9. KECEMASAN

Pagi yang sangat cerah. Semilir angin berduet dengan sinar mentari diiringi kicauan burung senandungkan lagu bahagia, temani Rana yang telah berdiri membuka jendela kamarnya. Dia memejam sebentar saat sinar Mentari membelai wajahnya. Dilihatnya di bawah, tiga mobil sedan hitam parkir berbaris. Pria-pria berbadan tegap mengenakan pakaian serba hitam tampak sibuk memasukkan barang-barang mereka ke dalam mobil. Mereka diperhatikan oleh Ayah dan Ibu Rana yang berdiri tak jauh dari mereka. Masih mengenakan piyama, Rana bergegas meraih benda pemberian Rah dan berlari menuruni tangga menuju halaman.

"Sudah mau pergi, Rah?" Dia bertanya pada salah satu pria.

"Iya". Rah menjawab singkat. Dia tidak mau terlihat memendam perasaan akan Rana di depan Rajas dan rekan-rekan biro lainnya.

"Ini aku kembalikan."

Rana menyodorkan benda pemberian Rah. Rah menerima benda tersebut dari tangan Rana. Tak sengaja jarinya menyentuh jari tangan Rana. Seketika Rah terhanyut akan kelembutan yang dia rasakan. Namun pundaknya terasa ditepuk oleh seseorang.

"Ayo lekas berangkat pulang, Rah." Rajas membuyarkan lamunan Rah. Setelah berpamitan kepada keluarga Adinatha, mereka pun berlalu mengendarai mobil masing-masing menuju biro. Rana menghela nafasnya. Kepergian Rah meninggalkan rasa sunyi di hatinya. Begitu juga dengan Rah yang sepanjang perjalanan selalu memikirkan Rana. Baru sekejap berpisah, rasa rindu sudah mulai tumbuh merambat subur di jiwanya.

Apa dia telah jatuh cinta kepada Rana? Satu tanya mendengung dalam hatinya, seiring mobil hitam yang dikemudikan Rajas menderu melesat cepat membelah kabut pagi.

Handphone Tuan Adinatha berdering sesaat setelah iring-iringan rombongan biro tak terlihat lagi. Tuan Adinatha memeriksanya dan melihat ada pesan masuk.

"Jaminan hilang, bagaimana selanjutnya?" Bunyi pesan tersebut.

Tuan Adinatha sekejap terlihat mengetik,

"Lunasi hutang!" balasnya. kemudian menyimpan Handphone kembali ke dalam saku celana dan bergegas masuk rumah.

Rah dan kawan-kawan tiba di Biro RSS dan langsung disambut dengan senyum lebar oleh Tuan Baratha. Beliau didampingi seorang wanita beserta seluruh anggota biro.

"Selamat. Kalian telah melaksanakan misi dengan baik." Suara Tuan Baratha diikuti tepuk tangan anggota biro lainnya.

"Aku paling takut kalau terkena komplain dari Tuan Adinatha. Itu akan berpengaruh besar terhadap citra dan kelangsungan biro kita ini. Kalian memang orang-orang terbaik yang pernah kumiliki." Pidato Tuan Baratha membuat Rajas dan anggota timnya yang terlihat kelelahan tersenyum bangga. Tapi Rah terlihat diam saja, pikirannya berada entah di mana.

"Kalian boleh bubar dan beristirahat." Tuan Baratha menutup pidatonya. Semua anggota biro membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Biro RSS memang menyediakan semacam asrama bagi anggotanya.

"Sebentar, Tuan Baratha. Bolehkah saya berbicara dengan Tuan?" Suara berat itu adalah suara Rah.

"Kita lakukan di dalam." Tuan Baratha membalikkan badan memasuki bangunan Biro. Wanita yang mendampinginya melihat ke arah Rah dan Rajas sejenak, kemudian ikut masuk. Rah dan Rajas mengikuti di belakangnya.

"Ada apa, Rah?" Tuan Baratha bertanya setelah mengambil tempat duduk diikuti wanita tadi.

"Saya ingin meminta izin kepada Tuan untuk menengok ayah saya di kampung. "

Sementara Rajas hanya diam berdiri disebelah Rah. Tuan Baratha terdiam berpikir sebentar dan mulai berbicara.

"Tentu saja boleh, kau telah melaksanakan banyak misi dengan baik. Kau membuatku puas. Berapa hari rencananya kau akan pergi?" Tampak senyum terhias di wajah Tuan Baratha.

"Terima kasih, Tuan. Selama lima hari kalau Tuan mengijinkan. Besok pagi saya berangkat."

Tuan Baratha mengangguk mengizinkan.

