8. PENJAGAAN

Langit malam dihiasi lengang bintang. Bulan purnama memerah tak biasa. Awan hitam tebal menambah suasana kelam sang alam. Hawa dingin mengiris mencoba ciutkan nyali. Berjalan seorang gadis mengenakan T-shirt putih dipadu bawahan kain bermotif batik. Di pinggangnya terbesut selendang merah muda dan rambutnya tampak basah di bawah sinar rembulan. Pelan menuju satu bangunan suci di kediaman Tuan Adinatha. Dia hendak menghaturkan sesajen, sebuah ritual Hindu Bali tentang keyakinan bahwa, hari kemunculan Purnama adalah hari yang suci. Banyak pula yang memercayai bahwa sifat-sifat negatif manusia akan muncul bersamaan dengan purnama. Untuk menetralisir hal tersebut, maka umat Hindu Bali melaksanakan ritual persembahyangan setiap kemunculan purnama.

Rana berjalan pelan memasuki Merajan rumahnya. Dia dijaga dua orang lelaki tegap yang menunggu di luar. Mereka adalah Rah dan Rajas.

"Apa yang dia lakukan, Raj?" Rah berbisik.

"Ini namanya Mebanten, menghaturkan sesajen di hari yang suci, kemudian berdoa untuk memohon keselamatan dan mensyukuri semua anugerah Tuhan. Kau tak tahu itu Rah, agamamu apa?"

"Jangankan agama., namaku sendiri saja aku tak ingat." Rah memandang ke arah Merajan sambil menghela nafasnya.

"Aku yakin kau pria Hindu."

"Bagaimana kau bisa begitu yakin?"

"Kau memakai simbolnya di dadamu."

"Ini maksudmu?"

Rah mengeluarkan bandul kalung berbentuk Swastika dari balik baju gelapnya. Rajas memandang iba ke arah Rah yang sibuk mengamati bandul kalungnya. Dia berjanji dalam hati akan membantu Rah temukan jati dirinya. Tanpa meminta persetujuan dari Rah terlebih dahulu, dia telah menganggap Rah sebagai adiknya sendiri. Rajas, pria tinggi besar dan berwajah sangar itu ternyata memiliki hati yang sangat baik.

Setelah kurang lebih empat puluh menit berlalu, Rana pun keluar dari Merajan dan datang menghampiri Rah dan Rajas yang setia menunggunya.

"Ini ada bunga, Tirta dan Bija untuk kalian." Rana menyapa mereka sambil memegang nyiru berisi 2 buah gelas. Satu berisi air dan bunga dan yang satunya lagi berisi beras yang basah. Rajas menunduk dan mengulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Rana memercikkan Tirta ke arahnya sebanyak tiga kali. Kemudian Rajas meletakkan punggung tangan kanan di atas telapak tangan kirinya, kemudian menyambut tuangan Tirta dari Rana, meminumnya sebanyak tiga kali dan tuangan keempat diusapkannya di rambut dan muka. Kemudian menjumput beras di gelas satunya. Menaruhnya di tangan kiri, kemudian dengan tangan kanannya, beras tersebut dijumput sedikit demi sedikit. Jumputan pertama ditempelkan di dahi, kedua di pangkal leher, lanjut di belakang leher, keempat ditelan dan sisanya ditaburkan di ubun-ubun. 

Rah cuma meniru setiap gerakan Rajas walau tak mengerti akan maksud semua itu. Rah merasa kesejukan murni terkandung dalam air yang diminumnya. Jiwa yang semula begitu kalut berubah tenang bagai jernih air telaga. Rana memberikan sekuntum Bunga Cempaka yang di terima Rajas dan disematkan di atas telinga kanannya. Rah pun mengikuti gerakan Rajas saat menerima bunga dari Rana. Dia masih sangat tertegun dan takjub saat menangkap aura cantik Rana di bawah sinar Purnama, ditambah harum Bunga Cempaka melengkapi indah suasana. Begitu pula sebaliknya, Rana masih merasa ruang hatinya berguncang saat menatap wajah Rah sembari memberikan bunga untuknya.

