2. Terjebak
Bawah Tanah:
The Rising Sun
A novel by Zivia Zee
•
Playlist #2
Now playing || Again - Han
Aku bersumpah tidak akan pernah kembali.
Jika aku bisa lari, jika aku bisa lari selamanya ... aku tidak akan pernah kembali ke hadapan Airlangga. Tidak peduli apapun yang ia katakan, aku hanya ingin lari.
Maka aku berlari.
Sore itu sebelum Selena datang lagi dan mulai menyeretku ke kursi besi. Aku melompati jendela dan berlari keluar lewat pagar belakang. Masih mengenakan piyama, tanpa alas kaki, tapi tidak masalah. Tanah desa yang lembab dan sedikit berlumpur itu tidak lagi menggangguku. Ranting-ranting tajam yang menggores betis itu tidak lagi menyakitiku. Pohon-pohon tinggi yang menjulang seram di sisi-sisi jalan itu tidak lagi menakutiku.
Aku bukan aku yang dulu lagi.
Paru-paruku meranggas dan ia bagaikan terbakar. Udara menghembus panas keluar dari sesak ruang dada. Akan tetapi kakiku tidak bisa berhenti. Kendati bahu ini bersinggungan keras dengan bahu-bahu lain, dan aku terhuyung jatuh acap kali. Melewati rumah-rumah warga, lalu semak-semak belukar dan hutan kecil di antara pemukiman, sepanjangan anak sungai itu yang pada akhirnya menghentikanku.
"Tuh 'kan, bener. Gue yang menang."
Suara Anya membuatku berjegit, lagi dan lagi. Akhir-akhir ini dia punya kebiasaan aneh, mengagetkanku dengan kehadirannya yang jarang bisa kurasa.
Dia sudah di sini. Berdiri memunggungiku dan bersedekap bangga akan kemenangannya. Meski aku tidak yakin kapan kami benar-benar lomba lari kemari. Belakangan ini aku memang sering lupa, dan Anya selalu menang. Ia tampak lebih tenang, lebih sehat, dan lebih terawat. Tidak macam aku yang sudah tidak bisa dibedakan dengan pasien rumah sakit jiwa yang ditelantarkan.
"Lo ngikutin gue kabur, ya?" Aku masih terengah saat mendekatinya.
Gadis itu terkekeh kecil. "Gue nggak sepengecut lo, Ra."
Aku bercermin di air. Wajahku yang cemberut kesal terlihat jelek sekali. Apalagi dibingkai dengan rambut panjang awut-awutan. Wajah yang pucat itu, jika dibandingkan dengan Anya yang nampak cerah dan cantik, aku jadi benar-benar merasa seperti orang gila.
"Gimana terapinya, Ra?" tanya gadis itu tiba-tiba. Ia berbalik dan tersenyum miring. "Masih belum bisa nerima kenyataan? Masih belum selesai nangis-nangisnya?"
Napasku tercekat oleh perih yang menjalari dada. "Ay, kok lo ngomongnya gitu, sih?"
"Sudah dua bulan lebih, Aurora," katanya lirih. "Mau sampai kapan?"
Mau sampai kapan?
Aku juga tidak tahu. Kalau bisa, aku ingin lari selamanya. Aku ingin berpindah dunia, berganti identitas, memulai kembali ingatan hingga aku sepolos bayi yang baru lahir. Kendati demikian, sebesar aku menginginkan semua itu terjadi, sebesar itu pula aku tahu kalau semua itu hanya akan jadi mimpi.
Semesta terlanjur menjebakku di dasar jurang yang bahkan tidak bisa kulihat dasarnya sebab ia terlalu gelap. Sedang aku lumpuh lagi rapuh untuk bisa memanjat naik.
Aku sudah rusak.
"Aurora, lo payah," kata Anya, akhirnya. "Sancaka pasti bakal kecewa."
