4. KEBIMBANGAN
Langit mulai menghitam ditemani bintang dan rembulan mengisyaratkan akhir perjalan sang siang. Dari jalan setapak yang kiri–kanannya ditumbuhi semak-semak dan ilalang yang rimbun muncul sesosok bayangan hitam tinggi tegap menoleh kesana–kemari tanpa tujuan pasti. Sejenak dia memerhatikan tapal batas kota sebelum naik ke jalan raya beraspal. Lelaki itu adalah Rah, akhirnya dia tiba juga di pinggiran Kota Santiloka setelah melewati perjalanan yang sangat jauh dan sulit. Normalnya butuh satu setengah hari untuk menempuh perjalanan tersebut, tapi Rah dapat menempuhnya kurang dari sehari.
Rah melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan aspal, semakin masuk ke dalam Kota. Setelah melewati kira-kira 1 km jalanan gelap dengan pepohonan dan semak-semak di sisi-sisinya, baru ditemukannya satu rumah dengan cahaya agak terang di sebelah kanan jalan. Dia lewati rumah tersebut lalu menemukan satu rumah lagi, kali ini di sebelah kiri jalan, dia lewati juga rumah tersebut. Lama kelamaan bangunan semakin banyak dan rapat—ada warung, ruko, rumah penduduk—dia lewati saja semuanya sampai akhirnya dia menemukan sebuah bar. Bangunan bar itu lumayan tinggi menjulang berbentuk kubus dengan lampu-lampunya yang agak remang. Hanya pada bagian papan namanya saja yang lumayan terang. Lampu-lampu warna-warni itu membentuk sebuah tulisan yang terbaca ANGEL BAR & LOUNGE. Bar tersebut nampak sudah ramai dengan pengunjung. Rah memutuskan memasukinya. Dia segera berbaur dengan pengunjung lain untuk masuk.
"Bisa saya periksa dulu ransel Tuan?" Seorang penjaga menghentikan Rah di pintu masuk. Penjaga itu agak tambun, memakai pakaian serba hitam, sebuah tato tribal menghiasi lengan kanannya yang hampir sebesar paha lelaki dewasa. Rah menyerahkan ranselnya dan pria tersebut mulai memeriksanya.
"Tuan dari kampung, ya?"
Rah cuma mengangguk. Tiba-tiba Rah baru sadar akan sesuatu, pikirannya teringat akan bungkusan hitam yang berisi seragam polisi pemberian Ki Urip.
"Celaka, dia tidak boleh sampai melihatnya!" pekik Rah dalam hati.
"Hei Penjaga, Cepatlah!" Tiba-tiba dari arah luar bar, seseorang dengan Jas Putih, berkemeja hitam dan bercelana panjang putih berteriak. Teriakannya membuat para pengunjung bar—yang tadinya berbaris rapi menuggu giliran masuk—terpaksa bergerak menyamping berhimpit-himpitan untuk memberi jalan kepada Pria tadi. Nampak pria tersebut dikawal beberapa pria tegap berambut cepak berpakaian preman. Penjaga tadi buru-buru menarik tangannya dari dalam ransel dan urung menyentuh bungkusan yang dikhawatirkan Rah sejak tadi.
"Kau, masuklah!" perintahnya kepada Rah. Rah meraih dan menutup resleting ranselnya kembali serta secepatnya melompat ke dalam. Baru di dalam bar dia bisa bernafas lega. Tak lama setelah Rah masuk, pria berjas putih pun masuk diikuti semua pengawalnya dan mengambil tempat duduk di sofa merah di sebelah pojok kiri. Rah hanya memerhatikannya sekilas, kemudian berjalan menuju meja bartender yang terletak di sebelah kanan tengah bar.
Di dalam bar terlihat banyak pengunjung yang sedang menikmati minuman beralkohol dan sesekali bercanda satu sama lain. Wanita-wanita berpakaian seksi nampak sibuk menemani para pengunjung. Asik bercumbu di bawah redup cahaya lampu dan hingar-bingar musik yang lazim dimainkan di sebuah bar. Rah menghampiri tempat bartender bekerja cekatan mencampur minuman demi minuman pesanan pengunjung. Dia mengambil tempat duduk dan memesan minuman.
"Tolong beri saya minuman!" teriaknya kepada sang bartender untuk mengalahkan suara musik yang keras menghentak.
