1. Tenggelam

Bawah Tanah:
The Rising Sun

A novel by Zivia Zee

Quick Question

1. Baca bab ini di jam berapa dan lagi apa?
2. Masih ingat sama jalan ceritanya atau baca ulang BT1 dulu nii? 😙

Playlist #1
Now playing || Serana - For Revenge

Aku pernah tenggelam.

Aku tenggelam dan tangan-tangan kelam membelengguku ke dasar. Kala kepungan air menelanku, ia mereguk asa sampai kerontang dibuatnya. Ia merampas jiwa hingga hanya bersisa raganya. Pun sesak hanyalah satu-satunya yang terasa selain kesadaran tak terbantahkan bahwa aku akan segera mati. Bahwa aku--mungkin--telah mati.

Melayang-layang dikelilingi air, diselimuti gulita, aku bisu dan tuli. Aku buta dan terasing. Aku jatuh, aku luruh.

Aku mati.

Lalu dalam sepersekian detik, paru-paruku akan terisi udara secara tiba-tiba. Tubuhku akan tersentak oleh lonjakan detak jantung yang hebat. Saat itulah aku akan membuka mata dan langit-langit putih kusam adalah hal pertama yang kulihat saat aku pertama kali bangun dari koma. Hal yang sama berlanjut ke malam-malam berikutnya. Sejak kejadian itu, tidak pernah satu malampun tidurku tanpa mimpi tenggelam. Mimpi burukku.


"Lagi?" suara seseorang merambat di atas keheningan. Mengejutkanku sesaat. Gadis itu berdiri di depan jendela yang terbuka, sinar hangat matahari sore memandikan wajahnya. "Ini sudah minggu ke berapa sejak lo bangun? Sudah dua minggu nggak, sih? Dan lo masih mimpi buruk? Payah lo, Ra."

Matanya yang memandang jauh ke luar jendela beralih padaku. Ia tersenyum tipis. Kemudian berkata dengan nada mengejek, "Good morning, Putri Tidur."

Aku berusaha menetralkan napasku yang masih tersenggal. Kuseka jejak-jejak keringat di dahi sebelum mencoba bangkit berdiri.

"Emang lo nggak mimpi buruk? Gue tahu lo lebih parah dari gue," kataku, dengan suara nyaris bergetar.

Aku melangkah pelan untuk duduk di kursi dan menegak air putih yang tersedia di atas meja. Mencoba menenangkan diriku sendiri dari panik karena mimpi buruk yang harus kuakui, memang payah.

"Gue nggak sepayah lo," balas Anya acuh tak acuh, lalu kembali mengamati apapun yang membuatnya tertarik di luar jendela sana. Aku mendengus sebal.

"Lihat deh, Ra," katanya tiba-tiba. Nada suaranya mendadak riang. "Di ujung sana itu ada sungai, mau balapan lari ke sana?"

"Ngapain?" kataku malas. "Paling gue yang menang."

Kudengar Anya tersedak tawanya sendiri. "Mau taruhan?"

Aku tertawa kecil. Melihatnya penuh remeh. "Di antara kita, fisik gue yang lebih kuat."

"Tapi gue yang lebih cepat," tampik Anya penuh percaya diri.

Aku berdiri tertantang. "Mau buktiin?"

"Ayo!"

"Ayo!"

"Aurora?"

Derit pintu kamar menginterupsi. Aku menoleh terkejut, menemukan Selena berdiri di ambang pintu dengan alis menekuk. Tapi air mukanya segera netral, ia menghela napas, menatapku dengan tatapan prihatin yang kubenci. Lalu ia berkata, "Waktunya terapi."

Satu kalimat singkat yang terucap dari lidahnya sontak membuat sekujur tubuhku tremor hebat. Itu memacu degup jantungku jadi kian deras hingga aku merintih sesak. Kepalaku berputar oleh rasa panik yang datang tiba-tiba.

Aku ketakutan.

Anya sudah tidak ada di depan jendela. Aku tidak tahu dia pergi ke mana, mungkin sudah kabur duluan lompat ke bawah sana. Melihat jendela itu terbuka lebar-lebar bak memanggilku untuk keluar dari sana. Dari neraka ini.

Kakiku pun bergerak sendiri melarikan diriku ke jendela. Secepat mungkin aku mencoba naik ke atas kusen kayunya yang keropos. Baru satu kaki, Selena sudah lebih dulu menarikku menjauh.

"Nggak!" jeritku. "Lepasin, lepasin! Nggak mau! Lepasin Ara, please. Tolong!"

