22. ANGIN MELAWAN DARAH

Yogaphala dua tahun silam. Malam semakin larut. Beberapa anggota tim gabungan antara Tim Cakra dan Bajra terlihat berjaga-jaga di sekitar perkemahan mereka, sementara yang lain beberapa sudah terlelap sedang ada juga yang susah tidur karena dikeroyok nyamuk hutan yang begitu ganasnya. Terdengar mereka tak henti-hentinya mengumpat sambil menepuk-nepuk.

Di kawasan laut, kapal-kapal tempur dan kapal selam mulai bersiaga menghadap ke utara. Hampir semua lampunya dinyalakan seakan menantang samudera gelap. Dari jauh, lampu mereka terlihat seperti ribuan kunang-kunang. Sementara di kawasan udara, pesawat-pesawat tempur juga sudah disiapkan di atas landasan militer.

Di dalam Hutan Satyawana, dua pria yang sedari tadi bertarung sengit mengadu kekuatan terlihat berhenti. Terengah-engah mengatur nafas dan menahan perihnya luka di tubuh mereka masing-masing. Hutan di sekitar mereka terlihat berwarna merah dan biru diterangi sinar dari senjata mereka masing-masing. Dua pria itu adalah Wira atau Anggapati, Sang Kesatria Darah dan Bayu atau Banaspati, Sang Prajurit Angin. Nampak Bayu lebih kuat. Dia bangkit dan berjalan sambil menenteng pedangnya mendekati Wira yang terlihat masih tertunduk setengah berjongkok, sambil memegang goloknya yang menancap ke tanah.

"Darah selamanya tak akan bisa mengalahkan angin, darah tak pernah bisa menyakiti sedangkan angin mampu menyayat kulit atau bahkan membunuh!"

Suara parau Bayu didengar semakin mendekat oleh telinga Wira. Wira tiba-tiba mengangkat kepala dan tersenyum.

"Kenapa kau tersenyum? Ada yang lucu? Apa kau tersenyum setelah tahu kematianmu akan datang? Kesatria darah yang menyedihkan!" Suara Bayu semakin menyeramkan, ditambah pandangan mata birunya yang haus akan darah.

"Aku punya satu senjata rahasia lagi, sebaiknya kau lari sebelum terlambat!" Wira menjawab dengan suaranya yang bergetar menahan rasa sakit di tubuhnya.

"Mana mungkin aku lari darimu!" Bayu berucap sambil tertawa sinis.

Tapi tawanya menghilang saat melihat Wira mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya. Sebuah batu berukuran segenggam tangan berwarna merah dibelit kalung perak berbandul Swastika.

"Jangan... jangan kau gunakan benda itu!" Wajah sadis Bayu mendadak berubah ketakutan. Dia berusaha lari, akan tetapi Wira dengan cepat melepas kalung yang membelit batu merah yang dipegangnya. Batu merah itu bersinar terang menyilaukan dan melayang di depan pria tersebut. 

Seketika itu juga Bayu yang mencoba lari terhisap pusaran sinar menyilaukan. Sekuat apapun dia meronta berusaha melawan, dia tetap tertarik masuk ke dalam batu merah tersebut. Batu merah itu secara gaib masuk kembali ke dalam tubuh Wira yang bergegas memakai kalung berbandul Swastika di lehernya. Cahaya menyilaukan tadi pun menghilang dan tubuhnya jatuh berlutut.

"Selesai sudah." Wira bergumam.

Dia kemudian bangkit, meronggoh sakunya mengeluarkan kotak rokok dan pemantik. Pelan dia menggerakkan tangan kanannya—yang telah menjepit sebatang rokok dengan jempol dan telunjuknya—dari kotak rokok ke arah bibirnya. Rokok pun dinyalakan, kemudian dia menghisapnya dalam dan menghembuskan asapnya penuh kelegaan.