Rajas tiba-tiba berdehem.

"Sebaiknya Nona segera kembali ke dalam rumah. Berbahaya berlama-lama berada di luar." ucapan Rajas serta-merta membuyarkan perasaan ketertarikan antara keduanya. Rana pun berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Kau menyukai gadis itu, Rah?" Rah sedikit terkejut mendengar pertanyaan Rajas.

"Tidak, aku masih memegang teguh peraturan Biro kita." Rah berusaha menyembunyikan perasaannya.

"Baguslah... Ayo kita periksa sekeliling sekali lagi, sebelum masuk ke ruang pengawasan."

Mereka berdua melangkah menyisir sekeliling rumah dan akhirnya melangkah masuk ke sebuah ruangan. Sedangkan anggota biro yang lainnya masih tetap berjaga-jaga di luar rumah. Nampaknya tikus pun tak akan mampu masuk dengan penjagaan super ketat ciri khas Biro RSS.

Pagi pun lambat-lambat menunjukkan sejuk wajahnya. Rana terlihat telah mengenakan seragam perawatnya dan hendak berangkat bekerja tapi sekelebat bayangan hitam menghalangi jalannya. Rana sangat terkejut. Bayangan itu adalah Rah.

"Sebaiknya Nona tidak usah bekerja hari ini."

"Hey! aku bukan tahanan di sini!"

Rana terlihat kesal.

"Saya telah menelepon klinik tempat Nona bekerja. Saya bilang Nona sakit dan butuh waktu istirahat dalam jangka waktu tiga hari."

Rah terus menghalangi Rana yang mencoba melewatinya.

"Brengsek! Aku benci kamu!" Rana memaki tepat di depan muka Rah seraya berlari masuk kamarnya. Membanting pintu kemudian merebahkan diri di atas ranjang dan menangis. Rah tidak mempedulikannya dan kembali keluar rumah untuk berjaga-jaga.

Sementara di klinik, Pertiwi, sahabat Rana sangat sibuk melayani para pasiennya.

"Rana kemana, Wi? Nggak masuk hari ini?" Tanya dr. Wisnu yang baru saja memasuki klinik kepada Pertiwi.

"Nggak, Dok, tadi ada seorang pria menelpon mengaku dokter pribadi keluarga Rana. Memberitahukan bahwa Rana nggak bisa kerja hari ini karena sakit dan butuh istirahat."

"Dokter pribadi keluarga Adinatha? Dokter Baradja maksudmu?"

"Kurang tahu saya, Dok."

"Ya, sudahlah." Dokter Wisnu mengakhiri percakapan sambil melangkah menuju ruangannya. Dia masih curiga. Merasa ada kejanggalan di dalam cerita yang diberitakan Pertiwi kepadanya. Dia teringat kemarin bertemu dengan dr. Baradja di tempat bermain Tennis. Dokter Baradja bercerita bahwa hari ini berangkat ke luar negeri untuk mewakili Yogaphala dalam pertemuan international dokter–dokter ahli seluruh dunia.

Dia memikirkan kemungkinan ada dokter pengganti yang menangani kesehatan keluarga Adinatha. Setelah terdiam sejenak, akhirnya dia memutuskan di saat pulang kerja akan melewati rumah Rana untuk menyelidiki situasi. Dia tampak sedikit kecewa karena gadis pujaannya tidak bekerja hari ini. Terlihat jelas raut gundah di wajahnya.

Rana masih terlihat menangis di kamarnya. Rasa bimbang, gundah, penasaran, kecewa, sedu-sedan, bercapur di pusara hatinya. Dia kecewa dengan Rah yang  mengekangnya di rumah. Dia benci dan semakin menjadi akan tindakan over–protektifnya. Namun hatinya semakin bergetar sama dengan dua tahun lalu, seolah sesuatu sangat ingin keluar dari tubuhnya kemudian menjawab keraguan jiwanya.

