5. BERTAHAN
Di pagi yang cerah bertahtakan sinar sang mentari diiringi riuh nyanyian burung-burung, terlihat seorang gadis sibuk di taman luas rumahnya. Dia adalah Rana. Terlihat menggunakan baju kaos V-neck merah muda yang mengikuti setiap lekuk tubuhnya, dipadukan celana Hotpant putih menutupi pinggang sampai paha atasnya. Kakinya yang jenjang berkilau memutih diterpa sinar mentari dan rambutnya yang hitam panjang tergerai ditiup sepoi sang angin. Tapi tak pernah ada seyuman tergambar di bibirnya yang memerah alami. Kelopak matanya terlihat sembab karena terlalu sering mengucurkan air mata. Rana dengan telaten merawat bunga-bunga di tamannya, membersihkan dan menyiraminya. Hari ini hari Minggu, hari libur dari pekerjaannya.
"Oh, wahai kau Sang Bunga. Seandainya penantianmu tersiakan akan sang kumbang yang sangat kau harapkan hinggap di hatimu. Tak kunjung datang dan kau tak pernah tahu dia ada di mana. Apa kau akan berpaling dan memilih hati kumbang yang lainnya?" Rana seolah berdialog dengan bunga di depannya.
"Kamu sudah gila ya, bicara dengan bunga?" Suara yang dikenal Rana tiba-tiba munyeruak mengalun.
"Hey, Wi. Kau mengagetkanku saja." Rana agak terkejut melihat sahabatnya Pertiwi telah berdiri di belakangnya. Pertiwi terlihat semakin manis dengan T-Shirt putih dan rok mini dengan panjang 5 cm di atas lututnya.
"Ada apa kamu pagi-pagi datang ke sini?" Rana melanjutkan merawat bunga-bunganya. Pertiwi tertawa kecil.
"Aku datang karena mengkhawatirkanmu."
"Apa maksudmu?" Rana menghentikan kegiatannya dan memandang wajah sahabatnya.
"Halah, jangan pura-pura tidak mengerti. Kamu enggak bakal bisa menyembunyikan apa pun dariku. Setelah sekian lama, kenapa kamu bersedih lagi?" Pertiwi memasang muka serius. Rana terdiam sejenak.
"Sebaiknya kita bicara di kamarku saja." Rana menarik tangan sahabatnya, meninggalkan taman menuju ke dalam rumah.
卍
Sementara Rah tampak berdiri menatap keluar jendela kamar yang disewanya, sambil menikmati rokok yang dibelinya di warung sebelah penginapan. Rah memandang kosong seluruh pemandangan kota sambil menghisap dalam asap rokok, lalu menghembuskannya bersama kegamangan hatinya.
"Apa aku akan menemukan jawaban di kota seluas ini?" gumamnya. Tapi dia bertekad untuk tetap berusaha sebisa mungkin menemukan jawaban di kota yang terlalu asing baginya itu. Rah beranjak dari tempatnya. Dengan cepat mengenakan T-shirt hitam kesayangannya, meraih ransel dan bergegas keluar kamar. Menuruni satu persatu anak tangga dan keluar dari pintu penginapan. Dia terdiam sebentar di depan pintu.
"Ini Hari Minggu, rasanya tak mungkin pergi ke perusahaan yang tertera di kartu ini." pikirnya. Dia pun melanjutkan langkahnya tanpa tahu arah tujuan. Dia juga sangat bingung karena persediaan uangnya semakin menipis.
"Aku harus mencari kerja untuk bertahan di kota ini." Hanya itu tekad yang terbayang di benaknya kini. Dia sedikit mengesampingkan tujuan utamanya datang ke kota, karena dia berpikir lebih baik bertahan hidup dahulu, daripada tujuan semula yang belum tentu arah jawabannya.
Satu persatu toko atau warung yang kebetulan buka di Hari Minggu di sepanjang jalan disinggahinya, tapi tidak ada yang mau menerimanya bekerja. Sampai dia di ujung jalan sepi yang jarang dilalui orang. Dia dihentikan oleh sesosok pria kurus dan tampak sedikit mabuk. Rambut pria itu agak panjang dan acak-acakan, matanya sayu dan pipinya cekung. Hanya memakai kaos hitam, celana pendek dan sepatu kets putih.
"Eh, mau barang nggak?" Kalimat pertama yang keluar dari mulut si pria misterius. Beberapa gigi depannya terlihat menghitam saat dia membuka mulutnya.
"Eh! mau nggak?!" tanya pria itu lagi sambil menyodorkan bungkusan kertas kecil ke arah wajah Rah.
"Maaf, saya tidak tertarik." Rah merasa tidak nyaman dan melangkah ke samping. Tapi pria itu tetap manghalangi jalannya dan kali ini mencengkram lengannya.
"Hoi, mau nggak?" Ambil satu lah!" Kata dan perlakuan si pria misterius semakin membakar emosi Rah. Ingin sekali rasanya dia melayangkan pukulannya tepat di muka pria menyebalkan itu. Tapi sebelum itu terjadi, ada sekelebat bayangan menarik pria tadi dan mendorongnya hingga terjungkal menghantam tong sampah.