Awalnya dia hendak beranjak pergi dari tempat itu, tapi tiba-tiba dirasakannya panas di dada. Seketika dia memegang dada. Mulutnya menganga menahan rasa sakit membuat rokok yang tadinya diapit bibir melayang jatuh—apinya memercik kala menyentuh tanah. "Celaka, dia masih hidup!" teriaknya dalam hati. Wira merasakan perubahan dalam tubuhnya. Dia melihat badannya bertukar perlahan menjadi badan Bayu yang memakai seragam polisi. "Tidak! aku harus membunuhnya! Sebelum Bayu berhasil mengambil alih ragaku secara utuh!" Wira berteriak lantang, lalu berlari menuju lembah kemudian meloncat membuang badannya ke arah gelap tebing dan meluncur bebas menuju dasar lembah Bukit Indria.

Aktifitas di jarak tiga kilometer dari tempat pertarungan antara Wira dan Bayu terlihat menggeliat hidup. Pasukan pemerintah mulai bersiap-siap melanjutkan penyisiran. Semua tenda telah dibongkar dan perapian telah dipadamkan.

Suasana hutan masih gelap tanpa adanya sinar mentari yang mampu menerobos masuk, mungkin juga karena langit pagi itu gelap bermendung. Hanya dari jam tangan mereka bisa tahu pasti waktu saat itu.

Mereka mulai berjalan setelah komandan mereka memberikan perintah. Mereka dibagi menjadi tiga regu besar. Regu pertama bergerak menyusuri hutan dari arah kiri Bukit Indria, regu kedua mendaki bukit sedang regu ketiga dari sisi kanan. Jumlah mereka ratusan sehingga hampir memenuhi hutan. Berjalan hati-hati dan waspada dengan senapan diarahkan ke depan siap menembak. Beberapa suara bergemerisik dari semak-semak dan dedaunan sejenak membuat mereka menunduk dan siaga, namun mereka lanjut berjalan lagi setelah tahu yang menimbulkan suara hanya binatang-binatang hutan.

Selang beberapa jam perjalanan, regu kedua sampai pada gubuk persembunyian Ismu Baratha yang dipenuhi gelimpangan mayat pengikutnya. Dengan tetap siaga mereka memeriksa sekitar.

"Komandan, ada yang masih hidup di sini!" Tiba-tiba salah satu prajurit berteriak.

Sang komandan yang berdiri agak jauh dari lokasi prajurit tersebut berlari menghampiri. Dilihatnya sesosok pria tua dengan badan terikat agak tinggi di batang Pohon Waru, namun masih bisa digapai oleh prajurit tadi untuk memeriksa denyut nadinya. Pria itu nampaknya pingsan.

"Turunkan dia!" perintah sang komandan.

Beberapa prajurit berusaha menurunkan sosok tubuh tersebut. Ada yang naik untuk memotong tali dan ada yang menjaga di bawah. Setelah tubuh pria tua tersebut diturunkan, barulah sang komandan mengenali sosok tersebut.

"Ismu Baratha! lihat nasibmu kini." Sang komandan mencibir.

Hutan Satyawana saat ini. Rah masih berdiri bergeming. Matanya bersinar garang, mulutnya mendesis dan kulitnya semakin menghitam. Angin di sekitarnya semakin berputar kencang. Secara gaib muncul sebilah golok di pegangan tangannya. Golok itu mengilap dan mengeluarkan suara desingan yang menyayat nyali semua yang hadir di sana.

"Sekaranglah saatnya, Banas! Saatnya kau muncul dan menjadi pelayanku. Akulah keturunan majikanmu dulu!" Tuan Baratha berucap diiringi tawa puas.

Tubuh Rah tiba-tiba lenyap di pusaran angin dan bersamaan dengan itu, satu persatu pengikut Tuan Baratha roboh. Ada yang terpenggal kepalanya, ada yang tubuhnya tersayat-sayat dan ada yang isi perutnya keluar. Satu pengikut Tuan Baratha yang masih hidup terlihat panik dan menembakkan senjatanya ke segala arah, tapi pria putus asa itu pun akhirnya roboh bersimbah darah, setelah tiba-tiba menyembul ujung golok dari perutnya. Rah dan tebasan goloknya nyaris tak terlihat.

"Hahaha... Bagus Banas! Bagus! bunuhlah jiwa sebanyak mungkin!" Teriakan dan tawa jahat Tuan Baratha semakin menjadi.