Seperti petir yang menyambar keras, pikiranku dihantam suara keras yang menyakitkan. Semerta-merta kepalaku terasa pening dan mataku memanas. Setelah semua ini, selama ini, aku baru menyadari bahwa pemilik nama itu tidak pernah hadir lagi di sekelilingku. Hawa keberadaannya seakan sirna dari dunia, tidak pernah kurasakan lagi bahkan meski hanya gema tawanya yang sejernih aliran air. Ironisnya, nama itu bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiranku meski hanya setitik ingatan. Seolah-olah aku memang tidak pernah mengenalnya. Itu membuat dadaku jadi kian sesak.
Bagaimana bisa aku melupakan Sancaka?
"Caka ... di mana?"
Anya menggeleng, menolak memberitahuku. "Kalau lo aja ga bisa menghadapi masa lalu lo, lo ga akan bisa mengatasi kenyataan lainnya."
Kata-katanya membuatku teringat Airlangga. Setitik hatiku tertampar karena kini aku sadar bahwa yang ia katakan itu benar. Setidaknya, untuk yang satu ini.
Sancaka, Sancaka ....
Namanya terasa asing tapi juga terdengar begitu akrab. Sancaka dan sungai. Aku jadi ingat dulu cowok itu senang sekali merendam kakinya di sungai dangkal dekat sekolah kami. Ia juga suka telentang di atas air kolam dan membiarkan tubuhnya terombang-ambing sejenak.
Sancaka selalu tersenyum setiap kali ia berada di air. Sayang sekali aku membencinya. Air membuatku tenggelam. Namun, entah mengapa air sungai di hadapanku kini tidak membuatku takut. Mungkin karena yang kupikirkan adalah bagaimana Sancaka tersenyum antusias seraya berusaha mengajakku masuk ke dalam air. Waktu itu aku menolak, tapi sekarang aku ingin melakukannya.
Sudah senja saat aku memilih melompati jendela kamarku. Udara terasa menggigit terutama saat jemari kakiku mulai menyentuh air.
Berendam. Biar hatinya dingin.
Suara Sancaka terngiang di telingaku. Tiba-tiba aku bisa merasakan sentuhan tangannya yang menuntunku jatuh ke air. Tiba-tiba ia seperti berada di depanku, tersenyum, dan membawaku. Aku berjalan ke tengah sungai. Airnya hanya sebatas pinggang. Badanku langsung menggigil. Akan tetapi, entah kenapa aku merasa itu belum cukup.
Aku pun merebahkan diri. Air sungai yang dingin dan jernih beriak-riak, menyelimutiku seketika. Aku mengambang di atasnya seolah-olah tubuhku ringan.
Terkadang, kita hanya perlu mencoba untuk pasrah akan setiap keadaan ....
Katanya lagi, di dalam pikiranku.
Terkadang, kita hanya perlu diam, mengikuti arus, mematuhi ombak ke manapun kita dibawanya.
Terkadang, Aurora, kita hanya perlu menerima ....
Mataku memandang jauh ke langit. Semburat jingga di kanvas putih yang berarak-arak itu punya cara yang unik untuk membuatku merasa dininabobokan awan teduhnya. Aku tergoda untuk memejam sejenak.
Airlangga bilang, jika aku memejamkan mata, kegelapannya akan menjadi kanvas terbaik untuk menggambarkan ingatan. Namun, yang kulihat saat aku memejam justru ruang hampa. Seperti melayang di ruang angkasa kosong. Aku tidak bisa melihat apapun selain setitik pendar cahaya yang menyelimuti seseorang.
Aku melihat Sancaka.
Ia berada jauh. Seperti tenggelam, namun air yang menenggelamkannya bak berganti udara dan kekosongan ruang angkasa. Sancaka tertidur dengan wajah yang terlihat begitu damai. Aku berusaha memanggilnya, namun tidak ada suara yang merambat keluar dari tenggorokanku. Rasanya seperti aku berbicara di dalam air yang tetap membisukanku meski aku mencoba berteriak. Aku pun mencoba menghampirinya. Namun ruang hampa ini malah membuatku semakin menjauhinya.