"Maaf, Nak," katanya, "permintaan tolongmu ditolak. Mungkin kamu membenci kami, tapi kamu harus sembuh. Kamu harus cepat sembuh, Aurora."

Selena menyeretku kasar hingga aku tidak lagi bisa berjalan dengan kedua kakiku. Aku mencoba memberontak sekuat tenaga, tetapi tangan Selena yang mencengkeram tubuhku jauh lebih kuat. Ia seolah tuli, tidak menghiraukan jeritan ketakutanku bahkan meski aku mulai memohon. Gadis itu menarikku ke sebuah ruangan berpintu hitam. Ruangan penyiksaan.

Tidak ada apapun di ruangan berpintu hitam itu. Hanya ada sebuah kursi besi di tengah ruangan dan beberapa ember berisi air. Zero sudah berdiri di dalam ruangan itu, langsung membantu Selena mendudukanku di kursi besi. Mereka mengikat kedua tanganku di lengan kursi dengan tali tambang.

"Halo, Aurora." Zero mensejajarkan wajahnya denganku dan menyapa dalam nada ramah. Meski begitu, senyum yang terulas di wajahnya sama sekali tidak membuatku tenang. "Sudah siap untuk terapinya?"

"Kak, tolong lepasin Ara, Kak. Ara nggak mau. Ara takut! Tolong lepasin!"

Zero menaruh tangannya di pundakku dan menepuk pelan. "Kamu akan baik-baik saja."

Lelaki itu kemudian mengeluarkan sebuah kain dari sakunya dan mulai menutup mataku dengan kain itu. Kegelapan menyergap begitu saja. Napasku semakin berat. Aku berteriak memanggil Selena, Zero dan siapapun yang bisa mengeluarkanku dari Kungkungan kegelapan mengerikan itu. Badanku memberontak, aku mencoba melepaskan jeratan tali-tali yang mencengkeram lenganku hingga perih mulai menjalari bagian itu. Namun, tidak ada yang menyahut.

Ruangan itu hening, seperti biasanya saat mereka mulai menyiksaku dengan embel-embel terapi apalah itu. Kendati aku tengah dibutakan, keheningan itu memberitahuku bahwa ada orang yang sedang mendekat. Derap langkahnya yang tenang merambat dari depan sana membuatku merinding sepanjang badan.

"Aurora Bhayangkari, kita bertemu lagi."

"Airlangga...." Kusebut namanya dengan penuh kebencian. "Lepasin gue, Brengsek!"

Aku mendengar tawa kecil keluar dari bibirnya. "Apa kamu masih ingat pertemuan pertama kita? Ah, bukan. Itu saat kamu meringkuk di belakang punggung Cempaka berusaha menyembunyikan identitasmu. Maksudku, saat pertama kali kita berbicara."

"Lepasin! Lepasin! Argh brengsek!"

"Waktu itu, kamu terlihat sangat luar biasa. Kamu gadis muda yang cerdas dengan pendirian yang kuat. Kamu yakin dengan dirimu sendiri dan kamu tidak pernah goyah tentang tujuan hidupmu."

"Diam!" jeritku kesal. "Mau lo apa sebenarnya? Gue udah nggak punya apa-apa, kenapa lo giniin gue!"

"Mau saya?" lelaki itu terkekeh kecil. "Yang saya mau sederhana. Saya mau kamu jadi Aurora Bhayangkari yang dulu. Aurora yang tetap kuat dan mampu menghadapi dirinya sendiri."

Kemudian seseorang mengguyurkan air ke atas kepalaku. Aku menjerit kedinginan. Gigiku bergemeletak akibat udara yang terasa semakin membeku.

"Aurora Bhayangkari, saya ingin kamu menghadapi apa yang tidak mau kamu hadapi. Saya ingin kamu mengingat kembali semua yang terjadi dua bulan lalu dan saya ingin kamu menerimanya. Kamu cukup menjawab pertanyaan saya dengan jujur dan apa adanya. Ungkapkan semua yang kamu tahu, semua yang kamu rasakan dan alami sedetail mungkin. Sudah siap?"

"Nggak. Nggak! Lepasin gue!"

"Aurora Bhayangkari, pada 12 Agustus 2019, tepatnya dua bulan lalu, di Bali. Apa yang terjadi?"

"Lepasin gue."

"Jawab saya."

"Lepasin!"

"Aurora, apa kamu ingat apa yang terjadi pada 12 Agustus 2019 di Bali? Apa kamu ingat apa yang terjadi sebelum hari itu?"