Sementara dr. Wisnu, Rajas dan Rana yang masih dalam pegangan dr. Wisnu sangat ketakutan. Sedangkan Wanita yang bernama Nila masih terlihat tenang, dia hanya terlihat komat-kamit merapalkan sesuatu.

Tubuh Rah terlihat lagi, berlumuran darah dan berdiri menatap ke arah Tuan Baratha dan para pengikutnya yang masih hidup. Secepat kilat wanita yang bernama Nila bergerak mendekati Rah. Rah menebaskan goloknya ke arah tubuh Nila, namun yang tertebas hanya bayangannya saja. Nila secara mengejutkan telah berada di belakang Rah dan serta merta menarik kalung berbandul Swastika yang melingkar di leher Rah sampai putus.

Rah memekik kesakitan sambil tangan kirinya memegang lehernya. Dari mulut dan matanya menyembur keluar sebentuk asap hitam yang bergerak menuju tanah di depannya. Asap itu berkumpul dan semakin lama semakin membentuk satu sosok manusia. Tubuh Rah kemudian jatuh berlutut ke tanah. Dia memandang sosok yang berdiri membelakanginya. Dia mengenal sosok tubuh itu. Ingatannya mulai kembali ke dua tahun silam di mana dia pernah bertarung dengan sosok itu.

"Senang rasanya bisa kembali!" Bayu membalikkan badannya dan memandang ke arah Rah yang terlihat sangat kelelahan.

Tangan kanan Bayu terlihat mencengkram sebuah benda mirip batu berwarna merah. Dengan sekali tekan, batu merah itu hancur menjadi kerikil-kerikil kecil berhamburan. Nampaknya Bayu sudah menjadi semakin kuat.

"Tamatlah riwayat batu laknat itu," cibirnya.

Tuan Baratha tadinya hendak mencegah Bayu untuk menghancurkan batu tersebut, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Dia tetap berdiri di tempatnya sambil menodong Rajas. Dia terlihat gusar, tak segembira tadi.

"Kinilah saatnya aku mengakhiri hidupmu, Kesatria Darah!" Suara Bayu terdengar lagi. Begitu mengerikan, membuat semua anggota rombongan yang tadinya tiarap diam, bergerak merangkak saling mendekat satu sama lain. Rana dan dr. Wisnu terlihat sangat terkejut.

"Bayu?!" Teriakan mereka hampir berbarengan. Bayu adalah kekasih Rana dan juga sahabat dr. Wisnu yang menghilang dua tahun silam.

"Hai Rana...Wisnu, senang bisa melihat kalian lagi, tapi sayang, aku akan segera membunuh kalian!" Bayu menoleh dan menyeringai sinis ke arah Rana dan dr. Wisnu.

"Jangan lakukan itu Bayu, hentikan!" Rana memekik sambil menangis.

"Kuakui kau pernah kucintai, Rana. Tapi itu hanya membuatku semakin lemah. Aku bukan Bayu lagi, namaku Banaspati!"

Bayu kembali melihat ke arah Rah. Sementara Nila sudah kembali berdiri di samping Tuan Baratha.

"Bunuhlah Rah, Banas! Dia sudah tidak berguna lagi bagiku!"

Perintah Tuan Baratha kepada Bayu. Bayu melangkahkan kakinya mendekati Rah sambil berucap:

"Sudah kukatakan dari dulu, darah selamanya tak akan bisa mengalahkan angin. Darah tak pernah bisa menyakiti sedangkan angin mampu menyayat kulit atau bahkan membunuh!" Perkataan Bayu sama persis dengan saat mereka bertarung dua tahun lalu.

"Tapi api yang menyala akan semakin besar bila ditiup angin!" Tiba-tiba muncul suara seorang gadis disebelah Bayu.

Gadis itu langsung mengayunkan pemukul serupa gada tepat mengenai kepala Bayu. Bayu terpental jauh kebelakang hingga menabrak sebuah pohon. Pohon itu seketika tumbang. Agni bergegas menghampiri Rah yang berusaha berdiri mengumpulkan tenaga.

"Kamu tidak apa, Rah?" Agni bertanya sambil memegangi tubuh Rah yang masih belum mampu berdiri dengan stabil.