"Sancaka!"
Dengan sedikit panik, aku berusaha memanggilnya. Alih-alih mengeluarkan suara, tenggorokanku justru tercekat. Ruang hampa gelap itu kini menjelma ruang tanpa udara. Tiba-tiba dadaku terasa penuh, seperti ada yang mencengkeramnya dengan kuat dan mengempiskan paru-paruku. Aku megap-megap sendiri. Kian panik dengan rasa tercekik yang membuat aku merasa benar-benar ... tenggelam.
Penglihatanku mulai memburam tatkala aku melihat Sancaka yang sedari tadi tidur tenang di kejauhan sana mulai membuka matanya. Kedua sudut bibirnya membuka. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang sampai pada indera dengarku. Aku pun mencoba membaca bibirnya.
Aurora.
Apa dia memanggil namaku?
"Aurora!"
Aku terbangun dengan dada yang terasa terbakar. Langsung bangkit dan memuntahkan air yang terjebak di paru-paru. Ketika rongga paru-paruku mulai terisi kembali dengan oksigen yang masuk dengan kasar sambil terbatuk keras, aku baru merasakan hawa dingin yang keterlaluan menusuk tubuh. Sekujur badanku yang basah kuyup langsung menggigil hebat.
Beberapa saat kemudian, bukan hanya sensori suhu yang mulai bekerja, indera pendengaranku mulai menangkap huru-hara yang datang dari sekitar. Suara paling jelas berasal dari orang yang berada paling dekat denganku. Mataku masih samar, tapi aku menangkap siluet seorang laki-laki berpakaian hitam-hitam yang seperti menaungiku di atas sana.
Sancaka?
"Aurora, kamu nggak papa?"
Mataku mengerjap. "Zero?"
"Coba bangun pelan-pelan."
Zero memapahku agar bisa duduk. Wajahnya tidak terlihat seutuhnya karena tertutupi masker dan lidah topi hitam. Tapi aku melihat sorot matanya meneriakkan kepanikan dengan cukup gamblang. Sedikit sekali, saat aku menyebut namanya, hanya sedikit binar kelegaan yang kutangkap sebelum kedua netra itu mulai berlari dari pandanganku dan beralih pada sekitar.
Seluruh gestur tubuhnya mengatakan dia sedang terburu-buru. Kepalanya menoleh gelisah ke sekitaran seolah tengah mewaspadai sesuatu. Lelaki itu tidak menungguku pulih. Dia melepaskan topinya dan memasangnya padaku, kemudian tanpa berkata apapun langsung menggendongku dan pergi dari sana.
Warga-warga desa yang mengelilingi kami di pinggir sungai memberondong kami dengan ratusan tawaran bantuan. Berlomba-lomba menawarkan rumah mereka untuk disinggahi dengan iming-iming teh hangat dan selimut untukku. Namun Zero mengabaikan semuanya.
Dia menaikkanku ke atas motor dan langsung melaju cepat meninggalkan tempat itu. Sebenarnya aku lebih baik terjungkal hingga jumpalitan ke belakang daripada memeluk pinggangnya agar tidak mati. Tapi badanku yang selemas agar-agar dan Zero yang menarik tanganku untuk memeluknya membuatku tidak punya banyak pilihan. Lebih lagi angin yang berembus membuat aku semakin ingin merapatkan tubuh dengannya.
"Zero," panggilku lemas.
Zero tidak menyahut. Aku menengadah dan mencoba memperhatikan sekitar untuk sejenak kemudian menyadari bahwa alih-alih membawaku ke rumah Airlangga, Zero justru melajukan motor cross-nya menjauh dari tempat itu.
"Kak, kita mau ke mana?"
"Membuat jejak palsu," katanya singkat.
Alisku bertaut tak mengerti. "Apa?"
"Pegangan yang erat."