"Hey! Kalau orang nggak mau, jangan dipaksa!" hardik bayangan tersebut yang ternyata adalah seorang pria berbadan kekar. Pria kurus tadi berdiri dengan cepat dan berlari ketakutan seperti melihat setan. Rah memandang pria penolongnya dengan penuh tanda tanya. Nampak kedua lengan pria kekar itu penuh dengan tato. Berambut cepak dengan bentuk muka agak bulat. Alisnya tebal menghitam menaungi matanya yang sipit namun memiliki bola mata hitam bersorot tajam. Hidungnya besar pesek terlihat bertengger di atas kumisnya yang tebal rapi. Bibirnya merah kehitaman menambah sangar tampangnya. Pria tersebut mengenakan T-shirt hitam bergambar sebuah batu merah dan siluet pistol dikombinasikan dengan dua kata "Redstone Army".
"Hey, kau tak apa?"
"Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja, terima kasih atas pertolongan Tuan. Permisi." Rah langsung hendak memulai langkahnya lagi.
"Tunggu!"
"Ada apa, Tuan?"
"Kau orang baru di kota ini ya, siapa namamu?" Sang pria mengulurkan tangan kanannya tanda ingin berjabat tangan.
"Nama saya Rah, Tuan." Rah menjabat tangan sang pria.
"Rah? Hmm, nama yang keren. Saya Rajas."
"Iya terima kasih, Tuan Rajas," sahut Rah.
"Jangan panggil Tuan, panggil saja Rajas. Kau bukan orang asli sini ya. Ngomong-ngomong ada tujuan apa datang ke kota ini?"
"Mencari pekerjaan." Rah tak memberi tahu tujuan yang sebenarnya.
"Ingin kerja apa?" tanyanya lagi.
"Apa saja."
"Kalau begitu ayo ikut aku, Rah."
"Kemana?" Rah semakin tak mengerti.
"Sudah ikut saja, kau ingin kerja bukan? Ayo!"
Rajas melangkah pergi. Tampaknya Rah tak punya pilihan lain selain mengikutinya. Dia pun melangkah mengikuti Rajas melalui lorong-lorong gelap di Kota Santiloka. Lorong-lorong tersebut tak tersentuh sinar mentari karena berada di antara gedung-gedung pencakar langit. Jalanannya basah, penuh sampah dan barang rongsokan serta berbau pesing.
卍
Kembali ke kediaman Rana. Rana dan sahabatnya Pertiwi duduk di atas ranjang di dalam kamar dan terlibat percakapan yang cukup serius.
"Aku tak bisa melupakannya, Wi."
Rana berucap sambil menangis.
"Kamu harus bisa menerima kenyataan, walau itu menyakitkan."
Pertiwi mengelus rambut sahabatnya. Rana memeluk tubuh sahabatnya sambil terus menangis.
"Aku terus mencobanya. Tapi aku benar-benar tak sanggup. Rasanya akal sehatku semakin dikalahkan perasaanku yang mendalam ke Bayu."
Pertiwi terdiam dan memeluk sahabatnya semakin erat. Tak mampu menahan air matanya yang akhirnya menetes juga.
"Aku tak mau melihatmu seperti ini terus, kamu harus tegar. Jangan sia-siakan hidupmu demi sesuatu yang nyaris tak mungkin terjadi. Setia menunggu pria yang dua tahun menghilang dan tidak jelas keberadaannya. Kamu itu seperti bunga yang mengharapkan datangnya seekor kumbang yang tersesat dalam labirin sarangnya sendiri." Pertiwi berusaha menghibur sahabatnya, walau dengan suara yang agak bergetar karena haru.
"Eh, pengandaianmu konyol banget." Rana tersenyum.
"Nah gitu dong. Senyum, Non. Jangan sedih terus, gak baik untuk kesehatan."
Canda Pertiwi sambil mendorong pelan badan Rana menjauhi badannya. Rana mengusap air mata di pipinya.
"Aku akan terus membantumu keluar dari masalah ini. Ingatlah bahwa aku akan tetap menjadi sahabatmu." Pertiwi terus mencoba menghibur sahabatnya.
"Bagaimana dengan dr. Wisnu? He's kinda cute." Pertiwi membuang muka namun tetap melirik Rana.
"Oh, jadi kamu biang keladinya ya?" Rana mulai tersenyum lebar sambil mencubit pipi sahabatnya.
"Ada yang malu-malu mau neh."
"Tidak!" Rana tertawa sambil meraih bantal dan memukulkannya ke kepala Pertiwi. Mereka pun larut dalam canda tawanya.
卍
Di lain tempat, Rah terus berjalan mengikuti Rajas.
"Sebenarnya kita mau kemana?" Rah bertanya kepada Rajas—pria yang baru saja dikenalnya.
"Aku mau mempertemukanmu dengan bosku. Siapa tahu beliau mau memberimu pekerjaan."