Dia tak bisa mengerti kenapa dia merasakan perasaan itu lagi. Perasaan yang selalu dirindunya untuk mengalun menggugah asa. Perasaan yang sama saat bersama Bayu? Rana berkeluh dalam gundah hatinya.

Tapi Rah bukan Bayu, sama sekali berbeda sifatnya, pikir Rana. Tapi dia tak tahu mengapa Rah juga mampu menumbuhkan perasaan yang sama? Menghidupkan kembali separuh jiwanya dan hangatkan serpihannya yang sempat membeku? Benak Rana semakin kelu mencari jawaban di perjalanan waktu.

"Nona, aku ingin kau memegang ini." tiba-tiba suara Rah lugas terdengar tandakan dia telah berada satu ruangan dengan Rana.

Rana sangat terkejut dan seketika bangkit dari ranjangnya.

"Hey, jangan sembarangan masuk kamar orang!" teriakan Rana ke arah Rah memekik bercampur isakan sisa tangisnya.

Rah membisu dan hanya menyodorkan satu benda menyerupai gelang berliontin.

"Jika kau membutuhkan pertolonganku, tekan tombol ini." Rah berucap dingin.

Rana dengan emosi menyambar benda di tangan Rah dan membantingnya ke ranjang. Rah tak peduli dan melangkah keluar. Rana membanting pintu lagi dan larut kembali dalam tangis dan amarahnya.

Dari mana datangnya pria menyebalkan ini? Gerutunya dalam hati.

Kediaman keluarga Adinatha tampak lengang tidak seperti kemarin. Rajas dan sebagian besar anggota biro lainnya pergi menjaga Tuan Adinatha di kantornya. Hanya tinggal Rah sendiri berada di ruang pengawasan sambil mengawasi setiap monitor di sana. Sementara dua anggota lainnya berjaga di sekitar rumah. Mata Rah tak pernah berpaling dari satu monitor yang terkoneksi dengan kamera di dalam kamar Rana. Dia merasakan lagi perasaan yang sama saat pertama kali bertemu dengannya kemarin. Semakin dia memandang wajah Rana, semakin kuat perasaan itu. Rah merasa ada suatu bagian yang tertanam jauh di pusat jiwanya semakin menekan. Bagian aneh itu terasa meraung meronta seperti ingin menerobos keluar tubuhnya. Terasa buas menggebu bagai singa kelaparan namun indah bagai warna burung merak.

Apakah Rana adalah kunci atas gembok besar rantai masa lalunya? Rah secepat kilat mematikan monitor kamera karena melihat Rana mulai membuka kancing seragam perawatnya.

Dokter Wisnu memacu mobilnya pelan menelusuri jalan penuntunnya pulang. Dia sedikit mengambil rute yang berbeda. Nampaknya dia ingin melewati rumah Rana dan mengamati apa yang terjadi di sana seperti yang telah ia rencanakan sebelumnya. Mobil sedan hitam itu berhenti di seberang jalan. Dokter Wisnu melihat rumah besar yang begitu lengang di hadapannya. Dia tidak berani memasuki halaman rumah Rana dan hanya diam di dalam mobilnya sambil terus mengamati.

Dokter Wisnu tidak melihat ada keanehan. Mungkin memang benar Rana sakit, pikirnya. Semula dr. Wisnu ingin langsung menjenguk Rana, tapi dia urungkan niatnya. Dia merasa lebih baik membiarkan Rana istirahat dulu. Dokter Wisnu menyalakan mesin mobilnya dan berlalu ke arah kediamannya.