"Oke, Tuan!" Sang bartender menjawab sambil mengacungkan jempol tangannya.
Tak lama minuman pesanan Rah pun datang terlontar dari sebelah kiri meja panjang. Rah terkejut tapi berhasil menangkapnya. Maklum dia baru pertama kalinya berkunjung dan memesan minuman di bar. Itu pun karena dia tidak ingat apa pernah berada di sana atau tidak. Musik bar pun semakin sayup berubah pelan di mana pengunjung mulai turun ke lantai dan berdansa.
"Baru pertama ke bar, Tuan?" tanya sang bartender.
"Iya, saya perantau dari perkampungan sebelah bukit". Rah mulai meneguk minumannya.
"Oh, pantas anda menyebut hanya memesan minuman, tidak menyebut merek minumannya."
"Minuman apa ini? Rasanya pahit dan berbuih." Rah memasang muka merengut. Sang bartender tersenyum geli.
"Itu namanya Bir, Tuan. Sengaja saya beri tuan yang berkadar alkohol paling rendah di antara minuman di sini."
"Tapi enak juga, boleh pesan satu gelas lagi?" Rah tersenyum malu.
"Tentu saja, Tuan." Sang bartender kembali menuangkan bir ke dalam gelas dari keran sebuah drum kayu dan dilontarkannya di atas meja ke arah Rah duduk. Kali ini Rah menangkapnya dengan mantap. Setelah selesai sang bartender melayani pelanggan yang lain, dia kembali menghampiri Rah. Sekilas terdengar suara tawa yang cukup keras di sela-sela musik Bar dari arah tempat duduk pria berjas putih tadi. Rah menoleh sekejap kemudian berpaling lagi ke arah sang bartender. Sang pria berjas putih menunjukkan gestur sedang berbicara dengan seseorang. Lawan bicaranya tak terlihat karena pandangan Rah terhalang pilar bar.
"Siapa orang itu?"
"Yang mana, Tuan?"
"Yang duduk di sofa pojok memakai jas putih"
"Dia seorang pengusaha, Tuan." Sang bartender mendekatkan mukanya ke Rah dan berbisik. Rah tidak melanjutkan pertanyaannya. Lanjut meneguk Birnya, sedikit demi sedikit sambil berusaha menikmati alunan musik.
Tak terasa tiga jam telah berlalu sebelum sang bartender menghampiri Rah lagi.
"Oh iya, Tuan. Saya cuma ingin mengingatkan bahwa ini sudah pukul sebelas malam, kami sebentar lagi mau tutup." Sang bartender memberi tahu Rah yang tanpa sadar telah ditinggalkan satu persatu pengunjung bar yang lain. Pria berjas putih dan para pengawalnya pun sudah tak terlihat lagi. Hanya tersisa para pegawai bar yang sibuk merapikan dan membersihkan meja.
"Kenapa tutup begitu cepat? Setahu saya bar itu biasanya buka sampai pagi 'kan?"
"Itu dulu, Tuan. Sebelum peristiwa percobaan kudeta dua tahun silam. Sekarang sementara diberlakukan jam malam bagi seluruh penduduk di Santiloka ini."
"Peristiwa apakah itu?" tanya Rah penasaran.
"Mengherankan tuan tak tahu tentang peristiwa itu." Sang bartender berucap sambil menatap Rah keheranan, namun akhirnya dia mau bercerita juga.
"Dahulu ada sekelompok tentara dan polisi yang tidak sejalan dengan pemerintah sekarang. Mereka dipengaruhi oleh pemimpin sebuah partai untuk melakukan makar. Partai tersebut sudah ditetapkan sebagai partai terlarang saat ini. Mereka ingin mendirikan negara sendiri. Kami menyebut mereka "Gerombolan Khala" karena mereka menyebut Khalaisme sebagai nama faham atau kepercayaan mereka. Mereka berencana menyerang kota Santiloka ini, yang menjadi pusat pemerintahan Negara Yogaphala, dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah. Rencana itu diketahui oleh presiden yang langsung memerintahkan siaga satu. Karena jumlah tentara dan polisi berkurang cukup banyak, maka diterapkan wajib militer yang mengharuskan para pemuda di kota untuk mengangkat senjata, demi mempertahaankan kota dan membasmi para pemberontak. Perang pun pecah dan dimenangkan oleh pemerintah dan rakyat. Kira-kira begitulah garis besar ceritanya, Tuan."
