23. KEMBALI

Kota Santiloka saat ini. Rah dan Rana akhirnya berbaikan dan berpacaran lagi. Rah berhenti dari pekerjaannya menjadi bodyguard di Biro RSS dan kembali menjadi anggota kepolisian seperti pekerjaannya dahulu. Pangkatnya ditingkatkan dari Inspektur Polisi Satu (Iptu) langsung melejit menjadi Komisaris Polisi (Kompol) karena jasa-jasanya. Tapi dia memutuskan tetap memakai nama Rah, sebagai penghormatannya terhadap Ki Urip, penolongnya. Lagipula nama aslinya, Wira, telah disematkan pada mayat tak dikenal dan telah dikremasi bersama korban-korban tewas yang lainnya, dua tahun lalu.

Rah dan Rana sesekali mengunjungi Ki Urip dan Jaka yang semakin bertambah dewasa. Ki Urip akhirnya meninggal karena usianya dan Jaka melanjutkan pekerjaan Ki Urip. Agni berangkat ke luar negeri lagi untuk melanjutkan studinya. Biro Redstone Security Service (RSS) dijalankan di bawah kepemimpinan Rajas. Klinik milik dr. Wisnu akhirnya ditutup. Rana, Pertiwi dan seluruh karyawan klinik dipindahkan untuk bekerja di Rumah Sakit Umum Kota Santiloka.

Hari pertama bekerja, Kompol Rah mengumpulkan anak buahnya. Pria bernama Rama muncul paling awal, pria berwajah tirus, berambut cepak dan beralis tebal itu sumringah melihat atasannya memakai seragam polisi dan mulai bekerja lagi. Matanya menatap kagum pada lambang bunga melati satu di pundak Rah.

"Aku sudah menduga yang kutemui di warung beberapa bulan yang lalu itu anda, Pak!" serunya dengan bola mata berbinar.

"Naluri intel-mu memang kuat, Rama."

"Selamat datang kembali, Pak. Dan selamat atas kenaikan pangkatnya juga!" Rama memeluk Rah dengan hangat.

"Terima kasih, selamat atas kenaikan pangkatmu juga."

Rama dan semua anak buah Rah juga dianugerahi kenaikan pangkat satu tingkat karena telah berjasa bagi negara. Tak lama berselang muncul anggota kepolisian yang lainnya. Mereka tak kalah gembiranya melihat atasan mereka kembali. Ada yang memeluk Rah juga, menyalami bahkan ada yang sampai menangis terharu. Mereka semua mengira Rah sudah tewas karena hanya menemukan mobilnya terparkir tak jauh dari perbatasan kota. Rah juga sampai terharu melihat semua rekannya lagi.

"Baik rekan-rekan semua, kita mulai saja rapat koordinasi hari ini." Rah membuka rapat. Wibawanya begitu terpancar menghipnotis semua anak buahnya.

"Kasus yang akan kita tangani masih ada kaitannya dengan pemberontakan dua tahun yang lalu."

Semuanya dengan serius mendengarkan.

Satu jam berlalu, rapat koordinasi yang dipimpin Rah telah usai. Rah terlihat menaiki mobil bersama Rama kemudian melaju meninggalkan kantor polisi diikuti dua mobil masing-masing diisi dua personil polisi. Nampaknya mereka menuju ke suatu tempat untuk menyelesaikan sebuah kasus.

Sesampainya mereka ke tempat tujuan, mereka memarkir mobil begitu saja di pinggir jalan lalu bergegas menuju sebuah pintu gerbang.

"Buka pintunya!" Rah memerintahkan seorang security sambil menunjukkan lencananya.

Dengan gelagapan, petugas security tersebut membuka gerbang.

"Maafkan aku, Ran. Aku harus melakukannya." Beberapa saat Rah tertegun lalu masuk bersama semua anak buahnya. Tempat itu adalah Natha Corp. Perusahaan milik ayah Rana, Tuan Adinatha.