"Kenapa kau bisa berada di sini?" tanya Rah kepada Agni.

"Aku tidak sengaja mendengar rencana jahat Kakak, aku sangat menghawatirkanmu dan menyusul ke sini."

"Agni, apa yang kau lakukan?" teriak Tuan Baratha.

"Apa yang aku lakukan? Apa yang kakak lakukan? Apa kakak lupa kita pernah berjanji untuk tidak melanjutkan sejarah busuk keluarga kita dahulu, kenapa kakak melanggarnya?!"

Tuan Baratha sejenak terdiam. Lalu berbicara lagi.

"Ayolah Agni, kita bisa bicarakan ini."

"Tidak, Kak, setelah tahu kau ingin membunuh Rah dan aku, aku sudah tidak percaya padamu lagi!"

"Agni, kau adalah adik Danta Baratha. Kau seharusnya berada di pihak kami!" Nila berteriak ke arah Agni.

"Diam kau penyihir jalang, pasti kau yang memengaruhi kakakku!" Agni menghardik dan terlihat sangat marah.

Tidak terima dipanggil seperti itu, Nila langsung menyerang Agni. Mereka pun bertarung mengadu kekuatan.

Sementara Bayu mulai bangkit lagi. Sedikit pun dia tidak terlihat kesakitan akibat serangan Agni tadi. Namun pipi sebelah kirinya terlihat penyok ke dalam hingga bola mata kirinya melotot ke luar. Dia berjalan mendekati Rah.

"Saatnya menghadapi ajalmu!" Bayu berteriak kemudian menerjang ke arah Rah. Rah tersenyum dingin. Memejamkan mata dan berucap satu bait mantra. Secara gaib muncul kilauan cahaya merah memanjang dan membentuk sebilah golok di tangan kanannya. Disaat matanya terbuka kembali, warnanya berubah menjadi bercahaya kemerahan.

Mereka pun memulai pertarungan mereka. Yang terdengar hanya suara guntur saat pedang dan golok mereka beradu. Pertarungan mereka tak bisa diikuti dengan mata manusia biasa. 

Dedaunan semakin deras berjatuhan diterpa angin dari pertarungan mereka, beberapa ranting dan dahan pohon ikut terlihat patah dan berjatuhan. Salah satu dahan besar jatuh menimpa salah satu anggota rombongan hingga tewas. Yang lainnya tampak menyingkir mencari tempat berlindung.

Sekian lamanya mereka berempat bertarung. Terlihat keempatnya mulai kelelahan. Rah tertunduk memegang goloknya, Bayu berlutut menggenggam pedangnya. Agni bersandar di sebuah pohon sambil menahan berat gadanya dan Nila tampak bersimpuh mengatur nafasnya. Tiba-tiba Tuan Baratha bergerak mendekati Rah sambil menodongkan pistolnya.

"Selamat tinggal, Rah!"

"Kakak... Jangan! teriak Agni.

Rah hanya pasrah memandang Tuan Baratha berdiri di depannya sambil menodongkan pistol. Tapi Tuan Baratha hanya terdiam, mulutnya menganga dan darah segar mengalir dari sana. Matanya melotot bergerak-gerak tak beraturan. Nampak ujung pedang tiba-tiba menyembul dari tubuhnya.

"Hanya aku yang akan membunuhnya dan takkan kubiarkan siapa pun ikut campur dalam pertarunganku!" Berkata Bayu dari belakang tubuh Tuan Baratha. Kemudian dia mencabut cepat pedang yang ditusukkannya ke tubuh Tuan Baratha. Tuan Baratha seketika roboh tak bernyawa lagi.

"Kakak! Agni berteriak menangisi kematian kakaknya.

Dia ingin menyerang Bayu, tapi langkahnya terhenti. Nila lebih dahulu melancarkan serangannya ke arah Bayu. Mereka bertarung dengan sengit. Agni bergegas mendekati tubuh kakaknya yang berlumuran darah. Sedangkan Rana ingin mendekati Rah tapi dr. Wisnu memegang erat lengannya.

"Wisnu, lepaskan aku!" pinta Rana.

Dokter Wisnu bergeming.

"Aku tak menyangka, kau ada hubungan dengan semua kegilaan ini."