Repihan memori berkelebat tiba-tiba di dalam pikiranku. Acak dan berantakan. Tajam dan menyakitkan. Aku menggeleng kuat berusaha menyirnakan kilat-kilat ingatan yang berputar. Menyangkalnya dari benakku.

"Nggak tahu. Nggak tahu," kataku gelisah.

"Berhenti menyangkal apa yang tidak bisa kamu hilangkan dari masa lalumu sendiri!" Suara Airlangga meninggi. Bahuku menegang kuat. Gemetaran kemudian.

Aku tidak bisa.

Aku tidak bisa.

Ingatan itu meruntuhkanku. Merobohkan tembok air mata hingga berlinang-linang. Meraungkan duka yang tak bisa lagi kutahan. Ingatan itu menyiksa dan relung hatiku bak disayat-sayatnya. Aku merintih. Bergantian dengan sedu sedan lara. Namun, Airlangga tidak berbekas kasih.

"Aurora." Aku merasakan ia begitu dekat. "Di kegelapan yang kamu lihat, aku tahu kamu melihat ingatanmu sendiri."

"Berhenti." Aku menggeleng lebih kuat.

"Aku tahu kamu tahu apa yang terjadi."

Aku kian terisak. "Mama ... Papa ... Ara mau pulang. Ara mau pulang. Maafin Ara. Ara pengen pulang, Ma ...."

Kudengar Airlangga menghela napas. "Kamu tahu kenapa mata kamu saya tutup? Kamu tahu kenapa badan kamu saya guyur? Menutup matamu akan membuatmu lebih mudah untuk menggambarkan ingatan di dalam pikiranmu. Untuk menciptakan respon yang membuat otakmu memunculkan ingatan yang saya ingin kamu ingat, badanmu perlu basah kuyup seperti kondisimu terakhir kali pada hari itu. Ini disebut pengkondisian klasik.

"Sampai saat ini, otakmu sudah memahami stimulus-stimulus yang saya berikan. Ini yang membuat meski kamu menolaknya dengan keras, ingatan-ingatan yang kamu tolak itu terus muncul di dalam pikiranmu. Semakin kamu menolak, semakin jelas otakmu menggambarkan ingatan itu. Apa saya benar, Aurora?"

"Diam!" Aku meraung. Menyentak kedua tanganku kuat-kuat, berharap ikatannya bisa terlepas. Namun hanya rasa sakit yang justru membuatku kebas.

Airlangga mengejutkanku dengan membuka kain penutup mata. Aku mengerjap tak nyaman saat sinar lampu memberondong masuk tanpa aba-aba. Lelaki bertopi fedora itu berdiri di hadapanku dengan menyembunyikan tangan di belakang punggung. Matanya menilik rendah tepat ke arahku.

"Kalau kamu saja tidak bisa menghadapi masa lalumu sendiri, jangan harap kamu bisa pulang." Ia berujar dingin dan penuh ketegasan. Kemudian mengalihkan pandang ke arah Zero dan Selena. Berkata, "Jangan lepaskan sampai dia mau bicara."

Lelaki itu melenggang pergi keluar ruangan . Aku berteriak, memohon, menangis, memberontak hebat. Berusaha melakukan apapun untuk membuat pria itu berbalik dan melepaskanku.

Namun Airlangga tidak bergeming.

Beri tahu aku cara melupakanmu
Bagian hidupku yang kusesali
Kamu membuatku tenggelam
Dan aku patah

Aku mati

- Zivia Zee

Little survey

1. Satu kata dari kalian untuk bab pertama.
2. Ada kritik/saran?

Haluuuuw!!!

Gimana bab pertama? Komen yaakkk!!!

Untuk pembaca lama, siapapun yang masih bertahan sampai sini, terimakasih banyak banyak banyak huhu 😍 aku cuma mau kalian tahu kalau bab ini berhasil ditulis berkat komentar-komentar yang kalian tinggalkan di Bawah Tanah 1. Komentar kalian menyemangati aku di saat aku lagi down, uwuuu 🤎🤎🤎 makanya jangan segan-segan buatt tinggalin jejak, apalagi komentar karena satu komentar dari pembaca selalu bikin hati aku berbunga-bunga dan semangat nulis lagi 🥰🥰💐

Untuk pembaca baru yg baru ngikutin seri ini atau yang tak sengaja terdampar di sini, selamat datang di karyaku!! Semoga kalian enjoy membaca karya ini seperti aku enjoy menulisnya.

See you on the other page!! 🥳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top