Zero mempercepat laju motornya. Medan tanah yang cukup berlubang dan berbatu membuat badanku berguncang hebat di atasnya. Saat aku masuk ke dalam air, langit masih senja. Namun sekarang guratan oranye itu sudah berganti dengan biru malam. Membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Aurora, Aurora!"
Zero mengejutkanku. "I-iya, Kak?"
"Coba liat sekitar ada yang ngikutin kita, nggak?"
Aku melihat ke belakang, ke kanan, ke kiri. Zero membawaku melewati jalanan yang diapit hutan dan tidak ada cukup penerangan yang memberitahuku keadaan sekitar. Rasanya, tiap semak-semak yang kulihat bergoyang mencurigakan. Tiap pohon-pohon yang kulalui menyembunyikan bayang-bayang.
"Nggak tahu," kataku akhirnya. Setengah ragu apakah benar aku tidak tahu atau aku hanya tidak ingin tahu.
Zero berdecak. Ia menoleh ke belakang sembari tetap menjaga arah motor agar tidak oleng. Tak lama ia berbelok keluar dari jalur dan mulai memasuki jalanan setapak ke dalam hutan. Tak lama kami menemui saung kecil dan Zero meninggalkan motornya di sana.
"Kita harus jalan dari sini. Cuma sebentar kok. Sampai ketemu saung berikutnya. Kita perlu ganti motor. Kamu masih kuat 'kan? Atau mau aku gendong?"
"Kak, Ara mau tanya." Aku tak menghiraukannya. Namun Zero juga memilih untuk tidak menghiraukan aku.
"Kita bicarain ini nanti. Yang penting kita harus hapus jejak kamu dulu."
"Kak," panggilku. "Ara baru inget, Ara nggak liat Sancaka dari kemarin-kemarin."
Zero menggamit tanganku. Memaksaku melangkah lebih cepat mengikuti kaki-kaki panjangnya yang seakan berlari.
"Kak," panggilku lagi. "Zero!"
Aku menyentak tangannya. Membuat ia mau tidak mau berhenti dan berbalik menghadapku.
"Kak, Sancaka ... Sancaka ... tadi, Caka ... Caka nggak ada. Kak, Sancaka harusnya ada di sini 'kan? Tadi Aurora liat Caka."
Aku melihat ke sekitaran. Berusaha menembus kegelapan hutan yang menaungi kami. Berusaha melihat ke dalam bayang-bayang pohon, barangkali mereka menyembunyikannya di antara rapatan kayu dan dahan. Barangkali ia mengawasi dari kejauhan seperti yang selalu ia lakukan.
Namun, tidak ada apapun yang bisa kutemukan.
Masih gemetaran karena udara malam, aku menggigit jari. Kalau saja ... kalau saja Anya ada di sini, pasti ia bisa langsung tahu di mana Sancaka. Sialnya, anak itu entah berada di mana. Kenapa juga anak itu meninggalkanku di sungai sendirian.
Mataku beralih memandang Zero. "Kak, Caka di mana?"
Zero tidak menjawab. Matanya nampak sayu, nampak lelah. Ia memandangku dengan cara yang sama seperti yang Selena lakukan tiap kali dia menjemputku untuk terapi. Tatapan kasihan yang begitu memuakkan.
"Kak?"
Plak!
Zero masih tidak menjawab, tapi dia membalasku dengan satu tamparan keras. Napasku langsung megap-megap. Kupegangi pipiku yang dijalari perih. Menatapnya dengan rasa terkejut yang tidak mampu kututupi.
Zero menghela napas seraya memejam frustasi. "Aurora, sadarlah," katanya.
"Kami tahu, aku tahu, ini berat buatmu. Kamu sedang berduka. Kamu sulit menerima. Tapi kamu nggak bisa kayak gini terus."
Aku termangu, memandanginya tanpa pemahaman. Aku tidak mengerti. Zero tidak pernah begini. Tatapan matanya tidak pernah segelap itu. Caranya bicara tidak pernah seserius itu. Seolah-olah ada jiwa berbeda yang mendiami tubuhnya dan bicara padaku.