"Kau hanya tak tahu, Khalaisme telah mengakar di negeri ini. Kau takkan pernah bisa menduga siapa-siapa saja yang terlibat di dalamnya." Akhirnya dr. Wisnu angkat bicara.

"Ada isu Jenderal Arya dibunuh oleh seorang dokter, apa kau orangnya?"

Dokter Wisnu kembali terdiam.

"Ternyata memang kau pelakunya." Rana menuduh.

"Diam!"

Dokter Wisnu mencengkeram lengan Rana lebih erat, Rana meringis kesakitan. Sementara Rajas yang berdiri bebas setelah kematian Tuan Baratha melihat dr. Wisnu lengah, dia langsung bergerak berusaha merebut senjata yang dipegang dr. Wisnu. Dokter Wisnu terkejut dan berusaha melawan. Rana terlepas dari pegangannya dan langsung berlari mendekati ayahnya. 

Rajas dan dr. Wisnu nampak bergulingan di atas tanah. Mereka bergumul beberapa saat sampai kemudian terdengar suara tembakan. Tubuh Rajas dan dr. Wisnu terdiam. Semua yang ada di sana memandang penasaran ke arah dua tubuh kaku tersebut. Tubuh dr. Wisnu terangkat pelan. Semuanya semakin memandang cemas. Tubuh itu terpelanting ke samping dan Rajas yang semula berada di bawah tubuh dr. Wisnu perlahan bangkit. Semuanya langsung bernafas lega. 

Sementara Bayu berhasil mendesak Nila. Nila semakin tersudut oleh serangan garang pedang yang ditebaskan oleh Bayu. Dan akhirnya...

"Matilah kau!" Bayu berteriak. Nila tak mampu menggerakkan badannya lagi karena otot di tubuhnya satu persatu telah putus akibat sayatan pedang Bayu. Tubuhnya melayang jatuh perlahan ke tanah. Sebelum tubuh Nila mencapai tanah, tanpa belas kasihan Bayu melayangkan pedangnya berkali-kali, mungkin ratusan kali karena saking cepatnya sampai tak terhitung. Benda gaib itu mengeluarkan kilatan berwarna biru serta mengeluarkan suara berdecit dan berdenting ketika mencincang tubuh Nila yang sudah tak berdaya. Darahnya memuncrat kemana-mana. Hujan merah itu jatuh membasahi tanah, dedaunan dan semak-semak di bawahnya. Mayat Nila akhirnya jatuh ke tanah dan tak berbentuk lagi, hanya tinggal potongan-potongan tulang dan daging berjatuhan seperti puluhan buah apel merah yang masak jatuh dari pohonnya.

Kaki Bayu sekejap sudah mendarat di atas tanah dan matanya memandang ke arah Rah dan Agni yang meringiskan hati melihat kekejaman dan keganasan Bayu. Bayu melangkahkan kakinya mendekat. Menyeruak sorak dedaunan kering terinjak pijak telapak kakinya. Mata birunya tak sedikit pun pudarkan warnanya. Malah semakin pekat menguat dan siratkan teror bagi yang memandangnya.

Rajas yang kini memegang pistol dr. Wisnu mulai menembaki Bayu sampai pelurunya habis. peluru-peluru tembakannya mengenai kepala dan badan Bayu. Lubang-lubang peluru di kepala dan badan Bayu mengeluarkan darah dan berasap namun tidak dapat membunuhnya. Dia pun terus berjalan ke arah Rah tak menghiraukan Rajas. Hingga tiba-tiba sesosok tubuh menghalangi langkahnya. Sosok tubuh itu milik Rana, berdiri di depan Bayu sambil meneteskan air mata.

"Cukup, Bayu! Jangan kau lanjutkan lagi!" Rana memohon.

"Menyingkir dari sana, Ran. Dia bukan Bayu lagi!" Rah yang berada di belakangnya meminta Rana untuk pergi.

Tapi Rana tetap berdiri menghadang Bayu. Bayu berhenti dan menyeringai kejam.

"Maaf mengecewakanmu, Bayu tidak ada di sini lagi." Suara menyeramkan Bayu membahana sambil tertawa mengejek.

