mana?"

"Hah?"

Aku menatap Selena. "Tadi katanya dia jagain aku tidur. Berarti dia juga belum makan 'kan?"

Airlangga menjawab cepat. "Anya sudah makan, kok. Tadi gantian."

Mataku beralih menatap Airlangga. Lelaki itu mengangguk meyakinkanku. Huh! Tuh 'kan. Mana mungkin Anya rela makan belakangan saat Airlangga membelikannya ayam pop kesukaannya.

Tidak seperti yang aku duga, butuh waktu lebih lama untuk mengisi perutku. Aku memang merasa lapar, tapi lambungku justru terasa perih saat diisi. Aku bulak-balik memuntahkan semua makanan yang masuk. Pada akhirnya, Selena bersikeras menyuapiku sedikit demi sedikit dan memaksa agar aku menelannya karena badanku sudah lemas duluan untuk menyendok makanan. Aku hanya berhasil makan tujuh sendok kecil. Itupun dibantu dengan minum air berliter-liter. Airlangga membungkuskan nasi dengan ayam bakar kalau-kalau aku lapar diperjalanan. Dengan itu, kami pun bergegas berangkat.

"Kak Zero mana?" tanyaku saat kami semua sudah duduk di dalam mobil. Sejak tadi batang hidungnya tidak kelihatan, padahal tanganku sudah tidak sabar mencium mesra pipinya.

"Dari sini dia bakal pakai motor. Nanti dia ngikutin kita dari belakang," jelas Selena.

Anya tidak kembali lagi ke mobil setelah terakhir itu, pasti anak itu sudah duluan merecoki Zero untuk minta dibonceng. Bodo amatlah! Lebih bagus kalau dia tidak ada di sini sekarang.

Aku menelan ludah merasakan jantungku berdetak kencang.  Airlangga sudah duduk manis di kursi kemudi. Selena di sebelahnya. Aku sendirian di kursi belakang. Di posisi seperti ini, tidak akan ada yang cukup sadar untuk menghentikanku. Jadi aku tidak ragu saat tanganku bergerak cepat menarik pistol dari sabuk Airlangga. Membidiknya ke kepala pria itu.

"Aurora! Apa-apaan?!" seru Selena panik. Airlangga tetap tenang. Perlahan-lahan dia mengangkat kedua tangannya sejajar telinga. 

Tanganku bergetar. Tapi aku tidak bisa mundur lagi. Aku menarik napas panjang sebelum kemudian bertanya. "12 Agustus 2019, di Bali, aku, Kak Selena dan Kak Sancaka menjalankan misi rahasia atas perintah Pak Hendrik. Tapi misi itu gagal gara-gara agenda rahasia lain yang dijalankan si Hendrik."

"Aurora, kalau kamu perlu bicara, kita bisa bicara—"

"Gue ingat," potongku. "Gue ingat semuanya sekarang. Airlangga, gue nggak gila, jadi tolong biarin gue tahu. Tolong jangan tutupin lagi. Airlangga, tolong jawab gue. Tolong ... tolong kasih tahu gue Sancaka masih hidup atau enggak."

Suaraku bergetar, tidak mampu kutahan. Airlangga melirikku dari ujung matanya. Untuk sejenak ia tidak mengatakan apa-apa atau melakukan apapun. Meski aku yakin dia bisa merebut pistol di tanganku dengan mudah. Alih-alih, laki-laki itu menoleh padaku. Menatapku dengan sorot keyakinan yang jelas.

Berkata, "Sancaka masih hidup, dan kita sedang menuju ke tempatnya."

Di sisa kewarasannya
Bersulang merayakan
Yang terganti telah kembali
Di atas bumi dan terus beralih

Di atas bumi dan rayakan pengharapan

- For Revenge

Yuhuuuu update terakhir di tahun 2023 🥳

Gimana2 nii bab ini??? Kalau suka boleh vote dan komen yakkk.

Nggak terasa sudah 3 tahun aku bersama-sama kalian mengarungi novel Bawah Tanah mulai dari buku satu sampai sekarang yang ke dua. Aku mau mengucapkan terimakasih untuk semua pembaca dan mohon maaf lahir batin.

Selamat tahun baru dan selamat liburan 🥰💐 semoga kita semua diberikan keberkahan di tahun depan~~

See you next year guysss 🥨🥨🤟



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top