"Kakak ngomong apa, sih?" tanyaku heran. Kuulas senyum kecil untuk meyakinkannya. "Gue nggak lagi berduka, kok."
"AURORA!"
Lelaki itu berteriak. Membuat badanku berjegit takut. Senyumku luruh kemudian. Zero tidak pernah begini.
"Kamu sadar nggak sih apa yang baru saja terjadi, hah?! Kamu menenggelamkan diri sampai jauh kebawa arus. Kalau nggak ada warga yang liat, kamu sekarang udah hanyut nggak tau ke mana. Kalau aku nggak dateng nyariin kamu, kamu mungkin udah mati!"
Aku menggeleng kuat. "Tadi Ara liat Sancaka—"
"Sancaka nggak ada di sini!" Ia mengerang frustasi.
Menyisakan aku yang terhenyak dalam kebenaran yang ia serukan. Meremas hatiku sampai bernanah-nanah perih. Aku carut-marut, bisu menyembilu. Lidahku terkelu, berat untuk menyanggah meski hatiku berteriak tak mau menerima.
Memandang ke kejauhan langit, kubiarkan air mata yang telah berayun di pelupuk menjatuhkan dirinya ke pipi. Satu demi satu menciptakan jejak kepedihan yang tak mampu lagi kuelak.
Jemariku menunjuk langit pada setitik cahaya tak cukup terang yang mengintip di antara gulita. Membuat Zero turut menengadah ke atas.
"Caka bilang itu namanya Polaris," kataku. Lalu dengan cara yang begitu ganjil, angin menyentuh ingatanku tentang lelaki itu dan membuat suaranya berputar.
Akan ada saat di mana kamu hilang arah, akan ada saat di mana kamu nggak tahu harus berbuat apa, nggak lagi bisa mempercayai diri sendiri dan seisi dunia.
Saat itu terjadi, coba lihat ke atas.
Aku melihat jauh ke atas. Tapi, Sancaka ... aku merasa tidak menemukan polarisku. Sejauh apapun aku memandang, sebesar apapun langit yang kuamati, aku tidak bisa melihat ke arah mana Tuhan menunjukkan jalanku.
Sebab kamu tidak ada di sini.
Aku berpaling dari langit dan bersemuka dengan bumi. Menelan pahitnya kesadaran akan kehilangan yang kini terpatri jelas. Aku menggeleng keras. Berusaha mengeyahkan pikiran itu.
"Gue mau nyari Sancaka," kataku setengah terisak.
Lalu berbalik melangkah pergi ke sebalikan arah yang Zero tuju. Namun Zero tidak membiarkanku. Cowok itu menarik tanganku cepat, membawaku pada pelukan erat yang tidak aku duga.
"Sancaka nggak ada di sini. Tapi di sini ada aku, ada Selena. Kamu nggak sendirian," katanya.
Tapi aku merasa sendirian.
"Kamu harus kuat," katanya.
Aku tidak bisa.
•
The feelings got lost in my lungs
They're burning, I'd rather be numb
And there's no one else to blame
So scared, I take off, and I run
I'm flying too close to the sun
And I burst into flames
- Demi Lovato
Alohaa!!
Gimana bab inii??? Komen yakk!!
Aku mau umumin kalau mulai Minggu depan Bawah Tanah upnya tiap hari Minggu. Aku mau coba konsisten dengan jadwal hehe. Tapi karena ada cerita lain juga yang harus aku urus (hayoo udah mampir belumm🌝) selama bulan Desember sampai Januari updatenya bakal selang seling tiap Minggu. Jadi 2 Minggu sekali. Cuma untuk 2 bulan kokkk, kalau urusan kuliahku lancar, Februari aku kembali update seminggu sekali.
Terimakasiwww yang sudah mampirrr. Kalau suka boleh komen dan vote~~~
See you 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top