Dia melangkah maju lagi, semakin mendekati tubuh Rana. Dia menyeringai sambil mengangkat pedangnya hendak menebas tubuh Rana yang memejamkan mata, pasrah dengan apa yang akan dialaminya. Rah dan Agni pun memalingkan muka, tak sanggup melihatnya. Begitu pula semua yang hadir di sana. Tapi tak terdengar apa-apa, dentingan pedang maupun jeritan Rana. Rah dan Agni memberanikan diri untuk menoleh ke arah di mana Rana dan Bayu berdiri.

Tiba-tiba tubuh Bayu diam mematung. Nampaknya ada perlawanan di dalam hatinya. Jiwa murni yang terkuasai iblis itu berusaha melawan. Bayu terlihat berjalan mundur, kemudian jatuh berlutut sambil memegangi kepala. Pedang berlumuran darah yang dipegangnya jatuh menancap ke tanah kemudian menghilang.

"Tidak!" Dia berteriak lirih. Terdengar dua suara dari mulutnya. Suara manusia dan suara parau iblis.

"Angkat golokmu, Wira. Bunuhlah aku sekarang!" Suara manusia itu yang tak lain adalah suara asli Bayu, menyuruh Rah untuk segera membunuhnya.

"Kau takkan kuat melawanku, Bayu!" Suara iblis yang parau terdengar lagi.

"Cepatlah, Wira, penggal kepalaku, cepat!" Suara asli Bayu menyuruh Rah untuk cepat bertindak.

Rah meraih golok yang tergeletak di sampingnya, berjalan melewati Rana yang terdiam, bergerak menuju di mana Bayu berlutut menghadap tanah.

"Maafkan aku, Bayu." Rah berucap sambil mengangkat goloknya.

Rana hanya bisa terdiam, memejamkan mata tak sanggup menatap kejadian di hadapannya. Golok itu melayang melewati leher Bayu. Kepalanya jatuh menggelinding ke tanah diiringi darah memuncrat ke udara, keluar deras bagai pancuran merah dari tubuh Bayu. Keluar asap hitam dari jasad Bayu membentuk bayangan hitam berwajah mengerikan.

"Tunggu pembalasanku, Kesatria Darah. Aku Banaspati, Sang Prajurit Angin akan kembali. Dan apabila saat itu tiba, itulah saat kematianmu!" Bayangan itu berucap seraya terkikis memudar, terbang bersama angin.

Satu bayangan lagi muncul keluar dari jazad Bayu. Bayangan itu berbeda dari yang tadi. Bersinar memendar putih menyilaukan.

"Terima Kasih, Wira. Kau telah membebaskan jiwaku dari kutukan iblis. Kini aku bisa beristirahat dengan tenang." Selesai berucap, bayangan itu yang tak lain adalah arwah Bayu, melayang tinggi menembus dedaunan rimbun Hutan Satyawana. Melayang lenyap menuju Nirwana. Agni ingin berlari untuk memeluk tubuh Rah, tapi Rana lah yang duluan mendekap tubuh kekasihnya.

"Rah, maafkan aku." Rana berucap sambil menangis.

Agni yang terdiam dihampiri Rajas.

"Anda tidak apa-apa, Nona?"

"Aku tidak apa-apa, Raj." Agni menjawab sambil terus memandang ke arah Rah dan Rana berdiri.

Semua anggota rombongan juga sudah berani untuk keluar dari persembunyiannya masing-masing. Rasa Lega menghiasi wajah mereka karena mereka tahu semuanya telah berakhir. Dan satu persatu mengucapkan terima kasih kepada Rah, Agni dan Rajas yang telah mempertaruhkan nyawa melindungi mereka.

"Dengan menyesal saya membatalkan rencana acara amal kita kali ini. Kita akan laksanakan di kemudian hari saat situasi sudah tenang kembali. Sebaiknya kita segera pulang dan menenangkan diri masing-masing. Tolong seseorang menghubungi Polisi untuk membersihkan tempat ini." Tuan Astika membatalkan acara yang telah direncanakan sebelumnya.

Tuan Adinatha, ayah Rana nampak datang menghampiri Rah dan Rana.