"Ada lagi yang ingin kau bicarakan?" tanya Tuan Baratha melanjutkan.

"Tidak Ada, Tuan."

Rah sangat senang mendapat izin dari Tuan Baratha. Sementara Rajas melihat wanita di sebelah Tuan Baratha memasang mimik wajah isyarat kepadanya untuk lekas pergi. Rajas langsung meresponnya.

"Tuan. Nyonya. kami permisi." Rajas menarik tangan Rah menuju pintu keluar meninggalkan Tuan Baratha dengan sang wanita. Rah dan Rajas melangkah menuju kamar asramanya dan beristirahat dari keletihan mereka.

Rah terjaga dari tidurnya dan melihat jam dinding menunjukkan pukul 18.00 petang. Merasakan kepalanya sedikit pusing karena tidak terbiasa tidur di siang hari. Dia melihat Rajas masih tertidur pulas di sofa sebelah tempat tidur. Televisi berwarna 21 inch di kamar mereka masih menyala. Rah bangkit untuk mematikan televisi dan berjalan keluar kamar untuk mencari udara segar.

Sesosok gadis belia tertangkap mata Rah sedang duduk di kursi teras dan asik memainkan Handphone-nya. Gadis itu agak pendek, lumayan kurus dan terlihat sedikit tomboy. Mengenakan sweater hitam lengan panjang sampai menutupi telapak tangannya, dipadukan bawahan rok mini jeans. Kakinya dilipat sehingga rok mininya sedikit terangkat mempertontonkan pahanya yang mulus. Rambut hitam gadis itu dipotong pendek mengikuti style ala Harajuku, yaitu bagian depan dibelah samping, dengan satu belahan disisir dari kiri ke samping kanan dan satunya lagi tetap lurus ke bawah sebahu. Sementara bagian belakangnya dibuat pendek dan dibiarkan sedikit acak-acakan. Bentuk mukanya tirus dengan alis yang tipis di atas matanya yang agak besar. Bola matanya berwarna putih bening, dengan bagian bulat tengahnya hitam kemerahan. Dengan bibir kecilnya gadis itu tersenyum kala melihat Rah dan bangkit dari tempat duduknya seraya menghampiri.

"Hi, kamu 'kan yang bernama Rah? Kak Baratha banyak cerita tentangmu." Sang wanita bertanya sambil tersenyum lagi.

Rah sedikit terkejut. Dia langsung mengangguk dan membalas senyuman sang gadis dengan canggung.

"Perkenalkan aku Agni. Adik kandung Kak Baratha." Sang gadis memperkenalkan diri lalu menjulurkan tangan kanannya yang langsung disambut tangan Rah.

"Aku, Rah." jawabnya singkat sambil terheran memandangi Agni.

"Mengapa kamu memandangiku seperti itu?"

"Ah, bukan apa-apa." Rah sejenak memalingkan mukanya ke arah lain, lalu melihat ke arah Agni lagi.

"Aku hanya baru tahu kalau Tuan Baratha memiliki adik."

"Aku baru datang dari luar negeri. Aku sekolah di sana. Kebetulan sedang liburan musim panas, jadi aku memutuskan pulang." Agni mengamati wajah Rah yang memandang ke lain arah lagi.

"Adorable." Agni berucap dalam benaknya. Agni melanjutkan memandang ke semua bagian tubuh Rah, dari leher sampai ujung jari kakinya.

"Interesting Guy." Gumamnya dalam hati . Tersirat suatu ketertarikan di matanya kepada Rah.

"Besok kamu jadi pergi menjenguk Ayahmu, Rah?" Agni melancarkan srategi awal guna mendekati Rah.

"Iya. Mungkin sekitar lima hari aku akan tinggal di sana."

"Kamu sudah menikah?"

Rah tertawa lepas.

"Kenapa tertawa?"

"Menikah? Kekasih saja aku belum punya," jawab Rah cuek.

"Perfect!" pekik Agni dalam hati.

"Nona Agni, saya permisi. Saya mau mandi dulu."

"Silakan."

Agni mempersilakan dilengkapi dengan senyum centilnya. Rah berlalu masuk ke kamarnya. Agni memandangnya sampai pintu kamar kembali tertutup, kemudian berlari kecil masuk ke dalam bangunan biro.

Malam pun datang merajuk. Suasana Biro RSS berubah lengang. Hanya satu dua orang yang terlihat berjaga di pos keamanan dan berkeliling di pelatarannya.

Keesokan paginya, Rah telah menggendong ransel bersiap untuk berangkat pulang. Seperti biasa, kaos, celana jeans dan sepatu kets yang semuanya serba hitam dikenakannya.