Lantai dasar gedung tiga lantai itu nampak dipenuhi karyawan yang sibuk berlalu-lalang. Kegiatan mereka sejenak terhenti dan menatap heran rombongan polisi yang tiba-tiba menerobos masuk. Rombongan tersebut langsung menuju Lift untuk naik ke lantai tiga tempat Tuan Adinatha berada. Resepsionis kantor dengan sigap meraih gagang telpon untuk memberi tahu Tuan Adinatha. Mendengar ada polisi yang datang, seketika Tuan Adinatha merasa ketakutan, peluh bercucuran dari kepalanya membasahi muka dan kerah kemejanya. Dia mengusap peluh dengan handuk kecil dan berusaha tetap duduk tenang di kursinya.

"Tunggu dulu, apa maksud semua ini, Rah?!" sembur Tuan Adinatha setelah tahu akan ditangkap.

Rah menyimpan kembali surat penangkapan setelah menunjukkannya. Ruangan Tuan Adinatha kurang lebih luasnya 5 x 3 meter memanjang ke samping. Dilengkapi meja besar beserta kursi—di mana Tuan Adinatha duduk—di sebelah kiri, serta beberapa sofa di sebelah kanan dilengkapi sebuah rak buku menempel di tembok sampingnya. Ada juga rak besar di belakang kursi berisi botol-botol minuman serta piala dan plakat-plakat penghargaan.

"Bapak ditangkap karena terbukti ikut terlibat dalam pemberontakan dua tahun yang lalu." Rah berusaha bersikap tenang saat menjelaskan.

"Saya tak habis pikir, orang tua seperti apa yang tega mengorbankan anaknya!" imbuhnya lagi.

Tuan Adinatha terhenyak. Dia berusaha membela diri.

"Maksudmu apa? Aku tidak seperti yang kau tuduhkan!" Tuan Adinatha geragapan menyanggah. Peluh kembali membasahi dahi dan lehernya, dia seka cepat-cepat dengan handuk kecilnya.

"Semoga Abimanyu beristirahat dengan tenang di alam sana." Rah berucap seperti berdoa.

Tuan Adinatha tertangkap mata Rah dan semua anak buahnya sedang menelan ludah.

"Kau tak punya bukti, Rah. Aku takkan bisa dijerat hukum, hahaha!" Tuan Adinatha berucap sambil tertawa mengejek.

"Ternyata kau menyuruh orang untuk melakukan telepon ancaman, membuat seolah-olah kau menjadi incaran Gerombolan Khala. Kau mengancam membunuh dia dan keluarganya bila tidak mau melakukannya. Keluarganya ini yang kau sebut dengan "jaminan" bukan? Aku telah menemuinya di penjara, mengajak juga anaknya, Jaka, dari tempatnya bersembunyi di kampung utara Bukit Indria untuk menjenguk ayahnya."

Tuan Adinatha menggeleng, wajahnya pucat pasi.

"Kau juga membayar orang guna membunuh pria itu di penjara untuk mencegah dia bersaksi, namun gagal, bagaimana rasanya gagal, hmm... "melunasi hutang?". Rah berucap dua kata terakhir sambil mengangkat kedua tangan dan menggerakkan telunjuk dan jari tengahnya menekuk dua kali secara bersamaan. "Sungguh keji!" Rah menetak sambil mendekati Tuan Adinatha yang terlihat kehilangan kepercayaan dirinya.

"Ada rekaman video di bar juga ketika kau menemui Danta Baratha delapan bulan yang lalu." Rah menekankan suaranya sambil terus menatap mata Tuan Adinatha. Kedua tangannya menopang di depan meja. Sementara Tuan Adinatha bersandar pada kursinya seolah syok dan tidak percaya.

"Itu hanya pertemuan bisnis biasa!" Tuan Adinatha masih berusaha menyangkal.

"Bayu juga sering berkunjung ke sini, bahkan di saat kau tak ada. Ada keperluan apa dia?"

"Dia pacar anakku, wajar saja dia kemari. Mungkin mencari Rana!" jawab Tuan Baratha sengit.

"Dan apa ini?"

Rah menunjukkan sebuah kartu. Sebuah kartu yang didapatkannya dari saku seragam Bayu.