Mereka pun tiba di ujung lorong dan sampai di tempat dengan bangunan yang megah. Di dalamnya dipenuhi pria-pria berbadan tegap sedang berlatih menggunakan berbagai macam senjata. Mereka terlihat sangat mahir memainkan senjata.
Tempat apa ini? Tanya Rah dalam hati. Langkahnya terhenti, sementara Rajas semakin masuk melewati gapura cadas legam menghitam berukir layaknya gapura sebuah istana. Tiba di depan pintu masuk yang terlihat dijaga dua orang pria tegap, nampak Rajas berbicara dengan salah satu penjaga. Rah tidak memedulikannya, matanya tertuju pada papan nama tempat itu. Di sana tertulis REDSTONE SECURITY SERVICE (RSS). Rah menyimpulkan tempat itu adalah sebuah biro yang bergerak di bidang jasa keamanan.
"Hey jangan bengong di situ, ayo kita masuk!" Rajas memanggil Rah dan mengajaknya masuk. Mereka berdua melangkah masuk, melewati beberapa pria yang tetap tekun berlatih. Mereka tidak menghiraukan kedatangan Rah dan Rajas. Sesampainya di dalam, di depan sebuah bangunan besar dengan teras yang luas. Di depan terasnya—di kanan-kiri—terdapat patung Dwarapala seakan memandang nanar ke arah Rah. Lantai terasnya berhias marmer hitam. Atapnya ditunjang pilar berbentuk silinder dengan ukiran sederhana berbentuk daun melingkar di dua ujungnya. Setelah melewati teras, mereka berdua dihadapkan dengan sebuah pintu kayu ganda berukuran sedang dengan ukiran dari cadas tempel putih di sekelilingnya. Rajas mulai mengetuk pintu tersebut.
"Masuk!" Terdengar suara pria dari dalam setelah Rajas mengetuk. Mereka berdua pun masuk. Di dalam terlihat seorang pria mengenakan pakaian serba putih duduk santai di atas sofa empuknya. Pria itu kira-kira masih berumur tiga puluh tahunan, kira-kira seumuran dengan Rah. Rambutnya lurus tersisir rapi ke belakang, alisnya agak tebal dan matanya kecil namun bersorot tajam dengan bola mata hitam kemerahan. Sesekali dia terlihat menghisap cerutunya. Bibirnya yang tebal menghitam seketika tertarik ke belakang dan pipinya mencekung. Hidungnya bangir mungkin dia memang keturunan Yogaphala. Bentuk mukanya persegi dengan rahang yang kaku sesuai dengan tubuhnya yang atletis.
Rah sedikit terkejut melihat pria itu. "Pria yang di Bar!" pekiknya dalam hati.
"Selamat Siang, Bos. Saya bawa orang yang ingin bekerja di sini," sapa Rajas pada pria tadi.
"Selamat siang, Tuan," sapa Rah sopan.
Pria itu mengangguk sambil memandangi Rah. Bola matanya membesar dan sedikit berbinar.
"Siapa namamu?"
"Rah, Tuan."
"Apa benar kau mau bekerja di sini? Oh, maaf, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Danta Baratha. Kau boleh panggil aku Baratha saja. Aku pendiri serta pengelola Biro ini."
"Pekerjaan apa gerangan yang Tuan Baratha ingin berikan kepada saya?"
"Bekerja sebagai bodyguard."
"Bodyguard?"
"Iya, bodyguard. Pengawal pribadi. Apa kau sanggup?"
"Saya belum bisa memastikan apakah saya sanggup atau tidak. Tapi setidaknya ijinkan saya mencobanya, Tuan." Jawaban Rah membuat Tuan Baratha tertawa lagi.
"Bagus! Tentu saja aku ijinkan. Aku yakin kau akan menjadi bodyguard yang paling tangguh di kota ini, atau mungkin di seluruh Yogaphala. Kau boleh mulai bekerja kapan saja." Tuan Baratha berusaha mengangkat kepercayaan diri Rah.
"Baiklah, Tuan. Saya akan pikirkan tawaran Tuan. Saya mohon permisi kembali ke penginapan. Terima kasih atas kebaikan yang Tuan berikan."
"Silakan."
"Saya tinggal dulu, Raj." Rah mengalihkan pandang ke Rajas.
"Oke, hati-hati, Rah. Jangan sampai tersesat."
Rah menganggukkan kepalanya dan beranjak meninggalkan dua orang misterius yang baru saja dikenalnya.
"Kenapa Bos langsung yakin kepadanya untuk bergabung di biro kita ini?" Rajas baru berani bertanya kepada Tuan Baratha setelah Rah tidak terlihat lagi.
"Aku merasakan ada yang berbeda dengan pria ini. Seolah ada kekuatan hebat tertanam dalam tubuhnya. Kekuatan yang sama dengan yang pernah ada dua tahun lalu." Tuan Baratha tertawa penuh kegembiraan. Rajas pun ikut tersenyum sambil mengangguk walau sebenarnya dia tidak mengerti.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top