Selang beberapa detik, muncul tiga mobil sedan hitam dengan tergesa memasuki halaman rumah keluarga Adinatha. Satu mobil berhenti di tengah halaman depan rumah dan yang satu lagi langsung parkir tepat di depan pintu rumah. Sesosok pria agak berumur melangkah cepat dikawal empat pria tinggi besar melangkah begitu cepat memasuki rumah. Dan tujuh pria lainnya langsung mengambil posisi menyebar di sekitar rumah memastikan keadaan telah aman dan terkendali. Tidak diragukan lagi bahwa Tuan Adinatha—ayah Rana—telah kembali pulang dari kantornya. Seorang pria terlihat berlari menuju ruang pengawasan dan masuk ke dalamnya.

"Bagaimana situasi di sini?" tanya pria yang sedikit terengah ituyang tak lain adalah Rajaskepada Rah yang terlihat asik menghisap rokok dan membersihkan pistolnya.

"Aman, Raj. Aku sampai terkantuk-kantuk dibuatnya." Rah menjawab.

"Pembantu rumah sampai bosan membawakanku kopi." imbuhnya sambil terkekeh.

"Baguslah."

Rajas tersenyum lega sambil membuka jas hitamnya.

"Tadi aku mendapat kabar dari informan kita di kepolisian. Orang yang melakukan teror kemarin terhadap Tuan Adinatha berhasil dilacak dan ditangkap. Ternyata dia bukan salah satu anggota Gerombolan Khala, melainkan hanya karyawan yang sakit hati karena dipecat oleh Tuan Adinata. Jadi misi kita berakhir besok setelah melewati malam ini."

"Apa! Tuan Adinatha akhirnya lapor polisi?"

"Iya. Bos kita berhasil meyakinkan beliau untuk menggunakan jasa polisi."

Rah terdiam. Ada perasaan senang karena akan terbebas dari tugas yang melelahkan dan ada juga perasaan sedih karena akan berpisah dengan Rana. Walau Rah tak pernah tahu mengapa dia begitu lara dan berat hati meninggalkan rumah itu.

"Tapi kau takkan percaya ini, informan kita juga mengirim foto tersangka."

Perkataan Rajas membuyarkan lamunan Rah. Rajas mendekatkan layar handphone-nya ke arah Rah. Rah pun mendekatkan mukanya memperhatikan layar.

     "lho, Ini bukannya pria pecandu yang kau dorong waktu itu?" Rah sedikit terkejut.

     "Iya mirip benar dengannya."

     "Mencurigakan, rasanya tak mungkin dia salah satu mantan karyawan Tuan Adinatha."

     "Iya polisi juga tidak langsung percaya dan terus menyelidiki apa ada keterlibatan pihak lain. Tapi misi kita tetap berakhir besok pagi, ini keputusan Tuan Adinatha sendiri."

     "Hmm... semoga saja tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan terhadap keluarga ini." Rah berharap.

     "Keluarga ini atau Nona Rana?" Rajas mencoba menggoda Rah.

Rah berpura-pura tidak mendengar dan melanjutkan membersihkan pistolnya. Rajas tertawa geli, Rah tak tahan mendengarnya sehingga melemparnya dengan lap. Mereka berdua kemudian tertawa lepas.

Gelap malam menebar seyum misteriusnya lagi. Satupersatu lampu penerangan jalan mulai menyala, membantu pengelihatan menembus pekat hitam dunia. Rana tampak berjalan menuju ruang pengawasan di mana Rah berada. Piyama putihnya terlihat begitu kontras di suasana malam rumahnya.

"Ini, aku kembalikan. Rasanya aku tidak membutuhkannya lagi karena yang mengancam keluargaku telah tertangkap." Rana berucap ketus ke arah Rah sambil menyodorkan benda serupa gelang berliontin yang semula diberikan kepadanya.

"Bawalah dulu untuk malam ini saja, Nona. Saya tidak mau mengambil resiko Nona celaka. Nona masih menjadi klien kami sampai besok pagi." Rah menjawab sambil memandang wajah Rana yang terlihat sedikit judes kepadanya.

Rana terdiam. Dia serasa masuk terbawa dalam aura kharisma pria di depannya dan cuma bisa mengangguk tak mampu berkata apa-apa. Judesnya pun berangsur menghilang ditelan sabar wajah Rah.