Rah terlihat sangat ceria dan bersemangat. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu Ki Urip. Sesampainya dia di halaman biro, tampak sebuah mobil hitam terparkir diam. Kaca mobil tiba-tiba turun perlahan secara otomatis dan terlihat wajah seorang pria.

"Ayo masuk, Rah. Aku akan mengantarmu sampai pinggir kota."

Suara nge-bass itu jelas milik Rajas.

"Let's go, Partner!" teriak Rajas lagi.

Rah hanya tersenyum dan segera masuk mobil serta duduk di sebelah Rajas.

"Rock n' Roll!" teriak Rajas sambil menginjak keras pedal gas mobilnya. Mobil mewah milik Biro itu melaju dengan ringan meninggalkan gapura cadas Biro.

"Bahasa inggrismu mantap, Raj."

"Hahaha, aku diajari Nona Agni, adiknya Bos."

"Ooo...". Rah menanggapi singkat.

Terbayang lagi pertemuannya dengan Agni kemarin sore. Musik keras yang tiba-tiba dinyalakan Rajas dalam mobil agak mengganggu lamunannya.

"Siapa yang menyanyikan lagu setan ini?" tanya Rah polos.

"Huss, ini namanya lagu Metal. Nama bandnya Burgerkill. Band legendaris dari Nusantara. Masa kau tak tahu? Dari planet mana kau berasal?" Rajas menerangkan sambil bercanda mengejek. Rah hanya tertawa kecil seolah terpaksa menanggapinya.

Tak begitu terasa tibalah mereka di tapal batas Kota Santiloka.

"Maaf aku cuma bisa mengantarmu sampai di sini Saudaraku. Sampai jumpa. Sampaikan salamku pada Ayahmu. I'm gonna miss ya!" Rajas berteriak dari dalam mobil.

"Terima kasih, Sobat!" Rah membalas teriakan Rajas sambil mengangkat tangan kanannya sebagai tanda perpisahan. Rajas menunjukkan jempol tangan kanannya lalu memutar cepat mobilnya kemudian melaju meninggalkan Rah sendiri. Rah melayangkan pandangnya sebentar ke arah rerumputan yang terhampar menghijau. Di ujung padang rumput itu samar di balik kabut, terlihat Bukit Indria yang menjulang tinggi perkasa membelah awan.

"Ki... Tunggu aku." Rah bergumam sebelum berjalan menerjang padang rumput yang luas.

"Huaccchhii!" suara itu terdengar dari gubuk tua di sebuah kampung di balik Bukit Indria.

"Nampaknya ada tamu yang akan berkunjung ke sini. Apa mungkin itu Rah?"

gumam kakek tua yang tinggal di sana.

Kakek tua itu adalah Ki Urip yang nampak sedang duduk santai di amben bambunya. Beliau selalu menunggu kedatangan kembali seseorang yang telah lama pergi.

"Ran, tolong ambilkan gunting itu." pinta Pertiwi kepada Rana.

Rana nampaknya tidak mendengar suara sahabatnya itu.

"Ran!"

"Oh... Iya... Kenapa, Wi?"

"Tolong ambilkan gunting itu. Kamu kenapa lagi, ngelamun terus?"

"Ah... Tidak ada apa-apa, Wi?"

"Bener?"

"Beneran. Sumpah. Aku mau ke toilet dulu ya?" Tanpa menunggu Pertiwi menjawab, Rana meninggalkannya dan langsung menuju toilet wanita. Di dalam toilet Rana memandangi bayang wajahnya di cermin. Dilihatnya sebuah gambaran kerinduan yang mendalam dari redup sorot matanya.

Semenjak pertemuannya dengan Rah, dia jadi semakin sering memikirkannya. Bertanya-tanya apakah dia sedang jatuh cinta? Apakah Rah telah mampu menggantikan sosok Bayu, kekasihnya itu? Beribu pertanyaan mengiang di kepala Rana. Tak lama kemudian dia memasang muka optimis dan bertekad mencari laki-laki yang telah membuatnya tergila-gila, untuk memastikan kebenaran rasa jiwanya.

Rana kembali ke ruangan di mana dia meninggalkan Pertiwi tadi. Di sana dilihatnya Pertiwi sedang asik mengobrol dengan dr. Wisnu yang baru saja datang ke klinik.

"Eh, Ran. Kamu sudah sehat?" dr. Wisnu bertanya ramah. Rana cuma mengangguk pelan.

"Syukurlah!" ucap dr. Wisnu terlihat lega. Rana tersenyum dan kembali mengerjakan tugasnya yang tadi sempat tertunda.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top