"Mana aku tahu!" sahut Tuan Baratha acuh.

"Mana mungkin kau tak tahu, ada nama perusahaanmu beserta alamatnya di kartu ini." Rah berucap sambil berjalan memutari ruangan tersebut.

"Bahkan Rana kau peralat untuk menyerahkan kartu ini kepada Bayu." imbuhnya sambil terus berjalan.

Tuan Adinatha tidak merasa nyaman dibuatnya. Beberapa kali dia tertangkap basah menyeka keringat, melonggarkan dasi serta menelan ludah.

Anak buah Rah hanya menonton atasannya memainkan sebuah peran, mereka seperti menonton sebuah adegan teater.

Setelah beberapa kali Rah berputar serta menyelidiki, ditemukannya sebuah pintu di pojok ruangan—agak tersamar di sebelah rak buku. Pintu tersebut dilengkapi sistem kunci kartu. Rah memasukkan kartu tersebut dan pintu pun terbuka. Rah masuk ke dalamnya, sedang anak buahnya melongok ke dalam. Hanya Rama yang tidak melepaskan pandanganya terhadap Tuan Adinatha yang terlihat sudah menunduk lunglai di kursinya.

Di dalam ruangan remang itu samar terlihat banyak terdapat brangkas-brangkas penyimpanan dan ternyata ruangan itu juga memiliki lorong dengan beberapa anak tangga menurun dengan pintu besi bergembok di ujungnya. Rah memeriksa gembok tersebut ternyata tidak dalam keadaan terkunci hanya dicantelkan. Rah membuka gembok kemudian menarik pintu besi yang berat tersebut. Ternyata lorong itu tembus ke pinggir sungai yang berada di belakang kantor. Rah menatap aliran Sungai Sukmanadi yang cukup deras dan menemukan sebuah pasak yang kemungkinan besar tempat menambatkan perahu, tapi perahunya sudah tidak ada. Rah teringat dahulu pernah melihat sebuah perahu di dekat rumah sungai.

"Sungai berbatu sedikit ini cocok untuk transportasi perahu." pikirnya. Rah kembali masuk ke dalam lorong tersebut, mendaki anak tangga tembus ke ruangan penuh brangkas dan keluar di ruangan Tuan Adinatha kembali.

"Jadi ini ruangan yang kau gunakan untuk mendanai diam-diam pergerakan pemberontak serta menculik tiga perwira tinggi?" Rah menetak lagi.

"Kau manfaatkan ketamakan mereka, menipu mereka untuk datang malam-malam hanya untuk diculik oleh Bayu." tambahnya lagi.

"Entah karena terlalu percaya diri tidak akan ketahuan atau kau merencanakan akan memanfaatkan ruangan dan lorong ini lagi, jadi kau tak menyingkirkannya?" imbuhnya kemudian.

Semua perkataan dan pertanyaan Rah dirasa bagai ratusan belati menghunjam kepala oleh Tuan Adinatha. Seketika itu juga membuat segala kepercayaan dirinya runtuh. Kali ini Tuan Adinatha tak mampu mengelak lagi. Bibirnya terasa kelu dan tenggorokannya tercekat. Bahkan dia tak mampu lagi menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.

"Baiklah, cukup Rah... Cukup. Aku menyerah. Beri aku waktu bersiap sebentar sebelum kalian bawa." Akhirnya dia mampu membuka suara juga walau agak bergetar dan terbata-bata.

Rah hanya mengangguk serta memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk menunggu di luar ruangan.

Setelah semuanya keluar, di dalam ruangan hanya tinggal Tuan Adinatha yang terlihat meraih kertas dan pena. Pelan dia mulai menulis. Setelah selesai, dilipatnya kertas tersebut dan dibiarkannya di atas meja.

Dia nampak menarik nafas dalam serta menghembuskanya pelan sambil tangan kanannya pelan menarik laci. Laci terbuka lalu tangan kanannya meronggoh ke dalam. Dikeluarkannya sebuah pistol kemudian dengan gerakan yang sangat cepat menempelkan moncongnya di dahi kanan dan menarik pelatuknya. Rah yang melihat hal tersebut dari jendela kaca berusaha mencegah namun terlambat. Peluru telah menembus kepala Tuan Adinatha kemudian mendarat di tembok ruangan di atas sofa.