Rah hanya mengangguk tanda mengerti dan mengeluarkan uang pemberian Ki Urip untuk membayar minumannya.
"Tidak usah, Tuan. Minuman tadi sebagai salam perkenalan dari bar kami bagi pengunjung baru. Sebaiknya Tuan segera mencari penginapan untuk bermalam. Kalau terlihat polisi Tuan berkeliaran di atas jam malam, Tuan bisa ditangkap. Di sebelah kiri bar ini kira-kira selang lima bangunan ada sebuah penginapan." Sang bartender tersenyum ramah.
Setelah mengucapkan terima kasih, Rah berjalan keluar Bar dan menuju penginapan yang diarahkan oleh bartender tadi. Memang suasana kota tampak semakin lengang. Yang terlihat hanya petugas kepolisian yang bersiap-siap untuk melakukan patroli. Rah pun akhirnya sampai di depan penginapan dan langsung memasuki Lobby-nya. Seorang wanita cantik menyambut ramah kedatangan Rah.
"Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" sapanya.
"Saya ingin memesan kamar." Rah menjawab sambil sesekali memerhatikan sekeliling lobby penginapan dengan interior bergaya tradisi namun elegan tersebut.
"Untuk berapa orang, Tuan?"
"Satu orang saja."
"Baik, Tuan silahkan mengisi buku registrasi ini." Sang wanita menyodorkan buku yang cukup tebal berisi penuh dengan nama-nama, alamat dan tanda tangan orang-orang yang menginap di sana. Dengan cepat Rah mengisi buku tersebut. Setelah Rah selesai mengisi buku tamu, sang wanita —yang adalah pegawai resepsionis penginapan tersebut—menekan bel di atas meja.
"Tuan, silakan ikuti Bell Boy kami yang akan menunjukkan kamar Tuan."
Tiba-tiba muncul seorang lelaki di sebelah Rah.
"Mari saya bawakan tasnya."
"Tidak usah, terima kasih. Saya bisa sendiri. Tunjukkan saja kamarnya." Rah menolak dengan sopan.
Laki-laki itu pun melangkah menaiki tangga hotel menuju lantai dua diikuti Rah yang masih linglung melihat suasana penginapan tersebut. Laki-laki tadi berhenti di depan kamar bernomor 108. Dia lalu membukakan pintu untuk Rah.
"Ini kamar Tuan. Silakan."
Rah masuk dan melihat isi di dalam kamar. Tampak satu tempat tidur, satu meja kecil dilengkapi lampu terletak di sebelahnya. Kamar itu juga dilengkapi kamar mandi dan bar mini.
"Saya berikan kunci ini kepada Tuan. Selamat malam. Dan bila tuan membutuhkan sesuatu tinggal telpon ke lobby, nomornya sudah ada disebelah pesawat telepon."
"Terima kasih."
Laki-laki itu pun berlalu meninggalkan Rah di dalam kamar yang disewanya. Rah duduk di atas tempat tidur dan memandangi sekelilingnya. Setelah diam sejenak dia meraih handuk yang telah disediakan hotel dan menuju kamar mandi untuk membersihkan badan.
Dua puluh menit berlalu, Rah keluar dari kamar mandi, meletakkan handuk di tempatnya semula dan duduk kembali di atas tempat tidur. Dia membuka ransel dan mengeluarkan seragam polisi yang dibawanya. Sebuah petunjuk tentang jati dirinya. Dia teringat akan cerita bartender bar beberapa saat lalu. Cerita itu menimbulkan tanya di benaknya.
Dia penasaran mengapa Ki Urip dan warga desa tidak pernah bercerita tentang peristiwa itu. Apakah benar dia seorang polisi? Atau apa dia salah satu dari para pemberontak yang berhasil selamat? Dia pahlawan atau penjahat? Kepala Rah semakin sakit tersesaki pertanyaan-pertanyaan itu. Disimpannya kembali seragam polisi itu ke dalam ransel dan mulai berbaring sambil mengamati sebuah kartu yang didapatkannya. Kartu itu merupakan petunjuk kedua bagi Rah.
"Oke, besok aku akan pergi mencari alamat ini." pikirnya sambil memadamkan lampu dan berusaha untuk tidur.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top