"Terima kasih, Rah. Kau telah dua kali berhasil melindungi keluargaku," ucap Tuan Adinatha.

"Rana ayo kita pulang," ajaknya kepada Rana kemudian.

"Ayah duluan saja ya, aku masih ingin bersama Rah."

Ayahnya tersenyum lalu bergabung bersama anggota rombongan yang lain, berjalan menuju arah keluar hutan. Rana menatap wajah kekasihnya sembari tersenyum.

"Apa kamu mau memaafkanku, Rah. Atau kupanggil Wira saja?

Rah menganggukkan kepalanya.

"Rah saja cukup. Aku sudah dari dulu memaafkanmu, Ran."

"Terima kasih."

Rana bernafas lega. Rah tersenyum kecil menanggapi lalu memeluk Rana dan mengangkat tubuhnya. Mereka larut dalam kegembiraan dan kebahagiaannya. Sementara Agni nampak sedih dan meneteskan air mata. Dia menangisi kematian kakaknya dan menyadari dirinya tak mempunyai kesempatan lagi untuk bersama Rah. Tanpa sadar dia memeluk tubuh Rajas yang berdiri di sebelahnya, sambil menangis tersedu. Rajas membelai lembut rambut Agni, tak ada satu pun kata yang bisa dia ucapkan kala itu.

"Ayo kita pulang!" Rah berteriak saat memandang ke arah Agni dan Rajas. Rajas mengangguk dan melepaskan pelukan Agni, berganti merangkul pundaknya dan menuntun Agni yang masih terlihat bersedih. Rah berjalan sambil memegang erat tangan Rana, diikuti Rajas yang berjalan sambil merangkul Agni. Mereka pun berlalu pergi meninggalkan megahnya populasi dan misteri Hutan Satyawana yang melingkupi Bukit Indria. Hampir saja dari tempat yang sama terpicu kembali perang seperti dua tahun yang lalu.

Bukit Indria dua tahun Lalu. Pasukan pemerintah masih melanjutkan penyisiran menuju pesisir utara Yogaphala. Sementara beberapa prajurit ditugaskan kembali ke kota dengan membawa Ismu Baratha sebagai tahanan.

Dalam perjalanan mereka sering menemui perlawanan dari sisa-sisa tentara pemberontak, namun berhasil mereka atasi dengan mudah. Para tentara pemberontak nampak bertempur setengah hati. Moral mereka runtuh setelah tahu pemimpin besar mereka telah tertangkap. Hanya beberapa yang masih menyerang dengan gigih namun segera berhasil ditumpas oleh tentara pemerintah. Sisanya yang mulai terdesak langsung menyerah dan menjadi tawanan.

Tentara pemerintah akhirnya sampai di perkampungan sebelah utara Bukit Indria. Tak ditemukan adanya tentara pemberontak di sana, hanya penduduk yang menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Tak sedikit yang memberikan makanan dan minuman dan ada pula yang mengajak singgah di rumah mereka. Para gadis desa nampak sangat senang dengan adanya kunjungan tentara pemerintah ke kampung mereka. Pria-pria tegap berseragam selalu menarik bagi mereka.

Ketika penduduk ditanya apa mereka tahu tentang keberadaan tentara pemberontak. Menurut penduduk memang ada rombongan tentara singgah di kampung mereka. Rombongan tentara tersebut membaur ke rumah-rumah penduduk untuk bertamu dan menginap. Mereka berusaha mengajak penduduk untuk mendukung paham serta ideologi mereka, bagi yang mau ikut diberi senjata dan perlengkapan perang, bagi yang tidak, tidak diapa-apakan. Mereka bersama penduduk yang berhasil direkrut lalu melanjutkan perjalanan ke arah Bukit Indria.

Setelah dirasa cukup beristirahat di perkampungan penduduk, tentara pemerintah melanjutkan penyisiran sampai ke pesisir utara sesuai dengan instruksi dari perwira tinggi mereka. Sebelum mencapai daerah pantai, di kejauhan mereka melihat sebuah bendera putih dikibarkan oleh seseorang pria berseragam polisi. Mereka mendekat sambil terus waspada ke arah pria tersebut. Setelah begitu dekat, komandan pasukan memerintahkan pria tersebut membuang bendera putih kemudian mengangkat kedua tangan. Pria tersebut mematuhinya.