Darah memuncrat ke sebelah kiri tubuh Tuan Adinatha yang seketika itu juga menggelenjot ke samping. Karena dihalangi lengan kursi, tubuh Tuan Adinatha jadinya jatuh ke depan tertelungkup di meja. Darah mulai merembes di atas meja. Rah bergerak cepat menyelamatkan surat di atas meja yang ditulis Tuan Adinatha tadi dari rembesan darah, kena sedikit di sudutnya. Rah memandang iba mayat Tuan Adinatha yang tertelungkup diam dengan tangan kanannya masih memegang pistol. Sekilas dia membuka lipatan kertas yang diambilnya tadi. Ternyata surat untuk Rana, semacam surat wasiat.

Suara tembakan membuat gaduh suasana, beberapa karyawan berlarian naik ke ruang presiden direktur mereka untuk mengetahui apa yang terjadi. Anak buah Rah menjadi sibuk berusaha mencegah mereka mendekat. Rah memerlukan menghubungi ambulan serta tim forensik kepolisian untuk membersihkan serta menyelidiki tempak kejadian perkara.

Rana yang mendengar ayahnya telah tewas hanya bisa menangis kelu di pelukan Rah. Dia sangat berduka dengan pahitnya kenyataan. Apa yang menimpa ayahnya sangat melukai perasaannya. Usai Rana puas menangis, barulah Rah menyerahkan surat yang ditulis oleh Tuan Adinatha kepada Rana. Rana membaca pelan surat tersebut, bekas darah ayahnya masih membekas di pinggir tengah surat, membentuk setengah lingkaran.

Rana, anakku sayang.

Maafkan ayah. Ayah terpaksa melakukan semua ini. Ismu Baratha dulu pernah membantu memulihkan perusahaan ini dari kebangkrutan, jadi ayah harus membalas jasanya. Ayah takkan menyalahkanmu jika membenci ayah karena ini.

Pesan terakhir dari ayah, jaga ibumu baik-baik. Kelola perusahaan ini jika kau mau, jika tidak jual saja. Ayah meminta maaf untuk mengorbankan kakakmu dan ayah takkan memintamu untuk memaafkan ayah.

Dari orang yang semoga saja kamu maafkan dan masih kamu anggap ayah,

A

Rana menangis lagi setelah selesai membaca surat tersebut. Rah tak bicara hanya mengelus lembut rambut Rana.

Setelah selesai acara kremasi ayahnya, Rana dan Rah terlihat duduk di teras depan rumah sungai. Senja telah menyentuh permukaan air Sungai Sukmanadi yang ditampung bendungan dengan warna jingganya, terpampang indah merona di depan mereka.

Mereka masih berpelukan, masih berusaha melapangkan dada masing-masing. Menerima segala yang telah terjadi kemudian berusaha melanjutkan hidup walau hidup tetap adalah misteri terbesar bagi manusia. Seperti Negara Yogaphala dengan godaan kekuasaannya, Kota Santiloka dengan persekutuan-persekutuan rahasianya, Sungai Sukmanadi dengan arus deras menghanyutkannya dan Bukit Indria yang masih saja menyimpan segudang misteri abadi di dalamnya, seakan bukit itu memiliki Panca Indra layaknya manusia. Hutan Satyawana juga masih tetap megah melingkupinya.

Melintas sekelebat bayangan bergerak di dalam kegelapan hutan di bawah redup cahaya bulan yang berhasil menerobos rimbunnya dedaunan. Bayangan tersebut berhenti diam di tengah hutan. Beberapa saat kemudian di sekitarnya banyak titik cahaya menyala merah bagai ribuan kunang-kunang. Semua titik tersebut bergerak terbang kemudian berkumpul menjadi satu. Seketika seluruh bagian dalam hutan berpendar kemerahan.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top