"Kamu sebenarnya siapa, Rah? Dan datang dari mana? kamu bukan orang sini kan?" suara tanya Rana kali ini bernada rendah dipengaruhi rasa penasaran di lubuk hatinya.

"Saya bukan siapa-siapa, Nona. Cuma perantau dari desa terpencil di balik Bukit Indria yang lima bulan lalu datang ke Kota ini."

"Apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini? Apa semata-mata hanya untuk mendapatkan pekerjaan?"

Rana tidak bisa menutupi lagi rasa penasarannya. Rah hanya menceritakan bahwa dia datang ke kota hanya ingin mengadu nasib dan juga membahagiakan ayahnya di kampung. Rah tetap tidak menceritakan tujuan yang sesungguhnya. Tentang ingatan yang hilang, seragam polisi dan kartu perusahaan milik ayah Rana, karena masih khawatir tentang kebenaran apakah dia polisi atau pemberontak. Tapi Rah tetap ingin mengorek keterangan dari Rana demi mendapatkan petunjuk. Maka dia bercerita tentang dirinya tapi seolah-olah menceritakan tentang temannya. Bahwa dia selain mencari pekerjaan, juga ingin membantu temannya yang lumpuh dan hilang ingatan di kampung untuk menemukan identitas aslinya. Temannya hanya ingat dia berasal dari kota ini.

"Kau tidak memiliki petunjuk apa pun tentang jati diri temanmu?"

"Hanya ini pemberiannya."

Rah mengeluarkan bandul kalung berbentuk Swastika dari balik kerah kemejanya. Rana memandang bandul kalung itu sejenak.

"Wah itu cuma bandul kalung biasa. Banyak yang menjualnya di sini. Itu simbol Agama Hindu. Agama yang dianut sebagian besar penduduk kota ini. Aku rasa itu tidak bisa dijadikan petunjuk." Rana menjelaskan sambil tersenyum kecil. Bibir merahnya tertangkap mata Rah yang semakin mengukirkan rasa kagum.

Mereka pun terlibat percakapan serius diselingi gurauan, yang isinya kurang lebih menceritakan kehidupan masing-masing. Sampai akhirnya Rana menguap tanda mengantuk.

"Nampaknya sudah larut malam. Aku kembali ke kamarku dulu. Benda ini aku bawa lagi, besok pagi akan kukembalikan." Rana berpamitan kepada Rah.

Rah Cuma menganggukkan kepala. Tubuh semampai Rana pun berlalu meninggalkan pandang seksama sepasang mata milik Rah. Rah kembali ke rutinitas malam terakhir di rumah Rana, mengamati waspada semua monitor dan sesekali berjalan di sekitar rumah. Sedangkan Rana terlihat belum memejamkan matanya. Dia berbaring dan sibuk memandangi benda pemberian Rah. Senyum kecilnya kadang tergambar jelas di wajahnya. Entah apa yang begitu terkesan di hatinya dan begitu kuat mengganggu jiwanya. Dia pun meletakkan benda pemberian Rah disebelah ranjang dan mencoba untuk terlelap.

Malam semakin larut. Jalanan Kota pun semakin lengang. Hanya beberapa pedagang yang masih tekun menjajakan barang diterangi lampu petromaks. Beberapa kendaraan terlihat pelan melintas, lampunya sekilas menerangi pinggir jalan di mana seorang wanita sedang menggendong tas besar sambil menuntun anak kecil. Tepat satu jam sebelum jam malam, mereka berjalan begitu tergesa seolah sedang dikejar seseorang atau sesuatu. Sang wanita juga kerap kali menoleh ke belakang, kanan dan kiri. Berkali anak kecil yang dituntun terjatuh karena kewalahan mengimbangi langkah cepat sang wanita. Sesaat kemudian, sang wanita menyetop sebuah taksi dan berlalu bersama anak kecil yang dituntunnya.

Berambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top