Ketika tentara pemerintah mendekat hampir mencapai pantai, di atas pasir pantai yang luas, puluhan pria berseragam tentara dan polisi berbaris rapi tanpa senjata. Senjata mereka telah dikumpulkan di depan mereka sebagai tanda menyerah kalah. Sang komandan tentara pemerintah tak menyangka mereka menyerah dengan begitu mudah, tanpa perlawanan sedikitpun sampai dia melihat di kejauhan.

Di lepas pantai terlihat iring-iringan kapal perang pemerintah semakin mendekat. Iring-iringan kapal tersebut adalah rombongan militer yang pulang dari Nusantara. Sang komandan tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah laut. Setelah menyita semua senjata, tentara pemerintah kemudian menggiring para tahanan naik ke kapal-kapal perang kemudian membawa mereka kembali ke markas.

Pembelotan banyak terjadi di kalangan angkatan darat dan kepolisian serta sedikit di angkatan udara. Sementara angkatan laut menjadi satu-satunya angkatan yang bebas dari pembelotan sehingga pertempuran tak sampai meluas ke daerah laut. Penyerahan diri sisa-sisa terakhir pasukan pemberontak menandakan bahwa perang telah berakhir.

Berakhirnya perang disambut dengan sorak sorai di penjuru negeri. Semuanya berucap syukur. Banyak yang gembira dan terharu ketika mengetahui anggota keluarga mereka yang pergi berperang berhasil pulang dengan selamat, namun tak kalah banyak pula mereka yang bersedih meratapi kepergian anggota keluarga mereka. Perang memang selalu menyisakan euforia bercampur tragedi, sampai kita tak mengenal lagi apa yang sebenarnya kita rasakan.

Pasca perang banyak veteran yang menjadi gila, mereka terserang paranoia, selalu merasa terancam walau mereka telah berada di lingkungan yang damai dan aman. Mereka mengalami ilusi akan tentara musuh yang mengintip dari balik dinding rumah dan selalu menanti pesawat-pesawat musuh kembali menjatuhkan bom di atas kepala mereka. Banyak yang akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa karena kondisinya yang tak kunjung pulih.

Sementara alam mengalami kehancuran hebat. Di mana-mana banyak tanah yang kehilangan kesuburannya akibat sisa ledakan bom. Mata air banyak yang terkontaminasi dan beracun dan pepohonan banyak yang tumbang atau terbakar. Pemerintah bersama-sama rakyat berusaha memulihkan keadaan seperti semula. Untung saja Kota Santiloka belum sempat menjadi arena pertempuran, jadi tidak ada masalah dalam urusan tempat tinggal.

Ismu Baratha beserta beberapa perwira militer yang menjadi kaki tangannya akhirnya dihukum mati. Sementara para pengikutnya yang lain dihukum sesuai dengan seberapa dalam keterlibatan mereka dalam pemberontakan. Pemerintah melaksanakan Ngaben masal bagi semua prajurit yang gugur termasuk jasad para pemberontak serta setelahnya melakukan upacara Mecaru guna membersihkan lingkungan secara niskala. Pemerintah juga menetapkan masa berkabung selama seminggu. Bendera Yogaphala dikibarkan setengah tiang di seluruh pelosok negeri.

Penyebab timbulnya pemberontakan menjadi kajian pemerintah untuk kedepannya. Pemerintah menjadi lebih proaktif dalam memberi bantuan terhadap masyarakatnya yang berada di bawah garis kemiskinan, serta membuka lapangan pekerjaan lebih banyak lagi demi kesejahteraan rakyat. Dan juga membentuk sebuah lembaga anti korupsi untuk memerangi perilaku korup di kalangan pejabat baik sipil maupun militer, tak tanggung-tanggung hukuman mati akan dijatuhkan bagi yang terbukti korupsi serta merugikan negara.

Sebuah pemberontakan pada akhirnya memiliki sisi terang yang patut menjadi pelajaran juga. Bagai sebuah belati, bisa berbahaya, bisa juga berguna.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top